Disclaimer: Vampire Knight bukan milikku, tapi milik dari Matsuri Hino. Penulis tidak mengambil keuntungan material dalam menulis fanfic ini

Warning: AU, slash, OOC, OC, typo, Mpreg, etc

Rating: T

Pairing: KanaZero

Genre: Family, hurt/comfort, romance


AN: Fanfic ini adalah versi penulisan ulang dari The Kuran Family's Reunion. Kiryu Ren dalam serial Vampire Knight akan menjadi putra biologis dari Kaname dan Zero (bukan Zero dan Yuuki) serta posisinya menggantikan Rei yang merupakan OC di versi fanfic sebelumnya, ia lahir dalam era monarki vampire 10.000 tahun yang lalu dan dikenal sebagai Kuran Ren. Dalam seri ini, posisi the hooded woman dalam canon VK akan digantikan oleh Zero dengan sedikit pengubahan. Apabila terdapat pengubahan dalam canonnya, ingatlah fanfic ini adalah AU dan sengaja dirubah demi kepentingan cerita. Selamat membaca!


ETERNAL BOND

By

Sky


Senandung itu, apakah dirinya bisa mendengar senandung merdu yang disuarakan oleh suara malaikat ibunya untuk sekali lagi? Dan apakah ini untuk terakhir kalinya ia akan bisa mendengarkan senandung tersebut tanpa perlu diimbangi oleh mimpi buruk yang akan membentang di kemudian harinya lagi? Kedua mata lavender milik sang anak laki-laki itu kembali berakhir untuk kesekian kalinya ketika pertanyaan-pertanyaan tersebut menggaung di dalam benaknya, menghantuinya dan mencoba untuk mencari ketidakbenaran yang terjadi di dalam dirinya. Ia tidak menginginkan ini, namun apa daya seorang vampire yang bahkan usianya belum genap 100 tahun mengandil alih keputusan yang telah diambil oleh kedua orangtuanya?

Ini semua tidak adil, Ren mengulang ungkapan itu berkali-kali di dalam kepalanya, bahkan ia tidak ingat sudah berapa banyak ia melakukan ini sejak keputusan yang diambil oleh orangtuanya diketahui oleh dirinya. Ren ingin menegaskan kalau dirinya tidak setuju akan rencana yang kedua orangtuanya lakukan, tidak untuk sekarang dan tidak untuk selamanya, ia tidak siap untuk kehilangan sang ibu hanya karena mereka ingin memutuskan tali kebencian yang mengikat para vampire dengan pemburu vampire di luar sana. Ayahnya menyebut Ren egois sementara ibunya hanya bisa memberikan senyuman sedih ketika warna mata yang identik dengannya bertemu pandang dengan milik Ren. Rasanya Ren ingin berteriak kepada mereka kalau untuk sekali dalam hidupnya ia ingin bertingkah egois. Tidak ada seorang anak yang ingin kehilangan ibunya, dan Ren bukanlah pengecualian di sini.

Keputusan untuk mengakhiri perang yang berkepanjangan ini mungkin adalah hal yang terbaik untuk diambil, namun bila artinya Ren harus melihat sang ibu mengambil jantungnya sendiri dan meleburnya untuk membuat senjata bagi para pemburu serta meninggalkan Ren dan ayahnya sendirian di muka bumi ini maka ia siap untuk menumpahkan darah siapapun yang mencoba menyentuh ibunya.

Pengorbanan vampire berdarah murni perlu untuk dilakukan, dan melihat kedua orangtua Ren adalah sepasang vampire berdarah murni dengan julukan sebagai pemimpin kerajaan vampire itu sendiri, maka sudah sewajarnya bila salah satu dari mereka melakukan pengorbanan ini untuk mengakhiri perang yang berkepanjangan tersebut. Hanya saja, apakah harus ibu Ren yang melakukannya? Tidakkah ada orang lain yang bisa menggantikannya?

Antara ibu dan ayahnya, Ren tak bisa memilih. Sang ibu tak ingin kehilangan sang Ayah, sementara ayahnya sendiri yang sebenarnya tak mau kehilangan sang Ibu tak bisa mengambil keputusan lain karena banyak suara sudah mengatakan kalau Kuran Zero, Raja kedua dari kerajaan vampire harus melakukan pengorbanan.

