Annyeong, jumpa lagi dengan saya (semoga kalian gak bosen *kedip-kedip gaje). Cerita ini lahir dari otak dangkal saya yang sedang kalang kabut dikejar deadline. Jadi mian kalau aneh dan ala kadarnya. RnR, ne? Gumawo *bow*
Cast
-. Cho KyuHyun
-. Lee SungMin
-. Kim YoungWoon a.k.a Kangin
-. Member Super Junior
Summary
Kim SungMin, adalah 'istri' Kim Kangin, seorang pengusaha ternama di Korea Selatan. Hidupnya begitu sempurna. Dia memiliki hampir semua yang diinginkan oleh semua orang. Lalu sebuah kejadian kecil mempertemukan SungMin dengan Cho KyuHyun, seorang musisi jalanan yang sebatang kara. Dan tanpa sadar, perlahan SungMin mulai terseret ke dalam jurang yang disebut perselingkuhan...
Warning
Gaje, OOC, Boys Love, Pasaran, No Bash, No Plagiat, DLDR
Rate
T or M?
Disclaimer
Semua chara di ff ini adalah milik Tuhan YME, keluarganya, dan dirinya sendiri. Tapi khusus untuk SungMin, dia milik saya dunia akhirat *ditebas pumpkins. Dan ff gaje ini mutlak milik saya :D
Happy Reading ~~~
0ooOOoo0
Pagi yang cerah. Di sebuah kamar yang didesain begitu mewah, dua orang namja sedang tertidur pulas. Tak lama kemudian, salah seorang namja menggeliat pelan. Mata rubanya mengerjap-ngerjap pelan. Diliriknya sekilas jam kecil di meja nakasnya. Pukul 06.20.
"Hyung, irreona. Bukankah kau ada meeting pagi ini?" kata sang namja sambil menggoyang tubuh namja di sampingnya berkali-kali. Namja yang berstatus 'suami'nya.
Sang suami melenguh pelan, kemudian perlahan membuka matanya dengan malas.
"Masih pagi begini tapi kau sudah berisik, Min. Kau mengganggu tidurku saja. Aku baru mendarat di Seoul tadi malam. Aku masih sangat lelah, tau." gerutu sang suami.
"Ah, mian hyung. Aku tak bermaksud mengusikmu. Aku hanya tak ingin kau terlambat ke kantor. Bukankah rapat pagi ini sangat penting? Karena itu aku membangunkanmu." sahut sang istri sambil menunduk.
"Aish, arrasso arrasso."
Sang istri mengangkat kepalanya. "Cepatlah mandi, aku akan siapkan sarapan." katanya sambil melenggang keluar kamar.
Kini sepasang (atau sejenis ya?) suami istri itu tengah berada di meja makan, menikmati sarapan mereka, dalam diam. Tanpa ada percakapan hangat yang biasanya terjadi antara sepasang suami istri.
"Baiklah, aku pergi dulu." sang suami tiba-tiba berdiri.
"Eh, kau tidak menghabiskan sarapanmu dulu?" cetus sang istri spontan.
"Tidak usah. Aku takut terlambat. Jam segini biasanya jalanan sangat macet." sang suami meraih tasnya, meneguk susunya dengan cepat, mengecup kening sang istri sekilas, kemudian melesat keluar.
"Baiklah, hati-hati." sahut sang istri. Namun sepertinya pesannya itu tak terdengar oleh sang suami.
