'Punya teman saling suka tapi tidak ada yang mengambil langkah? Dan membuatmu jengah? Kami solusinya. Hubungi Yuuma Isogai pada nomor yang tertera!'


"Ehe," dengan seringai super bangga, Koushi Sugawara menunjukkan sebuah kolom di bagian iklan yang sudah ia tandai dengan stabilo berwarna merah muda norak.

"Apa maksudnya?" Tanaka dan Noya—yang pada dasarnya selalu semangat dan selalu mau tahu duluan—mengambil koran dari tangan Sugawara dan menatapnya berkali-kali sebelum saling bertukar pandang.

"Kita bisa buat Hinata dan Yachi-san jadian!" Sugawara berseru dengan penuh semangat. Tanaka dan Noya kembali bertatapan sebelum mulut mereka membentuk huruf 'o'.

"Lalu buat apa?" Noya bertanya, dalam hati bersyukur karena setter kedua mereka itu tidak menarik Kiyoko-chan ke dalam rencananya yang sangat absurd dimata libero itu.

"Iya, buat apa, Suga-san?" Tanaka sudah mengambil singgasananya dan duduk santai bersandar pada kursi, kedua kakinya diletakkan di atas meja—mumpung tidak ada Daichi— sepertinya memang anak-anak Karasuno selalu kurang ajar kalau tidak ada Daichi, "Kenapa kau mau repot-repot?"

"Aku tahu nilai Suga-san sudah bagus jadi tidak perlu mengambil kelas tambahan," setter nomor satu mereka menipali dari balik pintu loker yang terbuka, "Tapi aku rasa Suga-san tidak perlu repot-repot mencari tambahan pekerjaan dengan berusaha menjodohkan Si Bodoh itu dengan siapapun."

"Lagipula Hinata juga tidak akan sadar kalaupun ia sudah jadian," kali ini Tsukishima yang menanggapi. Pada titik ini hati Sugawara sudah pecah menjadi kepingan-kepingan kecil. Kenapa tidak ada yang mendukungnya, "Aku bahkan ragu Hinata mengetahui apa itu cinta."

"Suga-san," Yamaguchi mendekat ke arahnya. Oh ya ampun! Akhirnya Tuhan mengirimkan malaikatnya untuk membantu Sugawara, "Aku tahu kau ingin membantu mereka. Tapi mungkin sebaiknya kau membantu Yachi-san jadian dengan orang lain saja."

Hati Suga rasanya seperti di potong-potong kemudian dicincang kecil-kecil lalu di remas-remas dan dicampur aduk dengan bahan lainnya untuk dijadikan perkedel. Hatinya bahkan lebih sakit dibandingkan ketika ia tidak terpilih sebagai setter utama. Bahkan lebih sakit daripada kekalahan pertama melawan Aoba Johsai. Bahkan lebih sakit daripada memandangi bff-mu terkapar tak berdaya di lapangan.

"Kenapa sih kalian tidak peduli dengan kebahagiaan orang lain?" Sugawara tidak menyangka anak-anaknya sebegitu beku hatinya.

"Bukan tidak peduli, Suga-san," Asahi menepuk bahu Sugawara. Mudah dilakukan karena ace mereka hampir lebih tinggi dari siapapun di tim kecuali Tsukishima, "Hanya tidak ingin melakukan hal-hal yang tidak berguna."

"Aku setuju!" Noya meloncat dari kursinya, "Mending kita latihan! Ayo, Tanaka!" kemudian Noya dan Tanaka tidak kelihatan lagi wujudnya.

Satu per satu anggota tim mereka meninggalkan ruangan klub untuk melakukan pemanasan sebelum latihan, "Aku sepakat dengan Asahi, Suga," bff-nya, satu-satunya harapan Sugawara ternyata malah menginjak-injak hati Sugawara yang pecah berkeping-keping menjadi berkeping-keping-keping-keping. Berkeping kuadrat, "Lebih baik fokus pertandingan dulu. Akan ada saatnya nanti ketika Hinata sudah dewasa dan mengerti apa itu cinta. Kita tunggu saja saat itu, oke?"

"Lagipula tingkah Yachi dan Hinata tidak membuatku jengah," bahkan manajer nomor 1 mereka ikut berkomentar dengan dinginnya dan meletakkan koran Sugawara begitu saja di meja.

Sugawara menghela napas pasrah, atau begitulah yang Sugawara harap timnya lihat. Bukan Koushi Sugawara namanya kalau tidak punya rencana cadangan.

.

"Jadi begitulah," Sugawara mengakhiri ceritanya. Ia menatap ketiga rekannya yang duduk bersama di meja tempat mereka janjian, "Anak-anakku tidak ada yang peduli dengan kisah cinta teman satu timnya."