Ini tidak adil! Teriak Ren dalam hati. Dirinya mencengkeram bantal dengan begitu erat dan membenamkan wajahnya di atas bantal tersebut. Tak henti-hentinya Ren meneriakkan ungkapan itu di dalam hatinya, dan tak lama setelah ia mengurung diri di dalam kamarnya sendiri, ia pun merasakan lelehan panas air mata menyentuh kedua pipinya dan membasahi bantal yang tengah ia pegang tersebut.

Kuran Ren adalah anak yang egois, begitu sang Ayah mengatakannya karena ia tak mau mengambil keputusan yang terbaik untuk semua orang. Ren tak mempedulikan hal itu, ia tak ingin kehilangan orang yang telah melahirkannya di dunia ini hanya demi perjanjian tak tentu macam perdamaian ini. Semua orang tahu kalau perdamaian antara vampire dan manusia itu adalah perjanjian yang tak tentu, sewaktu-waktu semua itu bisa berubah dan mereka kembali akan saling membunuh. Jumlah vampire berdarah murni yang ada di dunia ini mungkin tidak banyak, namun dengan kekuatan mereka saja maka semuanya bisa berbalik seratus delapan puluh derajat dan membuat kemenangan di pihak para vampire semakin telak. Kedua orangtua Ren yang dijuluki sebagai pemimpin monarki para vampire tak menginginkan pertumpahan darah di antara para vampire dan pemburu vampire semakin berkelanjutan, oleh karena itu mereka memutuskan untuk menyegel semua itu dalam sebuah pertukaran setara dimana salah seorang dari kedua pemimpin itu harus menyerahkan jantungnya untuk dilebur ke dalam tungku pengorbanan dan melihatkan metal yang berguna untuk menghalau para vampire.

Keputusan itu tidaklah disetujui oleh kebanyakan vampire berdarah murni, namun mereka semua tak bisa mengambil andil karena kedua orangtua Ren adalah pasangan yang paling kuat dan mampu memimpin kerajaan ini dengan tangan dingin.

Bila saja Ren tidak terlahir dalam keluarga Kuran mungkin dirinya tak akan sesedih ini, bahkan kemungkinan besar Ren tidak akan peduli pada apa yang terjadi di sekitarnya. Apakah ini adalah sebuah pendewasaan dalam sebuah realita yang ayahnya sering petuahkan padanya? Entahlah, yang jelas Ren tak menginginkan hal ini untuk terjadi.

Ia tahu dirinya tengah menangis tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, namun ia tak peduli akan hal itu. Hatinya terlalu sakit untuk peduli, yang ia inginkan adalah ibunya dan ibunya berada di sini untuk mengatakan kalau ia menolak pengorbanan itu. Namun rasanya keinginan yang Ren miliki akan menjadi sia-sia melihat siapa ibunya tersebut, Kuran Zero adalah orang paling keras kepala yang pernah Ren kenal, ia tak akan mengubah pikirannya sendiri dan akan meneruskan misinya sampai apa yang ia inginkan ia dapatkan, meski itu artinya nyawanya sendiri akan menjadi taruhannya. Hanya sang Ayah yang mampu menghentikan ibunya, namun sayangnya Kuran Kaname yang dijuluki sebagai vampire berdarah murni tertua sepanjang sejarah itu memiliki paham yang sama dengan Zero, bahkan Ren sangat yakin kalau ini adalah ide ayahnya.

"Pengorbanan untuk yang terbaik" adalah apa yang Kaname sebut di sini, Ren menganggapnya sebagai omong kosong. Kalau sang Ayah benar-benar mencabut nyawa ibu Ren dengan tangannya sendiri, maka ijinkanlah Ren untuk melakukan hal yang sama kepada sang Ayah.

Ren mengangkat wajahnya dari tempat ia menenggelamkan di bantal bulu miliknya tatkala ia mendengar suara ketukan pintu dari luar, sebuah aura yang begitu familier pun Ren rasakan dan membuat sang Pangeran vampire berdarah murni tersebut kembali menenggelamkan wajahnya pada bantal yang tengah menjadi tumpuannya tersebut. Ia tak peduli kalau orang itu melihatnya menangis.

