Disclaimer © Tite kubo
(Bleach bukan punya saya)
…
Dandelion
By
Ann
…
Warning : Au, Ooc, typo(s), fic ini pernah saya publish chap 1-5 dengan akun saya yang lain, tetapi belum diselesaikan. Kali ini saya republish dengan keinginan kuat untuk menyelesaikannya. Wish I can do it!
Tidak suka? Bisa klik 'Close' atau 'Back'.
and
Selamat membaca!
…
Ketika aku tak ingin mencintaimu, justru cinta itu datang kepadaku.
…
Bab I
Love at first Sign
…
"Kumohon, Izanami-san," rayu Rukia. "Coba sekali lagi ya, demi aku?"
"Tapi sekarang aku sudah kehabisan napas," ujar lansia itu dengan napas tersengal. "Aku tidak sanggup menghembus ke alat itu."
Rukia memegang spirometri–alat untuk mengukur seberapa besar paru-paru bisa mengembang–seraya tersenyum. "Ambil napas dalam-dalam lalu tiuplah dengan keras ke alat ini, seperti ini…" ia mendemonstrasikan caranya dengan singkat dan mengganti lubang tiupnya. "Sekarang, tolong dicoba lagi."
"Tapi kenapa?" Saya Izanami mengambil alat itu dari tangan Rukia dan memandanginya dengan sorot bimbang. "Aku tidak mengerti kenapa aku harus meniup alat ini?"
Rukia tersenyum. "Alat mungil ini membantu kita menilai seberapa baik kerja paru-paru anda." Ia menjelaskan dengan sabar, sikapnya sama sekali tak memperlihatkan bahwa ini sudah keempat kalinya ia menjelaskan hal yang sama kepada wanita lansia itu.
"Oh." Izanami tampak terkejut. "Kenapa kau tidak bilang sejak tadi?"
Rukia menyunggingkan senyum sembari melepas tutup bolpoinnya, bersiap mencatat hasilnya. "Tiuplah kuat-kuat, begitu anda siap, Izanami-san."
Pintu di belakang Izanami terbuka. Rukia menoleh dan melihat Isshin Kurosaki, seorang dokter senior, berdiri menjulang di ambang pintu. Berambut hitam yang ditata dengan model spike, sangat enerjik dan pribadi yang menyenangkan, meski terkadang bertingkah konyol. Pria itu mengamati Izanami dan diam-diam mengacungkan kedua jempolnya. Rukia tersenyum kepada pria itu, kemudian kembali memerhatikan Izanami dan mencatat skala yang tertera pada spirometri.
"Bagus sekali, Isanami-san," pujinya. "Sekarang, tiup dua kali lagi. Saya membutuhkan tiga skala tertinggi."
"Tiga?" Izanami menatap ngeri dan menoleh ke arah Isshin sembari tersenyum lemah. "Perawat barumu ini benar-benar kejam, Kurosaki."
Isshin menyeringai. "Dia memang kejam. Bahkan bukan hanya pada anda tapi pada kami semua. Dia menyiksa kami tanpa belas kasih. Jika aku jadi kau, Izanami-san. Aku akan menuruti semua yang Rukia-chan katakan."
Izanami pura-pura mendesah lalu meniup kuat-kuat ke alat itu dua kali.
"Terima kasih, Izanami-san. Hasilnya sangat bagus." Setelah menyelesaikan catatannya Rukia bangkit dan menyerahkan catatan itu kepada Isshin.
"Yang dia katakan benar. Hasil ini memang bagus. Kurasa untuk sementara kita akan melanjutkan pengobatan yang sudah ada, tidak perlu ada kenaikan dosis obat untuk anda. Tapi jangan lupa, anda harus tetap menggunakan inhaler*."
"Aku benar-benar tidak mengerti kenapa aku harus memakai alat itu. Aku merasa sehat."
"Anda menderita asma, Izanami-san. anda merasa sehat karena anda selalu memakai inhaler anda," papar Rukia, dan wanita itu pun mendesah.