"Anak-anak Nekoma," Morisuke Yaku memulai, "Bahkan tidak peduli dengan cinta."

"Bokuto-san bahkan tidak tahu apa itu cinta," Keiji Akaashi menyumbang suara, yang membuat meja itu kembali hening.

"Yaaaah," kali ini Hajime Iwaizumi yang membuka mulutnya, "Aku sudah eneg mendengar kata-kata cinta karena Oikawa bego selalu menceritakan kisah cintanya."

"Lalu kau tetap akan menghubungi mak comblang itu, Sugawara-san?" Yaku bertanya, menengetuk jemarinya pada kertas putih yang bertuliskan sederet nomor dengan tulisan tangan yang sangat rapi.

"Kau yakin itu bukan penipuan, Suga-san?" Akaashi sedikit cemas. Bagaimana kalau ternyata yang di telepon adalah seorang penipu dan berniat menghabisi uang dan/atau nyawa Sugawara? "Kalau kau memang yakin nomor itu asli, kurasa tidak akan ada masalah."

"Kalau Hinata dan Yachi-san yang kau sebut-sebut ini memang saling suka, kusaranakan kau telepon saja," Iwaizumi menimpali.

"Aku pernah melihat Hinata dan Yachi-san berdua," Yaku menggaruk dagunya perlahan, "Aku bukan pakar cinta tapi kurasa ada chemistry diantara mereka."

"Aku selalu bersama mereka," ujar Sugawara setelah menikmati minumannya, "Yah, terkadang seolah mereka melakukan hal-hal diluar kesadaran mereka yang menunjukkan bahwa mereka saling suka. Bagaimana menurutmu, Akaashi-san?"

"Mereka cocok mengingat kepribadian dan tingkah laku Hinata yang merepotkan dan Yachi-san tampaknya bisa mengimbanginya. Itu yang aku perhatikan selama training camp," Akaashi menjawab.

"Yachi-san itu yang rambutnya pirang pendek? Gadis yang teriak-teriak dari bangku penonton waktu set terakhir ketika kalian melawan Seijoh?" Iwaizumi bertanya. sugawara mengangguk sebagai jawaban, "Kurasa dia bisa jadi pawang Hinata."

Sugawara menyeringai. Tuh kan! Bahkan orang-orang dari tim lain aja sepakat kalau Hinata dan Yachi-san memang cocok. Dasar anak-anak Karasuno tidak punya hati.

"Jadi kau akan meneleponnya?" kali ini Iwaizumi yang bertanya.

"Ya, aku akan meneleponnya," dengan tekad bulat, Sugawara mengambil telepon genggamnya.

.

.

Love Note's Next Page: Karasuno High Schoolbelong to Arleinne Karale

Assassination Classroom belong to Yuusei Matsui

Haikyuu! belong to Haruchi Furudate

The Author does not take any financial benefits from this story. This story only exists purely for entertainment

An Entry for January's Sari Roti Event

A Semi-Canon, possibly out of character, lot of typos, full of dramatic and unrealistic love scene story with straight pair

Read at your own risk

.

.

Karena hari ini adalah hari Jumat dan sangat dekat dengan akhir pekan, maka baik Kayano maupun Karma dan Isogai tidak bisa menemani Nagisa. Kayano setiap akhir pekan selalu pergi mengunjungi makam kakaknya—beberapa minggu belakangan, Koro-sensei selalu menemani Kayano. Karma pergi mengunjungi sanak keluarganya di Kyoto. Isogai tidak bisa pergi karena ia harus bekerja dan jadwal kerjaannya di hari Sabtu dan Minggu merupakan yang tersibuk karena semua shift dia yang menangani.

Untung saja klien mereka kali ini baik hati, menawarkan menjemput Nagisa di stasiun kereta terdekat, bahkan menyediakan tempat untuk Nagisa menginap. Karena sang klien bilang ada kemungkinan Nagisa harus mengerjakan dua tugas sekaligus. Nagisa tidak keberatan. Akhir-akhir ini kesehatan Karasuma-sensei semakin membaik jadi sepertinya Sang Dewi puas dengan kerjaan mereka. Tapi Koro-sensei bilang agar jangan terlalu senang dan lengah. Bisa jadi Sang Dewi sedang bersiap untuk melancarkan serangan yang mengerikan.

Nagisa mengecek telepon genggamnya yang berisi file milik sang klien. Klien mereka kali ini adalah salah seorang pemain voli dari tim voli SMA yang sedang naik daun—Nagisa iseng-iseng mencari tentang kliennya di google dan rupanya banyak berita hebat mengenai kliennya dan tim voli sekolahnya. Ia sekarang duduk di kelas 3, memiliki tubuh yang lumayan tinggi. Rambutnya berwarna abu-abu dan kalau di foto yang ada di google, ia selalu terlihat tersenyum lembut.

