A/N: Fiksi ini aku dedikasikan untuk senpai sekaligus teman baik dan tetanggaku, Violetta Onyx. Aku harap kakak mau membaca dan mereview fiksi ini. Aku juga berharap mendapatkan kritik, saran dan review yang cukup banyak. Flame? Boleh saja, asal tidak menimbulkan pair war. Secara pribadi, aku menyukai pair apapun. Entah SasuSaku, NaruHina, SaIno, ShikaTema atapun NejiTen. Hanya saja aku memang lebih fix untuk pair SasuHina. Aku cinta pair ini dan aku merasa punya hak untuk menyukai pasangan apapun.^^
Begins With Rome
.
Naruto © Masashi Kishimoto
.
March 2012
Daiyaki Aoi's present
Chapter Uno
Hinata mendorong sebuah motor vespa berwarna merah butut di jalan kecil dekat Viale Glorioso di Trastevere dengan sekuat tenaga. Peluh menetes di keningnya, mengingat perubahan cuaca akhir-akhir ini memang sangat ekstrim. Ia memandang sekeliling, perutnya sudah bergejolak akibat rasa lapar yang ia tahan. Tangannya yang mungil memegangi kuat stang motor sampai buku jari-jarinya memutih. Beberapa bunga tulip berwarna kuning yang menghiasi keranjang di bagian depan motor itu sudah layu. Selayu keadaan Hinata sekarang. Ini hari yang buruk bagi Hinata. Motor vespa bututnya ini memang selalu mogok di tengah jalan, membuatnya frustasi. Saat dengan senangnya dia bisa lepas dari mata perkuliahan yang padat dan mencari restoran untuk makan siang, sang vespa merah tiba-tiba saja berhenti. Belum lagi, vespa itu beratnya bukan main. Tenaga Hinata sudah terkuras habis.
Hinata bisa mengingat-ingat lagi tentang kejengkelan lain yang ia hadapi sebelum ini. Tadi pagi, dia bangun sangat telat karena acara bergadangnya dalam membuat tugas. Setelah sampai di Renaissance, kampusnya yang tercinta, Hinata langsung dimarahi dosennya dengan kata-kata kejam. Dengan mimik wajah yang hampir menangis, Hinata memberikan tugasnya dengan tangan gemetar kepada dosennya itu, Orochimaru. Untungnya, dosen berkulit pucat itu menerimanya. Sedikit info, Hinata mengetahui dosennya adalah seorang pria imigran Jepang. Tapi lebih pantas disebut sebagai 'pria imigran ular.'
Kalau saja Hinata merupakan Haruno Sakura, seorang gadis pintar yang berhasil mendapat beasiswa penuh di Renaissance seperti dirinya, gadis berambut unik itu pasti sudah menyumpah-nyumpah dengan kata-kata yang tidak enak untuk didengar karena sudah mengalami hari yang buruk. Seperti 'A faccia d'o cazzo!*' Tapi, Hinata merupakan gadis yang sabar dan lembut. Ia hanya berdo'a kepada Kami-sama supaya dimudahkan dalam mendorong vespa merah butut kesayangannya itu. Hinata adalah seorang gadis yang biasa-biasa saja, bukan gadis kaya seperti Sakura. Rasanya, untuk mengganti motor saja, uangnya sangat sayang untuk dihamburkan. Beberapa temannya sudah menyarankannya untuk membeli motor bekas yang murah dan masih bagus. Tapi Hinata hanya tersenyum dan menggeleng. Hinata sudah terlalu sayang pada vespa merahnya. (*Secara harfiah kata-kata ini kasar. Tapi bisa lebih dipermudah artinya sebagai 'Dahsyat'.)