"Aku akan memakainya sekali sehari," ujar Izanami tegas seraya memungut tasnya dan menyampirkannya di bahu. "Kemudian satu kali lagi jika aku merasa ada sesuatu yang tidak beres."
Rukia mengantar wanita lansia itu keluar lalu kembali ke dalam ruang periksa dan terkejut saat menemukan Isshin masih ada di ruangan itu.
"Izanami-san baik-baik saja kan, dokter Kurosaki?" tanyanya. Ia khawatir jika keberadaan Isshin di ruangan itu karena berhubungan dengan kondisi pasiennya.
"Sangat sehat. Kau perawat ajaib, Rukia-chan. Aku tidak akan pernah bisa membujuknya meniup ke alat yang disebutnya alat peledak itu, bahkan Masaki pun tak bisa."
Rukia tersenyum singkat, tersipu oleh pujian itu. "Itu hanya karena saya punya lebih banyak waktu dari anda untuk membujuknya, dokter Kurosaki."
Isshin membentuk kedua lengannya menjadi huruf 'X' di depan dada. "Tidak, bukan itu masalahnya. Semua ini karena kau. Kau punya sentuhan khusus. Kau bahkan bisa menaklukkan si penyembur api."
"Penyembur api?" Rukia mengangkat alis.
"Itu julukan yang diberikan perawat-perawat lain untuk Saya Izanami."
Rukia tertawa kecil. "Ada-ada saja, Izanami-santak semengerikan itu kok," ujarnya sambil melepas lubang tiup di spirometri dan membuangnya ke tempat sampah, lalu dengan hati-hati meletakkan kembali alat itu ke dalam nampan peralatan asma.
"Kau membuatnya tak lagi mengerikan," ujar Isshin pelan.
Rukia hanya mengangkat bahu mendengar pujian itu.
"Sebenarnya aku ingin menanyakan keadaanmu."
Rukia tersenyum penuh rasa terima kasih ke arahnya. "Aku baik-baik saja."
"Baik?" sebelah alis Isshin terangkat. "Jawaban itu tidak cukup, Nak. Kau harus memberitahuku bagaimana perasaanmu, apa kau menjalani hari-harimu dengan baik?"
Rukia memandangi pria yang sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri itu, menimbang jawaban apa yang akan ia berikan pada pria itu. Ia jelas-jelas tak bisa menceritakan yang sebenarnya pada Isshin. Bahwa jauh di dalam dirinya ia terluka begitu parah sehingga hampir membuatnya tak mampu bernapas. Bahwa ia kesepian, sedih dan kadang-kadang rasa takut menghadapi masa depannya terasa begitu intens, serasa mencekiknya.
Ia merasa begitu sepanjang tahun, sejak–
Sembari mendesah Rukia melenyapkan kenangan itu. Sudah sejak lama ia membuat peraturan bagi dirinya untuk tidak memikirkan masalahnya selagi bekerja, tetapi jika seorang senior menanyakan keadaan dirinya berarti ia tidak terlalu berhasil menyembunyikan perasaannya.
Atau ada hal lain yang lebih penting…
"Apakah ada sesuatu yang tidak beres?" tanyanya panik. "Aku tahu, aku meminta terlalu banyak. Aku tidak bisa bekerja tiga shift seperti perawat lain, tapi–"
"Rukia," sela Isshin. "Aku mengerti keadaanmu dan meskipun kau hanya bekerja satu shift, kau melakukannya dengan sangat baik. Kau sangat berdedikasi dengan tugasmu. Ini tidak ada kaitannya dengan pekerjaan. Keingintahuanku seratus persen bersifat pribadi. Kami, aku dan Masaki juga Karin dan Yuzu, mengkhawatirkanmu."
Isshin mengamati Rukia lalu pria itu mendekat untuk bisa lebih jelas melihat lingkaran hitam yang menghias bagian bawah kedua mata wanita itu. "Kau kurang tidur, Rukia-chan." Ia nampak tidak senang.