Sepertinya tidak terlalu menakutkan.

Nagisa memandang sekeliling stasiun. Harusnya kliennya sudah tiba. Nagisa mencari-cari diantara kerumunan, dan akhirnya mendapati kepala abu-abu di dekat pintu keluar. Berdiri dengan canggung sambil meneliti orang-orang yang keluar, "Sugawara-senpai?" Nagisa bertanya.

"Ah, Suga saja cukup," senyumnya persis seperti yang di google. Menenangkan, "Kau pasti Nagisa?" mereka berjabat tangan. Sejauh ini, menurut Nagisa, kliennya kali inilah yang terlihat seperti orang normal.

"Bagaimana perjalanan? Kuharap tidak terjadi apa-apa," Sugawara menawarkan membawa tas Nagisa, tapi Nagisa menolaknya. Nagisa sempat curiga jangan-jangan kliennya ini menganggap dirinya seorang perempuan.

"Menyenangkan. Refreshing juga jauh dari hiruk-pikuk kota," itu benar. Meskipun technically sekolah Nagisa berada di atas gunung yang di kelilingi hutan dan lokasi rumahnya tidak bisa dibilang terletak di Kota, daerah di sekitar Karasuno menawarkan vibe yang berbeda.

"Tentu saja," Suga-senpai tertawa kecil, "Nah, aku akan memperkenalkanmu sebagai keponakan jauhku, kalau-kalau ada yang bertanya."

Nagisa mengangguk, "Kalau tidak salah kau bilang ke Isogai-kun bahwa kemungkinan ada dua kasus yang harus aku tangani?"

"Yah, soal itu," Sugawara menggaruk pipinya sendiri, "Sebetulnya untuk kasus yang satunya lagi aku kurang yakin. Dan karena aku belum memutuskan, makanya aku menawarkanmu untuk menginap di tempatku."

"Ah, baiklah," Nagisa sebetulnya tidak mau merepotkan. Dan sejujurnya, selama mereka menangai dua kasus sebelumnya, mereka sama sekali tidak dibayar—minus Isogai yang ditraktri makan siang oleh Bitch-sensei selama seminggu. Tapi ia toh sudah bilang pada ibunya bahwa ia akan menginap di rumah teman untuk belajar bersama, "Bagaimana kalau Suga-senpai ceritakan tentang kasus yang akan aku tangani?"

"Hinata dan Yachi-san sejak awal memang dekat, karena Hinata yang menyeret Yachi-san untuk jadi manajer. Yachi-san pun selalu memberi semangat untuk Hinata, dan untuk semua tim sih," Suga-san memasang helm dan menyodorkan helm untuk Nagisa, "Aku pernah memergoki mereka berduaan memandangi langit diatas atap waktu training camp. Dan kadang aku rasa kalau sebenarnya mereka saling suka tapi dua-duanya tidak ada yang menyadari perasaan merekan sendiri. Terkadang membuat frustasi, kau tahu?"

Ah ya. Ia pernah tidak sengaja mencuri dengar pembicaraan para wanita tentang 'dua orang yang saling suka tapi tidak saling sadar dan membuat frustasi'. Tampaknya, dari apa yang bisa ia simpulkan, dalam kasus kisah cewek-cewek di kelasnya itu, dua orang yang saling suka adalah Guru Olahraga dan Guru Bahasa Asing mereka.

"Kau akan melihat sendiri nanti," Sugawara mengedipkan matanya. Ia sudah duduk di atas motornya, menunggu Nagisa naik. Nagisa tersenyum sopan dan tidak lama kemudian mereka pun melesat di jalanan pedesaan yang sepi.


"Omong-omong, aku belum paham bagaimana cara kerjamu," Sugawara-senpai memarkir motornya di belakang sekolah. Sepertinya dekat dengan tempat latihan voli mereka, "Maksudku, kau buat ramuan cinta atau apa?"

"Ah well," Nagisa tidak pernah terlalu suka menceritakan modus operandi mereka, "Tidak sengaja Guru Olahraga kami menyentuh Buku terkutuk yang di dalamnya ada Dewi Cinta Suku Maya. Kalau kami tidak menuliskan kisah cinta di dalamnya, Guru Olahraga kami bisa mati. Tugasku disini adalah sebagai penulis skenario, bagaimana orang pilihan klien kami jadian dan sebagainya. Skenarioku akan jadi nyata dan bukunya mendapat kisah, jadi semacam win-win solution."

