Deru mesin motor yang dinyalakan meramaikan malam itu. Tiga buah sepeda motor berbeda warna berjejer di sebuah jalanan besar—siap untuk balapan. Seorang perempuan dengan tanktop dan hotpants hitam berdiri di hadapan mereka, air-soft gun di tangannya mengarah ke langit tanpa bintang—efek dari polusi cahaya tengah kota.

"Bersiap."

Suasana semakin menegangkan. Tiga pembalap yang hendak bertanding mulai menarik gasnya—bertekad mengalahkan satu sama lain. Adrenalin ketiganya terus meningkat, menunggu aba-aba untuk melesat di jalanan.

Baru saja trigger akan ditarik, satu pembalap lain datang tak diundang dengan motornya, menginterupsi dimulainya pertandingan.

"Gue mau ikut tanding!" serunya, setelah sampai di garis start trek balapan dengan posisi siap balapan.

Seorang random racer, menantang tiga night racer terbaik di New Vocaloid City. Random racer itu memakai jaket hitam kulit dengan beberapa strip kuning di bagian lengan atas sebagai hiasan. Hoodie jaket tersebut menutupi wajah. Goggles oranye menutupi pandangan. Beberapa rambut sewarna madu menembul keluar dari dalam hoodie yang dikenakan.

Seorang racer turun dari kendaraannya. "Heh? Siapa elo? Punya apa elo berani ikut racing?" tantangnya, dengan nada meremehkan. Ia adalah satu dari tiga night racer terbaik yang hendak bertanding malam ini. Ia memakai mantel putih panjang yang cukup tebal berhias garis-garis biru di beberapa bagian. Syal biru-putih panjang melingkar longgar di leher. Goggles biru melindungi mata sebiru kristal yang senada dengan warna rambutnya.

"Gue pengen coba racing sama kalian. Newbie dari Las Vegas. Elo semua bisa panggil gue Rinto," balas night racer random yang mengaku bernama Rinto. Tentu saja Rinto bukanlah nama aslinya. Setiap night racer memiliki nama samaran untuk melindungi privasi mereka akan kehidupan nyata. Seakan memiliki dua kepribadian yang hidup di dua dunia yang berbeda siang dan malamnya.

Racer lain turun dari motornya, menyusul racer ber-goggles biru. "Prize dari elo?" tanyanya, dingin. Rambut ungu panjang yang ia ikat di belakang berkibar terbawa angin malam. Begitu pula dengan mantel ungu gelap yang berhias strip putih. Perawakannya yang tinggi membuat Rinto haruslah mendongak untuk menatap purple racer itu.

Cring!

Sebuah benda yang diambil dari saku jaketnya ditunjukkan pada dua racer itu. Sebuah kunci berwarna perak yang amat berkilauan dibawah sinar bulan.

"F4. Claudio Castiglioni. Di rumah gue," ucapnya. Kedua matanya berkilat tajam, menantang. Dua racer tadi kembali ke motornya dengan seringai di wajah. F4 Claudio Castiglioni? Yang hanya diproduksi seratus unit di seluruh dunia? Dari pembalap pemuda?

Not bad.

"Deal." mereka berucap sebelum bersiap kembali dengan motornya untuk balapan.

"Chevrolet Convertti di basement La Nuit Apartment."

"Agusta Tamburini. Yang gue pake sekarang."

Mereka mengumumkan taruhan dari mereka. Rinto hanya menyeringai, lalu bersiap di garis start untuk ikut balapan bersama mereka.

"Track?"

"Tiga kali empat boulevard. Hotel Majesty, Le Café, Music Park."

"Bersiap."

Perempuan berbaju minim tadi kembali bersiap dengan senjatanya setelah sebelumnya diinterupsi oleh racer newbie bernama Rinto.

Air-soft gun itu diarahkan ke langit untuk kedua kalinya. Telunjuknya berada di trigger, siap untuk memberi aba-aba dimulainya balapan malam.

DOR!

Begitu trigger ditarik, keempat motor itu langsung melesat—memperebutkan peringkat pertama agar mendapat hadiah dari taruhan yang telah dipasang.