Pada akhirnya, Hinata menyerah. Ia menurunkan standar motor vespanya dan mencoba men-starter berulang-ulang dengan kakinya. Mesin vespa itu tak kunjung menyala. Hinata akhirnya memutuskan untuk beristirahat sebentar dan membeli minum ke supermarket terdekat. Ia kemudian melihat sebuah minimarket bernama Buon*. Hinata berjalan ke arah minimarket tersebut dan membeli beberapa botol teh kemasan. Setelah meminum beberapa teguk air teh, Hinata merasa mendapatkan energinya kembali untuk men-starter motornya lagi. Setelah berkali-kali mencoba, akhirnya mesin vespa merah butut itupun menyala. Senyum mengembang di bibir Hinata. (*Selamat.)
Hinata memutuskan untuk melanjutkan pencarian restoran untuk menjadi tempat makan siangnya. Ia berbelok di ujung jalan Trastevere. Mesin vespa merahnya meraung-raung keras ketika Hinata memegang gas kuat-kuat. Ia memacu vespanya kencang dengan harapan, angin akan menghilangkan peluh yang sedari tadi sudah menetes di kulit putih pucatnya.
Hinata memang seorang gadis Jepang yang unik. Wajahnya tradisional dan manis, kulitnya pucat, tubuhnya mungil, iris matanya berwarna perak dan surai Indigonya yang lembut. Warna iris matanya yang tidak lazim membuat ketertarikan dan pesona misteriusnya begitu mencuat. Otaknya begitu cerdas, sehingga Hinata merupakan teman yang enak untuk diajak mengobrol.
Ketika sampai di daerah Palazzo Doria-Pamphili yang dipenuhi bangunan apartemen, samar-samar Hinata mencium bau makanan yang sangat menggoda. Ia mengikuti arah terciumnya bau makanan itu. Dengan pelan, Hinata memegang kendali gas motor vespanya. Ia ikuti arah bau itu dengan cepat.
'Bau ini… risotto, spaghetti, zabaione, dan masakan paling enak, pasta con sugo di lepre*.' Batin Hinata senang sambil membayangkan makanan-makanan Italia itu memasuki lidahnya. Pasti sungguh enak. Hinata pernah mencoba pasta con sugo di lepre* satu kali ketika ia ditraktir temannya yang sedang berulang tahun. Ia baru mencobanya satu kali tapi langsung membuatnya ketagihan. (*Pasta pappardelle dengan saus kelinci. Biasanya yang dipilih adalah kelinci muda, karena dagingnya lebih lembut.)
Motor vespa merah butut Hinata berhenti di sebuah restoran kecil bereksterior kayu yang dipenuhi kursi-kursi plastik dan payung beraneka warna di halaman depan. Gaya restoran ini terlihat hangat dengan eksterior kayu itu. Kalau cuacanya panas seperti ini, maka di dalam restoran ini pasti berhawa sejuk. Orang-orang tertawa sambil mengangkat gelas wine mereka. Di halaman depan ini sudah tidak ada lagi kursi kosong yang tersedia. Hinata segera turun dari vespa merahnya dan berjalan melewati meja-meja yang dipenuhi orang-orang itu. Ia akan mencoba masuk ke dalam restoran ini, siapa tahu masih ada kursi yang bisa ia tempati.
Interior dalam restoran bernama Invio itu terlihat nyaman saat Hinata membuka pintu masuk. Dinding-dindingnya yang berwarna krem terlihat sudah agak lapuk, lantainya kayu yang sudah dipernis sampai mengkilat dan kursi-kursi kayu tua yang antik berjajar di kiri kanan ruangan. Aroma minyak zaitun, thyme dan rempah-rempah menguar dari dalam dapur, menerjang penciuman Hinata sampai perutnya mulai bergejolak lagi. Di dalam restoran agak kosong. Orang-orang tampaknya lebih memilih untuk makan di halaman depan, menikmati angin panas kota Roma yang membelai wajah mereka. Mata perak Hinata melihat ke arah kanan dan kirinya, mencoba mencari pojok yang nyaman untuk ia duduki. Tak lama, seorang pemuda berkulit tan, beriris biru langit dan berambut pirang berjalan mendekatinya.