Namja manis itu menghela nafas pasrah. Namja itu, Lee, anio, Kim SungMin memang sudah terbiasa menjalani pagi yang datar seperti itu. Sudah dua tahun dia menikah dengan Kim Kangin, seorang pengusaha sukses di Korea Selatan. Awalnya mereka sangat bahagia, meski banyak orang yang mengejek dan memandang mereka dengan jijik, tapi mereka tidak terlalu ambil pusing. Ejekan dan hinaan itu justru membuat Kangin terpacu untuk membuktikan bahwa dia bukanlah orang yang pantas dihina. Dan dia memang berhasil membuktikan pada semua orang, bahwa dia adalah orang yang hebat, meski kehidupan cintanya berbeda dari kebanyakan orang. Sekarang dia menjadi salah seorang pengusaha muda paling sukses di Korea Selatan. Dia bahkan melebarkan bisnisnya hingga ke seantero Asia. Hidup mereka yang dulunya sederhana, kini berubah berlimpah harta. Tidak ada yang tidak bisa mereka beli. Tapi imbasnya adalah Kangin hampir tak punya waktu untuk SungMin, istrinya. Setiap hari dia berkutat dengan pekerjaan, perjalanan bisnis dan segudang pertemuan penting lainnya. Ketika dia kembali ke rumah, yang tersisa hanyalah rasa lelah yang amat sangat. Meski SungMin bisa memahaminya, tapi sejujurnya, dia kesepian. Untuk melebur kesepiannya, SungMin memutuskan untuk membantu Eommanya di sebuah cafe sederhana yang didirikannya bersama beberapa temannya, sebelum dia menikah dengan Kangin.
"Bogoshipoyo, hyung. Jeongmal bogoshipoyo." lirih SungMin. Diremasnya dada kirinya yang entah kenapa selalu terasa nyeri setiap kali Kangin meninggalkannya begitu saja. Seperti tadi.
.
.
"Minnie-ya, wae? Ada masalah dengan Kanginnie?" tanya nyonya Lee, Eomma SungMin lembut. Sejak tadi dilihatnya putra semata wayangnya itu sering melamun.
"Ah, anio, Eomma. Hanya sedikit lelah." sahut SungMin berbohong.
Nyonya Lee tersenyum lembut. Diusapnya rambut sang putra dengan sayang. "Jangan berbohong, Minnie. Eomma tau kau sedang banyak pikiran. Nah, sekarang, katakan ada apa."
SungMin menghela nafas berat. Percuma memang membohongi Eommanya. "Eomma, sejujurnya aku ragu, apakah Kangin hyung masih mencintaiku?"
"Kenapa berpikir seperti itu? Tentu saja dia mencintaimu. Eomma masih ingat, betapa dulu dia berjuang dengan sangat keras demi mendapatkanmu. Meski awalnya kami sangat tidak menyetujui hubungan kalian dulu, tapi berkat kesungguhan dan usahanya, akhirnya kamipun luluh. Dan kami tidak menyesal, karena kami tau, anak-anak kami bahagia."
SungMin menggeleng pelan. "Tapi itu dulu, Eomma. Sekarang sudah tidak. Sekarang Kangin hyung lebih mencintai pekerjaannya daripada aku."
"Itu tidak benar, Minnie. Wajar kan jika seorang suami bekerja keras untuk keluarganya. Meski dia sibuk, tapi Eomma yakin, dia masih mencintaimu. Dan akan selalu mencintaimu."
"Aku tidak yakin, Eomma. Sekarang aku merasa jarak di antara kami semakin jauh. Seperti ada sebuah tembok yang sangat besar yang menghalangi kami. Aku merasa, hubungan kami mulai tidak sehat, Eomma."
"Minnie..."
"Kami hampir tak pernah mengobrol dengan hangat, seperti dulu. Kalaupun berkomunikasi, itu karena aku yang memulainya lebih dulu. Dan Kangin hyung hanya menanggapinya sekilas, kemudian dia akan segera pergi ke ruang kerjanya. Berdiam disana hingga tengah malam. Paginya, aku akan membangunkannya dan menyiapkan sarapan. Kami akan sarapan dalam diam. Lalu Kangin hyung akan bergegas berangkat karena takut terlambat. Malamnya, ketika dia pulang, saat aku baru saja akan membuka mulut, Kangin hyung selalu berkata dia lelah. Akhirnya aku hanya akan diam dan membiarkannya beristirahat. Begitulah setiap hari, Eomma. Sepertikah itu yang disebut mencintai? Aku bisa mengerti Kangin hyung sibuk, tapi tak bisakah dia meluangkan waktunya untukku walau hanya sebentar? Bahkan di hari liburpun, dia tetap berangkat ke kantor. Aku sudah lupa berapa banyak acara kami yang terpaksa batal karena Kangin hyung lebih memilih bekerja daripada pergi bersamaku. Apa bagi Kangin hyung, uang jauh lebih penting daripada aku?" SungMin menunduk dalam.
