Sound of Auntumn
.
.
.
Pairing :
Haruno Sakura, Uchiha Sasuke
.
.
.
Genre:
Romance
.
.
.
WARNING:
Out Of Character, Typo dan lain hal sebagainya (-n-")
.
.
.
Tokoh-tokohnya sudah pasti punya Masashi Kishimoto
.
.
.
Summary :
Mengingat pemuda berambut raven itu kembali membuatku berharap. Aku, Haruno Sakura. Seorang perempuan yang memendam perasaan kepada seniorku, Uchiha Sasuke. / "Daun ini mengingatkanku pada seseorang."/ "Apakah itu seseorang yang kau sukai, senpai?" / Ngga bisa bikin summary –n–a.
.
.
.
Ada sebuah cerita. Dimana cerita itu menceritakan perasaan tak terbalas tokoh utamanya adalah diriku. Hingga saat ini, aku menganggapnya seperti itu. Cinta pertamaku yang tak akan dibalas olehnya, Uchiha Sasuke.
Pemuda yang ketampanannya yang tidak bisa dipungkiri, –sehingga anak laki-laki pun mengakuinya– dengan kulit yang seputih salju dan model rambut ravennya melengkapi penampilannya. Namun, bukan itu yang membuatku tertarik dengannya.
Sifatnya yang tertutup itu justru membuatku ingin mengenanlnya lebih jauh.
Uchiha Sauke. Pemuda yang merupakan seniorku yang menempati kelas 2-B. Lahir di Tokyo pada 23 Juli. Sangat menyukai tomat –mengingat aku sering melihatnya meminum jus tomat. Tempat yang paling sering dia kunjungi ketika istirahat ataupun pulang sekolah berada di perpustakaan, bagian gedung belakang sekolah dan yang paling utama, atap gedung kelas 2, –yang bersebrangan dengan gedung kelas 1 dan perpustakaan.
Dia sangat menyukai membaca buku. Tapi, bukan pembaca akut seperti halnya kutu buku. Hanya menyukainya dan tidak lebih dari itu. Hal menarik yang membuatku tertarik adalah pembatas bukunya. Tidak seperti punyaku atau mungkin orang lainnya yang terbuat dari kertas yang diatasnya terdapat pita, melainkan itu adalah daun pohon momiji, –yang sering disebut daun maple.
Terlihat aneh, karena daun itu menjari dan memiliki lebar yang tidak bisa dibilang pas untuk menjadi pembatas buku. Terlebih lagi, kau menempelkan sehelai bunga sakura ditengahnya dan melaminatingnya sehingga warna asli yang ketika dia ambil masih tampak jelas. Aku tertawa pelan waktu melihatnya.
Daun maple memiliki 5 warna tiap perubahannya. Hijau, merah, orange, kuning dan coklat. -Yang Sasuke-senpai pakai itu berwarna merah dan itu berarti sekitar musim gugur. Daun yang melambangkan keteduhan, ketenangan,dan kenangan. Namun, daun ini juga melambangkan kesedihan, rasa sakit dan air mata. Setidaknya itu yang pernah kudengar.
Tidak hanya pelajaran, dia juga sangat mahir dalam olahraga. Berkali-kali, aku menatapnya kagum ketika melihatnya beraksi di tengah lapangan, terutama ketika ia bermain basket.
Aku menyukai ketika dia menggunakan kacamatanya. Mata hitamnya yang tertutupi benda itu entah mengapa begitu tampak menawan. Sayangnya, dia menggunakannya hanya ketika membaca buku. Entah berapa kali, aku memandangi dirimu yang tengah membaca itu secara diam-diam di balik celah buku-buku itu, senpai.
Aku seorang anggota perpustakaan dan sering memanfaatkan 'keanggotaan'ku itu untuk melihatmu. Mungkin istilah kata 'modus' itu yang membuatku dengan senang hati menerima 'berjaga' di perpustakaan hingga sore. Melihatmu membaca dengan cahaya langit senja itu sudah menjadi hal yang selalu ingin kulihat. Dan aku menyukai itu.