Suara ketukan pintu yang ada di luar itu berhenti, dan tak lama setelah itu suara pintu terbuka pun mulai terdengar sebelum seseorang yang memiliki aura kuat masuk ke dalam kamar pribadi sang Pangeran. Aura itu begitu kuat namun lembut pada saat yang sama, Ren sangat mengenalinya namun hati pemberontaknya meyakinkan dirinya untuk menghiraukan kehadiran dari orang itu. Ia marah, aura yang keluar dari tubuh Ren sudah cukup untuk memberitahu apa yang tengah ia pikirkan.

"Ren," suara lembut itu menggema di telinga Ren, namun sang Pangeran terlalu keras kepala untuk menyahut maupun mendongakkan kepalanya ke atas untuk bertemu pandang dengan si pemanggil namanya tersebut. "Benar-benar keras kepala seperti Ayahmu."

Tawa kecil yang begitu merdu kembali terdengar di sana dan entah mengapa suara tersebut membuat degup jantung Ren berdebar kencang, ia pun menenggelamkan wajahnya lebih jauh lagi pada bantal yang menjadi tumpuannya.

Ren merasakan orang itu duduk di tepi tempat tidurnya dan menatapnya dengan begitu lembut, bahkan beberapa saat kemudian sang Pangeran itu pun merasakan sebuah tangan membelai rambutnya perlahan. Bujukan secara tak langsung dari gerakan tersebut mau tak mau membuat sang Pangeran mengangkat wajahnya secara perlahan, dan kini ia pun menemukan dirinya bertatap muka dengan sosok tegas namun elegan milik sang ibu dengan kedua mata yang begitu identik dengan miliknya itu menatapnya dengan penuh perhatian. Kuran Zero, meski berkali-kali Ren melihat sang ibu namun ia selalu menemukan dirinya tak pernah gagal untuk terpesona oleh sosok vampire berdarah murni tersebut.

Senyuman lembut pun kini terpatri di bibir Zero dan ia berikan dengan tulus untuk sang Pangeran. Ren menemukan dirinya begitu kaku, lidahnya kelu tak mampu berucap apapun serta anggota badannya mengkhianati otaknya sendiri, mereka tak mampu bergerak. Tangan yang membelai rambut silver miliknya tersebut kini beralih pada kedua pipinya, mengusap aliran air mata yang tadi sempat terjatuh dari kedua pelupuk matanya, dan senyum yang terpatri di bibir Zero pun kini berubah menjadi senyum penuh kemakluman.

"Apakah kau baik-baik saja, Ren?" Tanya Zero lagi, meski sang Raja vampire tersebut sudah mengetahui apa jawaban dari Ren namun ia masih menemukan dirinya lagi menanyakan hal itu kepada sang buah hati.

Pertanyaan 'apakah kau baik-baik saja' adalah pertanyaan terbodoh yang pernah Ren dengar ketika semua orang tahu apa yang tengah ia rasakan. Ia tidak baik-baik saja, jauh dari kata itu sesungguhnya dan secara tak langsung ingin berteriak kepada dunia kalau penyebab ia tak baik-baik saja adalah salah dari dunia. Hanya saja tubuhnya yang tak lagi menerima perintah dari otaknya secara sementara hanya memberikan anggukan kecil, sebuah kebohongan pun tersampai dan Ren tak perlu menjadi seorang yang jenius untuk menangkap isyarat kalau sang ibu tak mempercayai ucapannya. Siapapun juga tak akan mempercayai makna anggukan yang terisyarat itu, karena semua tahu seorang anak tak baik-baik saja ketika mereka mendapatkan pengetahuan kalau mereka akan kehilangan Ibu mereka sendiri dan menyaksikan pengorbanan itu sendiri.

"Maafkan kami, Ren," ujar sang Ibu untuk kesekian kalinya dalam hari itu. "Kami tak bermaksud untuk menyakitimu dengan keputusan yang kami ambil, Ren. Namun, baik aku dan Ayahmu berpikir kalau pertumpahan darah yang terjadi di Bumi ini di antara bangsa vampire dan manusia sudah berlanjut terlalu lama. Kami lelah melihat banyak korban berjatuhan, Bumi sedang berduka karena semua kejadian ini dan kami pun menawarkan sebuah solusi untuk mengakhiri semua ini."