.

.


Night Race!
By: Kyoura Kagamine

Vocaloid © Yamaha, Crypton

a non-profitable fanwork


.

Chapter I—First Race!

.


.

.

"Gue gak nyangka. Elo yang newbie, bisa ngalahin gue yang udah sering menang balapan! Gilaaa!" Salah satu racer berambut biru memuji Rinto sambil menyerahkan kunci motornya—taruhan darinya.

"Thanks," balas Rinto, singkat. Kunci motor MV Agusta Tamburini telah berada di genggamannya. Bukti simbolis bahwa motor mahal itu kini jadi miliknya.

"Gue Kyte. Seneng bisa balapan sama elo, Rinto!" ujar sang blue racer yang ternyata bernama Kyte. Tentunya bukan nama aslinya. Itu adalah namanya di dunia malam, yang hanya diketahui rekan sesama pembalap malam.

"Oke, Kyte. Lo dapet Agusta Tamburini darimana, sih? Minggu kemaren gue cari di Vegas, gak nemu," kata Rinto pada Kyte, membahas mengenai motor Kyte yang sudah dipindahtangankan.

Kyte hanya mendengus geli sebelum akhirnya menjawab. "Gue udah pre-order dari jauh-jauh hari. Gue suka modelnya jadi gue pesen aja."

"Well, elo hebat banget, Rinto. Kecepatan berapa tadi elo? Gue sampe gak bisa liat elo sama sekali." Pemuda yang lain mendekati Rinto dan Kyte sambil menyerahkan sebuah kunci pada Rinto. Kunci mobilnya, Chevrolet Convertti yang menjadi taruhannya untuk balapan malam ini.

"Gue gak liat speedometer, sih. Gak sempet. Tapi kayaknya sekitaran dua ratus berapaa gitu. Gue lupa." Rinto memasukkan kunci mobil tersebut ke saku jaketnya. Dua benda mahal dalam satu malam. Rinto benar-benar newbie yang diberkahi.

"Dan elo gak kebawa angin sama sekali. Elo macho banget. Eh, gue Gackt. Seneng bisa kenal sama elo!" Pemuda berambut ungu panjang itu mengulurkan tangannya, hendak berkenalan secara formal dengan Rinto.

Rinto tersenyum kecil sebelum menyambut uluran tangan Gackt. "Rinto. Seneng bisa kenal sama elo juga."

"Eh! Elo! Sini! Kasih taruhan elo ke dia!" Kyte berseru pada racer lain yang sejak tadi tak berbicara. Hanya diam di motor sambil memainkan ponselnya. Perempuan berpakaian minim yang tadi ada di arena balapan, perempuan pemberi aba-aba sekaligus yang menentukan pemenang, berada di sebelah pemuda itu.

Pemuda yang dipanggil oleh Kyte menoleh, turun dari motornya, lalu mendekati Rinto, Kyte dan Gackt.

"Allen." ucapnya, tanpa menatap Rinto maupun mengulurkan tangan. Pemuda itu—namanya Allen—memiliki postur yang hampir mirip dengan Rinto. Ia tak setinggi Kyte maupun Gackt. Ia memakai jaket hitam dengan hoodie yang menutupi rambut pirang madunya. Goggles kuning menutupi iris biru lautnya.

"Rinto." balas Rinto. Senyuman jahat muncul di bibirnya. "Jadi? Mana hadiah gue? Ah, jangan bilang elo gak masang taruhan?" ucapnya, menantang sekaligus memancing Allen untuk bicara.

"Syarat buat ikut balapan itu taruhan. Kalo elo belom tau," balas Allen, ketus.

"Terus? Mana hadiah buat gue? Buat seorang night racer newbie yang barusan ngalahin elo, wahai night racer pro?"

Kesabaran Allen makin menipis. Alisnya bertaut. Kedua matanya berkilat tajam, mendelik Rinto yang berada di hadapannya.

Ini anak … masih newbie tapi udah berani nantangin yang pro? Belagunya kebangetan.