Rukia membuka mulut hendak membantah tapi urung karena ia sadar itu akan sia-sia sebab ia berhadapan dengan seorang dokter.
"Kadang-kadang." Akhirnya ia memberi jawaban diplomatis. "Aku baik-baik saja, sungguh, aku suka berada di sini."
Itu jawaban yang jujur, ia memang menyukai tempat itu. Pindah ke Karakura adalah hal terbaik yang pernah terjadi padanya setelah sekian lama.
"Kau bisa meminta bantuanku jika kau punya kesulitan. Kau hanya perlu memintanya, Rukia-chan. Kau tahu kan, kau sudah kuanggap anakku sendiri?"
"Terima kasih," ucap Rukia. "Tapi sekarang aku tidak memerlukan bantuan apa-apa."
Kau berbohong!
Suara itu menggema di kepala Rukia. Ya, ia memang berbohong. Tapi adakah gunanya jika ia berterus terang? Ia hanya akan membuat keluarga Kurosaki yang baik itu khawatir.
"Baiklah, kalau begitu menurutmu. Aku tidak akan memaksamu." Isshin menyerah. Rukia mendesah lega. "Tapi aku ingin tahu bagaimana pendapatmu tentang apartemen yang kau tinggali?"
"Sempurna," jawab Rukia cepat. Ia memang sangat menyukai apartemen yang dipinjamkan padanya itu. Setelah tinggal di apartemen sempit dan lembab di pinggiran Soul Society, sebuah apartemen luas dan sejuk dengan pemandangan menghadap pegunungan bagaikan sebuah impian yang menjadi kenyataan.
"Kau begitu suka dengan tempat itu sampai-sampai kau tidak mau keluar setelah masuk ke dalamnya?"
"Aku keluar untuk bekerja," jawab Rukia.
"Bukan itu yang kumaksud."
Rukia tahu apa yang dimaksud Isshin dari semula, ia hanya mencoba mengelak.
"Aku tahu apa yang anda maksud, dokter Kurosaki. Hanya saja untuk saat ini, saya tidak tertarik untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis."
Ia tak bisa membayangkan memulai hubungan baru dengan pria baru. Lukanya masih menganga dan berdarah.
Isshin mengangguk pelan. "Cobalah, Rukia-chan. Tak ada salahnya pergi keluar dan bersosialisasi. Kau perlu berkenalan dengan orang baru dan memulai hubungan baru."
Benarkah?
Caranya?
Rukia tidak mempunyai pengalaman memulai sebuah hubungan asmara. Ia mengenal Renji sejak ia berusia enam tahun dan selalu beranggapan suatu hari mereka akan menikah. Ia tak pernah membayangkan bahwa cinta mereka takkan berlangsung selamanya.
Seluruh konsep tentang pergi keluar, mengenal pria baru dan memulai hubungan, benar-benar asing baginya.
"Kau harus berkunjung ke rumah, Rukia-chan. Masaki selalu menanyakanmu."
Rukia tersenyum lembut. "Kalian sangat baik padaku, memberiku pekerjaan, tempat tinggal gratis dan sangat memerhatikanku, aku tak tahu bagaimana membalas jasa kalian."
Isshin menepuk sayang puncak kepala Rukia. "Jangan pikirkan tentang membalas jasa, kau adalah putri kami, ingat saja tentang hal itu."
Rukia berkutat dengan seragamnya. "Kalian terlalu murah hati."
"Sekali-sekali datanglah ke rumah, bawa Nao juga. Yuzu kangen sekali padanya." Rukia mengangguk sementara Isshin melangkah menuju pintu. Namun, sebelum keluar pria itu berhenti lagi.
"Oh ya, putra sulungku akan datang hari ini," ujarnya.
"Dia tentu akan menjadi bantuan besar untuk klinik ini," kata Rukia.
