Kelahiran seorang anak dalam bahtera rumah tangga akan menjadi salah satu pembawa kebahagiaan tersendiri bagi anggotanya. Bahkan mungkin kelahiran anak itu juga akan membawa kebahagiaan bagi orang lain. Setiap kelahiran anak akan disambut dengan suka cita. Apapun jenis kelaminnya, warna rambutnya, dan apapun keadaannya.

.

.

.

Suara langkah kaki terus bergema di lorong rumah sakit tengah malam itu. Seorang pria dengan mata sebiru samudra yang menciptakan suara itu terlihat harap-harap cemas menanti. Ia adalah seorang hokage, ia adalah seorang pria yang kuat, pria yang mampu melindungi tidak hanya keluarga kecilnya, namun juga melindungi semua warga desanya. Namun kabar dari seorang anbu yang mengatakan bahwa istrinya sedang terkapar kesakitan di rumah sakit, membuyarkan konsentrasi kerjanya dan memaksanya untuk meninggalkan pekerjaannya untuk menemani sang istri di rumah sakit.

Pria itu sadar betul tentang keadaan sang istri yang tengah hamil tua. Akhir-akhir ini pun ia sudah mempersiapkan diri baik fisik maupun mental untuk menghadapi situasi seperti ini. Namun sebesar apapun ia mempersiapkan diri, ia tetap tidak bisa menghadapinya. Padahal ini adalah kali kedua ia mengalami hal semacam ini setelah kelahiran anak pertamanya empat tahun yang lalu.

"Naruto," panggil seorang lelaki di ujung lorong yang sedang menggandeng anak laki-laki.

Naruto sangat mengenal siapa lelaki itu. Ia adalah kakak iparnya, Hyuuga Neji. Namun yang membuatnya bertanya-tanya bukanlah kedatangan pria itu, melainkan sosok kecil yang ada disebelahnya.

"Minato?" ucap Naruto seraya menghampiri lelaki yang memanggilnya tadi. "Kenapa belum tidur?"

"Aku kangen kaa-chan."

Dengan menghela napas pelan, Naruto membungkukkan badannya untuk menyamai tinggi sang anak. "Kaa-chan sedang berjuang sekarang. Kau tidak boleh mengganggunya."

"Tapi aku kangen kaa-chan," ulang anak lelaki itu seraya memeluk leher sang ayah. Minato- nama anak lelaki itu- terisak dalam dekapan ayahnya. Tangan Naruto terulur untuk membelai rambut pirang anaknya itu. Dengan sekali gerakan, ia menggendong tubuh anaknya dan berdiri untuk menatap Neji.

"Apa tadi dia terbangun secara tiba-tiba?" tanya Naruto.

"Ya. Tenten sudah mencoba untuk menenangkannya, tapi dia terus saja menangis dan memanggilmu," jawab Neji tenang. "Bagaimana dengan Hinata-sama?"

"Aku tidak tahu. Dari tadi Sakura belum keluar dari ruangan."

Tepat setelah Naruto mengatakan kalimat terakhirnya, terdengar pintu ruangan yang sedang dibuka. Naruto secara reflek memutar tubuhnya ke arah datangnya suara.

"Naruto, anakmu selamat," seru wanita yang baru saja keluar dari ruangan itu yang tidak lain adalah sahabat Naruto sendiri.

Naruto segera menghampiri Sakura yang masih berdiri di depan pintu ruangan persalinan. Walaupun peluh membasahi wajah serta leher wanita berambut merah muda itu, mata hijau serta senyum yang masih mengambang di bibirnya menandakan sekali kalau ia sangat bahagia atas kelahiran anak ke dua dari sahabatnya.

"Benarkah? Bagaimana dengan Hinata? Apa dia juga selamat?" Naruto tak sanggup untuk menyembunyikan segala rasa khawatir yang ia rasakan sebelumnya.

"Lebih baik kau melihat keadaannya sendiri," ucap Sakura riang seraya menarik tangan Naruto untuk masuk ke dalam ruangan persalinan. "Kau juga harus melihat keponakan barumu, Neji-san."