"Lo liat cewek yang di sana?" Allen menunjuk perempuan yang berada di dekat motornya—bisa dibilang satu-satunya perempuan di antara mereka. "Dia taruhan dari gue."

"Hah?" Rinto masih belum mengerti. "Maksudnya?"

"Elo bisa ambil cabe-cabean gue."

Alis Rinto terangkat sebelah. Ia mengalihkan pandangannya dari Allen ke perempuan yang ditunjuk oleh Allen, yang berdiri sendirian di dekat motornya Allen.

Jadi cewek itu … cabe-cabean, ya?

Rinto teringat dengan kabar burung yang ia dengar mengenai cabe-cabean—cewek yang jadi taruhan dalam balapan liar seperti sekarang ini.

"Hmph! Sorry ya. Gue emang bermaksud buat nyakitin hati elo. Gue gak suka cabe." Senyum sinis muncul di bibirnya. "Pedess!" desisnya, mengejek.

Allen mendelik padanya. Deathglare diluncurkan dengan suksesnya oleh Allen pada Rinto. Oke, cukup sudah. Kesabarannya sudah habis. Ia bertekad untuk menjadikan Rinto sebagai rivalnya! Rival terbesarnya! Sang newbie belagu di hadapannya, haruslah ia kalahkan karena ialah night racer terbaik di New Vocaloid!

Deathglare Allen dibalas dengan tatapan mengejek oleh Rinto. Merasa suasana di sekitarnya mulai memanas, Kyte mendekati Rinto dan berbisik padanya—walau agak kencang. "Eh! Rinto! Di sini, cabe-cabean itu taruhan paling mahal di balapan malam. Asal elo tau aja, sih."

"Tapi gue gak suka cabe, Kyte. Pedes. Kayak makhluk pendek di depan gue ini, nih!" ucap Rinto, memancing kerusuhan.

"Elo lebih pendek dari gue, Rinto."

"Gue masih masa pertumbuhan, wahai Allen-sang-pembalap-pro-terbaik-di-New-Vocaoid-yang-baru-aja-kalah-sama-newbie-asal-Vegas." Rinto mengejek Allen. Situasi makin memanas, Kyte melirik Gackt yang sejak tadi diam saja. Memberikan kode agar segera memisahkan Rinto dan Allen supaya tidak terjadi kerusuhan.

Darah mulai mengalir ke kepala Allen. Cukup sudah! Rinto keterlaluan dan harus dihajar saat ini juga!

"Elo cuma beruntung aja, newbie! Elo menang gara-gara gue yang sengaja ngalah buat newbie macam elo!" Allen ngeles.

"Yaah, Dewi Fortuna emang sayang banget sama gue, kok. Dia 'kan pacar gue. Dia selalu bikin gue beruntung setiap saat. Dan kayaknyaaaa dia benci banget deh sama elo yang sengak. Buktinya, tadi dia ngutuk elo Sang Pro Night Racer jadi sial dan berakhir kalah sama newbie macam gue." Rinto mengejek lagi. Kali ini bawa-bawa Dewi Fortuna yang sebenarnya bukan pacarnya. Mana mau Dewi Fortuna jadian sama makhluk nyebelin macam Rinto? Mendingan jomblo selamanya daripada jadian sama Rinto kayaknya.

Heh? Sebenernya siapa yang sengak di sini, newbie gak tau malu? Gue? Bukannya elo yang sengak? Masih newbie tapi lagaknya udah minta dicincang. Allen dongkol berat.

Ia menghela napas berat lalu berbalik membelakangi Rinto yang tengah menyeringai penuh kemenangan. Ia tak mau memperpanjang masalah dengan anak bawang belagu yang kini ada di belakangnya ini.

Gak level banget pro macem gue ributnya sama newbie, anak bawang macam dia. Allen berjalan menuju motornya kemudian menyalakan mesin.