Isshin melambai-lambaikan tangannya dengan cepat. "Firasatku mengatakan dia akan menggeser posisiku di klinik ini," bisiknya.
Rukia tertawa. Ia tahu Isshin hanya berpura-pura, dari apa yang Rukia dengar Isshin sangat membanggakan putra sulungnya yang juga seorang dokter itu. "Bukankah dia memang akan menjadi pewarismu?"
"Aku belum terlalu tua untuk mundur dari posisiku sekarang, aku tidak akan menyerahkan posisiku pada pemuda bau kencur itu." Isshin berkata dengan penuh keyakinan. "Kurasa aku harus mempersiapkan senjata tempurku sebelum dia datang." Setelah mengatakan hal itu Isshin bergegas pergi.
Selepas kepergian Isshin, Rukia meraih mantelnya dan memasang pakaian berwarna cokelat itu di tubuhnya. Ia lalu mengambil sebuah tas besar yang berisi alat-alat pemeriksaan standar. Ia akan pergi untuk mengunjungi salah satu pasien klinik, Rin Kusaragi, seorang lansia berusia 72 tahun yang sebulan lalu kehilangan suaminya yang meninggal karena serangan jantung.
Bagaimana aku menghibur wanita malang itu?
Ia memikirkan hal itu sembari berjalan menyusuri trotoar. Perlu waktu lima menit untuk sampai di halte bus. Rukia beruntung karena sesampainya di halte sudah ada bus yang menanti jadi ia tak perlu menunggu. Segera ia masuk ke dalam bus dan menuju kursi bagian belakang. Ia selalu suka duduk di bagian itu. Penumpang bus pagi itu sepi, hanya seorang pemuda, seorang ibu dan anaknya. Bus mulai melaju di jalanan yang agak licin sebab salju sudah mulai turun. Namun setelah sepuluh menit melaju, tiba-tiba sang sopir menginjak rem secara mendadak. Membuat kepala Rukia hampir saja terantuk kursi di depannya.
"Apa yang terjadi?" Ia segera bangkit dan menghampiri sopir bus.
"Ada kecelakaan," sang sopir menjawab.
Rukia berpegangan pada sandaran kursi yang berada paling dekat dengan dirinya. Badannya mulai gemetaran saat melihat rongsokan sebuah mobil yang sudah penyok menempel di sebuah pohon. Lalu ia melihat sebuah sepeda motor.
Dengan debar jantung yang tak menentu ia membuka pintu bus dan turun. Segera berlari menuju mobil yang mengalami kecelakaan itu. Bagian depan mobil itu terkoyak parah, dan di sebelahnya tergeletak tumpukan logam ringsek yang tadinya berbentuk sepeda motor. Rukia gemetar melihat semua itu sembari mencari-cari sosok pengendaranya. Berdoa dalam hati agar pengemudi sepeda motor itu selamat.
Akhirnya ia menemukan tubuh yang terbujur diam beberapa meter dari rongsokan sepeda motor. Kepanikan yang ia rasakan membuat otaknya beku dan untuk beberapa detik yang berharga ia hanya berdiri mematung, tak mampu bergerak sedikitpun. Tapi kemudian hawa dingin menyusup ke dalam mantelnya, membuat kesadarannya kembali.
"Apa yang–"
Rukia menoleh dan menemukan sopir bus dan penumpang bus lainnya berdiri di belakangnya. Mereka nampak sepucat dirinya menyaksikan kejadian itu.
Menyadari bahwa prioritas utama adalah memanggil bantuan. Rukia mendekati penumpang bus yang paling muda, seorang pemuda berusia akhir belasan.
"Kami membutuhkan bantuan secepatnya. Ambil napas dalam-dalam," perintahnya tegas, berharap ia terdengar lebih menguasai keadaan daripada yang ia rasakan sebenarnya. "Aku perawat dan akan mengurus korban kecelakaan, tapi aku meminta kau menelpon ambulans. Kau bisa melakukan itu? beritahukan mereka lokasi kita dan katakan bahwa terjadi kecelakaan antara sebuah mobil dan sepeda motor."