Neji segera menyusul Naruto untuk masuk ke dalam ruangan persalinan. Walaupun wajahnya terlihat datar seperti biasanya, mata keperakan milik Neji menunjukkan sekali kalau ia juga turut bahagia atas kehadiran anggota baru dalam rumah tangga adik sepupunya.

"Hinata," panggil Naruto lirih seraya menggenggam tangan istrinya yang terkulai lemas.

Secara perlahan, Hinata membuka matanya. Matanya yang sewarna dengan Neji hanya terbuka setengah. Terlihat sekali jika wanita itu sangat kelelahan. "Naruto-kun...," sahutnya tak kalah lirih dari Naruto. Matanya segera beralih ke anak sulungnya yang masih dalam gendongan suaminya. "Minato-kun. Kenapa kesini, sayang?"

Minato yang sedari tadi terisak di pelukan ayahnya, langsung menghambur ke ibunya yang masih tergolek lemas begitu ibunya memanggil namanya.

"Dia mengkhawatirkanmu, Hinata."

Hinata hanya tersenyum. Dibelainya dengan sayang rambut anak sulungnya. "Adikmu mirip denganmu, Minato-kun."

Naruto seperti tersentak mendengar perkataan Hinata. "Bagaimana dengan anak kita, Hinata?"

Masih dengan senyum lemah yang mengambang di bibir mungilnya, Hinata berbalik menatap suaminya. "Anak kita laki-laki. Lagi-lagi rambut anak kita mirip denganmu, Naruto-kun."

"Benarkah?"

"Harusnya kau melihatnya sendiri, Naruto." Kali ini Neji yang menyahuti pertanyaan Naruto.

Naruto dengan segera memandang Neji, namun mata keperakan pria yang kini menjadi kakak iparnya itu memandang arah lain. Dan tanpa aba-aba lagi, Naruto mengikuti arah pandang Neji.

Tepat berdiri di sana, Sakura berjalan mendekat seraya menggendong seorang bayi yang dibalut dengan selimut tebal berwarna biru. Bayi dengan rambut pirang yang menyembul dari balik selimut itu terlihat damai dalam tidurnya.

"Rambutnya memang sama denganmu, Naruto." Sakura meletakkan makhluk kecil itu dengan sangat hati-hati di samping ibunya. "Tapi wajahnya lebih mirip Hinata."

Hinata tersenyum memperhatikan buah hatinya yang masih terlelap. Tangannya yang masih terasa lemas membelai pelan pipi gembil anak bungsunya. Disampingnya, Naruto juga tak berusaha untuk menutupi rasa bahagianya dengan senyuman yang berkembang lebar di bibirnya.

"Siapa namanya?" tanya Naruto seraya meremas pelan tangan istrinya.

Sebutir air mata jatuh dari mata perak Hinata. Ia sungguh bahagia saat ini. Segala rasa lelah dan sakit yang tadi ia rasakan terasa sirna ketika melihat wajah damai buah hati keduanya."Kou. Uzumaki Kou," ucap Hinata lirih.

"Hai, Kou," ucap Minato lugu seolah ingin menyambut kelahiran adik laki-lakinya. Tangan mungilnya mengusap pipi adiknya dengan sedikit kasar hingga membuat mata bayi laki-laki yang sedari tadi terpejam, menjadi terbuka dan menampakkan warna bola mata yang mirip dengan sang ayah.

Tidak perlu menunggu waktu lama lagi sampai terdengar suara tangisan yang pecah dari bibir mungil bayi laki-laki itu. Minato yang merasa menjadi pelaku utama penyebab adiknya menangis, dengan segera menarik telapak tangannya yang menempel di pipi adiknya. Mata birunya dengan bingung menatap kedua orang tuanya secara bergantian, mencoba memberi penjelasan bahwa ia sama sekali tidak sengaja membangunkan adiknya. Namun hal yang terjadi selanjutnya lebih membuatnya bingung. Karena hal yang terjadi berikutnya adalah kekehan geli yang keluar dari mulut orang dewasa yang ada di sana.