"Ah," Sugawara-senpai mengangguk, "Untuk itu kau perlu data diri orangnya."

"Iya," Nagisa menjawab, "Dan apakah ada hal-hal yang… hanya khusus dilakukan oleh kedua orang itu?"

"Yachi-san sering menemani Hinata latihan sampai malam," Sugawara-senpai memberikan informasi tambahan, "Mungkin itu bisa membantu skenariomu. Oh ya, kurasa keduanya tidak terlalu suka nuansa horror."

Mereka sampai di sebuah gedung, tampaknya gym dari suara-suara patulan bola dan decitan sepatu yang terdengar dari luar. Sugawara-senpai mempersilakan Nagisa masuk. Seluruh kegiatan langsung terhenti dan Nagisa seolah-olah actor yang baru saja memangi piala Oscar, seluruh mata tertuju padanya. Nagisa sejujurnya tidak terlalu suka perhatian yang berlebihan macam itu, biarpun kalau nanti ia jadi guru maka ia akan selalu diperhatikan oleh muridnya.

"Ini keponakanku, Nagisa," Nagisa membungkuk sopan, "Tahun depan ia akan masuk SMA. Jadi ia sedang mengeksplorasi pilihannya."

"Uwooooh!" sesosok pemuda berambut jingga meloncat penuh semangat dan berlari menghampiri Nagisa, "Kau bermain voli, Keponakannya Suga-san?"

"Eh," Nagisa terlalu kaget. Secara garis besar, ia dan rekan sekelasnya yang lain tidak melakukan olahraga, kecuali baseball. Mungkin latihan membunuh masuk hitungan olahraga? "Uh, aku memanah…?" sepertinya kegiatan membidik dengan senjata api tidak akan jauh berbeda dengan memanah karena keduanya sama-sama membidik sasaran.

"Dan, uh… martial art?" karena pelajaran olahraga mereka selalu berisi 'bagaimana membunuh Koro-sensei' yang salah satunya adalah latihan bertarung dengan tangan kosong.

Mata laki-laki di hadapan Nagisa berbinar-binar, "Waah! Kau seorang jagoan!" Nagisa menggaruk tengkuknya.

"Yah, tidak juga," tapi binar di wajah pemuda berabut oranye itu tidak hilang juga, "Di kelasku ada yang lebih hebat."

Tiba-tiba kedua tangan pemuda itu diletakkan di bahu Nagisa, dan lawan bicaranya itu menatapnya dengan sorot serius, "Pokoknya jangan menyerah! Selalu ada kesempatan untuk mengalahkan rivalmu! Ingat itu, Keponakannya Suga-san!"

"Oi, Bodoh!" suara dari seberang ruangan mengalihkan fokus Nagisa dan lawan bicaranya, "Mau latihan tidak?"

"Jangan mulai tanpa aku, Kageyama Bego!" secepat angin lawan bicara Nagisa yang satu itu sudah tidak ada di tempatnya lagi.

"Yang tadi itu Hinata," Sugawara-senpai berujar, "Shouyou Hinata."

"Halo, Keponakan Suga-senpai!" kali ini seorang gadis berambut pirang pendek mendekat ke arah Nagisa dan Sugawara-senpai, "Aku Hitoka Yachi. Senang bertemu denganmu."

"Senang bertemu dengan Anda, Yachi-senpai," Nagisa, selayaknya adik kelas yang sopan, menjabat tangan Yachi sambil sedikit menunduk.

"Kau lihat Kiyoko-san tidak, Yachi-san?" Sugawara-senpai bertanya.

"Ah ya, Kiyoko-senpai pergi bersama Daichi-senpai mengurus surat izin ke Kepala Sekolah," Yachi-san meletakkan telunjuknya di dagu, "Daichi-san berpesan katanya Suga-senpai disuruh menerangkan soal strategi baru yang itu."

Tanpa pamit atau apa—Nagisa tahu sih ia bukan siapa-siapa, tapi setidaknya Sugawara-senpai bisa berbasa-basi sedikit dan pamit ke Nagisa kemudian menitipkan Nagisa ke Yachi-senpai kan?—Sugawara-senpai kembali ke lapangan.

"Santai saja, Keponakan Suga-san!" Nagisa baru memperhatikan kalau ternyata gadis itu memakai kunciran dengan hiasan berbentuk bintang berwarna biru. Sepertinya ikat rambut seperti itu cocok juga dipakai Kayano, "Latihannya selesai sebentar lagi kok."