Suatu hari, kau tertidur, bukan? Tanganmu terlipat di atas meja dengan wajah yang hampir sepenuhnya terbenam di antara lipatan kedua tanganmu dengan kacamata yang berteger manis disana. Wajahmu terlihat tenang sekaligus kelelahan.
Kau tau, waktu itu aku sangat ingin mengelusmu. Tapi hal itu kuurungkan dan aku hanya bisa menatapmu lembut dengan senyuman tipis sambil menyelimutimu dengan jaket olahraga milikku.
Disudut ruangan, kursi paling ujung dekat dengan jendela yang menghadap lapangan baseball. Itu adalah tempat duduk favoritmu, bukan? Terkadang, aku duduk disana. Melihatmu bermain baseball –ataupun olahraga lainnya– atau kau yang sedang memakan bekal dan menikmati angin di atap sekolah.
Aku hanya bisa memandangmu dari jauh. Tidak seperti gadis lainnya, aku tidak memiliki keberanian untuk mendekati dirimu secara langsung. Terlihat pengecut, bukan?
Hei, senpai...
Ingat tidak ketika aku tertidur di tempat dudukmu itu? Aku yang kaget akan kehadiranmu langsung berlari keluar perpustakaan tanpa mengatakan apapun. Jujur, waktu itu aku sangat malu dan juga takut kau tau jika selama ini aku memperhatikanmu. Aku bahkan tidak repot-repot mengambil pembatas bukuku yang tertinggal disana.
Selain anggota perpustakaan, aku juga anggota kesehatan sekolah. Tapi sayangnya, aku tidak selalu berjaga disana. Hanya 2 kali dalam seminggu,hari Senin dan Rabu. Waktu itu kau terkilir, bukan? Pada saat jam olahraga berlangsung. Aku yang tengah mengembalikan buku melihatmu memasuki ruang UKS sambil dirangkul oleh sahabatmu, Uzumaki Naruto. Aku sedikit menyesal karena jarang berjaga disana.
Tapi, keberuntungan berpihak kepadaku. Tepat ketika aku berjaga, kau tiba-tiba memasuki ruangan kesehatan itu dengan goresan luka di lenganmu.
'Tergores ranting dibagian belakang sekolah'. Hanya itu yang kau ucapkan ketika aku hendak membuka mulutku untuk bertanya. Aku yang saat itu hanya bisa tersenyum tipis dan mengobatimu dalam diam. Berkali-kali aku mengalihkan pandanganku ataupun menundukkan kepalaku sedalam mungkin agar menghindari sorotan tajam dari kedua mata hitammu.
Aku juga harus berusaha menenangkan degub jantungku waktu itu, senpai. Berdetak dengan cepat dan keras, sehingga aku pun dapat mendengarnya dengan jelas.
Lagi-lagi, aku meruntuki diriku. Bahkan aku yang sedang sedekat itu denganmu, tidak bisa mengatakan apapun. 'Selamat siang, senpai. Semoga lukanya cepat sembuh' atau 'Lain kali hati-hati, ya'. Setidaknya waktu itu aku mengatakan salah satu dari dua kalimat itu ketika kau keluar dari ruangan kesehatan. Tapi, yaa... aku hanya bisa menelan kalimat itu bulat-bulat dan memandangi punggungmu dengan diam.
Senpai...
Aku banyak menaruh harapan kepadamu. Berkali-kali aku harap jika kau mulai menengok ke arahku. 'Hei, senpai. Lihatlah adik kelasmu yang sering memperhatikanmu!'. Begitulah kata innerku ketika kau sedang berjalan santai menuju ke luar gerbang sekolah. Ah, lagi-lagi kalimat itu kutelan bulat-bulat.
Aku hanya bisa menatap miris bayangan diriku dan meruntuki sifat pengecutku.