Ren menggelengkan kepalanya sebelum dirinya menyahuti ucapan dari sang Ibu, "Dengan mengorbankan dirimu, Ibu? Dengan memberikan jantungmu sebagai persembahan untuk membuat senjata yang mematikan untuk bertahan?"

Kedua tangan Zero pun kini memegang kedua bahu Ren dengan pelan, ia menatap sang buah hati dengan penuh keseriusan di sana. Ada satu hal yang tersaji di dalam mata berwarna lavender itu yang membuat Ren tak mampu untuk berucap.

"Bila sebuah jantung dari vampire tua ini adalah hal yang bisa mengakhiri perang, maka aku pun tak keberatan untuk mengorbankan diriku sendiri," jawab sang Ibu dengan begitu kalem. Tak sekali pun tatapan dari Zero beranjak dari sosok sang buah hati meski yang bersangkutan tahu bagaimana Ren ingin menghindari tatapan itu. Ia tak membiarkannya. "Banyak nyawa yang telah berkorban untuk mengakhiri perang, ada banyak anak-anak yang membiarkan diri mereka menjadi yatim piatu karena kedua orangtua mereka terbunuh dalam perang. Bahkan tak dapat dipungkiri kalau ada anak-anak yang meninggal di medan perang. Ren, bila sebuah jiwa mampu menyelamatkan beribu-ribu jiwa di dunia ini, maka pengorbanan pun harus dilakukan."

"Tapi kenapa harus dirimu, Ibu? Kenapa bukan orang lain saja? Kenapa harus Ibu yang melakukannya?" Ren yang selama ini terkenal sebagain anak yang tenang pun kini tak mampu mempertahankan kekalemannya ketika ia berada dalam tekanan. Tekanan emosional yang membuatnya harus berada dalam posisi ini.

Putra tunggal dari pasangan Kuran Kaname dan Zero ini sangat tahu apa maksud dari perkataan Zero, Bila sebuah nyawa dapat menyelamatkan banyak nyawa, maka pengorbanan pun perlu untuk dilakukan untuk mengakhiri semua pertumpahan darah ini. Namun dirinya masih berada dalam masa penyangkalan, pikiran kekananakan serta keegoisan dalam dirinya itu tak bisa menerima fakta bahwa orang yang harus dikorbankan itu adalah ibunya sendiri. Ren tak terima akan hal itu.

Kedua mata Ren terbelalak lebar saat ia menemukan dirinya didekap dengan begitu erat oleh sepasang tangan hangat milik ibunya dan ia pun kembali tenggelam dalam kehangatan, kali ini berada dalam pelukan Zero.

"Karena Ibu adalah Raja Vampire selain Ayahmu, Ren. Menjadi seorang pemimpin bukan hanya sekedar julukan semata yang diberikan kepada kami, menjadi seorang pemimpin artinya kami harus siap berkorban untuk kepentingan orang banyak. Dan bila nyawaku bisa menyelamatkan semuanya, maka aku siap untuk mengorbankan nyawa ini," kata Zero di telinga Ren. Sang Pangeran menemukan dirinya memeluk tubuh tegap milik sang ibu dengan sama eratnya, dan anak itu pun menenggelamkan wajahnya pada bahu Zero untuk menyembunyikan semua kesedihan. "Kami ingin menciptakan sebuah perdamaian bagi bangsa vampire dan manusia, oleh karena itu pertumpahan darah yang terjadi di muka bumi ini harus dihentikan. Antara Ibu dan Ayah, Ibu pun memilih diri Ibu untuk dikorbankan untuk menyelamatkan kalian berdua."

Ren tahu itu dengan jelas, satu dari kedua orangtuanya harus dikorbankan untuk menciptakan perdamaian, dan Zero adalah Zero maka ia pun memilih dirinya sendiri untuk berkorban. Zero terlalu mencintai Kaname untuk mengizinkan sang Raja vampire tersebut untuk berkorban, dan ia pun tak sampai hati untuk memilih Ren sendiri mengorbankan dirinya kalaupun ada pilihan dimana Ren masuk ke dalam daftar bodoh itu.