Nagisa tersenyum sopan sebelum duduk di bench yang ada di sana. Sementara Yachi-senpai mencacat sesuatu di kertasnya dan berdiskusi dengan serius kepada seorang pria berambut pirang dengan bando tipis berwarna hitam dan muka yang seram—mungkin pelatih mereka—Nagisa mengeluarkan buku merah mudanya.

'Barang penting milik Hitoka Yachi ketinggalan di dalam kelas. Ia baru menyadarinya setelah latihan selesai. Shouyou Hinata menawarkan diri untuk menemaninya mengambil ke dalam kelas. Ruangan kelas sangat horror dan keduanya mendengar suara-suara aneh ketika di dalam kelas. Kemudian mereka melihat hantu dan kabur. Shouyou Hinata yang larinya lebih cepat mendahului Hitoka Yachi. Ketika di tangga, Hitoka Yachi tersandung dan terjatuh, tepat ketika Shouyou Hinata hendak mencarinya. Hitoka Yachi jatuh di atas Shouyou Hinata. Mereka ciuman. Ada pernyataan cinta. Kemudian ciuman lagi.'

Kalau Isogai ingin mengetahui limit dari buku merah jambu mereka, Nagisa ingin tahu seberapa kreatif buku merah jambu mereka dalam mengembangkan imajinasi Nagisa.


"Kau sudah buat skenarionya, Nagisa-kun?" Suga-senpai bertanya selesai latihan. Anggota tim voli Karasuno yang lain sedang sibuk membersihkan lapangan. Seorang pria berkacamata mengobrol dengan orang yang Hinata asumsikan sebagai pelatih tim Karasuno dan kedua manajer mereka.

"Yah, well," Nagisa menggaruk tengkuknya. Ada masalah kecil yang ia lupa beritahu pada kliennya yang satu itu, "Aku ingat tadi Suga-senpai bilang kalau Yachi-senpai sering menemani Hinata-senpai latihan sampai malam. Jadi aku membuat skenarionya selesai mereka latihan berdua."

"Ah ya!" ia menepuk kepalan tangannya ke telapak tangannya yang terbuka, "Tidak masalah. Kau mau menunggu?"

Nagisa mengangkat bahunya, "Sepertinya akan seru."

"Memangnya skenario seperti apa yang kau buat?" Nagisa mengeluarkan buku merah mudanya dan Suga-senpai membacanya.

"Woah, lumayan," ia mengangguk.

"Apaan tuh? Hahahaha!" ternyata, tanpa mereka berdua sadari, ada tiga orang lagi yang ikut membaca coretan tangan Nagisa. Seorang pemuda berambut plontos dan seorang anak laki-laki berambut jabrik yang duduk diatas bahu sesosok… om-om?

"Sssssst!" Suga-senpai menaruh telunjuknya di depan mulutnya, "Jangan berisik dong!"

"Kupikir kau keponakannya Suga-san ternyata kau mak comblang yang di koran?" untung saja pria berambut cokelat yang berdiri semua melawan gravitasi itu bicara dengan suara yang wajar. Sejauh yang diperhatikan oleh Nagisa, Hinata-senpai dan pemain dengan posisi liberoKoro-sensei pernah mengajari mereka teori tentang olahraga biarpun kenyataannya olahraga mereka adalah belajar bagaimana caranya menjadi pembunuh yang efektif—adalah dua orang paling berisik di lapangan, "Hal ini bakal kejadian malam ini? Shouyou bakalan jadian sama Yachi-san betulan?"

"Ada apa sih?" Nagisa tidak terlalu paham tapi sepertinya pemuda berambut gelap yang dipotong pendek ini adalah kapten mereka. Ia mengintip dari bahu Suga-senpai, "Apa tuh?"

Suga-senpai menghela napas sebelum menutup bukunya. Sekumpulan pemain voli yang mengelilingi Suga-san itu mengundang tiga pemain lainnya. Di tambah dua pemain lain. Untung saja Hinata-senpai dan pemain yang disebut 'Kageyama Bego' sibuk berdebat soal kain pel, "Ini urusanku. Aku mau mencoblangi Hinata dan Yachi-san. Kalian kan tidak mau terlibat. Sana pulang!" dengan dinginnya Suga-senpai mengusir rekan-rekannya.

"Kau mau mencomblanginya malam ini?" salah seorang dari mereka bertanya.

"Sepertinya seru!" Sang Libero meloncat tinggi.

"Aku ikut!" pemain yang frekuensi suaranya hampir mirip dengan Sang Libero itu mengangkat tangannya, diikuti pemainnya yang lain.

"Maaf ya, Nagisa-kun, jadi merepotkan," Suga-senpai menatap Nagisa, dengan sorot pasrah. Rambut bagian atasnya yang biasanya berdiri, sekarang ikut jatuh seolah-olah ikut kecewa.