"Soal elo mau terima apa nggak, itu terserah elo aja. Yang jelas itu taruhan dari gue. Terserah mau elo apain juga. Mau elo buang, elo jadiin babu, sopir, suruh ngelacur, terserah!" teriak Allen sebelum akhirnya melesat dengan motornya, meninggalkan cabe-cabeannya bersama dengan lawannya ketika balapan tadi.

Perempuan yang ditinggalkan Allen hanya menghela napas panjang. Ia melangkah mendekati Rinto setelah dirasanya Allen sudah cukup jauh. Rambut panjang perempuan itu berkibar pelan terbawa angin malam. Tubuhnya yang hanya ditutupi pakaian minim tidak membuatnya kedinginan di tengah malam seperti ini. Langkah kakinya anggun laksana model profesional.

"Elo … Rinto?" tanyanya, setelah jaraknya cukup dekat dengan Rinto.

Seringai Rinto luntur seketika. Kedua matanya menyorot perempuan berambut pink panjang di hadapannya ini. "Gak usah gue jawab, ya. Kayaknya elo udah tau, sih."

"Gue … Lukana." Perempuan itu bergumam pelan dengan wajah tertunduk dalam. Poni rambutnya yang cukup panjang menghalangi wajah cantiknya.

"Hmm. Elo oke juga. Lumayan, lah. Sekarang elo milik gue, bukan milik Allen. Gue mau elo naik ke motor gue, gue mau bawa elo ke suatu tempat." Rinto berkata sambil menaiki motornya dan menyalakan mesin motor tersebut.

Lukana hanya menurut. Ia menaiki motor Rinto dengan canggung.

"Gackt! Mobilnya gue ambil besok kayaknya!" seru Rinto pada Gackt. Dibalas dengan acungan jempol dari Gackt, tanda persetujuan darinya. "Kyte! Elo ikutin gue, elo nganterin motor, ya. Mana mungkin gue bawa dua motor sekaligus, 'kan?" kali ini, Rinto berseru pada Kyte sambil melempar kunci motor barunya pada Kyte.

Cring!

Kunci motor ditangkap dengan baik oleh Kyte. Segera, Kyte menaiki motornya kemudian menghidupkan mesinnya. Goggles biru yang ia lepas sebelumnya, ia pasang kembali—untuk melindungi matanya dari debu jalanan.

"Gue duluan!" Gackt membawa motornya berbalik arah—hendak pulang ke kediamannya. Tak lama, Gackt pun luput dari pandangan.

Rinto pun segera menarik gas motornya, membawa motornya dan perempuan di belakangnya ke kediamannya. Diikuti oleh Kyte yang mengantarkan motor barunya.

.

"Thanks udah nganterin motor gue, Kyte!" ujar Rinto sambil menangkap kunci motor yang dilempar oleh Kyte. Rinto, Kyte dan Lukana telah sampai di kediaman Rinto.

"No prob!" balas Kyte. "Oh, iya. Gue boleh masuk dulu gak? Minta minum. Kalo ada es krim sih, es krim aja." Kyte nyelonong masuk ke kediaman Rinto. "Oh iya. Soal surat-surat motor gue … ntaran, ya. Nyusul. Gue lupa bawa."

Rumah Rinto cukup besar, sebenarnya. Terdiri dari tiga lantai termasuk lantai dasar. Eksteriornya antik dengan pilar-pilar besar sebagai penyangga. Sebuah garasi yang cukup besar berada di samping kiri rumah. Terdapat taman yang cantik dengan air mancur di depan rumah. Warna putih mendominasi rumah tersebut. Rumah gaya-gaya komplek elit bagian cluster Washington.

Rinto hanya tertawa kecil sebelum akhirnya masuk ke rumahnya diikuti oleh Lukana—menyusul Kyte yang sudah masuk duluan.

"Elo berdua tunggu di sini, gue ambil minuman dulu." Rinto meninggalkan Lukana dan Kyte di ruang tamu untuk mengambil minuman. Tak butuh waktu lama hingga Rinto kembali, membawa satu cup es krim dan minuman yang ia sajikan dengan gelas wine tinggi.

Melihat es krim di hadapannya, Kyte tersenyum sumringah. Ia langsung meraih es krim itu, lalu memakannya dengan cepat tanpa ada rasa ngilu karena dingin di giginya.

