Prologue
Kobaran api tampak mengamuk di rumah bergaya khas Jepang itu. Api itu menyebar dengan cepat. Mengakibatkan seluruh bagian rumah itu terbakar oleh api. Tampak para penghuni rumah itu sudah berada di luar rumah. Mereka semua tak ada yang terluka. Dan lagi, mereka sepertinya membawa barang-barang penting. Terlihat seperti… sudah tahu kalau semua ini akan terjadi.
Seorang wanita dengan rambut diikat dua berwarna putih sedang memperhatikan kejadian itu dengan tenag. Iris violetnya menunjukan rasa puas yang amat sangat. Perlahan sebuah seringai licik terlukis di wajah cantiknya.
"Musnahlah kau… 'Anak Terkutuk'…"
…
…
…
Pemuda berusia 14 tahun itu berlari-lari di antara kobaran api. Iris emeraldnya bergerak kesana-kemari, agaknya dia sedang mencari sesuatu. Sesekali, pemuda berambut hijau itu terbatuk-batuk, dikarenakan asap yang dihirupnya. Namun, dia terus mencari sesuatu. Atau lebih tepatnya, jalan keluar. Ya, pemuda itu terjebak di rumah yang terbakar itu. Memang, cukup sulit mencari pintu keluar dari dalam rumah yang besar ini. Wajar, ayahnya adalah orang besar di kota itu.
Matanya menemukan sebuah benda panjang yang didominasi warna hijau tua, terletak dengan angkuhnya di atas tempat khusus meletakan katana.
"'Midori… Ryuu'?" sebuah nama terucap dari bibir tipis itu.
Pemuda itu berlari mendekati benda itu, katana. Diambilnya katana yang masih berada di dalam sarung pedang berwarna hijau tua itu. Ya, itu adalah harta berharga milik keluarganya. katana yang melambakan kekuatan sang naga. Ya… Naga Hijau. Salah satu dari 7 pedang naga. Konon, katana-katana itu dibuat oleh ahli pedang terhebat, dengan menggunakan taring dari 7 naga. Sarung pedangnya terbuat dari sisik para naga, pegangannya terbuat dari kuku naga. Tak heran, pedang itu menjadi harta berharga bagi keluarga tersebut.
Pemuda it uterus berlari dan berlari. Sampai akhirnya, dia melihat sosok pria dengan katana di pinggangnya dengan rambut sewarna salju berjalan ke arahnya. Senyum mengembang di wajah pemuda berwajah manis itu.
"Otou-sama!" ujarnya sambil berlari ke arah orang yang tak lain adalah ayahnya sendiri.
Pemuda itu berlari ke arah ayahnya. Namun, sesuatu yang tak dia duga, saat jaraknya dan ayahnya tidak lebih dari 2 meter, pria itu langsung mengayunkan katananya ke arah anaknya. Kontan saja, bahu sang anak yang tak memperkirakan serangan tiba-tiba itu terkena sabetan katana itu. Darah mengucur dari bekas luka yang cukup dalam itu. Dia mengambil langkah mundur dari ayahnya.
"Otou-sama… Kenapa…?" ujarnya tebata. Sepertinya asap dan kekurangan darah membuatnya kehilangan kekuatan.
Pria itu tak menjawab. Namun, kembali mendekati pemuda itu. Diarahkannya katananya ke atas. Sebelum mengayunkan katana itu. Dia berujar dengan nada dingin.
"Sayonara… 'Anak Terkutuk'…"
Naas, sebelum sempat ia memenggal kepala anaknya itu. Kayu yang terbakar jatuh, membatasi kedua orang itu. Pria itu mendecih kesal, sebelum pergi meninggalkan tempat itu. Pemuda itu sudah lemas. Kehilangan banyak darah dan asap beracun membuatnya semakin lemah. Namun, sepertinya Tuhan belum mengijinkannya untuk menemuiNya. Pemuda itu melihat sebuah pintu yang mengarah ke hutan di belakang rumahnya. Dia langsung menggunakan sisa kekuatannya untuk berjalan menuju pintu itu.