"Eh, ti-tidak apa-apa kok," Nagisa jadi salah tingkah sendiri. Seperti yang sudah pernah di bahas, ia tidak suka jadi pusat perhatian, "Agar tidak terlihat terlalu mencurigakan, bagaimana kalau senpai-senpai sekalian bersembunyi di dalam kelas Yachi-senpai atau disekitar tangga?" Nagisa menawarkan.

"Oke!" jawab mereka serentak sebelum bubar dan pura-pura sibuk membersihkan lapangan dan membereskan sisa-sisa latihan mereka.

"Su-Suga-senpai!" Nagisa kaget sendiri ketika mendapati kliennya yang berambut abu itu menutupi matanya dengan sapu tangan yang basah.

"A-aku pikir anak-anakku tidak peduli dengan kisah cinta saudaranya," ia menghapus air mata yang lolos dari manik gelapnya, "Aku sangat terharu ternyata mereka masih menyimpan perhatian."

Nagisa rasa, anak-anak tim voli Karasuno bukannya 'peduli' atau 'perhatian'. Mereka hanya 'penasaran'. Tapi tentu saja sebagai seorang anak SMP yang baik, Nagisa tidak menyampaikan itu kepada kliennya.


Nagisa menunggu bersama dengan Suga-senpai diluar ruangan klub mereka, yang letaknya tidak terlalu jauh dari lapangan indoor yang dipakai untuk latihan. Lampu di dalam gedung itu masih menyala, menandakan bahwa Hinata-senpai masih latihan di dalam sana.

"Ah!" Nagisa berdiri ketika lampu dimatikan. Ia dan Suga-senpai mengendap-endap mendekati gedung. Mereka berdua berdiri menempel pada tembok pada sisi timur gedung yang lebih gelap dan terlindung dari pandangan orang yang ada.

Tampaknya yang berlatih malam itu adalah Hinata-senpai dan rekannya yang berambut hitam—Suga-senpai bilang ia adalah setter jenius yang bernama Tobio Kageyama—dan Yachi-senpai. Mereka bertiga baru keluar dari gedung. Hitana-senpai dan Kageyama-senpai sepertinya sedang membahas sesuatu yang seru namun Yachi-senpai sibuk mencari sesuatu di dalam tasnya.

"Ah, sepertinya buku catatanku ketinggalan di kelas," Yachi-senpai berkata ketika ketiganya cukup dekat dengan tempat persembunyian Nagisa dan Suga-senpai.

"Eh? Serius?" Hinata-senpai dan Kageyama-senpai saling pandang sebelum pandangan mereka tertuju pada gedung sekolah yang gelap gulita dan menelan ludah.

"A-aku butuh catatanku untuk kuis besok. Bagaimana ini?" bahkan dari sudut tempat Nagisa berdiri pun Nagisa bisa melihat air mata yang mulai menggenangi manik hazel milik Yachi-senpai. Nagisa tidak punya banyak pengalaman soal wanita yang menangis jadi Nagisa sejujurnya tidak tahu bagaimana cara mendiamkan kalau ada wanita yang menangis—kecuali menciumnya. Itu pernah manjur. Sekali—dan sepertinya kedua anak SMA itu pun tidak. Oleh karena itu, adalah hal yang logis kalau mereka berusaha mencegah air mata itu untuk keluar daripada menanggulanginya.

"A-aku," Hinata-senpai menelan ludahnya, "Aku akan menemanimu mencari catatanmu, Yachi-san!"

"Ah ya, kalau begitu aku duluan," dalam sekejap mata, Kageyama-senpai sudah menghilang dari pandangan. Wajah Hinata-senpai sangat menarik untuk dilihat karena itu adalah perpaduan dari rasa marah, kecewa, kesal, dan takut jadi satu. Kedua alisnya berkedut ke sisi yang berlawanan, seolah bingung menentukan emosi mana yang dominan. Bibirnya bergetar dan bergera-gerak namun tidak ada kata-kata yang keluar. Pipinya memerah.

Di samping Nagisa, Suga-senpai tertawa kecil, "Hi-Hinata," Yachi-senpai membuka mulutnya. Matanya semakin berkaca-kaca, "Ti-tidak apa-apa kalau Hinata mau pulang. Aku bisa sendiri kok."

"Ma-mana mungkin aku membiarkanmu sendiri kan, Yachi-san, ahahaha," Nagisa-senpai tertawa gugup. Mungkin mata Nagisa pada dasarnya memang terlatih, tapi Nagisa bisa melihat kedua tangan pemuda itu bergetar di sisinya, "A-ayo kita mulai mencari sebelum semakin malam."