Pemuda itu mengangguk dan Rukia meremas bahunya.
"Bagus. Kalau begitu, cepatlah…"
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya sang sopir panik.
"Bisakah kau melihat apakah ada orang di dalam mobil sementara aku memeriksa pengendara sepeda motor itu?" ujar Rukia. Sopir itu mengangguk dan mengikuti apa yang Rukia katakan.
Rukia segera menghampiri sosok kaku pengendara motor. Dengan jantung berdegup kencang ia menginjakkan kaki ke rumput yang mulai membeku dan berjongkok di samping tubuh pengendara motor, berusaha meredam kepanikan yang meletup-letup dalam dirinya. Sudah lama sekali ia tidak melakukan pertolongan pertama dan itu pun ia lakukan di pelatihan. Tetapi aku tahu prinsip dasarnya, ujarnya dalam hati. Prinsip ABC.**Jalan udara atau jalan napas ( Airway), pernapasan (Breathing), dan denyut nadi (Circulation).
Rasa dingin yang merambat dari tanah membuat lutunya kebas, tapi Rukia tak memiliki waktu untuk memedulikan hal itu.
"Ambulans sedang dalam perjalanan kemari." Pemuda yang tadi ia suruh menghubungi ambulan kini berada di sebelahnya. "Sini, biar kubantu kau membuka helmnya."
"Jangan!" seru Rukia seraya mengulurkan tangan berusaha menghentikan pemuda itu agar tidak menyentuh si pengendara motor. Tanpa sengaja, nada suaranya terdengar sangat tajam. "Kau jangan sekali-sekali membuka helm kecuali jika ada masalah pernapasan. Helm itu menopang kepalanya jadi kalau kita melepasnya…"
Aku benar-benar tak memenuhi syarat menolong orang ini. Aku cuma perawat klinik bukan paramedis.
Rukia segera membuang jauh pemikiran itu dan fokus untuk memeriksa jalan napas orang itu.
Ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke tubuh pengendara motor, dan tepat saat itu pengendara motor itu mengerang dan menggumamkan sesuatu.
Rukia menghembuskan napas panjang. Orang itu bisa bicara. Pasti itu merupakan pertanda baik, ya kan?
"Bisakah kau memberitahuku di mana yang sakit?"
Rukia ngeri mendengar pertanyaannya sendiri. Tolol sekali ia melontarkan pertanyaan seperti itu kepada seseorang yang baru saja terlempar dari sepeda motor.
"Kaki…"
Rukia menelusurkan pandangannya ke sepanjang kaki pria itu dan melihat luka sobek mengerikan di bawah bahan kulit dan banyak sekali darah yang mengumpul di situ. Ia melepaskan kaus tangan dan menghujamkannya ke saku, lalu jemarinya menyibakkan bahan kulit itu sehingga bisa memeriksa luka itu dengan lebih seksama.
Darah memuncrat keluar.
"Oh tidak!" Ia menekan kaki pria itu kuat-kuat dan menoleh ke pemuda di sebelahnya, menyadari bahwa wajah pemuda itu mulai sedikit memucat. Ia juga mersa mual. Ia sama sekali belum pernah melihat luka sobek separah ini. Meski dengan perlindungan celana kulit, paha pria itu robek parah, mungkin akibat ia terlempar melewati aspal. "Tolong ambilkan tasku di dalam bus." Ia mengawasi sementara pemuda itu kembali ke bus.
Sang pengendara motor mencoba bergerak lagi dan berusaha bergerak.
"Tolong jangan bergerak," ujar Rukia dengan nada mendesak, berharap ia bisa menggenggam tangan pria itu untuk menenangkannya. Sayang sekali kedua tangannya sibuk membendung darah yang mengalir keluar dari luka pengendara motor itu. "Kau akan baik-baik saja. Aku perawat dan ambulans dalam perjalanan kemari. Semuanya akan baik-baik saja…" Ia mengucapkan kata-kata itu juga untuk menenangkan dirinya.