"Buongiorno, Signorita*. Kursi untuk berapa orang?" sapa pemuda berambut pirang dan bermata sapphire tersebut yang kelihatannya adalah salah satu pelayan di sini. Pemuda itu tersenyum ramah, membuat Hinata lebih nyaman. Selama ini Hinata memang selalu resah berada di dekat laki-laki. Tapi nampaknya, pemuda ini adalah seseorang yang baik. (*Selamat siang, Nona.)
"Giorno. S-Satu orang. Ha-hanya untukku saja." jawab Hinata sambil tersenyum. Pemuda itu mengangguk mengerti dan meminta Hinata untuk mengikutinya. 'Syu-syukurlah masih ada k-kursi kosong…' batin Hinata.
Pemuda berkulit tan itu membawa Hinata ke pojok ruangan sayap kanan restoran tersebut. Persis di dekat jendela dan Hinata merasa sangat berterimakasih karenanya. Cahaya terik kota Roma memang sangat menyiksa, tapi indah jika dilihat dari tempat teduh. Sinar matahari seolah-olah menyinari keseluruhan penjuru Roma. Ia bisa melihat atap Colosseum yang terkenal itu dari sini.
Maitre d' tadi memberinya buku menu. Sebelum pemuda itu pergi, Hinata sempat menyahut, "Grazie*,"
Pemuda itu berbalik menatap Hinata dengan senyum lebarnya, "Diniente*."
(*Grazie: terimakasih. *Diniente: sama-sama.)
Hinata membaca buku menu dengan serius. Ia melihat-lihat beberapa makanan baru dan beberapa minuman panas. Hinata kurang suka terhadap minuman dingin. Ia lebih suka mimuman hangat atau panas. Tak lama, ponselnya berbunyi. Ada telepon dari Neji, kakaknya. Hinata segera mengangkat telepon.
"Pronto*." Ucap Hinata saat membuka telepon. Sudah menjadi sebuah kebiasaan orang Italia jika menjawab telepon dengan suara sigap. Meskipun Hinata adalah gadis Jepang, tapi kebiasaan Italia telah melekat di dalam dirinya. (*Siap!)
"Hei, Sasuke," teriak maitre d' tadi yang melayani Hinata. Pemuda berambut pirang tadi. Namanya Naruto Uzumaki.
"Ada apa, Dobe?" tanya seorang pemuda berambut tidak lazim dengan nada bosan. Ia masih asyik dengan masakan yang ia buat. Pisau yang ia gunakan untuk memotong bawang Bombay menari-nari di atas talenan dengan lihai. Dia adalah salah satu chef terbaik di restoran ini, Sasuke Uchiha.
"Kau lihat gadis yang duduk di sana? Di pojok ruangan sana?" tunjuk Naruto dari balik kaca kecil di pintu dapur.
"Hn," gumam Sasuke tidak jelas. 'Butuh lebih banyak tortellini.' Batin Sasuke sambil melihat ke arah panci yang dipenuhi gumpalan spaghetti lengket. Pesanan Spaghetti hari ini banyak sekali sehingga Sasuke harus menyatukan porsinya dalam satu panci. Nanti akan dia pisahkan setelah disajikan di atas piring dan spaghetti itu akan dilumuri saus tortellini yang kental. Jelas, dia tidak mendengarkan pekataan Naruto dan hanya peduli kepada makanannya. Bagi Sasuke, makanan adalah seni. Harus sempurna tanpa celah.
"Temeee!" teriak Naruto, menyadari bahwa Sasuke tidak mengubrisnya sama sekali.