OUR SON

NaruHina's fic by Mrs. Bastian

Naruto © Kishimoto Mashashi

.

.

.

Waktu yang terus berputar, tanpa terasa telah mengubah segalanya. Kehidupan yang terus berlangsung, mau tidak mau telah mengubah pertumbuhan fisik maupun pola pikir semua orang. Setiap manusia yang bertambah tumbuh, pastilah harus berkembang menjadi pribadi yang lebih kuat dan dewasa dari sebelumnya.

Tak terkecuali Hinata dan Naruto. Berlalunya waktu yang terasa begitu singkat membuat pasangan suami istri itu harus berpikir lebih dewasa lagi untuk mendidik serta membesarkan kedua Uzumaki kecil yang selama ini menghiasi hari-hari mereka sebagai orang tua.

Sebagai seorang ibu, Hinata selalu memberikan kasih sayang untuk kedua anaknya dengan sama rata. Keduanya adalah buah hatinya, dan ia sangat menyayangi kedua jagoan kecilnya. Sama hal nya dengan Hinata, peran Naruto sebagai ayah pun juga memberi dampak kepada kedua buah hatinya. Terutama untuk anak sulungnya, Minato. Lambat laun, tingkah laku serta pola pikir bocah tampan itu berkembang mirip dengan sang ayah. Bocah itu tumbuh menjadi bocah yang riang, serta memiliki pemikiran yang bijaksana seperti ayahnya. Namun sebagian tutur kata serta kestabilan emosinya lebih condong ke ibunya, sehingga bisa dibilang Minato adalah sosok kecil Naruto dengan hati seperti Hinata.

Dan bagaimana dengan Kou?

Usianya yang masih menginjak satu tahun membuat setiap orang sedikit kesulitan untuk menentukan bagaimana ia tumbuh nanti. Tak terkecuali bagi Hinata sendiri.

Hinata mengakui kalau merawat Kou adalah anugerah terindah kedua dari Sang-Kami yang diberikan kepadanya ketika menjadi seorang ibu. Ia selalu bahagia merawat Kou setiap harinya. Memandikannya, menyuapinya, memberinya susu, mengganti popok, bahkan menidurkannya, Hinata sangat menikmati itu semua. Namun, sebagian hati kecilnya merasa janggal atas tumbuh kembang anak bungsunya itu.

Setahu Hinata, seorang bayi akan mulai mengoceh pada saat umurnya mencapai empat atau enam bulan sejak dilahirkan. Pada umur yang sama, seorang bayi juga akan menunjukkan kepekaannya terhadap lingkungan di sekitarnya, seperti berteriak, berguling-guling, bertepuk tangan, dan lain sebaginya. Tak hanya satu atau dua bayi saja yang Hinata ketahui telah berperilaku seperti itu, tapi semua bayi yang pernah ia temui. Bahkan anak sulungnya pun mulai menunjukkan kepekaannya terhadap lingkungannya sebelum genap berusia empat bulan.

Tapi... Kou berbeda.

Usianya sudah lebih dari satu tahun, namun semua perilaku yang ia tunjukkan tidak lebih seperti seorang bayi yang baru saja lahir. Kou memang sudah mulai bisa berjalan dengan tertatih, namun Kou seperti tidak ingin berinteraksi dengan siapapun. Bahkan dengan Hinata sendiri.

Kou tumbuh menjadi seorang bayi yang pendiam dan pasif. Tak ada tawa ataupun ocehan saat semua anggota keluarganya mengajaknya berinteraksi. Tak ada reksi sedikit pun. Hanya sekedar menolehkan kepalanya saja, Kou tidak pernah. Bayi itu seperti menutup diri dari lingkungannya.

Hinata pernah mencoba membicarakan hal ini kepada Naruto. Membicarakan tentang tumbuh kembang anaknya yang beda dari tumbuh kembang bayi lain. Namun suaminya merasa jika ia terlalu takut, sehingga berpikiran yang tidak-tidak. Suaminya beranggapan bahwa anak bungsunya hanya sedikit terlambat dalam hal berinteraksi, dan bukan seperti yang Hinata pikirkan.

