*Based on Ruby Spark movie dan ff lama yang aku edit ulang. Mind to read and give you coment or like?
.
.
.
No.1
Itu adalah sebuah tempat kosong yang sangat luas. Kemana pun ia mengedarkan pandangannya semuanya tampak sama. Dan sejauh apa pun ia berjalan tidak pernah ia menemukan adanya pintu keluar, atau jendela, atau apa pun yang bisa membuatnya keluar dari tempat aneh ini. Tidak ada apa pun. Tidak ada siapa pun. Kosong. Luas. Sepi. Hanya ada cahaya senja yang menerangi tempat ini.
Dimana ini? Apa yang sedang ia lakukan di sini?, pikirnya bingung.
Ia berdiri dan menatap ke kejauhan, pada garis batas cakrawala di depannya. Lalu memicingkan matanya, merasa melihat bayangan seseorang. Ya, ada seseorang yang berdiri di sana, berdiri membelakangi langit yang memerah. Bias cahaya senja perlahan memperjelas bayangan itu. Bayangan seorang pemuda. Ia hanya berdiri dan memperhatikan, semakin memicingkan matanya dan berusaha melihat wajah pemuda itu. Tetapi karena jarak yang cukup jauh dan pemuda itu berdiri membelakangi cahaya senja, ia tidak dapat melihat wajahnya.
Siapa pemuda itu? Dan kenapa ia justru merasa senang ketika melihatnya?, pikirnya penasaran.
Pemuda itu menoleh ke kanan dan kiri, nampaknya ia sedang mencari sesuatu. Ketika melihatnya, pemuda itu berjalan menghampirinya dengan sedikit terpincang. Lalu ia segera menyadari bahwa pemuda itu hanya memakai satu sepatu di kaki kanannya, sementara kaki kirinya telanjang.
"Di situ kau rupanya, Chanyeolie," pemuda itu berkata padanya dengan nada riang. "Aku mencarimu kemana-mana."
Ia tidak yakin siapa pemuda itu, namun rasanya seolah mereka telah lama saling mengenal. Ia hanya mengerjap, terpesona pada suara yang bagaikan dentang loncang itu. Begitu indah. Ketika pemuda itu semakin berjalan mendekat akhirnya ia dapat melihat wajahnya. Dan ia kembali terpesona melihat seraut wajah yang manis. Begitu memikat. Semakin pemuda itu mendekat hingga akhirnya berdiri di depannya, ia semakin terpesona oleh kecantikan pemuda itu. Mata cokelatnya nampak cemerlang, dan rambutnya tak hanya satu warna; selusin tingkat warna dari cokelat muda ke pucat keemasan. Seluruh warna bagai matahari terbenam itu menyergapnya dalam sekejap, berkilau bagai kembang api.
Ia masih saja tidak bisa mengalihkan pandangannya dari sosok manis di depannya itu. Dan ketika pemuda itu memiringkan kepalanya—nampaknya dia sedang berpikir—ia harus berusaha melindungi matanya dari bias cahaya senja di belakang pemuda itu dan memicingkan matanya lagi agar bisa melihat wajah manis itu dengan jelas. Ia masih ingin menikmati kecantikan itu.
Lalu sambil menoleh ke kanan dan kiri mencari sesuatu, pemuda manis itu bertanya, "Kau melihat sepatuku yang lain?"
Ia tidak menjawab, hanya memperhatikan pemuda manis itu lekat-lekat. Menyadari sedang diperhatikan, pemuda manis itu berhenti mencari dan menoleh, memandangnya dengan sedikit heran. Lalu pemuda manis itu tersenyum dan berkata,
"Apa?"
Ia masih tidak menjawab, masih menatap pemuda manis itu dengan penuh takjub. Bias cahaya senja yang semakin memerah membuat sosok di depannya itu nampak semakin indah. Pemuda manis itu memandangnya dengan heran, memiringkan kepalanya ke kanan, lalu menegakkan kepalanya kembali dan nampak tersipu. Dia tersenyum kembali dan berkata,
"Apa? Kenapa kau menatapku seperti itu?"
*ChanBaek*
Biipp...biipp...biipp...