"Sebentar, dobe. Baka yaro!" balas Sasuke, berteriak keras. Setelah merasa spaghetti-nya sempurna, Sasuke menyaring airnya dan menata spaghetti-nya di atas piring. Setelah itu, ia lumuri dengan saus tortellini kental, kemudian ia berikan beberapa potong bawang Bombay segar di atasnya. Ia bawa piring-piring spaghetti ke atas meja dan menekan bel untuk memanggil pelayan. Bukan Naruto tentunya.
Ting! Bel berbunyi cukup nyaring, seorang pelayan datang dan membawa piring-piring itu. Sasuke tersenyum puas.
"Nah, sudah selesai? Ayo ikut aku, Teme!" Naruto menyeret Sasuke ke jendela kecil di pintu dapur. Sasuke hanya memutar bola matanya. "Kau lihat gadis itu?" tanya Naruto sambil menunjuk ke arah meja di daerah pojok sebelah kanan.
"Gadis gendut itu?" tanya Sasuke heran. Sejak kapan Naruto tertarik kepada gadis bertubuh gemuk?
"Bukaaaan! Yang disebelahnya, Teme!" teriak Naruto hampir mencekik leher Sasuke. Ia merasa sangat gemas, rasanya kedua tangannya sudah gatal untuk bisa mencekik leher putih Sasuke.
Sasuke mengedarkan pandangan, dilihatnya seorang gadis berambut indigo yang sedang serius membaca buku menu. Rambutnya dibiarkan terurai, tangannya menyiku dan menumpu ke meja. Gadis itu memakai dress berwarna biru muda selutut dan sebuah bolero putih. Tasnya berwarna hitam, tas laptop.
"Gadis berambut indigo itu?" tanya Sasuke.
Naruto tersenyum lebar, "Iya! Gadis itu! Cantik, bukan?"
"Hn. Lalu apa masalahnya?" Sasuke memandang bosan. Ia rasa, Naruto selalu bilang bahwa setiap gadis yang ditemuinya itu cantik.
BLETAK!
Naruto memukul kepala Sasuke, kemudian berancang-ancang membuka mulutnya untuk memarahi Sasuke, "Dengar ya, Teme! Aku sudah bosan, bahkan terlalu bosan mendengarmu yang sepertinya tidak tertarik pada seorang Gadispun. Banyak gadis yang mengejarmu, tahu! Pernah kutanya apakah kau itu yaoi atau tidak, tapi kau jawab 'tidak'. Buktikan Teme! Buktikan apakah kau ini memang tetarik kepada makhluk berdada besar bernama wanita!"
Teriakan Naruto membuat beberapa chef lain melayangkan pandangan ke arah mereka berdua. Sasuke hanya menghela napas. Jelas ia suka makhluk bernama wanita. Dia tidak abnormal. Hanya saja… belum ada wanita yang cocok untuknya, pas di hatinya yang sedingin es. Mungkin ia harus mencari wanita yang benar-benar dia inginkan, bukan diam di tempat. Jodoh itu harus dicari.
Tanpa banyak bicara, Sasuke berjalan ke meja masaknya. Menolak untuk dimarahi Naruto lagi. Pasti akan lebih merepotkan. Sementara Naruto tetap melayangkan pandangan kesal ke arah Sasuke, sekilas ekor matanya menangkap bayangan gadis berambut indigo itu sedang menolehkan kepala, mencari-cari pelayan untuk memesankan makanannya. Naruto segera merapikan pakaiannya dan memegang pintu dapur.
"Kuberi waktu sebulan untuk kau mendapatkan seorang gadis, Sasuke. Atau aku akan menelepon Mikoto-baasan dan memintanya mencarikan jodoh untukmu." ancam Naruto sebelum keluar dari dapur. Sasuke hanya memandangnya dengan tatapan jangan-berani-beraninya-menelepon-ibuku. Naruto hanya tertawa dan melambaikan tangan bermakna 'semoga berhasil'.
Hinata menghela napas lega ketika dilihatnya maitre d' yang ia cari ternyata datang menghampirinya. Pemuda itu tersenyum khas pelayan-pelayan dan menanyakan makanan apa yang akan ia pesan.