Awalnya Hinata memang bisa lebih tenang saat suaminya berpendapat seperti itu. Kou hanya sedikit terlambat. Namun nuraninya sebagai ibu, tidak bisa membohonginya. Hinata terus saja resah. Resah dan takut jika apa yang ia takutkan benar-benar terjadi menimpa anak bungsunya, malaikat keduanya bersama Naruto.

"Tadaima."

Hinata segera menghapus air matanya saat mendengar suara berat itu mengucap salam. Cepat-cepat ia beranjak dari kamar anak bungsunya, dan segera melesat untuk menyambut suaminya.

"Naruto-kun, okaeri."

Hinata menghampiri Naruto yang masih melepas alas kakinya. Wanita itu melakukan tugasnya sebagai seorang istri, meraih alas kaki suaminya, dan meletakkannya di rak sesuai dengan tempatnya.

"Kenapa belum tidur, Hinata? Ini sudah tengah malam."

"Aku menunggumu," ucap Hinata seraya menegakkan punggunya, sehingga saat ini ia berdiri tepat di depan suaminya.

Hinata memang mengucapkan alasannya menunggu kepulangan Naruto dengan senyuman lembutnya, namun Naruto menangkap sesuatu yang tidak beres dari istrinya. Tangan pria itu pun terulur untuk menghapus jejak air mata yang masih tersisa di wajah wanitanya. "Kau menangis?"

"A−aku... T−tidak, Naruto-kun."

Naruto tidak berkomentar sedikit pun mendengar bantahan istrinya. Rahangnya terkatup rapat, mata birunya menatap penuh tanda tanya kepada istrinya.

"Kau sudah makan?" Hinata meraih lengan suaminya, dan mulai sedikit menarik suaminya untuk berjalan. "Kalau belum, aku akan buatkan makanan untukmu."

"Apa karena Kou?"

Seketika itu pula Hinata menghentikan langkahnya. Mata peraknya yang menatap suaminya, dengan perlahan tapi pasti kembali digenangi oleh air mata. Namun sebelum air matanya terjatuh, Naruto mengulurkan lengannya untuk memeluknya dengan lembut.

"Naruto-kun. A−aku−"

"Sudahlah, Hinata," potong Naruto pelan.

Tak butuh waktu lama hingga ruang tamu yang hening di rumah itu mulai terisi dengan isak tangis Hinata yang sedikit teredam di dada Naruto. Bahunya yang bergetar menandakan sekali kalau wanita itu tengah dalam gejolak emosi yang membuncah.

"Maaf... Maafkan aku." ucap Hinata lirih.

Dengan menghela napas pelan, Naruto melepaskan pelukannya, dan membawa Hinata menuju ke dapur. Naruto sedikit mendorong tubuh Hinata untuk duduk di salah satu kursi di depan meja makan.

"Ada apa, Hinata?" tanya Naruto seraya menarik salah satu kursi dan duduk tepat di sebelah Hinata. "Ceritakan padaku."

Kali ini Hinata terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Tangannya mengusap air mata yang masih mengalir di pipinya. "Ta−tadi..." ucapannya menggantung karena air matanya kembali menggenang di matanya, dan bersiap untuk ditumpahkan.

"Pelan-pelan saja, Hinata."

Hinata menarik napas panjang sebelum membuka bibirnya. "Tadi sore... saat Kou sedang berlatih berjalan dengan Minato di halaman, ia terjatuh dengan cukup keras. Bahkan salah satu lututnya mengeluarkan darah." Hinata kembali menarik napas sebelum melanjutkan perkataannya. "Tapi ia sama sekali tidak menangis."

Naruto terdiam. Pria itu mendengarkan penuturan istrinya tanpa ingin menyelanya sedikit pun.

"Ia tidak menangis, Naruto-kun. Sama sekali tidak menangis. Bahkan merintih karena kesakitan pun, tidak. Kou... dia−" Perkataan Hinata terhenti karena naruto kembali memeluknya. "... dia berbeda," imbuhnya lirih.

"Jangan berpikir negatif sebelum semuanya terlihat jelas, Hinata."