"Perdamaian ini tak tentu, Ibu... Ibu tak perlu berkorban... aku,-" Suara Ren tercekat di tengah ucapannya. Dengan susah payah ia melanjutkan ucapannya. "Aku tak mau kehilangan Ibu!"

Telinga Ren menangkap suara lembut milik ibunya membentuk tawa kecil, dan detik berikutnya Ren menemukan dirinya kembali bertemu mata dengan sang Ibu serta menerima sebuah senyuman kecil di sana.

"Kami tahu kalau perdamaian ini bersifat tak tentu dan sewaktu-waktu bisa pecah, namun Ibu yakin kalau semua mau menjaga perdamaian yang kami ciptakan maka semuanya akan baik-baik saja. Aku percaya pada kalian berdua," di sini Zero pun mencium kening sang buah hati dengan lembut, dan ia tak mampu menahan sebulir air mata untuk tidak turun dari pelupuk matanya. "Ibu juga tak ingin pergi dan meninggalkan dua orang yang Ibu kasihi di dunia ini sendiri. Namun Ren jangan khawatir, meski Ibu sudah tak ada bersama kalian berdua secara fisik tapi Ibu akan selalu menjaga kalian. Ibu berjanji akan menemui kalian suatu saat nanti, kalau sebuah reinkarnasi itu memang ada maka Ibu berjanji akan kembali kepada kalian berdua dan kita bertiga pun akan hidup seperti sedia kala."

Ren memejamkan kedua matanya untuk beberapa saat lamanya, ia mencoba untuk mengendalikan dirinya agar tidak terlalu terbendung oleh emosi yang negatif ketika bersama dengan Zero. Sebuah teori reinkarnasi yang Zero ucapkan itu terdengar seperti khayalan belaka yang tak benar kenyataannya, namun ungkapan yang masih meragukan itu entah kenapa mampu membuat sang Pangeran menjadi tenang kembali. Ren pun kembali membuka kedua matanya dan menatap Zero.

"Ta-" ungkapan Ren yang berisi kalau rasanya mustahil untuk jiwa yang sudah pergi untuk kembali lagi pun terpotong saat sebuah telunjuk bertemu dengan bibir Ren, memotong ucapan itu bahkan sebelum Ren mampu merangkainya.

"Hush... Ibu sudah berjanji untuk kembali, apa yang perlu kau lakukan adalah percaya pada Ibu," di sini Zero pun tersenyum dengan lebar dan mengangkat kelingking tangan kanannya di hadapan Ren. "Ren percaya pada Ibu 'kan?"

Meski berat untuk menjawab pertanyaan itu namun tak perlu diragukan lagi kalau Ren sangat mempercayai Zero.

"Aku percaya pada Ibu," sahut Ren. Dan ia mengaitkan jari kelingking kanannya dengan milik Zero. "Ibu berjanji untuk kembali untukku dan Ayah suatu saat nanti."

"Iya, ibu berjanji. Janji kelingking di antara kita."

Dan untuk pertama kalinya dalam hari itu, Ren pun mulai merasakan bibirnya membentuk sebuah senyuman lembut yang semua itu ditujukan kepada sang ibu. Sebagai penghormatan serta kasih sayang yang ia terima dari Zero. Meski dirinya masih ragu dengan konsep 'kembali' yang Zero katakan, namun ia percaya akan perkataan Zero kalau suatu saat sang Ibu akan kembali untuk dirinya dan sang Ayah.

Kedua vampire berdarah murni tersebut saling melempar senyum untuk satu sama lain, bahkan tak jarang keduanya mempertemukan kedua kening mereka untuk saling bersentuhan dan bertukar pikiran. Ren tak menyadari kalau perasaannya kini sudah jauh lebih baik dibandingkan beberapa hari sebelumnya, mungkin ini karena pengaruh sang Ibu yang begitu mampu memanipulasi emosinya tersebut. Apapun itu, ia akan membuat memori terakhir dengan ibunya menjadi menyenangkan.

