Bukannya lanjutin translatean fic sungle, malah nulis fanfic yang gaada hubungannya sama sekali sama nct dream... ya, saya sudah kena virus produce 101 juga T T soalnya seonho itu terlalu imut, gakuat. Mohon dimaklumi dan dinikmati saja ya ini fic kesamber petir, saya pun gak ta kenapa tiba" bisa kesengsem berat sama pair ini.. (saya sadar 2002 liner masih pada di smp tapi demi kemudahan alur cerita anggep aja mereka semua anak sma ya ^^)
Pairing: Guanlin x Seonho
Cast: 2000, 2001 & 2002 liner kontestan produce 101 season 2 (yang belom muncul akan muncul di chapter" selanjutnya)
.
.
.
Seonho itu seorang anak yang biasa saja. Setidaknya, begitulah tanggapan dirinya sendiri. Penampilannya layak remaja lelaki normal sepantarannya, tidak ada satu hal pun yang bisa dikatakan spesial. Cenderung ke kutu-buku malahan, dengan kacamata kuno tebal dan rambut klimis disisir rapi kesamping. Nggak modis sama sekali. Tingginya memang diatas rata-rata, tetapi itupun jadi terlihat biasa saja mengingat ia selalu bermain bersama Justin dan Samuel yang juga bongsor seperti pohon kelapa. Ya, kedua temannya yang mempunyai nama berunsur kebarat-baratan itu membuat Seonho semakin tidak menonjol dimata orang lain. Yang satu blasteran orang Mexico America, dan yang satunya lagi anak orang kaya dari Cina. Terlebih lagi, mereka berdua mempunyai paras indah nan tampan yang sukses meraih perhatian para gadis dimanapun mereka berada. Jikalau Samuel diibaratkan secangkir hangat coklat manis dan Justin adalah sebotol susu murni yang segar, Seonho hanyalah segelas air putih yang tidak berasa, tidak panas ataupun dingin. Tetapi Seonho sama sekali tidak masalah dengan hal itu.
Seperti penampilannya, ia adalah seorang anak yang berfikiran simple. Mudah puas dan bahagia. Beri dia makan lima kali sehari, dan Seonho tidak akan meminta apapun hal lain. Well… mungkin beberapa bungkus coklat, permen, atau cemilan extra lainnya. Intinya, kesejahteraan seorang Seonho itu dapat dipastikan dengan mengisi perutnya.
Banyak yang diam-diam bertanya kenapa Samuel dan Justin yang notabene murid-murid kelas satu terpopuler berteman baik dengan Seonho yang sekilas terkesan "cupu". Diam-diam karena, kalau ngomong gitu didepan mereka, pasti bakal diberingasin. Tanya aja tuh sama semua anak (read: preman kalengan dan cewek-cewek kepo nyebelin) yang pernah dibuat nangis sama duo bernama bule itu karena berani ngejek Seonho. Menurut mereka berdua, Seonho itu makhluk langka yang harus dilindungi dan dilestarikan. Kenapa?
Kalau dipaksa mencari kelebihannya sendiri, Seonho yang rendah hati dan rendah diri akan dengan malu-malu mengatakan bahwa nilai pelajaran sekolahnya cukup bagus. Entah dengan standar apa ia menamakan rata-rata total 92/100 "cukup" bagus. Faktanya, Seonho tidak pernah turun dari peringkat tiga besar seangkatannya. Jikalau ada lomba yang membutuhkan kapasitas otak lebih, bisa dipastikan pihak sekolah akan mewakilkannya.
Selain pintar, Seonho juga sangat mahir bermain piano. Dia satu-satunya murid kelas satu yang terpilih menjadi anggota reguler klub band di sekolah mereka. Bukannya bangga, dia malah hampir memberikan balik posisi pianis kepada seniornya. Nggak enak, katanya, kasihan masa digantiin anak baru, Seonho sendiri masih ada kesempatan dua tahun lagi kok buat jadi anggota regular. Dia memang sering bikin teman-temannya geleng-geleng kepala saking terlalu baik dan polos. Jaman sekarang, anak kota umur 15 tahun yang masih selugu itu ya cuma Seonho. Ngerti kan, kenapa Justin dan Samuel sebegitu protectivenya? Mereka selalu was-was anak itu bakal dimanfaatin orang lain.