"Hei, kau adiknya Sasori, kan?"
Aku mendongak secara spontan ketika seseorang yang sedang menaiki sepeda bertanya kepadaku. Beberapa detik kemudian, aku membulat kan mataku. Dia yang mengajakku berbicara. Dia yang selama ini aku perhatikan. Ya, dia Uchiha Sasuke, seseorang yang aku sukai. Aku lupa jika dia sekelas dengan kakakku.
Aku menganggukkan kepalaku dengan kaku lalu mengalihkan pandanganku kembali ke arah bayanganku. Lagi-lagi aku menghindari tatapannya.
"Naiklah. Kakakmu itu tiba-tiba pulang karena sakit perut."
Aku menggigit bibir bawahku. Rasa gugup itu kembali datang bersamaan dengan degub jamtumgku yang kembali tidak menentu. "Aaa... mungkin lebih baik aku–"
"Tidak menerima penolakan," Selanya dengan menatapku tajam. "Kakakmu sudah menitipkanmu kepadaku, tau."
Aku yang mendengar itu pun hanya bisa menelan air liurku. Dengan langkah kecil, aku berjalan ke arahnya dan duduk menyamping di bangku belakang. Aku berharap wajahku tidak memerah. Dari tempat ku duduk, punggung yang selama ini aku lihat begitu tampak sangat tegap. Begitu sangat dekat.
"Pegangan." Ucapmu sambil menggayuhkan sepedamu. Dengan ragu-ragu, aku memegang baju seragammu. Hanya memegang untuk berjaga-jaga. Bukan memeluk atau memegang erat seperti di film-film yang sering ibuku tonton.
Walau hanya sebentar, aku sangat bersyukur bisa dekat berboncengan denganmu, senpai.
Kejadian itu masih sangat kuingat hingga sekarang. Bahkan, ketika aku mengingatnya kembali, entah mengapa wajahku memerah. Dan setelah kejadian itu, aku makin berharap kepadamu.
Hei, senpai... Kau tau namaku?
Setelah kejadian itu, aku berharap kau mengetahui namaku. Setidaknya kakakku yang agak siscon itu mengatakan sesuatu tentang diriku sehingga kau mengetahui diriku sedikit. Itu hanya harapan kecil dariku. Mungkin itu terdengar sederhana, tetapi jika apa yang aku harapkan itu terwujud, maka aku amat sangat bersyukur.
Lagi-lagi aku berjaga di perpustakaan dan kau sedang duduk ditempatmu seperti biasa. Setelah hari itu, tidak ada perubahan. Sama seperti hari biasa. Tidak ada spaan dan aku hanya memandanginya.
Kali ini kau tidak membaca, melainkan mengerjakan tugasmu. Aku yang sedang tidak melakukan apa-apa pun memandangimu, –yang terkadang aku berpura-pura membaca seandainya kau menyadari jika aku melihatmu. Wajahmu yang tampak serius mengerjakan soal itu tampak sangat begitu menawan. Berkali-kali aku menggulum senyumku ketika melihatnya.
"Hei, kau." Panggilmu sambil menggerakkan tangamu yang mengkodekan agar aku mendekat. Aku tersentak dan berjalan ke arahmu dengan sedikit panik.
'Apakah dia mengetahui jika aku menatapnya?' pikirku panik sambil memikirkan alasan jika dia bertanya akan hal itu.
"Kau mempunyai pulpen? Punyaku tintanya habis." Tanyamu sambil menggerak-gerakkan pulpenmu. Dalam hati, aku menghela nafasku lega. Diam-diam aku menertawai diriku yang terlihat sedikit bodoh.
Aku menggelengkan kepalaku. "Pulpenku ada di kelas," Ucapku sambil memengambil sesuatu dari saku seragamku dan menunjukkannya. "Yang kubawa saat ini hanyalah pensil mekanik."