Anak itu melihat ekspresi Ibunya kembali menjadi kalem seperti semula, dan dari sudut matanya ia menemukan sang ibu mengeluarkan sesuatu dari dalam saku kemeja yang ia kenakan. Sebuah liontin kaca bening yang berbentuk seperti air mata besar sebagai intinya pun tersaji di hadapan Ren, di dalam gelas kaca liontin tersebut Ren melihat warna merah yang ia yakini adalah darah di sana.

"Liontin ini terbuat dari darah Ibu. Ayahmu telah membantu Ibu untuk membuat ini, sebagai memento untuk Ren agar ia tak melupakan ibu. Apa kau mau menerimanya?" tanya sang Ibu dengan tenang.

Ketika Ren menemukan dirinya mengangguk, Zero pun segera memasangkan liontin berwarna perak tersebut pada leher Ren dan menyembunyikan inti liontin tersebut di balik baju yang Ren kenakan.

"Ibu akan selalu bersamamu. Ingatlah, Ren, apapun yang terjadi Ibu akan selalu kembali untuk kalian berdua suatu saat nanti."


"Apakah ini adalah keputusan tepat yang kita ambil, Zero?" Seorang laki-laki bertubuh tinggi yang berjalan di sampingnya itu kembali menanyakan pertanyaan hal yang sama seperti pertanyaan Putra mereka.

Zero menemukan hal ini sangat lucu, namun seperti biasanya ia tidak memberikan komentar itu untuk suaminya. Kuran Kaname, meski ia terlihat begitu dingin dengan topeng es yang selalu terpatri di wajah tampannya ia adalah seorang individual yang lembut dan pengertian, Zero tak mungkin menikahi lelaki itu bila Kaname tak mampu mengerti dirinya. Dan andai saja keduanya tak menikah maka Ren yang merupakan anugerah terindah yang Zero terima dari Tuhan pun tak akan berada di antara keluarga kecil mereka.

"Kalau ini bukanlah keputusan yang tepat, maka tak mungkin aku menyetujui untuk melakukan ini bukan?" Jawab Zero dengan tenang. Kedua kakinya menuntunnya ke arah kandang kuda yang terletak tak jauh dari kediaman kuran yang sudah menjadi rumah mereka bertiga sejak bertahun-tahun yang lalu. Ia mencengkeram lengan Kaname dengan erat ketika suaminya itu menuntunnya untuk menghampiri seekor kuda yang telah dipersiapkan oleh pengurus kuda mereka.

"Aku tahu hal itu. Mungkin yang kurasakan sekarang ini adalah tak lebih dari keraguan dan keegoisan belaka. Apa yang akan kita lakukan adalah yang terbaik untuk menghentikan perang, namun rasanya aku masih tak rela untuk kehilanganmu."

"Kaname, baik dirimu dan Ren memang begitu mirip. Dasar Ayah dan anak," Zero menggelengkan kepalanya singkat sebelum ia memberikan anggukan kepada pengurus kudanya untuk pergi dari sana. Ia ingin berbicara secara empat mata dengan Kaname tanpa ada yang mengganggunya. "Tak hanya dirimu yang merasa takut akan semua ini. Aku pun juga memiliki perasaan yang sama, aku takut meninggalkan kalian berdua sendirian setelah aku pergi. Aku sudah meyakinkan Ren kalau semuanya akan baik-baik saja meski kita berdua tahu kalau semua tak akan baik-baik saja, namun aku percaya baik dirimu dan Ren mampu menghadapinya berdua."

Keduanya pun menghentikan langkah kaki mereka ketika mereka berdua sampai di samping kuda bersurai putih yang merupakan kuda kesayangan Zero, yang nantinya akan Zero gunakan untuk mencapai bangunan tempat pengorbanan akan dilakukan. Kaname dan Ren akan menyusul Zero setelah ia pergi ke sana.

Kedua mata merah kecoklatan milik Kuran Kaname melihat sang Suami melepas sebuah jubah berwarna kelabu dari lipatannya dan mengenakan jubah itu untuk menutupi tubuhnya minus kepala dan wajah pendamping hidupnya itu.

"Mungkin ini kedengarannya gila, Kaname, namun aku berjanji pada Ren kalau suatu saat nanti aku akan kembali pada kalian. Dan aku menjanjikan hal yang sama kepadamu juga," sang Raja pendamping itu pun mendekati sosok tinggi sang suami dan tanpa mengucapkan apapun lagi ia pun merangkul leher Kaname dengan kedua lengannya sebelum menatap hangat mata milik sang Raja vampire. "Tolong jaga Ren selama aku pergi, Kaname. Aku percayakan dia padamu."