"Elo perhatian banget, Rinto. Gue seneng akhirnya bisa dapet es krim!" puji Kyte, masih memakan es krimnya.

Rinto hanya menghela napas. Lelah rasanya melihat Kyte yang tadi tampak sangat macho ketika balapan ternyata amat menyukai makanan jadi-jadian macam es krim. Imej cowok keren Kyte di mata Rinto pun runtuh seketika.

"Oh, iya. Elo pulangnya pake apa, Kyte? Motor elo 'kan udah jadi milik gue." Rinto bertanya.

Kyte menjilat sisa-sisa es krim yang masih tersisa di cup es krimnya dengan nikmat. Beberapa belepotan di sekitar mulutnya.

Buset. Cepet amat!

"Paling naek taksi."

"Emangnya ada taksi tengah malem gini?"

"Gak tau juga, sih."

Rinto berpikir sejenak. Masa' iya, Kyte harus jalan kaki sampai rumah? Well, Rinto gak sekejam itu kali. Walaupun tingkahnya menyebalkan, tapi Rinto masih punya sisi lembut ala manusia dalam dirinya yang seringkali disebut-sebut setan nyasar itu.

"Gini, deh. Elo pake motor elo dulu buat pulang. Besok sore elo anterin motornya ke rumah gue. Sekalian surat-suratnya. Masih inget, 'kan?" dibalas dengan anggukan dari Kyte. "Gue gak tega sama elo. Masa' iya, elo, night racer pro se-level Allen balik jalan kaki tengah malem?"

Kikik geli terdengar dari Kyte.

"Oke, oke. Sekali lagi. Makasih, Rinto. Ternyata elo gak setan-setan amat. Gue kira elo emang setan luar dalem. Minggu depan kalo elo mau ikutan, di 3rd Boulevard, Hotel Washington, jam sepuluh. Kita racing rame-rame sama racers yang lain. Yaudah, gue cabut, ya! Besok gue anterin motornya!" Kyte meninggalkan kediaman Rinto, membawa motor pinjaman.

Tersisa Rinto dan Lukana di ruangan itu.

Rinto membuka hoodie jaketnya, menampakkan surai pirang madu yang serupa dengan milik Allen. Lukana tertegun melihatnya. Rambut yang halus. Pikir Lukanya, berdelusi ia memiliki rambut selembut helaian madu Rinto.

Tiba-tiba, pandangan Lukana menggelap. Tertutupi jaket Rinto yang baru saja dilepas. Ketika kain gelap itu telah disingkirkan dari pandangannya, Lukana terkesima melihat Rinto sekarang.

Goggles oranyenya telah dilepas. Menampakkan kristal sewarna samudra yang nampak berkilauan. Rambut Rinto ternyata sama seperti Allen—pirang madu sebahu. Namun milik Rinto diurai—berbeda dengan Allen yang rambutnya selalu diikat. Poni panjangnya ditahan dengan empat buah jepit putih. T-shirt hitam agak longgar membungkus tubuh yang ternyata tidak beda jauh dengan milik Allen.

Atau begitulah yang Lukana ingat.

"Ah, iya. Elo … Lukana, 'kan?" tanya Rinto. Ia duduk di sebelah Lukana yang tengah sibuk mengatur irama jantungnya yang mendadak tidak beraturan.

"Iya." Lukana hanya bisa berbisik.

"Cewek harusnya gak pake baju pendek tengah malem gini. Kalo ceweknya sakit, berarti cowoknya brengsek banget," ucap Rinto lembut sambil memakaikan jaket hitamnya pada Lukana. Semburat merah menjalar di wajah Lukana. Panas, tapi ia senang diperlakukan seperti ini. Ia merasa … dihargai. Ia merasa dihargai sebagai seorang perempuan.

"M-makasih," gumam Lukana. "Oh, iya. Boleh gue tau nama asli elo?" Rinto bertanya.

"Luka. Megurine Luka."

"Kok elo mau sih, jadi cabe-cabean?"