Seonho sendiri tidak pernah terlalu perduli tentang perkataan buruk orang lain. Banyak yang suka memancing, menghasutnya agar cemburu akan popularitas kedua teman terbaiknya. Jujur saja, itu sama sekali tidak mempan. Ia justru sering kasihan pada Samuel dan Justin dan tidak henti-hentinya dikerubungi dan diperebutkan fans. Melihatnya saja dia merasa lelah. Untuk Seonho, selama perutnya kenyang dan selama bisa bercanda dengan teman-temannya, dia tidak butuh popularitas.
Tapi anehnya, belakangan ini, ada sesuatu yang mulai merubah jalan pikiran yang sudah dimilikinya selama limabelas tahun tersebut. Seseorang, lebih tepatnya. Lebih rincinya lagi, murid pindahan kelas dua dari Taiwan yang bernama Lai Guanlin.
Kakak kelas itu baru satu bulan pindah ke sekolah mereka, tetapi ketenarannya sudah menyaingi Bae Jinyoung dari kelas tiga, Lee Euiwoong dari kelas dua, dan kedua temannya sendiri. Apa yang dulunya dijuluki 'empat pangeran' SMA Paju sekarang berubah menjadi 'lima pangeran' dengan begitu cepatnya. Lalu, apa hubungan semua itu dengan Seonho yang dulunya cuek bebek soal popularitas?
Ini adalah rahasia yang disimpannya seorang diri. Tidak diketahui bahkan oleh kedua teman terdekatnya. Mau bagaimana lagi, Seonho sendiri amat malu dan tidak menyangka bahwa sama seperti sekian banyaknya murid-murid wanita di sekolah mereka, dia juga mempunyai crush kepada lelaki pindahan dari Taiwan itu. Aaah, mengujarkannya dalam hati saja sudah cukup membuat wajahnya merah padam! Bagi seorang Seonho yang pengalaman cintanya terbatas menyukai guru TK baik hati yang selalu memberinya jajanan, rasa deg-degan ini sungguh hal yang baru. Tidak familiar. Dia pun bingung kenapa jantungnya bisa berdebar-debar setiap kali memikirkan Guanlin, padahal waktu pertama kali bertemu, tahu wajahnya saja tidak. Lho. Tunggu. Kok bisa?
.
Mari kita putar balik waktu ke suatu hari sebulan yang lalu. Sore itu hujan turun menghantam bumi dengan teramat deras, seperti mempersiapkan situasi untuk sebuah pertemuan yang bagaikan adegan drama TV tontonan favorit ibunya. Seonho sedang bermain-main dengan kubangan air di tepi jalan sambil berjalan pulang ketika ia melihat seorang pengemis yang duduk di sebelah trotoar menggigil kehujanan. Dia langsung menghampirinya.
"Pak, kok belum pulang? Nanti sakit lho kalo nggak cepat berteduh." Raut wajah khawatir mengambil alih ekspresi Seonho. Dia memang sudah mengenal pengemis yang berlangganan nongkrong didekat sekolahnya semenjak masuk SMA. Setiap berpapasan, Seonho tidak pernah lupa menyapa dan memberikan sisa uang sakunya jikalau masih ada.
"Ah, si adek rupanya." Pak pengemis mengangguk ke arah Seonho sambil tersenyum miris. "Mau pulang kemana dek, bapak nggak punya rumah. Tadinya bapak nunggu hujan berhenti di halte bus situ, tapi diusir sama orang-orang. Jadinya balik kesini."
Seonho merengut sedih. Hatinya iba melihat bapak itu kedinginan dihempa hujan. Sambil mendengus penuh tekat, ia menyimpan kacamatanya ke dalam tas. "Nih pak, buat bapak." Dia menjulurkan payungnya kepada pak pengemis. Seketika, sekujur tubuhnya diselimuti kebasahan.
"Ehh, jangan dek! Nanti adek pakai apa? Gak usah dek!"