Dibukanya pintu itu, kemudian ia berjalan keluar dari rumah itu. Entah seberapa jauh ia berjalan, yang pasti, saat jaraknya sudah jauh dari kediamannya, yang terlihat hanyalah warna hitam.
…
…
…
"Hoi, minna-san, ada seseorang di sini!" teriak seorang pemuda dengan rambut kuning keemasan.
Tak lama, 5 orang pemuda yang nampak lebih tua darinya datang ke pemuda itu. Ada yang berambut biru sewarna laut, merang darah, ungu, dan dua lainnya hitam kelam. Pemuda kuning itu menunjuk ke suatu arah. Mereka semua menengok ke arah yang ditunjuknya. Di sana tampak pemuda dengan rambut hijau tua tengah terbaring tak sadarkan diri.
Pemuda berambut biru itu segera menghampiri pemuda pingsan itu, diikuti oleh yang lainnya. Dia melihat keadaan pemuda berusian 14 tahun itu.
"Lukanya cukup parah, dia kehilangan banyak darah, ajaibnya dia masih hidup," ucapnya datar.
"Ka-Kaito-san… Ko-kore wa!" ujar pemuda kuning itu setengah terbata sambil menunjuk katana yang digenggam oleh pemuda hijau itu.
Semua yang ada di situ membulatkan mata, "A-are wa… 'Mi-Midori Ryuu'!"
Disclaimer : Vocaloid milik YAMAHA…
Rated : T.
Genre : Drama, adventure, romance (a little), hurt/comfort.
Warning : GaJe, 7 Shions, abal, typo(s), kurang berasa, normal POV only, dll.
Main Character : Shion Family (Nigaito, Kaito, Kikaito, Akaito, Taito, Kageito, & Zeito) & Aoki Lapis.
Author's Territorial
Kaito (OC) : Haloo, minna-tachi~ Ketemu lagi dengan saya, Kaito~
Koyuki : Um… ano ne, fic ini dibuat karena Kaito-kun habis menonton anime yang mengandung unsur samurai.
Shion Brothers : Perasaan nggak enak.
Kaito (Voca) : Tokoh utamanya banyak banget… X_X
Kaito (OC) : Nggak apa-apalah. Kan, sesuai judulnya, '7 Katana', jadi kita butuh 7 orang~
Nigaito : Terus, Aoki?
Kaito (OC) : Oh… dia penting juga di fic ini. Oke, minna-san, fic ini memang ada genre romancenya, tapi mungkin hanya sedikit. Soalnya, ini lebih ke peperangan. Jadi nanti ada pertumpahan darah 'gitu~ *Yandere mode : ON*
Aoki : Kumat dia… -"
Koyuki : Tenang aja Aoki-chan. Romance kamu sam- *dibekep*
Kaito (OC) : Koyuki, jangan bilang-bilang~
Koyuki : Maaf… Lupa…
Kaito (OC) : Anyway, happy reading, minna-san~
Chapter 1 : Shion.
Gadis berusia 15 tahun itu berlari dengan beberapa barang di pelukannya. Dia menghela nafas pelan. Agaknya merasa lelah akibat berlari disiang yang terik. Salahkan 'kakak'nya yang menyuruhnya pergi belanja kebutuhan pokok. Ditambah lagi yang perlu dibeli itu banyak.
Banyak orang berlalu lalang di kota itu. Yup, sebenarnya, dia bukan dari kota ini. Gadis beriris biru jernih itu berasal dari desa di dekat kota itu. Ya, karena di desanya tidak ada pasar, jadi mau tidak mau ia harus pergi ke kota yang jaraknya 3 kilometer lebih. Lelah? Tentu saja. Apalagi pasar ini ramai, ditambah lagi tubuhnya yang kecil untuk gadis seusianya.
Gadis itu sesekali meminta maaf karena telah menabrak seseorang. Gadis berambut biru langit itu, lagi-lagi, menabrak seseorang. Kali ini, keduanya terjatuh, mungkin karena tidak seimbang. Tentu saja, barang-barang belanjaannya terjatuh.