Dan mereka berdua pun beranjak dari lokasi, menuju gedung yang tampaknya menyimpan misteri. Nagisa dan Suga-senpai mengikuti, sebisa mungkin tidak menimbulkan bunyi. Di samping kelas Yachi-senpai, rekan-rekan setim sudah siap menonton skenario drama romantis bikinan Nagisa yang satu ini.

Sepanjang jalan—sepertinya berusaha meredakan ketegangan dan ketakutan yang sama-sama mereka rasakan—Nagisa-senpai dan Yachi-senpai membicarakan hal-hal remeh seperti trend pakaian musim ini, harapan untuk musim depan, cita-cita mereka, makanan dan minuman yang mereka suka, rencana apa yang akan dilakukan pada akhir pekan, serta kekonyolan yang terjadi di dalam tim—yang ini di dominasi oleh cerita dari Hinata-senpai. Hingga akhirnya mereka sampai di depan pintu gedung sekolah.

Herannya, gedung sekolah tidak terkunci. Entah karena sedari awal memang tidak terkunci atau karena anggota tim yang lain masuk ke dalam sehingga pintunya dibiarkan terbuka. Namun, tampaknya Hinata-senpai dan Yachi-senpai tidak menganggap ada yang aneh karena mereka masuk saja ke dalam. Suara Hinata-senpai yang sedang menceritakan tentang ikan mas peliharaan mereka di rumah menggema di satu gedung.

"…kemudian tempura itu langsung di lahap saja! Coba bayangkan Yachi-san, seekor ikan mas melahap tempura!" Yachi-san tertawa kecil. Mereka menaiki sedang menaiki tangga. Nagisa dan Suga-senpai masih menunggu di lantai sebelumnya. Mereka kemudian mengendap-endap menaiki anak tangga.

Hanya saja, Nagisa menginjak tangga yang salah dan menimbulkan suara decitan sepatunya dan lantai yang terdengar sangat nyaring di gedung yang sepi itu. Nagisa dan Suga-senpai segera bersembunyi di balik bayang-bayang, berharap Hinata-senpai dan Yachi-senpai tidak mengecek ke arah situ, "Eh? Kau dengar itu Yachi-san?" samar-samar suara Hinata-senpai membelah keheningan.

"Em… ya….?" Yachi -senpai dengan ragunya membalas. Nagisa tidak tahu apa yang terjadi diantara mereka, tapi sepertinya mereka saling berpandangan kemudian mereka memutuskan kalau suara tadi penuh misteri dan ketakutan karena beberapa detik berikutnya terdengar teriakan 'OOOOOOOOOOOOOOOO' dan jeritan yang sangat kecewekkan yang memekakkan telinga.

"Sepertinya kita tunggu disini saja," Suga-senpai menawarkan sambil menyeringai. Sepertinya ia tidak lupa kalau part terbaiknya ada di tangga.

Tidak sampai satu menit berselang terdengar kehebohan barang jatuh dan langkah kaki yang tergesa-gesa diikuti dengan jeritan dan… mantra-mantra? Wajah Suga-senpai memerah karena menahan tawa dan Nagisa mau tidak mau terseyum juga. Ternyata anak SMA penakut juga.

Dari tempat persembunyian mereka, ia bisa melihat Hinata-senpai berlarian dengan hebohnya. Setelah ia tiba di anak tangga terakhir, ia terdiam. Rupanya ia sadar kalau Yachi-san tidak mengikutinya, "Ya-Yachi-san?" Ia kembali mendaki tangga, mencari rekannya yang satu itu.

Nagisa mendengar suara langkah kaki lainnya. Entah karena pendengaran Nagisa memang sudah terasah, tapi sekarang Nagisa bisa membedakan gender seseorang berdasarkan langkah kakinya. Kali ini, jelas langkah kaki wanita. Temponya cepat tapi cenderung di seret, "Hi-hinata," suaranya bergetar.

"Ya-Yachi-san, aku dibawah tangga. Kau—" BRAK BRUK BRAK KRIET BRUG BRUG THUG

Suga-senpai merayap lebih dekat ke lokasi kejadian, "…baik-baik saja?" persis seperti skenario Nagisa, Yachi-senpai jatuh diatas tubuh Hinata-senpai. Cahaya rembulan yang awalnya tersembunyi dibalik awan kini menerangi malam, membuat Nagisa dan Suga-senpai bisa memandangi adegan romantis dihadapannya seolah disinari rampu sorot ratusan watt.

Yachi-senpai tidak menjawab. Hinata-senpai tidak berbicara. Mereka saling tatap-tatapan.