Kaname menemukan dirinya mengangguk setuju, tanpa perlu Zero katakan pun ia akan menjaga Ren dengan sepenuh hati karena anak itu adalah buah cinta dari mereka berdua dan satu-satunya yang akan Kaname miliki setelah Zero pergi meninggalkannya. Ia pun merengkuh tubuh Zero dalam pelukannya dan mempertemukan bibir mereka dalam sebuah ciuman ringan untuk menahan rindu yang nanti akan ia rasakan untuk selamanya. Bibir lembut dari Zero itu membuat Kaname semakin berat untuk melepaskan sosok yang ada dalam pelukannya itu pergi, ia tak ingin berpisah dengan pendampingnya.

Mungkin Kaname mengatakan kalau Ren adalah sosok anak yang egois karena tak merelakan kepergian Zero, padahal orang yang paling tak rela akan perpisahan ini tak lain dan tak bukan adalah dirinya sendiri. Sama seperti Ren, Kaname adalah sosok orang yang sangat egois dan posesif kepada Zero, bahkan mungkin sifat buruknya itu jauh melebihi dari apa yang Ren miliki. Sang Raja vampire itu pun menemukan dirinya tengelam dalam ceruk leher Zero, dan tanpa pikir panjang ia pun membiarkan taringnya memanjang sebelum ia menggigit leher sang pendamping untuk meminum darahnya.

Warna merah darah pada iris matanya itu menandakan keposesifan seorang Kuran Kaname kepada Kuran Zero, bahkan tanpa tanggung-tanggung ia pun meminum darah sang suami di tempat terbuka seperti ini untuk menandakan kalau Zero adalah miliknya. Aroma manis yang menggiurkan dari darah murni milik Zero menguar di udara dan membuat siapapun tergoda untuk mendekat serta mencicipinya, namun aura penuh kekuatan yang terlontar dari tubuh Kaname mencegah hal itu untuk terjadi.

Pijatan ringan pada kulit kepalanya itu membuat kedua mata Kaname yang terpejam terbuka, dan setelah ia puas meminum darah murni milik pasangannya ia pun langsung menjilat bekas luka gigitannya di leher Zero untuk menyembuhkannya. Setelah puas, ia pun kembali menatap sosok Zero.

"Ini bukanlah selamat tinggal kalau apa yang kau katakan adalah benar, Zero," kata Kaname, ia pun kembali mengecup bibir Zero untuk beberapa saat lamanya sebelum bibirnya beristirahat pada kening sang vampire berambut keperakan itu. "Baik aku dan Ren akan menantimu."

Zero menganggukkan kepalanya, ia pun menyematkan sebuah cincin berwarna perak pada tangan Kaname yang balik menggenggam benda itu. "Aku mengerti. Tolong berikan benda itu pada Ren, katakan padanya kalau benda ini adalah perlindungan terakhir yang bisa aku berikan padanya. Meski aku tahu kau akan menjaganya, aku juga ingin berpartisipasi di sini."

"Tentu, kau adalah Ibunya di sini."

Kedua sejoli itu saling mendekap tubuh satu sama lainnya dan bertukar kehangatan untuk yang terakhir kali, dan ketika mereka berdua sudah cukup puas maka dengan perlahan Kaname melepaskan tangannya dari sosok sang Suami. Ia melihat Zero mengulaskan sebuah senyuman kecil sebelum ia mengenakan kerudung jubahnya untuk menutupi kepalanya dan menciptakan sedikit bayang-bayang pada wajahnya. Ia pun membantu Zero untuk menaiki kuda yang telah dipersiapkan itu.

"Jaga dirimu baik-baik Kaname. Tolong jangan terlarut dalam kesedihan," ujar Zero lagi, kedua tangannya memegang tali kekang kudang yang ia tunggangi.

"Kau bisa percaya padaku, Zero, impian kita berdua tak akan mati," sahut Kaname seraya mendekati sosok Zero dan Zero pun membiarkan tubuhnya membungkuk sesaat untuk mencium bibir Kaname terakhir kalinya. "Aku mencintaimu."