"Hn. Yang itu juga tak apa." Katamu sambil mengambil pensil itu dari tanganku lalu tanpa berkata apa-apa, kau melanjutkan pekerjaanmu. Entah mengapa aku tidak terlalu kesal dengan sikapmu yang terlihat seenaknya. Aku menghela nafas pelan lau berjalan menuju tempatku duduk tadi.
"Hei," Panggilmu sehingga mau tak mau membuatku menoleh. Aku mengernyitkan dahiku bingung sambil menunggumu berbicara. "Namamu Haruno Sakura, kan?"
Aku langsung tersenyum ketika mendengar itu, "Iya, itu namaku, Sasuke-senpai." Ucapku dengan nada girang sambil membalikkan badanku lalu mengambil buku bacaanku dan keluar dari perpustakaan dengan langkah yang sangat terburu-buru. Dibalik pintu perpustakaan itu, aku tersenyum sangat lebar dengan mukaku yang mulai menghangat.
Waktu itu aku menahan diriku untuk berteriak kegirangan dan aku cukup malu ketika aku menyadari bahwa aku menjawab pertanyaanmu dengan girang. Semoga, kau tidak menyadarinya.
Seminggu kemudian, aku kembali tertidur di perpustakaan. Namun, bukan ditempatmu itu, melainkan di tempat dimana biasanya aku berjaga. Selama seminggu itu, aku tidak mengambil 'jaga' di perpustakaan seperti biasanya. Berbagai alasan kubuat agar tidak mengambil jadwal itu selama seminggu, –yang untungnya anggota lain menghargai alasanku. Aku masih malu dengan kejadian itu.
Lagi-lagi keberuntungan itu berpihak padaku. Kau menungguku hingga aku bangun, bukan? Untungnya aku bisa mengontrol diriku untuk tidak kabur seperti sebelumnya.
"Ini jaketmu, bukan?" Tanyamu sambil mengeluarkan jaket yang pernah kupakai untuk menyelimutimu waktu itu. Aku menelan air liurku lalu menganggukkan kepalaku dengan kaku. Oh ayolah, untuk berapa kalinya aku harus bersikap seperti ini didepannya?
Tanpa mengucapkan apa-apa, dia menyodorkan jaket itu kepadaku dan aku menerima jaket itu dengan sedikit takut. 'Apakah dia marah karena aku menyelimutinya? Jangan-jangan dia tidak menyukai apa yang kulakukan itu?'. Hal-hal negatif memenuhi pikiranku.
Pertanyaan bagaimana dia mengetahui itu milikku atau pun lainnya, itu tidak perlu dipertanyakan. Namaku tertera dengan jelas dibagian atas dada kiri. Lagipula, ia teman kakakku. Otomatis dengan melihat marga kita, ia sudah menyimpulkannya.
Kau membalikkan badanmu dan memasukkan bukumu ke dalam tas. "Ayo pulang."
Aku terdiam ketika mendengarnya. Apakah aku tidak salah dengar?
"Aku pulang dengan Kak–"
"Kakakmu sudah pulang 30 menit yang lalu," Lagi-lagi kau menyelaku sambil berjalan ke arah pintu perpustakaan. "Dan dia lagi-lagi menitipmu kepadaku."
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Entah mengapa aku tidak bisa membantahnya dan mengikutinya berjalan menuju gerbang. Menunggunya sebentar ketika dia mengambil sepedanya dan duduk berboncengan seperti waktu itu.
"Soal jaket itu, terima kasih," Ucapnya ketika ditengah-tengah perjalanan. Aku tidak bisa melihat wajahnya, jadi, aku menatap punggungnya dengan perasaan yang begitu menyenangkan. "Tapi, maaf untuk pensil mekaniknya. Aku menghilangkannya."
"Tak apa-apa. Lagipula, aku mempunyai dua pensil mekanik." Ujarku tak keberatan sambil tersenyum.