"Sebenernya gue ikut-ikut night race gara-gara gue males di rumah. Bonyok gue berantem mulu kerjaannya. Gue jadi jengah. Yaudah gue pergi aja malem-malem. Lagian mereka gak peduli sama gue," ucap Luka. Dari sorot matanya, nampak jelas ia sangat sedih dengan kondisi keluarganya.

"Umur elo berapa?"

"Delapan belas."

Rinto tersenyum mengejek mendengarnya. "Delapan belas? Gue kira elo masih yaa sekitaran sepuluh tahun, lah!"

Luka mengernyit heran. Helloo? Bodi seksi gini dibilang sepuluh tahun?

"Umur delapan belas tuh harusnya udah mateng. Udah dewasa. Harusnya elo bisa ngebedain mana yang bener, mana yang salah. Kalo kayak gini, jual diri gini, elo malah kayak bocah sepuluh tahunan yang sok-sok-an pengen dewasa."

Perkataan Rinto amat menusuk hati Luka. Tapi ia tidak protes karena itu semua memang benar. Ia sadar, tingkahnya selama ini amatlah kekanakkan. Usia delapan belas seharusnya bisa membuatnya berperilaku seperti halnya orang dewasa!

Segaris air mata mengalir dari pelupuk mata Luka. Ia menangis haru. Ini pertama kalinya, ada seseorang yang berkata begitu padanya. Selama ini, ia memang tak pernah mendapatkan perhatian. Baik dari orangtuanya, maupun teman-temannya. Ini yang pertama, Rinto lah orang pertama yang peduli padanya!

Bukan Allen, bukan siapapun! Hanya Rinto seorang. Well, sepertinya Luka mulai tertarik pada Rinto. Tingkahnya yang dewasa, ucapannya yang bijak walaupun menyebalkan nan slengekan berhasil membuat Luka jatuh hati padanya.

"E-eh! Lo-elo jangan nangis, dong! Gue gak pernah nanganin orang nangis. Kasian sama gue napa?" Rinto mulai panik melihat Luka menangis. "Selama ini gak pernah ada orang yang nangis di sekitar gue—well, paling bayi doang itu juga kadang-kadang. Gue gak bisa ngehibur orang!"

"Gak apa-apa. Makasih, Rinto."

"Hah? Buat apa?"

"Makasih, elo udah perhatian sama gue. Gue mau kok, jadi cewek elo."

Hening seketika.

Mendengar perkataan Luka di sela-sela tangisannya, Rinto hanya bisa terdiam. Kedua lautannya menatap Luka—horror. Seakan Luka adalah setan spesies baru yang hanya bisa diusir dengan kekuatan sepuluh dukun asal Rusia.

"Elo … serius?"

Anggukan mantap dari Luka sepertinya cukup untuk menjawab pertanyaan Rinto.

"Tapi … gue cewek."

Sepertinya pesona Rinto telah membuat Luka buta sejenak sehingga tak melihat lekukan khas cewek dari Rinto—terutama di bagian dada dan pinggang yang… walau gak terlalu ngebentuk tapi jelas keliatan ceweknya.

Kali ini, biarkan Luka mengutuk dirinya sendiri di pojokan atas ketidakpekaannya pada hal-hal di sekelilingnya.

.

.


.

See you in the next chapter!

.

.


Pertama-tama, saya mohon maaf karena fanfic ini pernah saya hapus sebelumnya. Curhat dikit, ya. Jadi, saya nemu hp lama saya di lemari. Ternyata masih bisa nyala. Dan ada draf fic ini dari chapter satu sampai ending. Terus saya greget pengen republish. Dan... gitudeh. Hehehe.

Motor-motor yang ada di fanfic ini adalah tipe-tipe moge yang cakep dipake balapan. Jadi racers di sini wong sugih semua. Saya gak maksud bikin yuri, kok. Fanfic ini dibuat atas rasa sedih terhadap fenomena cabe-cabean yang sempat nge-hitz beberapa tahun lalu.

Ada yang berkenan untuk review?