Ketika Zero mengakhiri ciuman di antara keduanya dan bersiap untuk pergi, ia pun kembali mengulaskan senyuman kecil kepada Kaname. "Aku juga mencintaimu, Kaname. Kau dan Ren, aku mencintai kalian berdua sampai kapan pun."

Dengan ucapan terakhir yang terlontar dari bibir Zero, Kaname pun melihat bagaimana Zero menarik tali kekang kudanya dan memerintahkan kuda tersebut untuk beranjak dari tempat itu, pergi dari hadapan sang Raja vampire yang terlihat sudah mampu menerima semua kenyataan yang ada. Meski Zero sudah pergi dari hadapannya, Kaname masih tak beranjak dari tempatnya berdiri, ia masih setia berada di sana dan menatap sosok Zero yang semakin lama semakin menghilang di tengah kegelapan malam bersama kuda yang ia tunggangi tadi. Belum juga satu menit berlalu ia sudah merasakan kalau ia merindukan sosok Zero berada di sampingnya, ia tak tahu bagaimana dirinya bisa bertahan tanpa Zero berada di sisinya. Namun pikiran itu pun segera ditepis oleh Kaname, meski Zero sudah tak berada di sini bersamanya namun ia masih memiliki Ren, buah cinta mereka berdua yang mereka cintai lebih dari apapun.

Bibir Kaname pun melengkung sedikit untuk membentuk sebuah senyuman kecil ketika ia merasakan sebuah aura yang sedari tadi tersembunyi kini mulai nampak, sepertinya sang pemilik sudah tak enggan lagi untuk menampakkan dirinya. Kaname pun berbalik, kedua mata merah marunnya menatap sebuah pohon besar yang tumbuh tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang ini, dan dari balik pohon itu ia menemukan sosok sang Pangeran berdarah murni bersandar di sana dengan kedua tangannya berada di dalam saku celana, menatap bulan untuk beberapa saat lamanya.

Sosok Kuran Ren begitu mirip dengan sosok Zero, ia banyak melihat sosok Zero dalam diri Ren meski perawakan sang Pangeran bisa dikatakan lebih mirip dengan Kaname. Buah hati mereka berdua benar-benar kombinasi yang sempurna antara Kaname dengan Zero.

"Ren," panggil Kaname dengan lembut.

Sang Raja vampire melihat bagaimana putra semata wayangnya itu mengalihkan tatapannya dari sang rembulan untuk bertemu pandang dengan Kaname. Warna mata yang begitu identik dengan milik Zero itu pun menatapnya dengan lekat, mereka terlihat begitu tenang dan tak ada emosi yang terlihat dalam bola mata itu. Ren memang terlahir sebagai individual yang begitu tenang, begitu mirip dengan Kaname.

"Ayah," balas Ren. Ia pun menegapkan tubuhnya sebelum kedua kakinya membawa tubuhnya untuk mendekat pada Kaname, sesuatu permintaan tak terucap dari sang Ayah.

Keduanya pun kini berhadapan antara satu sama lainnya, tak ada yang mencoba membuka mulut untuk mengucapkan sepatah kata apapun. Hanya tatapan yang diberikan satu sama lainnya cukup untuk menggambarkan apa yang tengah mereka rasakan, dan tanpa ada ragu lagi Ren pun membiarkan dirinya terus mendekat pada sosok kuat sang Raja vampire dan menenggelamkan tubuhnya pada sosok sang Ayah yang balik memeluknya dengan erat.

Tanpa perlu ungkapan verbal Kaname sudah tahu kalau Ren telah mendengar semua, pembicaraan yang ia dan Zero miliki, bahkan kedua Raja vampire tersebut mengizinkan Ren untuk mendengarnya secara sengaja meski yang bersangkutan tak menyadarinya. Hanya Ren yang Kaname miliki di dunia ini, dan ia bersumpah baik kepada dirinya dan juga kepada Zero kalau ia akan melindungi putra mereka satu-satunya. Ia tak akan menyia-nyiakan pengorbanan yang Zero lakukan untuk mereka semua.


AN: Terima kasih sudah mampir dan membaca

Author: Sky