"E-eh… Aku pesan latte macchiato, per favore, lungo e ben caldo* d-dan asparagus dengan saus zabaione hangat." Kata Hinata pelan. Dia merasa beruntung karena uang bulanan baru saja diterimanya kemarin dari ayahnya. (*susu dengan sedikit kopi, dihidangkan di dalam lungo atau cangkir besar dan panas sehingga bisa diminum sedikit-sedikit.)
"Pilihan yang bagus, nona," kata Naruto sambil mencatat pesanan kemudian pergi ke dapur. Hinata hanya tersenyum.
Sesampainya di dapur, Naruto menyerahkan kertasnya pada Sasuke. "Masak ini, Teme."
Sasuke hanya menyeringai. Ia tersenyum melihat makanan yang dipesan gadis tersebut, sungguh pilihan yang bagus. Sasuke bersiap-siap memasak asparagus dengan saus zabaione hangat terlebih dahulu. Sedangkan latte macchiato ia serahkan kepada temannya yang ahli membuat minuman. Pertama-tama Sasuke mengocok kuning telur dan mengambil sebotol wine putih. Saus zabaglione adalah hidangan yang harus disiapkan di akhir, persis sebelum dihidangkan. Setelah itu, ia rebus asparagus dengan alat perebus ganda. Asparagus dengan saus zabaglione hangat atau biasa disebut asparagi con zabaione adalah makanan mewah yang lumayan susah untuk dibuat. Tapi, Sasuke berusaha membuatnya dalam versi yang simple.
Setelah semuanya selesai, Sasuke memberikan asparagi con zabaione –nya pada Naruto. Dengan senyum puas, tentunya.
.
.
Hinata belum pernah melihat sajian makanan seindah ini sebelumnya. Sungguh, asparagi con zabaione ini benar-benar menggoda selera. Kekentalan saus zabaglione-nya begitu sempurna, membanjiri kulit hijau asparagus. Aroma wine putih tercium jelas di penciuman Hinata. Aparagusnya pun tampak direbus secara sempurna dan menyeluruh. Persentase sempurna. Pasti kokinya adalah seseorang yang perfeksionis. Belum lagi aroma susu sapi murni Switzerland dicampur dengan biji kopi segar membuat aromanya begitu membuncah pikiran Hinata. Kemudian, Hinata mulai mencoba keduanya.
Dan Ia belum pernah sama sekali merasakan latte macchiato yang begitu fantastis rasanya. Kopi ini begitu enak dan memuaskan indra pengecapnya. Setelahnya, Hinata kembali dikejutkan dengan rasa hidangan asparagi con zabaione yang begitu lezat. Rasanya begitu enak sampai Hinata lupa cara bernapas. Tangkai asparagus, terendam dalam saus berbusa dari kuning telur dan wine, begitu lembut sehingga Hinata hampir bisa mengisap lepas ujung kepalanya, tapi semakin dekat ke pangkalnya semakin renyah. Sungguh hidangan yang sangat enak, mewah dan memuaskan. Kokinya sempurna, hebat. Padahal, restoran ini merupakan restoran biasa. Tapi bisa mendapatkan pelayan yang ramah juga koki yang hebat. Hinata telah jatuh cinta pada restoran ini.
Setelah selesai menghabiskan makanannya dalam waktu yang cukup lama, Hinata segera berjalan menuju kasir dan menyiapkan beberapa lembaran euro. Ternyata, makanan itu tidak terlalu mahal. Makanan yang rasanya mewah dan fantastis itu tidak mahal, percaya atau tidak. Hinata hanya melihat dengan takjub ketika dia melihat bon dan menghitung berapa jumlah uang euro yang ada dalam dompetnya. Masih lebih dari cukup. Pantas saja restoran ini selalu penuh. Hinata bertekad akan menjadi pelanggan tetap di restoran ini.