Tangan Hinata-senpai mengelus pipi Yachi-senpai dan seperti menarik wajahnya untuk mendekat. Bibir mereka bertemu. Yah, Nagisa pernah berciuman. Kurang lebih sensasi berciuman sama untuk semua orang kan? Pasti keduanya baru menyadari betapa lembut dan manisnya bibir satu sama lain—sejujurnya Nagisa waktu itu kelewat menikmati karena bibir Kayano rasanya sangat manis.

Kemudian seolah mantra itu dicabut lagi oleh Sang Dewi, mata Yachi-senpai terbuka dan ia melepaskan diri dari Hinata-senpai secepat ia jatuh ke tubuh Hinata-senpai, "Ma-maafkan aku!" ia menutupi wajahnya dengan tangannya. Cahaya rembulan memberikan ilusi warna yang berbeda dari normalnya. Nagisa yakin wajah kedua sejoli itu berwarna merah, tapi kini kulit mereka terlihat menggelap akibat ulah Sang Dewi Malam, "A-Aku tidak tahu a-apa yang terjadi. Ma-maafkan aku!"

"Hei, Yachi-san," Hinata-senpai menarik tangan Yachi-san ketika gadis itu bangkit berdiri. Hinata-senpai sendiri masih duduk di lantai seolah ia malas bangkit lagi dan berharap Yachi-senpai jatuh ke pelukannya lagi, "Apakah menurutmu warga kota B tidak pantas untuk dicintai karena perannya yang sedikit?"

"Eh, a-apa maksudmu, Hinata?" Yachi-senpai sepertinya tidak paham kemana alur pembicaraan Hinata-senpai. Nagisa sendiri sejujurnya juga tidak paham, "Kau yang bilang sendiri kalau warga kota B itu keren karena memiliki perannya sendiri."

"Jadi, warga kota B juga pantas dicintai kan?" sorot mata Hinata-senpai melembut—yah, Nagisa sudah sering berada dalam kondisi dimana ia tidak sengaja memandangi Guru Olahraganya yang tengah menjelaskan sesuatu atau sekadar mengobrol dengan Guru Bahasa Asing mereka dengan sorot mata yang berbeda, jadi Nagisa paham konteksnya. Hinata-senpai menarik tangan Yachi-senpai. Ia duduk bersimpuh dihadapan Nagisa-senpai, "Kurasa warga kota B sudah sepantasnya jatuh cinta dengan sesama warga kota B bukan?"

Hinata-senpai kembali meletakkan tangannya di pipi Yachi-senpai, "Bagaimana menurutmu, Yachi-san?"

"Ku-kurasa warga kota B akan sangat senang kalau ia dicintai oleh warga kota B juga," dan bibir mereka kembali bertemu.

Ternyata imajinasi buku merah muda itu tidak mengecewakan juga. Suga-senpai juga sepertinya senang sekali dengan akhir kisah pasangan pilihannya—ia menahan jeritan penuh kegirangan di samping Nagisa, yang mengingatkan Nagisa ketika Kayano melihat Karasuma-sensei dan Irina-sensei sedang berduaan. Yah, Nagisa tidak memikirkan ini sebelumnya, tapi semoga saja pasangan-pasangan itu langgeng dan sukses dalam hidup mereka nantinya.

.

.

To the Next Page

.

.

Curhatan Arleinne:

Sesungguhnya kalau di Haikyuu, Aru cinta mati sama Akaashi. Tapi karena Aru berencana mengurangi kelakukan yang rada-rada jadinya gak bikin yang aneh-aneh(?) Aru suka lihat Hinata dan Yachi, biarpun gak ada hint subtle tentang mereka. Tapi masa iya ada cewek yang meleleh sama cowok yang membantu dia menjadi dirinya yang lebih baik. Kalau ada yang kayak gitu, Aru ajak kawin sih(?)

Aru gak ngikutin manga Haikyuu dan anime pun baru nonton sampe season 2 jadi semoga gak terlalu OOC banget. Disini Aru sangat suka bagian Suga-mama berinteraksi dengan mama-mama dari tim lain yang… ke-mama-an banget.

Untuk seri yang bagian Karasuno ini, niatnya ada dua. Tapi Karena Suga-mama masih ragu dan Aru pun juga ragu (haha) jadi yha… rencananya ada dua. Semoga Next Page selanjutnya masih sesuai dengan rencana *nyilang tangan*

Omong-omong sejauh ini, bagian Karasuno ini adalah Page yang paling panjang.

Ada saran, kritikan, masukan? Ada keluhan, curhatan, kisah yang ingin diungkapkan? Silakan isi kotak review-nya, Teman-Teman Sekalian. Sampai jumpa di Next Page berikutnya!