"Ini tasmu." Pemuda itu sudah kembali ke sebelahnya dan menatapnya penuh harap. Mungkin pemuda itu pikir Rukia bisa menyelamatkan pengendara motor itu. Semoga saja harapan pemuda itu terkabul karena Rukia sendiri tak tahu apakah ia sanggup melakukannya.
Merasa tertekan karena semua orang tergantung padanya. Rukia menoleh ke arah jalan, berdoa sepenuh hati bahwa ambulans akan segera tiba, tetapi tidak ada apa-apa yang terjadi bahkan tak ada pengendara mobil yang melewati jalan itu, hanya ada kebisuan musim dingin yang membuat bulu kuduk berdiri.
Yang berarti hidup si pengendara motor itu tergantung padanya dan isi tas perawatannya yang sangat terbatas. Andai ia punya semacam bubuk ajaib atau sebotol air kesembuhan yang bisa menyelamatkan nyawa seseorang dalam hitungan detik, pasti akan sangat membantu. Tapi ini bukan cerita dongeng yang seriang ia bacakan untuk Nao. Ini kehidupan nyata. Kecelakaan dan darah yang mengalir di sela-sela jemarinya kini adalah nyata.
"Di dalam kantong samping tas itu ada beberapa pembalut steril," perintahnya bahwa di balik helmnya pengendara motor itu semakin pucat. Dia kehilangan banyak darah dan membutuhkan cairan dengan segera.
Ia sama sekali belum pernah berada dalam situasi semacam ini. Dan membutuhkan lebih dari sekedar pembalut steril.
Di mana sih ambulans itu?
Dengan jantung yang masih berdebar cepat Rukia merenggut pembalut steril itu dari tangan si pemuda dan menekankannya di atas luka si pengendara motor.
"Di situ ada perban juga," gumamnya. Ia harus membendung perdarahan itu. Dari sudut matanya ia melihat sopir bus itu sudah dapat mengeluarkan si pengendara mobil dari mobil yang ringsek itu. Pengendara mobil itu sadar dan bisa berjalan, sepertinya keadaannya lebih baik dari si pengendara motor.
"Kau butuh bantuan?"
Sebuah suara dalam dari balik punggung Rukia membuatnya menoleh ke belakang, mengerjap saat melihat aura maskulin seorang pria yang berdiri di depannya. Setelan kulit hitam mencetak rangka bahu berotot dan kaki jenjang yang kokoh. Seorang pengendara motor lagi?
Pria itu menarik lepas helmnya, memperlihatkan rambut sewarna matahari di sore hari berpotongan pendek dan sepasang mata berwarna cokelat madu yang menganalisa situasi dalam sekejap. Pria itu lalu duduk dengan bertumpu pada satu lutut dan wajahnya berada cukup dekat dengan Rukia dan rasanya ia ingin segera pergi dari tempat itu. Ada sesuatu dalam diri pria itu yang menyalakan peringatan tanda bahaya di benak Rukia.
"Apa kau melihat kejadiannya?" Nada tajam dalam suara pria itu membuat pikiran Rukia kembali ke situasi yang tengah ia hadapi dan ia menggeleng.
"Tidak. Tapi dari kerusakan bagian depan mobil bisa kutebak kalau mobil itu telah menabrak pengendara motor ini." Ia berusaha menghentikan gemeretuk giginya. "Jalannya memang sangat licin."
Mata coklat madu yang teduh itu mengalihkan pandangannya ke mobil, mimik pria itu tampak serius. "Ada berapa orang dalam mobil?"
"Satu dan sudah dikeluarkan oleh sopir bus."
"Kau sudah memeriksa keadaannya?"
"Belum," Rukia menjawab tanpa mempertanyakan perintah penuh wibawa pria itu. "Tapi kulihat ia sadar dan dapat berjalan meski dengan dipapah, kupikir orang ini lebih memerlukan bantuan." Semoga aku melakukan hal yang benar, doanya dalam hati.