Ingin rasanya aku menghentikan waktu di hari itu, senpai. Perasaan bahagia itu yang membuatku semakin menyukaimu.
Sedikit demi sedikit, aku semakin mengenalmu. Setelah hari itu, kita saling menyapa, bukan? Dan tak jarang pula kita sedikit mongobrol beberapa macam hal. Waktu-waktu yang kuhabiskan bersamamu membuatku kembali merasakan sesuatu yang begitu menyenangkan. Mungkin rasa gugup dan degub jantungku ini masih begitu berdetak dengan cepat, tapi aku menikmatinya.
Aku begitu menikmati semua perasaan ketika aku bersamamu, senpai.
"Maksudmu daun ini?" Ucapmu sambil memamerkan daun momiji itu ketika aku bertanya alasan mengapa kau menggunakan daun itu menjadi pembatas buku. Aku menganggukkan kepalaku antusias.
Kau menghela nafasmu pelan sambil memutar-mutar pelan daun itu. Berlahan-lahan, sorot matamu yang tajam itu melembut. "Daun ini mengingatkanku pada seseorang." Ucapmu sedikit pelan dengan senyuman yang teramat sangat tipis. Aku terpukau dengan ekspresi lain yang pertama kali kulihat, –selain wajah datar, serius dan kesal. Terlihat lembut dan begitu menenangkan. Namun disisi lain, ada rasa yang sedikit menyakitkan. Seperti sesuatu yang meremas hatiku dengan sedikit keras.
'Apakah dia adalah orang yang kau sukai, senpai?'
Aku berusaha mengabaikan hal itu dan tersenyum yang sedikit dipaksakan. "Siapa orang itu?" Tanyaku kemudian. Aku mengigit bagian dalam bibirku, berharap-harap cemas dengan jawaban yang akan dia lontarkan nanti.
Sejenak, kau berhenti memutar-mutar daun itu dan memandangi daun itu dalam diam. Terlihat jelas jika kau tidak berniat menjawab pertanyaanku. Ketika hendak mengulangi pertanyaanku, bel pertanda istirahat telah berbunyi dan tanpa basa-basi, kau berdiri dan berjalan keluar perpustakaan.
Aku memandang miris punggungmu. Hari itu, harapanku kepadamu mulai memudar.
Setelahnya, aku mecoba mengabaikan 'seseorang' yang dimaksudkannya. Berusaha bersikap biasa sepeti halnya dalam menyapa atau pun mengobrpl ringan. Tapi, yaa... aku benar-benar tidak bisa mengabaikannya. Pertanyaan itu terus-menerus memenuhi pikiranku.
Tapi aku tidak ingin menanyakannya. Aku terlalu takut untuk mendengar jawabannya.
Dan hal itu terus berlanjut hingga kita memasuki ajaran baru. Kau kelas 3 dan aku satu tingat dibawahmu, kelas 2. Sebisa mungkin, aku tidak menanyakan hal itu kepadamu, mengingat kau akan lulus dan aku ingin menghabiskan sisa waktu yang ada bersamamu.
Yaa... aku memang pengecut. Aku terlalu takut menerima kenyataan ketika kau mengatakan kalau kau menyukai seseorang. Tidak hanya itu, aku juga seseorang yang terlalu memikirkan hal-hal negatif.
Aku ini sangat menyedihkan, bukan?
Hei, senpai...
Akhirnya aku mengutarakannya, bukan? Dua hari sebelum ujian akhir, aku memasukkan sebuah surat yang mewakili perasaanku di dalam lokermu. Tapi ya, seperti biasa. Dilokermu sudah ada beberapa surat yang berdiam manis disana.
Sejenak, aku bingung apa yang akan kulakukan dengan suratku ini. Mengurungkan niatku atau tetap nekat menaruhnya bersama surat-surat itu. Berkali-kali aku menarik tanganku untuk menaruhnya. 'Jika bukan sekarang, kapan lagi?'. Kalimat itu yang membuatku ragu untuk menarik diri tanpa menaruh surat.