"I-itte…" lirihnya sembari mengusap bokongnya yang berciuman dengan tanah.
Tiba-tiba, sebuah tangan terulur ke arahnya yang masih jatuh terduduk. Gadis berambut biru muda itu mendongakkan kepalanya. Tampaklah bahwa pemilik tangan yang terulur itu adalah seorang pemuda dengan rambut hijau tua dan mata berwarna emerald yang langka itu.
"Ano… Kimi wa daijoubu desuka?" tanya pemuda itu dengan nada agak khawatir.
Gadis itu agak kaget dengan sikap pemuda di hadapannya. Dia cepat-cepat bangkit dari posisinya lalu menepuk-nepuk kimononya yang kotor akibat tanah.
"Da-daijoubu desu!" ujarnya cepat.
Pemuda itu memandang gadis itu sebentar, sebelum beralih pada barang belanjaan gadis itu. Semuanya tercecer di tanah. Dengan cepat pemuda itu langsung memungut semuanya.
"AH! Sumimasen, biar saya bantu membereskannya!"
Gadis itu pun sadar bahwa barang-barangnya tercecer di tanah. Dengan panik ia segera memungut semua barang itu, tentu saja dengan bantuan pemuda yang menabraknya tadi. Setelah semua barangnya sudah tertata, gadis itu mengucapkan terima kasih pada pemuda pemilik iris emerald itu. Kemudian, ia langsung berjalan ke desanya. Namun, ada yang agak aneh dari pemuda itu.
'Oh iya! Dia membawa katana di punggungnya! Apa dia samurai? Ah, sudahlah. Toh, bukan urusanku…'
Pemuda itu menghela nafas pelan. Kemudian ia berjalan dengan santai menuju suatu tempat. Dia masuk ke dalam sebuah kedai sederhana. Ditengokkannya kepalanya ke kiri dan kanan. Ia langsung berjalan ke meja yang diisi oleh 6 orang pemuda. Ada yang berambut biru sedang meminum ocha, seorang berambut kuning keemasan yang sedang mengobrol dengan pria berambut merah, si rambut ungu yang sedang memakan odango dengan dua orang berambut hitam kelam.
Pemuda beriris emerald itu segera duduk di kursi ke-7 yang masih tersisa di meja itu. "Jadi, apa klien kita belum datang, Kaito-san?" tanya pemuda itu pada pria berambut biru laut yang masih sibuk dengan ochanya.
Pemilik iris biru laut itu menengok ke arah pemuda pemilik pedang hijau itu, "Belum. Kenapa pakaianmu kotor, Nigaito?" tanya pemuda yang dipanggil 'Kaito' tadi dengan datar.
"Ah? Tadi aku menabrak seseorang tanpa sengaja, dan aku pun jatuh. Hehe," ujar Nigaito sambil tersenyum simpul.
Tak lama, seorang pria paruh baya dengan pakaian khas Jepang datang ke arah ke-7 samurai itu. Nigaito yang pertama menyadari itu, segera berdiri dari bangkunya. Yah, di meja itu hanya ada 7 bangku. Pemuda itu dengan sopan mempersilahkan pria paruh baya itu duduk. Pria yang rambutnya mulai memutih dimakan usia itu pun duduk di bangku itu.
"Jadi, kau ingin kami melakukan apa? Tuan…" tanya Kaito pada pria di hadapannya itu.
"Sakime Meito. Aku ingin… kalian melindungi desa kami…" ujar pria tua itu kalem.
Pemuda beriris ruby itu menaikan alisnya, "Atas dasar apa kau ingin kami melakukannya?" tanyanya langsung ke pokok permasalahannya.
Meito memijit keningnya pelan. Sepertinya pria satu ini mengalami permasalahan yang tidak mudah. "Desa kami… diserang…"
"Apa maksud Anda 'diserang', Sakime-san?" tanya Nigaito dengan sopan.
Meito berdehem pelan. "Seperti yang kukatakan tadi, desa kami diserang oleh… pemerintah."
Pemilik iris emas menaikkan alisnya, "Apa kalian membuat masalah dengan Kaisar? Atau ada yang lain?" tanya pemuda dengan pedang kuning bergantung anggun di bagian kanan pinggulnya itu.