"Aku merindukan Kangin hyung yang dulu, Eomma. Kangin hyung yang hangat, perhatian, dan selalu ada untukku. Aku lebih memilih kami hidup dengan sederhana tapi kami bisa bersama setiap saat daripada hidup mewah tapi aku tak bisa menjangkaunya, Eomma. Aku tak membutuhkan apa-apa Eomma, aku hanya ingin Kangin hyung selalu disisiku. Aku mencintainya, Eomma. Sungguh, aku mencintainya."
Nyonya Lee bergerak pelan. Dipeluknya sang putra dengan hangat. SungMin bukanlah orang yang gampang menangis. Apalagi di hadapan orangtuanya. Dia cukup kuat dan tegar. Tapi hari ini, putranya yang manis itu menangis. Nyonya Lee merasa hatinya tergores sakit ketika dia melihat butiran bening perlahan mengalir turun dari mata indah putra tunggalnya. Dia paham perasaan SungMin, tapi dia juga tak bisa menyalahkan menantunya.
"Uljima, chagi. Percayalah, Kanginnie sangat mencintaimu. Saat ini, dia hanya sangat sibuk. Jika nanti pekerjaannya sudah agak longgar, dia pasti kembali seperti dulu."
"Salahkah jika aku mulai meragukannya, Eomma?"
Nyonya Lee menempelkan telunjuknya di bibir SungMin. "Istri yang baik tak pernah meragukan suaminya. Dan Eomma yakin, kau 'istri' yang baik, kan? Kau hanya perlu bersabar dan memberinya waktu. Orang yang kuat bukanlah mereka yang selalu menang, tapi bagaimana mereka dapat selalu bertahan. Eomma percaya, anak Eomma adalah orang yang kuat."
SungMin mengangguk pelan.
"Begitu baru anak Eomma. Kajja, bantu Eomma membuat rainbow cake."
SungMin beranjak berdiri dan mengikuti Eommanya ke dapur. Suasana cafe yang tadi sepi, kini mulai ramai. Beberapa pegawai dengan sigap langsung melayani para pelanggan yang datang. SungMin tersenyum miris. Meski bukanlah cafe yang mewah, tapi setidaknya, dia tidak merasa kesepian disana. Berbeda jika dia berada di rumahnya. Meski sangat megah bak istana, tapi dia merasa hatinya begitu hampa. Sekali lagi SungMin meremas dada kirinya. Nyeri.
.
.
SungMin merapatkan jaketnya. Malam ini begitu dingin, dia sedikit menyesal karena tadi dia tidak membawa mobil. Tapi tak apa, sejak dulu dia biasa naik kereta api atau bus. SungMin mempercepat langkahnya. Dia menyusuri jalanan yang gelap itu. Tiba-tiba, tanpa tau dari mana datangnya, tiga orang namja kekar menghadang langkahnya. SungMin berjingkat kaget, tapi dia sama sekali tidak takut. Orang mabuk, eoh? Pikirnya sambil bersikap waspada. Dia sudah menyiapkan kuda-kuda, berjaga-jaga jika ketiga namja itu mendadak menyerangnya.
"Hai, manis. Mau kemana? Main sebentar bersama kami, ne?" kata seorang dari mereka. Nafasnya mengeluarkan bau alkohol yang sangat menyengat.
Tanpa pikir panjang, SungMin langsung melayangkan tinjunya tepat di wajah namja itu. Membuat namja mabuk itu terjungkal ke belakang dengan hidung berdarah.
"Shit! Kurang ajar sekali kau!" umpatnya. Melihat temannya tersungkur, seorang namja lainnya spontan menyerang SungMin. Tapi dengan sigap, SungMin langsung menjegal kaki namja itu. Membuatnya ikut tersungkur ke tanah menyusul temannya.
"Jangan macam-macam. Kalian menghadapi orang yang salah." desis SungMin tajam.