"Orang ini menderita luka sobek parah di pahanya dan perdarahan berasal dari pembuluh arterinya. Lihat…" ia memandang tak berdaya ke arah perban di bawah jemarinya, yang sekarang sudah mulai basah kuyup penuh darah. "Apa yang harus kita lakukan?"
"Kau terus menahan luka itu sementara aku mengangkat kakinya…" Pria itu lalu menjejalkan sesuatu ke bawah kaki yang terluka dan sekilas memeriksa pengendara motor itu dengan keterampilan dan rasa percaya diri yang membuat Rukia sangat yakin dengan profesi pria itu.
"Kau dokter," gumam Rukia dengan lega, dan pria itu tersenyum singkat.
"Benar sekali." Tatapan pria itu kembali tertuju pada orang yang terluka. "Dia memerlukan cairan secepatnya. Sudah berapa lama kau tadi menelepon ambulans?"
Rukia menggigit bibir. "Sekitar lima menit, tadi kami langsung menelepon ambulans."
"Terus tekan lukanya. Aku akan memeriksa korban lain," ujar pria itu dan Rukia mengangguk mengiyakan. "Tenanglah, kau melakukannya dengan sangat baik." Pria itu sempat berkata sebelum ia berlari menghampiri si pengendara mobil yang sudah di baringkan di atas rumput oleh si sopir bus.
Rukia bertanya-tanya seperti apa rasanya memiliki kepercayaan diri sebesar itu. Pria itu nampak tidak senewen berada di tengah kondisi darurat yang sedang mereka hadapi.
Nyaring sirine ambulans membuat Rukia menoleh ke arah jalan. Mobil berwarna kuning dengan garis merah itu berhenti di bahu jalan, dua paramedis berlari keluar. Salah satunya menyeringai pada sang dokter.
"Ichigo? Kukira kau sudah berhenti dari unit gawat darurat."
"Kupikir juga begitu. Tapi sepertinya yang di atas punya rencana lain," sahut sang dokter. "Pengendara motor itu harus segera diinfus, Kira. Dia juga perlu masker oksigen." Paramedis bernama Kira itu mengangguk. "Dia prioritas utama kita. Untuk korban lainnya, kita perlu membawanya ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut, dia mengalami luka di bagian kepala."
Rukia menarik tangannya dan membiarkan Kira dan dokter bernama Ichigo itu mengambil alih tugasnya. Karena korban sudah tertangani dengan baik Rukia memutuskan menjauh guna mencari air untuk membasuh tangannya yang berlumuran darah. Sopir bus memberinya sebotol air untuk membasuh tangannya. Ia menggumamkan terima kasih sembari membasuh tangannya. Lalu ia berjalan mendekati si pengendara mobil yang tengah ditangani oleh paramedis lain.
"Bagaimana keadaannya?" ia bertanya.
"Tidak terlalu buruk. Hanya luka benturan di kepala dan luka di bagian kaki," paramedis itu menjawab. "Bisa kau bantu aku menaikkannya ke ambulans?" Rukia mengangguk dan membantuk paramedis itu memapah sang pengemudi mobil itu menuju ambulans.
"Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa begitu tenang. Aku tadi benar-benar panik sebelum dia muncul."
"Begitulah jika kau adalah dokter gawat darurat," paramedis itu menjawab.
Dokter gawat darurat? Itu menjelaskan kepercayaan diri yang dimiliki pria itu.
"Jadi, itu sebabnya dia tidak senewen."
Paramedis itu tertawa pendek sambil mendudukkan korban di dalam ambulans. "Jujur saja, aku belum pernah melihat dia senewen gara-gara apapun. Kami biasa memanggilnya Mr. Cool. Satu hal yang pasti, seandainya aku mengalami kecelakaan dan melihatnya berdiri di dekatku, aku tahu aku akan baik-baik saja. Kalau menurutku dia dokter yang sangat brilian, sayangnya dia sudah berhenti."