Helaan nafas lolos dari bibir pria berusia 54 tahun itu. "Sepertinya, Kaisar ingin menggunakan desa kami sebagai tempat untuk mebangun benteng. Namun, mereka memaksa kami pergi tanpa menyiapkan tempat tinggal baru untuk kami. Kami pun menolak untuk pindah. Tapi, akhir-akhir ini desa kami sering diserang oleh segerombolan orang tak dikenal. Mereka merusak ladang dan sawah kami. Menyakiti pemuda-pemuda desa kami. Bahkan, mereka mengambil anak-anak gadis kami…"
Ke-7 samurai itu mendengarkan cerita pria tua itu dengan seksama. Tak satu kata pun lolos dari pendengaran mereka. Kaito dan si ungu masih mendengarkan dengan tenang. Si merah dan kuning sedikit merasa simpati. Dua orang berambut hitam, yang diyakini kembar, tampak tak acuh. Sedangkan Nigaito yang terlihat paling muda di antara mereka menepuk pelan pungung pria itu. Berusaha menenangkan kliennya tersebut.
"Kami akan membantumu. Tapi, kami yakin kau sudah tahu kalau kami tidak akan bekerja dengan cuma-cuma…"
"Jangan khawatir… Kami akan membayar kalian…"
Gadis berambut biru muda dengan gradasi ungu di ujung-ujung rambutnya masih di jalan menuju desanya. Saat jaraknya hanya sekitar 500 meter, ia bisa melihat pemandangan sawah dan ladang hijau di seluruh mata memandang. Tak lupa dengan sebuah sungai jernih yang menjadi sumber kehidupan desa kecil itu.
Tak butuh waktu yang terlalu lama, ia sudah sampai di depan desanya. Tampak orang-orang berlalu lalang. Ada yang akan bekerja di ladang, ada anak-anak yang bermain dengan senangnya, atau para wanita yang sekedar berbincang-bincang. Ah, sungguh pemandangan khas pedesaan. Begitu damai, sama sekali tak menunjukan bahwa desa itu memiliki sebuah 'masalah'.
Gadis itu pun sampai di sebuah rumah sederhana yang berbahan dasar kayu itu. Ia membuka pintu geser itu kemudian menutupnya kembali. Gadis itu melangkah menuju sebuah tempat di rumahnya, dapur. Di sana, tampak seorang gadis yang terlihat lebih tua darinya sedang memasak. Rambutnya yang berwarna hitam panjang diikat dua agar tidak terlalu mengganggu pekerjaan memasaknya.
"Onee-chan, tadaima," ujarnya sambil meletakkan barang belanjaannya di sebuah meja kayu kecil di tengah-tengah dapur itu.
Gadis yang dipanggil itu menengok, tampaklah wajah cantik dengan sepasang mata berwarna merah darah yang berkilau indah. Dia tersenyum ke arah adiknya itu. "Ah, rupanya kau sudah pulang, Aoki," ujarnya.
Gadis berambut hitam itu pun melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai. Aoki pun membantu kakaknya memasak makan siang. Ia memotong-motong sayuran yang akan dibuat menjadi sup. Setelah mereka berdua selesai memotong-motong, bahan-bahan itu dimasukan kedalam kuali yang sudah berisi air kaldu. Mereka pun menutup kuali yang cukup besar itu, agar masakan itu matang.
Setelah selesai, mereka berdua pun meninggalkan dapur, menuju ke teras rumah mereka. Mereka duduk di bangku yang terbuat dari kayu berwarna coklat tua itu. Yah… memang sekarang ini mereka berdua hanya menikmati angin yang berhembus sepoi-sepoi.
"Damai sekali 'ya?" ucap Aoki sambil menutup mata, menikmati angin yang berhembus meniup rambut birunya.
Gadis disebelahnya melepaskan ikat rambutnya, membuat rambut hitamnya tergerai dengan bebas. "Hmm… Semoga saja kedamaian ini terus berlanjut…" ujarnya sambil tersenyum penuh arti.