Namja lainnya melemparkan botol alkohol yang dipegangnya ke arah SungMin. Dengan sigap, SungMin menendang botol itu ke samping, hingga terpental jauh dan jatuh berkeping-keping di tanah. Dua namja yang tadi tersungkur di tanah itupun bangkit dengan marah. Mereka kemudian menyerang SungMin. Namja yang tadi melempar botol itupun ikut bergerak. Sebelumnya, dia telah memungut beberapa pecahan botol dan menjadikannya senjata. Melihat ketiga orang mabuk menyerangnya dengan brutal, SungMin meregangkan sedikit tubuhnya. Hah, cukup lama juga dia tidak menggunakan martial artsnya. Sekarang, dia jadi ingin menggunakannya.
Bugh..bugh...duagh..sret
SungMin sedikit meringis ketika pecahan kaca itu menggores lengannya. Tapi luka kecil itu tak begitu berarti. Dia kembali melanjutkan pertarungan tiga lawan satunya. Berkat kemampuan bela dirinya yang baik, SungMin sama sekali tak merasa kesulitan melawan mereka. Satu per satu namja mabuk itupun tumbang.
"Pergilah. Sebelum banyak orang lewat." SungMin mendengus, lalu berjalan pergi. Salah seorang namja yang tumpang tindih di tanah itupun bangkit dengan marah. Belum kapok juga, eoh? Batin SungMin. Tapi sebelum dia berbalik untuk kembali menghajar namja itu, seseorang telah lebih dulu memukul jatuh namja keras kepala itu.
"Jangan bertingkah. Kau tau kan, aku penguasa di sini. Cepat pergi dari sini dan bawa teman-teman payahmu itu." kata seorang namja tinggi berkulit pucat. Dia menenteng sebuah gitar usang.
Tanpa banyak bicara, ketiga namja itupun segera berlalu dari tempat itu.
"Gwenchana?" tanya sang namja tinggi sambil menghampiri SungMin.
SungMin mengangguk. "Ne. Nan gwenchana."
"Lenganmu berdarah."
"Ah, tidak apa-apa. Hanya luka kecil."
"Kau hebat. Bisa menghajar mereka sampai tumbang. Sepertinya gadis jaman sekarang juga harus bisa menguasai beladiri sepertimu."
SungMin melongo sejenak. Apa katanya tadi? Gadis? Aigoooo.
"Ehm, gumawo atas pujianmu. Tapi kau salah besar, tuan. Aku namja." tegas SungMin.
Meski tempat itu sedikit temaram, tapi SungMin bisa melihat mata namja itu mengerjap tak percaya. Aish, menyebalkan.
"Eh, mianhaeyo." ucap namja itu salah tingkah.
"Sudahlah, tidak apa-apa." SungMin tersenyum manis. Membuat namja di depannya melongo.
"Ah, gumawo sudah membantuku. Lee, ah, anio, Kim SungMin imnida." SungMin sedikit membungkuk lalu mengulurkan tangannya.
Namja di depannya itu masih terpaku. Lalu dia memindahkan gitarnya ke tangan kiri, mengusap-usap tangan kanannya pada baju yang dikenakannya, kemudian menyambut uluran tangan SungMin.
"Cho KyuHyun imnida."
"Sekali lagi gumawo, KyuHyun-ssi. Aku pergi dulu." SungMin kembali membungkuk, lalu berjalan pergi. Hampir pukul sembilan. Ah, aku harus sampai di rumah sebelum Kangin hyung pulang, batin SungMin.
Sementara itu, namja pucat itu, Cho KyuHyun, tengah memandangi punggung SungMin yang semakin menjauh.
"Hm, Kim SungMin. Nama yang manis. Seperti orangnya. Aku baru tau ada namja seindah itu. Aish, kenapa tadi aku menyebutnya gadis? Dia pasti tersinggung. SungMin-ssi, apakah kita akan bertemu lagi?" monolog KyuHyun. Lalu dia beranjak pergi sambil memetik pelan gitarnya. Berjalan mengikuti langkah kakinya. Meski malam itu sangat dingin, tapi entah kenapa, KyuHyun merasa, hatinya terasa hangat.
.
.
TBC?END?
.
.
Pendek banget ya? Aneh? Gak jelas pula. Mian. Saya tidak tau ff ini layak lanjut gak. Kalau gak ada yang minta lanjut, ya udah, saya delete aja T.T hiks hiks hiks *nangis di pelukan Minppa. Tapi gimanapun, gumawo udah baca ^.^ *nyender di pundak Minppa #dijedotin ke tembok