"Berhenti? Kenapa?"
"Dia ingin berganti suasana. Kurasa, karena para wartawan itu terlalu mengganggunya. Omong-omong, terima kasih banyak atas bantuanmu."
Rukia memandang lekat-lekat paramedis yang menyeringai ramah padanya dan berjalan kembali ke bus.
Di belakangnya terdengar deru ambulans menjauh dengan bunyi sirine yang mengaung-ngaung. Ia terbelalak saat menyadari betapa cepat kerja mereka.
"Kurasa kita sudah bisa melanjutkan perjalanan sekarang."
Suara sopir bus menyadarkan Rukia, membuat wanita itu bergegas bergerak mendekati bus.
"Kau melupakan ini."
Ia menarik kembali sebelah kakinya yang sudah menapak di bus. Memutar tubuhnya, membuat dirinya berhadapan dengan dokter berambut jingga itu. "Terima kasih," ucapnya sambil mengambil tas yang disodorkan pria itu padanya.
"Aku benar-benar senang kau turut membantu," aku Rukia. "Aku tidak terbiasa menangani kecelakaan di jalan. Aku tadi benar-benar merasa tak berdaya. Semoga saja aku tidak melakukan kesalahan. Aku tidak pernah sepanik ini sepanjang hidupku. Aku beruntung kau datang disaat aku hampir putus asa."
Ichigo tersenyum dan menatap Rukia dengan tatapan yang intens dan mengusik. "Aku mulai berpendapat jika hari ini hari keberuntunganku juga," sahutnya pelan, dan Rukia merasa pipinya menghangat.
Apa pria ini menggodaku?
Sudah lama tidak ada pria yang menggodanya sehingga ia tidak tahu bagaimana harus menanggapi hal itu, lalu dengan tergesa ia menaiki bus, merasa kikuk, dan konyolnya, malu-malu.
"Sebaiknya aku pergi. Sekali lagi terima kasih atas bantuanmu."
"Tidak bisakah kau memberiku sebuah nama?" tanya pria itu.
"Kenapa?"
"Karena aku ingin mengenalmu," jawab Ichigo terus terang.
"Tapi…"
"Ayolah, Cantik," ujar Ichigo. "Beritahu aku namamu atau besok kau akan menemukan sketsamu tersebar di seluruh kota."
Mata Rukia membelalak. "Kau mengancamku?"
Ichig hanya mengangkat bahu tak acuh.
"Beritahu saja dia, Nona. Pria itu tidak terlihat seperti orang jahat." Sopir bus ikut buka suara.
Ichigo tersenyum berterima kasih pada pria lebih tua itu.
"Namaku Rukia, Rukia Kuchiki," kata Rukia diikuti bunyi klakson bus dan deru mesin angkutan berwarna oranye itu.
…
Bersambung…
…
Inhaler*: alat berisi obat dengan dosis tertentu untuk penderita asma.
Prinsip ABC**: merupakan prinsip dasar yang diterapkan saat melakukan pertolongan pertama pada korban kecelakaan.
...
Hola~ Here I came again. *sekarang saya sok bule*
Mungkin sebagian dari kalian sudah pernah membaca fic ini. Tentunya begitu karena dulu fic ini memang sudah pernah saya publish. *pake akun lain sih*
Fic ini sebenarnya sudah dipublish sampai chap 5, awalnya sih mikir ga mau ngelanjutin fic ini, tapi setelah baca ulang kok rasanya sayang kalo ga dilanjut. Yah, jadinya gini dah, diulang dari chap awal. Hehehe... Moga kali ini fic ini bisa diselesaikan sampai tamat. Amin...
Makasih sudah baca fic ini, dan maaf jika ada kekurangan. *psstt... ga boleh protes kurang panjang loh. Kan dari dulu saya emang sukanya bikin yang pendek bukannya yang panjang2*
See ya,
Ann *-*