Suara alarm yang nyaring menyentakkan Chanyeol dari mimpinya yang aneh. Ia terbangun dengan terkejut dan segera mengulurkan tangannya ke atas kepala, pada sebuah tempat yang ia jadikan meja untuk lampu baca, jam digital, beberapa pajangan kecil dan kacamatanya. Sejenak ia mencari jam digital yang terus menyuarakan alarmnya dengan nyaring, hingga akhirnya menemukannya. Segera ia mematikan suara nyaring itu. Ia membalik tubuhnya, mendongakkan kepalanya dan menatap benda berbentuk kotak tersebut. Angka digital berwarna hijau di dalamnya menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia beranjak bangun, duduk di ranjangnya dan mengerjap-ngerjap sesaat untuk mengembalikan kesadarannya, sebelum kemudian meraih kacamata dan memakainya.
"Wooff...wooff..." terdengar suara seekor anjing yang menyalak-nyalak di depan pintu kamarnya, seolah memanggilnya untuk segera bangun.
Chanyeol melirik ke arah jam digitalnya kembali dan teringat bahwa ini adalah waktunya untuk membawa anjingnya jalan-jalan. Setiap pagi ia harus membawa anjingnya jalan-jalan, jika tidak maka anjing itu akan membuang kotorannya sembarangan di rumah. Dan membersihkan kotoran anjing adalah bagian yang paling merepotkan bagi Chanyeol.
Setelah mandi Chanyeol mengajak Scott, anjing terrier piaraannya, untuk berjalan-jalan di luar. Anjing itu nampak senang sekali. Di taman, ia melepaskan tali di leher anjing terrier itu dan membiarkannya berjalan-jalan sendiri. Scott berjalan pelan sambil mengendus tanah dan berhenti di bawah sebuah pohon. Ia menoleh sesaat pada Chanyeol yang mengikuti dibelakangnya, memandangnya seolah sedang meminta ijin. Chanyeol pikir, anjingnya ingin membuang kotoran di bawah pohon itu. Maka ia hanya berkata dengan nada lelah,
"Silahkan!"
Namun ternyata Scott hanya duduk di bawah pohon itu dan mendongak menatapnya. "Scotty. Ayolah, nak. Scotty," kata Chanyeol, seolah ia sedang membujuk seorang anak kecil. Ia tidak ingin anjing kecilnya mengotori rumahnya dengan kotorannya nanti. "Lakukan saja, Scotty."
Namun Scotty bergeming, dia tetap duduk dan memalingkan wajahnya ke arah lain. Chanyeol pun menghela napas, berdoa semoga nanti anjing kecilnya tidak memberinya pekerjaan tambahan di rumah. Ia memalingkan wajahnya dan merasakan frustasi itu kembali datang. Frustasi dari perasaan kesepian yang akhir-akhir ini kerap menderanya. Semakin hari terasa semakin parah.
"Ok, ayo kita pulang," kata Chanyeol setelah akhirnya Scott hanya buang air kecil saja di bawah pohon itu. Ia mengaitkan kembali tali di kalung leher anjingnya dan mengajaknya pergi.
*ChanBaek*
Setelah tiba di rumah Chanyeol segera melepaskan tali di leher Scotty, menyimpannya di atas meja nakas dan berjalan ke dapur. Scotty mengikutinya, dia hanya duduk dan memandang Chanyeol yang sedang membuat dua roti panggang. Ketika Chanyeol sedang menuangkan kopi ke dalam cangkir, dua roti yang kini berwarna kecokelatan itu meloncat keluar dari mesin pemanggang bersamaan dengan suara klik. Chanyeol mengambil dua roti panggang itu dan meletakkannya di sebuah piring kecil. Sambil membawa sepiring roti panggang dan secangkir kopi sebagai sarapannya pagi ini, Chanyeol menaiki tangga menuju lantai dua. Scotty berlari kecil mengikutinya, ekornya bergoyang-goyang dengan riang. Dia meloncati anak-anak tangga dengan lincah dan mengikuti tuannya menuju ke ruang kerjanya.