Aku menoleh kekiri dan ke kanan dengan sedikit gelisah, memeriksa jika aku melihat dirimu berada di sekitar lorong ini atau tidak. Dan aku mulai bertambah gelisah ketika samar-samar aku mendengar suara sahabatmu, Naruto-senpai menggema dari ujung belokan sana. Tanpa basa-basi, aku menaruh surat itu tanpa memikirkan bagaimana nasibku –atau mungkin suratku, mengingat dirimu sering membuang surat-surat dari penggemarmu– selanjutnya.
Diam-diam aku bersembunyi dibalik tiang, mencoba mengintip apa yang akan kau lakukan terhadap suratku. Yaaa... walaupun aku tau pasti akan berakhir tragis, setidaknya sedikit berharap tak apa, bukan?
Kau membuka lokermu. Disampingmu ada Naruto-senpai yang mengoceh panjang lebar tentang surat-surat yang menumpuk di lokermu. Aku tidak begitu bisa memperhatikan dengan jelas dikarenakan tubuh Naruto-senpai begitu menghalangi arah pandangku. Tapi, sepertinya tidak perlu begitu jelas. Ketika kau melihat tumpukan surat itu, kau langsung mengambil semua dan membuangnya tepat di tempat sampah disampingmu.
Terasa langsung ditusuk tepat dijantung. Begitu menyakitkan sehingga ketika melihat itu, aku berlari meninggalkan tempat itu dengan air mataku yang tidak berhenti mengalir. Aku tau mengapa dia melakukannya. Dia sudah menyukai orang lain, bukan? Bukankah ini yang namanya cinta sepihak? Cinta yang tidak terbalaskan.
Tamatlah sudah kepada cinta pertamaku. Ini sudah berakhir.
Setelah itu, aku berusaha menghindarinya. Bahkan ketika kelulusannya aku tidak repot-repot memunculkan batang hidungku didepannya. Aku sudah putus asa dengan perasaanku. Berusaha untuk menghilangkannya, namun malah hingga sekarang, aku masih memikirkannya.
Yaa... itu karena aku baru menyadari ada sebuah kancing di saku jaket olahragaku. Sebuah kancing yang dikaitkan dengan sebuah helaian bunga sakura yang bertuliskan 'For You'. Helaian bunga itu di laminating agar tidak layu sehingga warnanya masih berwarna pink segar.
Entah kancing apa itu. 'Apakah itu kancing milik Sasuke-senpai?'. Aku akan menjawab ragu jika mengatakan 'tidak'. Ingin mengatakan hal itu, namun, Sasuke-senpai selalu mengancingi jas sekolahnya sehingga kancing baju kemeja di bagian dalamnya tidak terlihat sama sekali.
Tapi, setelah kejadian di loker itu, aku malah ragu untuk mengatakan 'iya'.
Satu-satunya cara yang terlintas adalah menanyakannya langsung. Mendengar jawaban darinya secara langsung terlihat lebih meyakinkan. Tapi yaa... sifat pengecutku masih tersisa hingga saat ini. Sudah hampir enam tahun –dari hari manaruh suratku di lokernya itu– aku memendam perasaan ini. Bukannya menghilang, perasaan ini malah semakin menumpuk sehingga aku kembali memendam sebuah harapan yang sia-sia.
Lagi-lagi aku bimbang gara-gara pemuda berambut raven itu. Aku menghela nafasku sambil memegang kancing beserta helaian bunga itu. Namun, ada suara ganjil yang membuyarkan lamunanku. Suara yang begitu berisik terkesan lembut namun tidak begitu menggangu yang disertai bau yang begitu tidak asing.
Aaa... gerimis. Satu persatu butiran air berjatuhan membasahi bumi. Beberapa orang-orang yang berlalu lalang lebih memilih berteduh di cafe atau toko yang ada. Entah mengapa, hanya aku yang berdiam diri di halte ini. Aku mengendikkan bahuku acuh sambil menatap langit yang mulai berwarna orange.