Aoki diam sebentar. Kelopak mata itu kembali terbuka, menunjukan sepasang iris berwarna langit itu dengan jelas. Sebuah helaan nafas pendek lolos dari bibir mungilnya. "Hmm… kenapa mereka harus menyerang desa ini…? Padahal kita semua di sini juga membutuhkannya…"
"Itu karena mereka pemerintah. Mereka bisa mengambil apapun yang mereka inginkan… Memuakan…" ujar sebuah suara laki-laki yang terdengar seperti suara perempuan.
Gadis beriris darah itu menghela nafas pelan, "Piko, bisa hentikan nada ketusmu itu?"
Pemuda berambut putih dengan ahoge berbentuk 'P' itu hanya diam. Kalau diperhatikan, bukan hanya suaranya, wajahnya pun tampak seperti seorang gadis. Dan lagi, dia memilik keanehan pada bagian matanya. Mata kirinya berwarna lazuardi, sementara mata kanannya berwarna emerald.
"Kupikir… jika pemerintah bisa berlaku adil, aku bisa menghentikan nada ketusku, Zatsune-san," ujarnya datar.
"Mou, Piko, sudah kubilang, panggil aku 'Onee-san'!" ujar gadis bernama Zatsune itu.
Aoki hanya terkekeh kecil melihat tingkah dua 'saudaranya'nya itu. Yah, walaupun sebenarnya mereka bukan saudara kandung. Zatsune Miku, nama gadis berambut hitam itu. Ia lebih sering dipanggil 'Zatsune' karena ada orang lain yang dipanggil Miku. Dia adalah orang yang menampung beberapa anak yatim-piatu. Aoki salah satunya. Yang dia tahu namanya Aoki, tidak tahu selain itu. Kemudian, Utatane Piko, orang tuanya meninggal dibunuh oleh pembunuh bayaran dari pemerintah. Karena itu dia sangat membenci pemerintah. Belum lagi kaisar yang sekarang sering berlaku semenang-menang.
Setidaknya, dulu desa ini adalah desa yang sangat damai dan makmur. Tsukishiro, nama desa itu. Desa yang dijuluki sebagai desa 'Bulan Putih'. Disebut begitu karena bulan dapat dilihat dengan jelas dari desa itu, dan desa itu terkenal atas berasnya yang berkualitas tinggi. Namun, sekarang pemerintah ingin mendirikan sebuah benteng di desa itu. Masih baik jika mereka sudah menyediakan tempat tinggal baru, namun mereka justru mengusir warga desa itu. Padahal, warga desa itu juga sudah membayar pajak. Jadi sudah sepantasnya jika mereka memiliki tempat tinggal.
Ditambah lagi mereka mengirim orang-orang tak dikenal untuk merusak desa itu. Bahkan, beberapa gadis di desa itu pernah merasakan pengalaman buruk dari pada orang tak dikenal itu. Ah, dasar pemerintah. Sebenarnya tugas mereka itu apa 'sih?
Tiba-tiba, terdengar suara teriakan melengking dari salah satu warga desa. Tentu saja ini membuat Aoki, Zatsune, dan Piko terkejut. Salah seorang warga ada yang berlari melewati mereka. Mereka pun bertanya ada apa.
"Orang-orang itu datang lagi! Mereka lebih banyak dari sebelumnya!"
Kontan saja ketiga remaja itu terkejut. Ketakutan memenuhi tubuh mereka bertiga. Ya, pengalaman buruk dengan yang sebelumnya. Pasti kali ini mereka akan lebih kejam. Zatsune, Aoki, dan Piko langsung menggiring anak-anak yang sudah mereka anggap saudara masuk ke dalam rumah. Anak-anak itu lain pun kembali ke rumah mereka masing-masing.