Ruangan kerja Chanyeol hanyalah sebuah ruangan kecil yang sederhana dan simple, hanya ada beberapa rak buku, kalender dan beberapa kertas memo yang menempel di dinding, dan meja yang penuh dengan tumpukan kertas, lampu baca, sebuah cangkir—yang penuh dengan pensil, pulpen dan spidol berbagai warna—alat tulis, beberapa pajangan kecil, dan terakhir sebuah mesin ketik manual. Ya, dibandingkan menggunakan komputer yang canggih, Chanyeol lebih memilih untuk tetap menggunakan yang manual.
Manual dan kuno, persis seperti dirinya.
Chanyeol meletakkan sarapannya di atas meja kerjanya, lalu duduk di depan mesin ketik tuanya. Ia menyelipkan selembar kertas di dalam mesin itu, dan mengatur posisi kertasnya sesaat. Ia pun siap untuk mulai bekerja. Namun selama beberapa lama ia hanya memandang kertas putih dan mesin manual di depannya itu. Lalu ia memandang jari-jarinya yang terdiam di atas huruf-huruf yang menonjol pada mesin manual itu, seolah tidak tahu harus menekan huruf yang mana. Wajahnya mengerut, nampak bingung. Tiba-tiba otaknya terasa buntu untuk membuat sebuah cerita.
Ketika ia mengangkat pandangannya, Chanyeol menyadari bahwa Scotty sedang duduk di lantai menatapnya sambil menggigit mainannya. Baginya, mata hitam anjing kecil itu seolah sedang memojokkannya karena tidak bisa mengetik satu huruf pun dan membuat sebuah cerita yang menarik. Sejenak ia merasa kesal pada anjing kecil itu, namun ia lebih merasa kesal pada dirinya sendiri.
"Jangan menatapku seperti itu," ujar Chanyeol pada anjingnya. Scotty pun menjatuhkan mainan di mulutnya dan menundukkan kepalanya.
Chanyeol kembali pada kertas putih dan mesin ketik manualnya. Lagi, selama lebih dari sepuluh menit ia hanya menatap dua benda itu dengan bingung, hingga akhirnya suara dering telepon di mejanya membuatnya tersentak. Dengan cepat ia segera mengangkatnya.
"Ya?" katanya.
Sejenak ia merasa panik, takut jika itu adalah telepon dari penerbitnya. Deadline sudah ditentukan namun ia masih belum ada ide untuk novel terbarunya. Tetapi ketika ternyata ia mendengar suara Suho, kakaknya, di ujung telepon ia mendesah lega. Suho mengajaknya fitness di gym favoritnya. Sejenak Chanyeol berpikir, mungkin itu bisa menyegarkan pikirannya kembali.
"Ya, tentu. Aku akan segera ke sana," Chanyeol akhirnya menyetujui ajakan kakaknya tersebut.
*ChanBaek*
Gym itu nampak ramai seperti biasanya, penuh dengan orang-orang yang sibuk berolahraga dengan alat-alat dan fasilitas yang tersedia. Sebagian nampak serius berolahraga sambil mendengarkan musik, dan sebagian lagi hanya datang untuk sekedar tebar pesona dan melirik wanita-wanita cantik yang sedang berolahraga di sana. Chanyeol tidak peduli semua itu. Sejak tadi ia hanya berlari di atas treadmill dengan kecepatan sedang sambil mencoba menjernihkan isi kepalanya. Di sampingnya Suho juga sedang berlari di atas treadmill sambil sesekali melirik wanita-wanita cantik yang melewatinya.
"Cara yang hebat untuk memulai hari, kan?" Suho berkata pada Chanyeol yang sejak tadi hanya diam saja.
"Kurasa aku akan muntah," kata Chanyeol, yang sebenarnya tidak terlalu suka berolahraga. Namun Suho selalu saja mampu menyeretnya untuk ikut berolahraga dengannya.
Sejenak tidak ada yang berbicara. Mereka terus berlari di atas treadmill, sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya tiba-tiba Suho bertanya, "Eomma bilang kau pergi kencan minggu lalu. Bagaimana hasilnya?". Ia menoleh pada Chanyeol dan terlihat penasaran.
"Lumayan," hanya itu jawaban Chanyeol, namun itu tidak membuat Suho puas.