Hinata berjalan keluar pintu restoran dengan wajah yang dipenuhi senyum. Ia berjalan melewati kerumunan orang yang berada di halaman restoran, menuju tempat vespa merah tersayangnya parkir. Ketika sampai di tempat parkir, Hinata memakai helm putihnya dan melihat ke arah motor yang terparkir di sebelah motornya. Sebuah motor Ducati berwarna merah mengkilat. Hinata kurang tahu serinya tapi dia jelas tahu itu merupakan motor mahal. Milik siapa ya, kira-kira?
Hinata berusaha mengabaikan motor merah itu karena merasa tersindir dengan vespa bututnya. Ia men-starter vespanya kemudian menaikkan standar. Mesin vespa terbatuk-batuk sebentar kemudian menyala. Hinata memegang gas kuat-kuat dan memacu vespanya dengan cepat menuju Renaissance's Dorm. Asrama khusus untuk mahasiswa yang mendapat beasiswa.
Setelah Hinata pergi, Sasuke pergi keluar restoran karena jam kerja shift-nya yang sudah berakhir. Dari kejauhan, ia bisa melihat gadis berambut indigo yang memaksakan vespa merahnya untuk berpacu lebih cepat. Seorang gadis? Dengan motor vespa merah ketinggalan zaman? Sasuke duduk di atas Ducati merahnya dengan tenang, mengabaikan beberapa gadis dan ibu-ibu yang berteriak histeris melihatnya, ia menyeringai.
"Hmm, menarik." Gumamnya pelan ditenggelamkan suara teriakan para gadis yang mulai menggila. Ia memakai helm dan menyalakan mesin motor. Tak lama, ia pergi dari sana dengan kecepatan penuh.
.
.
Sesampainya di dormitory, Hinata berjalan menaiki tangga menuju lantai dua. Asrama ini cukup bersih dan bagus. Di tengah koridor ada sebuah karpet beludru lembut berwarna merah. Deretan kamar-kamar berpintu kayu menjajar di sisi kanan dan kiri koridor. Setiap ruangan kamarnya kedap suara, sehingga hanya hening yang dirasakan Hinata ketika melewati koridor lantai satu. Ia berjalan sampai ke tengah koridor gedung, kemudian mulai menaiki tangga. Tangannya memegangi pegangan tangga, menumpukan seluruh berat badannya. Hinata sudah cukup lelah hari ini. Di ujung tangga sebuah huruf besar berwarna kuning menggantung di langit-langit koridor lantai dua, bertuliskan primo. Hinata berjalan di tengah-tengah koridor, mencari nomor kamarnya. Di menit yang sama, ia mendengar sebuah teriakan.
"KYAAAAAAA!"
Itu seperti teriakan teman baiknya, Haruno Sakura. Gadis berambut merah muda itu selalu histeris terhadap semua hal. Seperti saat idolanya memasang pose keren ataupun nilai Hinata yang berada diatasnya. Kali ini, apa yang dia teriakkan?
"Ada apa, Sakura-chan?" tanya Hinata setelah sampai di depan pintu kamar Sakura yang terbuka. Kamar nomor dua puluh delapan. Sedangkan kamar Hinata persis di depan pintu kamar Sakura.
"Ini!" teriak Sakura sambil menunjuk-nunjuk tabloid yang berada di tangannya.
Hinata mengambilnya dan melihat apa yang Sakura maksudkan. Artikel utamanya adalah seorang chef yang berusia masih muda dan mampu meraih piala emas. Pasti foto chef tersebut yang membuat Sakura histeris. Chef itu sangat tampan, matanya yang sehitam obsidian mampu membuat gadis manapun meleleh, kulitnya putih bagai porselen, memiliki gaya rambut yang cukup aneh dan pandangan matanya terlihat mengintimidasi. Namanya Sasuke Uchiha.