Tak lama, suara derap langkah kuda terdengar. Ya, mereka sudah datang. Sayangnya, sebelum sempat semua anak masuk ke dalam rumah, salah satu laki-laki yang menggenakan pakaian paling berbeda dari yang lainnya sudah sampai di depan kediaman mereka bertiga. Agaknya dia adalah pemimpin dari komplotan itu. Pria itu menyeringai tatkala melihat apa yang ada di hadapannya. Zatsune dan Aoki melindungi anak-anak yang lebih muda dari mereka dengan menghalangi pintu masuk. Sementara pemuda berusia 15 tahun itu melindungi kedua saudarinya itu.
"Wah, wah, tampaknya aku dapat mangsa yang bagus~ Dua orang gadis dan seorang laki-laki~ Sepertinya aku bisa bersenang-senang sedikit~" ujarnya sambil tertawa licik, diikuti tawa anak buahnya yang berjumlah sekitar 20 orang itu. Dan lagi, mereka semua bersenjata.
Sang pemimpin turun dari kudanya, dia berjalan mendekati mereka bertiga. Keringat dingin dapat terlihat dengan jelas di wajah mereka. Terutama Piko. Rasa takut itu tak bisa hilang dengan mudah. Namun, dia harus melindungi keluarganya. Dia 'kan laki-laki.
"Oh… Kau anak Utatane sial itu 'ya?"
Piko langsung menampakan wajah serius tatkala mendengar nama keluarganya disebutkan.
"Heee~ Rupanya kabar yang beredar benar…"
Piko menaikkan sebelah alisnya, begitu juga dengan dua saudarinya, "Apa maksudmu?"
Pria dengan katana yang bertengger angkuh pada pinggulnya itu tertawa dengan kejam. Membuat pemilik bola mata yang berbeda warna itu menggeram kesal.
"Tentu saja kabar itu… Bahwa kau adalah 'anak yang tidak seharusnya lahir'!"
Piko menggeratkan giginya. Amarah memenuhi pemuda berambut putih itu, namun ia masih bisa memakai akal sehatnya. Ya… memang… Mereka yang memiliki warna mata berbeda adalah… 'orang yang tidak seharusnya lahir'. Kira-kira begitulah kepercayaan orang-orang. Konon, orang seperti itu bisa membawa mala petaka untuk keluarganya dan orang-orang yang dekat dengannya.
Pria itu melirik Zatsune dan Aoki sekilas. Kemudian ia menjilat bagian bawah bibirnya. Ia pun berjalan mendekati dua gadis itu. Namun, Piko sudah lebih dulu menghadang pria itu.
"Minggir!" gertaknya pada pemuda berwajah manis itu.
Piko sama sekali tak bergerak dari tempat itu. Dia menatap pria di hadapannya penuh amarah. Pria itu pun merasa kesal dengan tatapan pemuda di hadapannya itu. Ia langsung menendang perut pemuda beriris biru-emerald itu. Kontan saja Piko sedikit terlempar dari tempatnya berdiri. Ia jatuh dalam posisi terlentang, memegangi perutnya yang sakit.
Zatsune dan Aoki langsung berlari ke arah Piko yang masih terkapar di tanah. Tentu saja merek khawatir dengan kondisi saudara mereka itu. Pria itu menyeringai, ia kembali mendekati tiga remaja itu. Zatsune yang menyadari itu langsung melindungi adiknya itu.
"Oh~ Gadis yang manis~ Bagaimana jika kau bersenang-senang denganku?"
Zatsune menatap pemuda itu jijik. "Bermimpi saja kau…" ujarnya dengan nada yang terkesan seperti menggeram.
Pria itu terkekeh kecil. Ia menatap gadis di hadapannya itu penuh nafsu, "Kalau begitu aku akan memaksamu," tepat setelah kata-kata itu diucapkan, pria itu langsung melayangkan tinjunya ke perut gadis beriris darah itu. Pukulan yang cukup keras itu tentu saja membuat gadis itu tak sadarkan diri.
Tubuh ramping itu langsung terjatuh ke tanah. Pria itu tertawa dengan kejamnya. Piko dan Aoki hanya bisa menatap itu dengan amarah. Sebelum pria itu membawa Zatsune, Piko langsung menendang pria itu hingga ia jatuh tersungkur, dan Aoki langsung memapah kakaknya menjauh dari tempat itu.