"Apa kau bercinta?" Suho bertanya lagi seraya memalingkan pandangannya kembali ke depan.
Pertanyaan itu membuat Chanyeol terlihat tidak nyaman. Ia menoleh ke kanan dan kiri sesaat, takut orang-orang akan mendengar pertanyaan kakaknya yang tidak tahu malu itu. "Hyung!" serunya kemudian, menoleh pada Suho sambil menunjuk ke sebelah kirinya.
Di sebelah kiri Chanyeol ada seorang nenek yang juga sedang berlari di atas treadmill dengan kecepatan lambat, dengan headphone berwarna pink menempel di telinganya. Nenek itu nampak tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya, dan jelas Suho juga tidak peduli apakah nenek itu atau orang-orang di sekitar mereka mendengar pertanyaannya barusan.
"Apa?" Suho hanya berkata dengan acuh dan menoleh pada Chanyeol.
Chanyeol meletakkan jari telunjuk di bibirnya, meminta Suho untuk diam. Lalu tangannya bergerak-gerak menunjuk nenek di sebelah kirinya dengan tidak nyaman. Suho menatap nenek tersebut. Lalu sambil menggerakkan tangan kirinya ke arah si nenek yang masih terus berlari pelan dan masih nampak tidak peduli apa pun itu, ia berkata dengan nada acuh,
"Dia tidak mendengarmu 'kan?"
Chanyeol memalingkan pandangannya ke depan dan memutar bola matanya dengan kesal. Suho masih menatap Chanyeol dan kembali bertanya, kali ini lebih blak-blakkan, "Apa kau tidak mau bercinta lagi di hidupmu?"
Chanyeol mengedarkan pandangannya ke segala arah, sedikit gelisah dan nampak tidak nyaman pada pertanyaan Suho yang tidak kenal tempat itu. Lalu ia menoleh pada Suho. "Ya," jawabnya. "Aku hanya berpikir, aku bukan tipe orang yang kasmaran."
Suho menatapnya sejenak dengan tatapan aneh, lalu memalingkan pandangannya ke depan. Chanyeol ikut memalingkan pandangannya ke depan dan kembali melanjutkan, "Gadis-gadis hanya mau tidur denganku karena buku yang kutulis saat SMA."
"Lalu?" tanya Suho, menoleh pada Chanyeol kembali.
"Mereka tidak tertarik padaku," jawab Chanyeol. "Mereka hanya tertarik pada beberapa gagasanku."
Sejenak Suho menatap adiknya dengan iba. Berbeda dengan dirinya yang selalu memperhatikan tubuh dan penampilannya, penampilan Chanyeol selalu terlihat biasa-biasa saja. Chanyeol bisa dikatakan...nerd. Seorang pria pintar yang menyembunyikan ketampanannya di balik kacamata, dan pakaian sederhananya.
"Itulah kenapa kau harus berlatih seperti ini, agar mereka tertarik pada tubuhmu," komentar Suho.
Chanyeol hanya diam, menoleh pada sang kakak dan memandangnya dengan tatapan yang seolah bertanya, apakah aku semenyedihkan itu?. Suho menghentikan alat treadmill-nya dan mengajak Chanyeol untuk berlatih dengan alat yang lain. Kali ini butterfly machine, alat yang berguna untuk melatih otot pectoralis (otot dada), terutama bagian tengah. Mereka duduk berhadapan dan mulai berlatih dengan alat tersebut. Sementara Suho nampak berlatih dengan serius, Chanyeol justru berlatih sambil menatap alat tersebut dengan bingung.
"Apa yang dilakukan benda ini?" tanyanya.
"Merubahmu menjadi dewa," jawab Suho tanpa menghentikan latihannya.
Chanyeol menatap kakaknya dan mendengus kecil. "Ok, teruskan," katanya.
Ia menoleh, mengedarkan pandangannya mencari sesuatu yang menarik. Lalu ia teringat sesuatu dan kembali menoleh pada Suho. "Hei hyung, aku bermimpi aneh semalam," katanya, berhenti berlatih. Ia terdiam sejenak dan mengernyit sebelum kemudian melanjutkan ceritanya, "Ada seorang pemuda manis dan dia..."