"Aku tahu itu. Hanya saja... a−aku ibunya, dan aku... aku..."

Tangis Hinata kembali pecah pada malam itu. Segala emosi yang ia pendam sendiri selama ini, tertuang begitu saja dengan tangisan pilu yang menyayat hati setiap orang yang mendengarnya. Tak ada yang bisa Naruto lakukan selain hanya menenangkan istrinya dengan sebuah dekapan hangat.

Lama Hinata menangis di dada suaminya. Napasnya yang sedari tadi tersengal-sengal, sekarang sudah sirna. Air matanya juga sudah mengering di kedua mata peraknya. Dengan perlahan, Naruto melepas pelukannya, dan menatap Hinata dengan seksama.

"Lalu apa yang ingin kau perbuat?" tanya Naruto.

"Aku ingin membawa Kou ke Sakura. Aku ingin menanyakan semuanya kepada dia. Secepatnya. Bila perlu besok."

Naruto menganggukkan kepalanya. "Baiklah jika itu yang kau inginkan, Hinata. Besok aku akan mengantarkan kalian."

Untuk pertama kalinya sejak Hinata menangis, sebuah senyuman terpatri di wajahnya setelah mendengar kalimat suaminya. "Arigatou, Naruto-kun," ucapnya seraya meremas pelan tangan suaminya.

"Ya. Sekarang tidurlah, Hinata. Kau kelelahan."

Hinata menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak, aku akan membuatkanmu makan malam dulu."

"Tidak usah. Aku tidak lapar."

Tatapan Hinata berubah begitu saja mendengar pekataan Naruto.

"Hei, jangan menatapku seperti itu, Hinata!" Naruto mengalungkan lengannya ke pundak Hinata, dan menuntunnya untuk berdiri. "Saat ini aku hanya lelah, dan aku hanya ingin tidur."

"Memangnya kau makan malam dimana?" Pertanyaan Hinata kali ini terdengar lebih ketus dari nada bicaranya yang sebelumnya.

"Kenapa? Kau cemburu ya?"

Hinata memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan rona merah yang saat ini menghiasi pipinya.

"Hahahaha, jangan berpikir yang bukan-bukan, sayang!" Naruto terkekeh seraya mulai menuntun istrinya berjalan. "Masakanmu adalah masakan paling enak yang pernah aku rasakan. Mana mungkin aku dapat melewatkan masakanmu dengan begitu mudahnya?"

"Gombal!"

"Hei, aku berkata yang sebenarnya. Kau tahu alasan mengapa masakanmu terasa sangat enak?"

Hinata menghentikan langkahnya dan memandang suaminya dengan seksama.

"Karena kau selalu membuatkannya dengan penuh cinta," sambung Naruto seraya mengecup pelan pipi Hinata.

"Naruto..." ucap Hinata malu.

Naruto kembali terkekeh melihat reaksi istrinya. Pemimpin Konoha itu pun kembali mengajak istrinya untuk berjalan menuju kamar mereka. Hatinya sudah mulai lega karena melihat istrinya lebih ceria sekarang. Selama ini, ia selalu tidak tahan jika melihat ekspresi tersiksa terlintas di wajah istrinya, apalagi jika melihat istrinya menangis seperti beberapa saat yang lalu.

Hinata pun juga berpikir demikian, hatinya terasa lebih ringan sekarang, dan semua itu berkat dukungan serta hiburan dari suami yang sangat dicintainya. Namun ia juga tidak dapat memungkiri jika apa yang terjadi besok akan membuatnya jauh lebih terpukul dari malam ini.

.

.

.

Bersambung.

.

.

.

Nayahaaaa XD

Saya pengen coba bikin fic NaruHina, dan jadinya seperti ini. Dan sekalinya saya bikin, saya langsung bikin fic dengan tema seperti ini hanya mengandalkan keBONEKan(?) saya. So, jika fic ini lama update, itu bisa saja dikarenakan kebuntuan otak saya untuk melanjutkan fic ...

Minta saran dan kritik-nya atas fic ini yah ^^

Terimakasih ^^