Pria itu menatap Piko penuh amarah, ia langsung menarik katananya. "Mati kau!" ujarnya sembari menebaskan katananya.
"Piko-kun!" Aoki langsung berlari ke arah Piko dan memeluk pemuda yang beberapa bulan lebih muda darinya itu.
Tepat sebelum mata pisau itu mengoyak kulit, pria itu sudah lebih dulu terlempar dari tempatnya berdiri. Aoki dan Piko tentu saja terkejut dengan kejadian itu. Tampak seorang pemuda dengan rambut berwarna hijau tua dengan sebuah katana yang sarungnya tidak dilepas berada di genggamannya, tengah berdiri memunggungi mereka.
Aoki langsung membulatkan matanya, 'Di-dia 'kan!'
"KAU! Berani-beraninya kau menghunuskan senjata padaku!" ujar pria itu dengan kesal. Pasalnya, pemuda hijau tadi, Nigaito, baru saja memukulnya dengan katananya. Yah… bersyukur katananya sama sekali tak keluar dari dalam sarungnya.
"Kalian semua, sebaiknya pergi dari sini! Aku tak ingin membunuh kalian! Jadi lebih baik kalian tinggalkan tempat ini!" ujar Nigaito pada semua orang-orang berkuda itu.
Pimpinan itu tertawa dengan kerasnya. "Kau menggertak kami anak muda?! Justru kau yang harusnya menghawatirkan dirimu sendiri!"
Nigaito menghela nafas pelan. Tak lama terdengar jeritan dari para anak buah pria itu. Ia menengok, dan mendapati seluruh anak buahnya sudah dalam keadaan tak bernyawa. Di sana, di antara mayat-mayat itu, berdiri 6 orang yang masing-masing memegang katana.
"TEME!" pria itu langsung melayangkan katananya ke arah Nigaito. Namun, pemuda berusia 15 tahun itu langsung mematahkan katana tersebut dengan satu kali terbasan. Kemudian ia melayangkan katananya pada pria itu, membuat pria itu tesungkur. Pria itu pun langsung berlari tunggang langgang meninggalkan tempat itu.
Pemuda beriris emerald itu langsung menoleh ke Aoki dan Piko, "Kalian baik-baik saja 'kan?" tanyanya dengan sopan, dijawab anggukan singkat dari dua orang itu.
Nigaito tersenyum kecil, "Yokatta."
Tak lama, para warga yang sebelumnya bersembunyi pun keluar dari tempat persembunyiannya. Mereka semua menatap takjub pada tujuh pemuda itu. Pasalnya mereka bisa mengalahkan 20 orang. Tak lama, Meito yang sudah ada di situ berdehem pelan.
"Minna-san, mereka ini adalah samurai bayaran yang akan menolong kita!" ujarnya pada semua warga desa itu.
Kaito berdehem sekali, "Oh, aku lupa bilang. Mereka adalah 'Shion'!" lanjut Meito. Semua warga di situ langsung takjub. Pasalnya, Shion adalah salah satu kelompok samurai yang sangat kuat. Konon, mereka pernah melayan lebih dari 500 orang hanya bertujuh, dan menang tanpa ada yang mati.
"Aku, Shion Kaito, ketua dari Shion! Mulai saat ini kami akan melindungi kalian sampai mereka pergi! Jika perlu, nyawa kami bayarannya!"
Semua yang ada di situ kembali bersorak senang. Atas kehadiran samurai-samurai itu. Mereka berpikir bahwa mereka akan selamat dari para penjahat itu. Atau mungkin… mereka yang berpikir seperti itu. Karena, tidak ada yang tahu takdir apa yang menunggu mereka.
~To Be Continued~
Author's Territorial
Kaito (OC) : Kelar~ Yah begitu 'deh, minna-san. Jadinya mereka ini ada di zaman Edo. Jadi, nggak ada mobil dan yang lainnya~ Ini juga nggak ada kekuatan super. Orang genrenya bukan supernatural/fantasy~
Koyuki : Ini baru awal. Gomen kalau kurang memuaskan. *bowing*
All : R&R, minna!
R&R?
V
V
V