Suho mengangkat kepalanya dan menatap Chanyeol, nampak tertarik dengan cerita adiknya itu. "Bagaimana rupanya?" tanyanya sambil terus berlatih.
"Hanya pemuda normal," jawab Chanyeol, sedikit menggelengkan kepalanya.
"Lalu apa yang terjadi?" Suho kembali bertanya, nampak semakin tertarik.
"Dia hanya berbicara padaku," jawab Chanyeol sambil tersenyum kecil.
Suho diam selama beberapa menit dan ketertarikan di wajahnya perlahan memudar. Sambil kembali berlatih ia memalingkan pandangannya dan bergumam dengan kesal, "Menyedihkan."
"Sebenarnya itu menyenangkan," Chanyeol mengingat-ingat kembali mimpi anehnya semalam. Ia mengangguk-anggukan kepalanya dengan senang, lalu menoleh memandang kakaknya yang kini berhenti berlatih dan sedang memandangnya dengan tatapan aneh.
"Yang benar saja. Kau bahkan tidak bercinta dalam mimpimu? Itu..." Suho sedikit menggerakkan bahunya dan mencibir, "Menyedihkan."
Chanyeol terdiam dan hanya menatap Suho selama beberapa saat, lalu kembali berlatih tanpa suara. Raut wajahnya berubah sedih ketika kepalanya menyetujui ucapan Suho barusan. Ia memang menyedihkan.
Menyadari adiknya menjadi sedih, Suho merasa sedikit bersalah dan mencoba mengganti topik pembicaraan. "Hei, bagaimana kabar buku baru yang mau kau tulis?" tanyanya seraya kembali berlatih.
Chanyeol hanya menggelengkan kepalanya pelan sebagai jawaban.
*ChanBaek*
"Bagaimana kabar buku yang kau tulis, Chanyeol-ssi?" tanya Leeteuk ketika Chanyeol datang memenuhi janji konsultasinya sore ini. Psikiater berwajah malaikat itu menatap Chanyeol, yang selama tiga bulan terakhir ini menjadi pasiennya.
Pada sebuah sofa panjang berwarna merah khusus untuk pasien, Chanyeol duduk dan menundukkan kepalanya. Ia terdiam selama beberapa menit. Saat akhirnya pria tinggi bersurai hitam itu mengangkat kepalanya, Leeteuk dapat melihat sebuah perasaan kesal dan frustasi di dalam mata besarnya. Chanyeol menghela napas dengan bingung, kembali menundukkan kepalanya dan menjawab dengan nada frustasi,
"Entahlah. Aku mendapatkan ide bagus, seperti kenapa aku tak menulis tentang ayahku? Dan kemudian aku mulai berpikir, itu adalah hal terbodoh yang pernah ada. Siapa yang mau baca tentang, dia kecewa padaku, dan...bla, bla, bla?"
Chanyeol terdiam sejenak. Ia mengangkat kepalanya, menggerakkan tangannya dengan gelisah, menatap ke berbagai arah, lalu kembali menunduk. Ia kembali bercerita sambil sesekali mengacak-acak rambutnya dengan frustasi.
"Juga, aku berpikir untuk menulis tentang Scotty. Ya, dia berliur. Dia mengunyah sesuatu. Dia buang air kecil seperti seorang gadis, yang membuatku tidak nyaman. Dia harus banyak jalan-jalan, mengganggu hariku. Itulah sebabnya aku tak menulis."
Chanyeol kembali diam. Setelah merasa yakin bahwa Chanyeol telah selesai bercerita, Leeteuk bertanya, "Menurutmu itu alasan kau tidak bisa menulis?"
Chanyeol mengangkat kepalanya, menatap Leeteuk sejenak. Kemudian ia mendesah frustasi, menggeleng pelan dan kembali menundukkan kepalanya sambil berkata, "Tidak."
"Menurutmu kenapa kau tak menulis?" tanya Leeteuk lagi.
Chanyeol nampak bingung. Ia menjatuhkan tubuhnya ke samping dan bertanya dengan lelah, "Boleh aku minta Kuma sekarang?"