"Ku-kurasa pria ini a-aneh, Sakura-chan…" kata Hinata sambil kembali menyerahkan tabloid tersebut.
"Aneh apanya? Dia keren, Hinata-chan! Keren! Bello*!" teriak Sakura penuh semangat. (*Tampan)
"Ra-rambutnya aneh, tatapannya me-mengintimidasi. T-tampaknya dia b-bukan pria yang ra-ramah…" jawab Hinata lembut.
"Tapi dia keren, Hinata-chan," Sakura berkata, "Kau seharusnya mampu mengetahui seperti apa pria keren itu."
"E-eh?" Hinata yang belum pernah pacaran sampai sekarang jadi merasa aneh.
"Pria keren itu seperti Sasuke-kun ini, Hinata-chan. Oh ya, katanya dia juga mengambil kuliah di Renaissance!" Ujar Sakura sambil menunjuk foto sang Sasuke Uchiha.
"B-bagiku, pria keren itu seperti p-pria yang r-ramah, b-baik, sopan dan selalu tersenyum. W-wah, selamat Sakura-chan kau bisa mengejarnya," Hinata menunduk, menutupi semburat merah yang menjalari pipinya. Ia jadi teringat seorang maitre d' ramah di restoran tadi.
"Yah, mungkin selera Hinata-chan berbeda…" Sakura berguling di atas kasurnya. "Sasuke ini pintar masak. Benar, aku bisa mendekatinya secara perlahan. Coba saja aku bisa menjadi pacarnya, dia pasti akan selalu membuatkan makanan enak untukku. Aku tidak perlu memasak untuknya."
Ah ya, Sakura memang bagus dalam hal apapun kecuali memasak. Sedangkan Hinata selalu bagus dalam hal apapun kecuali percaya diri. Hinata tidak peduli dengan chef yang Sakura idolakan. Baginya, pria idamannya adalah seseorang seperti pemuda berambut pirang tadi.
"Ah, Hinata… Kau sedang jatuh cinta ya?" goda Sakura. Sebenarnya ia hanya menebak, tak disangka sasarannya tepat ketika ia melihat semburat merah di wajah Hinata. Hinata memang manis, sifat gagap dan pemalunya membuat ketertarikan tersendiri. Banyak pria di Renaissance yang suka pada Hinata. Namun Hinata terlalu cuek untuk melihatnya.
"E-eh… Ano… I-itu…" semburat merah di pipi Hinata bertambah parah.
"Iya 'kan? Iya 'kan? Cerita saja padaku, Hinata-chan!" Sakura mengedipkan sebelah matanya.
"S-Sakura-chan… I-itu…" Hinata mencoba mencari alasan untuk segera kabur ke dalam kamarnya.
"Apa, Hinata?" tanya Sakura.
"Aku harus ke k-kamar du-dulu ya?" Hinata langsung berbalik.
"Baiklah. Nanti aku akan mengunjungi kamarmu ya!" Sakura memang jahil. Hinata segera masuk ke kamarnya diiringi tawa Sakura yang puas mengerjainya. Semburat merah memenuhi wajah Hinata.
To Be Continued
Bagaimana fiksiku ini, minna? Maaf jika chapternya pendek atau mungkin Italia-nya kurang berasa. Aku rasa alur fiksi ini terlalu cepat… Apakah minna juga berpikir begitu? Jika ya, tolong beri aku saran ya?
Tolong berikan tips-tips supaya alur yang aku ceritakan ini tidak terlalu cepat. ^^
Terimakasih yang amat sangat banyak aku berikan kepada temanku, Tio Mutia Hafizah. Berkat dirinya, aku bisa tahu informasi tentang Italia. (Thanks ya, sob.) Dia rela belajar bahasa Italia dan mengetahui seluk beluknya hanya karena dia penggemar fanatik Valentino Rossi. Hebat ya? Hahahaha…
Mind to RnR?