Aku menepuk dahiku dengan keras. Ya ampun, sudah berapa lama aku melamun sehingga hari sudah sore begini? Aku menghela nafasku dengan kuat. Percuma meruntuki diri sekarang. Yang kulakukan saat ini, duduk pasrah sambil menunggu bus yang akan lewat sekitar setengah jam lagi. Gerimis sudah berhenti. Aku tau, jika tadi hanya sekedar gerimis-ringan-yang-sekedar-lewat, mengingat langit tampak begitu terang, bukan mendung.
Entah mengapa, aku merasa deja vu ketika melihat langit-langit halte ini. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku pelan lalu mengeratkan mantelku ketika merasakan angin yang berhembus. Aaa... mungkin ini sebabnya mengapa orang-orang tadi lebih memilih berteduh di cafe ataupun toko dibandingkan halte yang tanpa dinding ini.
Yaa.. musim gugur memang selalu mendatangkan angin dingin.
Musim gugur, ya? Entah mengapa lagi-lagi aku merasa deja vu dengan itu. Buka tentang pembatas buku Sasuke-senpai yang melambangkan salah satu pohon musim gugur, melainkan sesuatu hal yang lain. Aku mencoba mengingat-ingat sehingga aku tidak sadar ada seseorang yang duduk disebelahku. Seseorang dengan mantel berkerah tinggi dengan warna hitam-coklat. Wajahnya tidak terlalu terlihat dikarenakan tertutupi rambutnya dan kerahnya.
Jujur, aku sedikit kaget dengan keberadaannya, tetapi aku tidak terlalu memperdulikan itu. Hal yang barusan kurasa itu entah mengapa lebih penting. Untuk kedua kalinya, aku memandangi langit-langit halte.
Beberapa detik kemudian, aku membulatkan kedua bola mataku. Tepat ketika seseorang disampingku itu mengatakan sebuah kalimat yang membuatku ingat dengan kejadian itu. Aku menoleh spontan ke arah orang itu dan untuk kedua kalinya aku harus merasakan perasaan yang dulu kurasakan. Perasaan gugup yang disertai debaran jantung yang tidak normal namun begitu menyenangkan.
Aku terpaku. Dia disini dan dia adalah seseorang yang diwaktu itu. Sebuah kejadian singkat yang entah mengapa aku bisa mengingatnya, –mengingat aku adalah orang yang selalu melupakan kejadian yang tidak penting. Wajahnya tidak berubah, malah terkesan lebih tampan dan tegas.
Berlahan-lahan, aku tersenyum lebar yang disertai air mataku yang tiba-tiba keluar.
.
.
.
.
.
"Anginnya berhembus dengan kencang, ya?"
.
.
.
.
.
.
Yoshhh... XD selesaiiiii.
Hmmm... etto... bagaimana ceritanya? Terlihat mainstream, kan? :v kalau iya, aku minta maaf. Akan kusampaikan beberapa permohonan maaf. Yang pertama : maaf belum melanjutkan Stay With You dan malah menuliskan cerita yang baru. Yang kedua : maaf jika karakternya sangat OOC. Yang ketiga : maaf jika ada typo (-_-" susah ngilanginnya. Padahal udah yakin kalau mencet keyboardnya udah bener). Yang keempat : maaf sudah bikin nangis di ff sebelumnya *jika yang membaca 'cerita tentangmu'. Disini Sasukenya ngga jadi 'korban', kan?* :v
Oke, cukup sekian dan terima kasih... XD terima kasih karena sudah membaca. Yang mau komentar juga boleh... XD
Nb : pembatas buku yang digunakan Sasuke itu terinspirasi dari love rain. Tapi kalau di Love Rain, pakai daun Ginkgo yang sedang berwarna kuning :3