Leeteuk menatapnya sejenak dan bertanya dengan sabar. "Kau butuh Kuma sekarang?"
"Ya," jawab Chanyeol dengan lelah. Ia berbaring di sofa dan menatap langit-langit ruangan.
Leeteuk diam sejenak sebelum kemudian beranjak dari kursinya, dan berjalan menuju rak bukunya. Ia menunduk, membuka laci dan mengambil sebuah boneka beruang berwarna cokelat sambil bertanya,
"Chanyeol-ssi...kapan terakhir kali kau bertemu teman?"
Chanyeol memiringkan tubuhnya ke arah Leeteuk dan berpikir sejenak. "Suho hyung. Kemarin," jawabnya kemudian.
"Tidak. Selain kakakmu," kata Leeteuk seraya memberikan boneka beruang cokelat bernama Kuma itu pada Chanyeol yang kembali berbaring telentang.
Chanyeol menerimanya, dan sejenak merasa senang. Kemudian ia mengangkat sedikit kepalanya dan menoleh pada Leeteuk yang telah kembali duduk di kursinya. "Apa kau memberi Kuma pada pasien lain?" tanyanya. Ia nampak sedikit cemas.
Leeteuk menatap pasiennya tersebut dan tersenyum menenangkan. "Tidak, Kuma hanya untukmu," jawabnya seraya memperhatikan Chanyeol.
Chanyeol mendekatkan hidungnya pada boneka beruang cokelat itu dan mengendusnya. Ia mengernyit dan kembali menoleh pada Leeteuk. "Baunya aneh..." gumamnya.
"Chanyeol-ssi..." mengabaikan gumaman Chanyeol, Leeteuk berkata dengan hati-hati, "Ketika kau memutuskan untuk memelihara Scotty, apa yang kita bicarakan? Apa yang kau katakan soal harapanmu? Ingat?"
Chanyeol kembali menatap langit-langit ruangan. Sejenak ia meremas boneka kecil di tangannya. Kemudian ia menyentuh kepalanya dengan satu tangannya dan mendesah pelan. "Dia akan membantuku bertemu dengan orang-orang," katanya kemudian.
Leeteuk sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Chanyeol dan berkata dengan tegas, "Lebih keras!"
Chanyeol mengangkat sedikit kepalanya, menyibak surai hitamnya yang mulai sedikit memanjang. Lalu ia memandang langit-langit ruangan sejenak, sebelum kemudian ia mendesah pelan dan berkata sambil menggerakkan satu tangannya ke udara dengan gelisah,
"Dia akan mengagumkan dan aku akan pergi bersepeda bersamanya, dan lainnya. Dan orang-orang yang melihatnya akan ingin memeliharanya, dan aku akan menemui mereka. Tapi, Scotty takut ketika orang mencoba membelainya."
"Apa itu membuatmu malu?"
Chanyeol terdiam sejenak dan memeluk boneka kecil di tangannya. Lalu ia menoleh pada Leeteuk dan mengangkat sedikit bahunya. "Tidak," jawabnya kemudian.
"Aku ingin memberikan tugas menulis."
Chanyeol kembali mengangkat bahunya dan menatap Leetek dengan tatapan putus asa. "Aku tidak bisa menulis."
Leeteuk berpikir sejenak. "Baiklah, ini hanya untukku. Aku ingin kau untuk menulis satu halaman...tentang seseorang yang tidak takut melihat Scotty yang berliur...dan tetap menyukainya apa adanya. Bisakah kau lakukan untukku?"
Chanyeol menatap langit-langit ruangan dan terdiam selama beberapa lama. Mulutnya sedikit terbuka dan tangannya memainkan boneka kecil, memukul pelan kepala boneka itu dengan jari telunjuknya. Kemudian ia menoleh pada Leeteuk.
"Bisa sesuatu yang buruk?" tanyanya.
"Itu yang kuinginkan," jawab Leeteuk, sedikit menganggukkan kepalanya. Selama beberapa lama Chanyeol hanya menatapnya sambil berpikir, lalu menatap langit-langit ruangan, sebelum akhirnya dia menganggukkan kepalanya dengan pelan.
Tbc