Tanpa mempedulikan penolakan, Seonho menggelengkan kepala dan melepas genggaman pada payungnya. "Nggak papa kok pak! Aku tinggal lari ke sekolah lagi, mumpung belum jauh. Nih, ambil pak! Maaf ya hari ini gak bisa kasih uang, soalnya udah aku pake buat makan semua hehehe." Agar tidak ditolak lagi, ia langsung berlari menjauh sambil melambaikan tangan. "Jangan sakit ya pak! Sampai ketemu besok!"
Ia melangkah dengan senyuman lebar mendengar ucapan terimakasih pak pengemis. Memang keputusan yang tepat, meskipun badannya lumayan sakit terkena derasnya hujan dan penglihatannya yang teramat buruk tanpa kacamata menjadi semakin pudar karena cipratan air. Untungnya dia sudah hafal jalan ke sekolah, jadi dengan setengah buta pun pasti masih bisa sampai ke tujuan.
Saking fokusnya mengusap balik poni lepek yang menusuk-nusuk mata, ia sama sekali tidak mendengar langkah kaki yang semakin mendekat. Tiba-tiba, sebuah tangan menarik pundaknya dan mendekatkan tubuhnya ke bawah naungan payung hitam. Seonho melompat kaget.
"Maaf, payungku kecil jadi kita harus berdempetan," jelas orang asing yang sedang merangkulnya dengan erat. Suaranya amat berat, dan dadanya bidang dan kokoh. Seonho dapat merasakannya melalui punggungnya yang menempel lekat ke tubuh orang itu. Entah mengapa, jantungnya mulai berdetak kencang.
"Tidak apa-apa! Terima kasih banyak, sungguh, sudah mau menolongku!" Seonho merasa sedikit tidak sopan berterimakasih tanpa memandang lawan bicaranya, tapi akan terlihat konyol kalau ia langsung membalik badan dan membungkuk di tengah hujan, jadi ia hanya mengangguk pelan.
Sepanjang jalan kesekolah, yang sebenarnya hanya memakan waktu lima menit tetapi terasa jauh lebih lama, Seonho berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin meliar. Selain oleh keluarga dan teman terdekatnya, baru pertama kali ada orang yang memperlakukannya sebaik ini. Bahkan sampai setengah memeluknya demi berbagi payung. Rasanya amat sangat hangat. Ia harus berusaha menyembunyikan rasa kehilangannya ketika mereka telah masuk ke dalam gedung sekolah.
"Terima kasih banyak!" Seonho membungkukkan badannya dalam-dalam. Dengan jarak kira-kira satu meter diantara mereka, ia masih tidak bisa melihat wajah orang asing itu dengan jelas. Yang ia sadari hanyalah orang itu juga mengenakan seragam yang sama dengannya, dan bagian depan bajunya basah. Ya ampun! Bisa-bisanya dia lupa!
"Wah, yah, aduh, maafkan aku!" Lagi-lagi Seonho membungkuk, kali ini penuh dengan rasa salah. "Karena aku, bajumu juga jadi ikut basah! Maaf!"
Orang itu tertawa kecil. "Cuma sedikit kok, nggak papa."
Seonho menggigit bibirnya, masih merasa tidak enak. Ia teringat sesuatu dan menepuk tangannya. Cepat-cepat ia rogoh tasnya untuk mengambil sebuah handuk kecil. "Ini, mohon dipakai!"
Hening sejenak. Orang itu masih belum menerima handuk yang Seonho ulurkan. "Ah, jangan khawatir, ini masih bersih kok! Baru kucuci kemarin, belum dipakai hari ini."
"Bukan itu," timpal sang orang asing sambil tertawa lagi, "kamu kan yang lebih butuh."
"Aku tadi ada pelajaran olah raga, jadi punya baju salin. Ini untuk kakak saja." Seonho bersikeras. Padahal, karena tidak bisa melihat wajahnya, ia tidak tahu apakah orang itu kakak kelasnya atau bukan. Tapi sebagai anak kelas satu, ia lebih baik mengambil kemungkinan yang lebih besar.
"Beneran?"
Ia menjawab pertanyaannya dengan mengangguk antusias.
"Oke kalau begitu." Akhirnya, diambil juga handuknya. Puas, Seonho mengangkat kepalanya dan berniat untuk pamit saat orang itu berjalan mendekatinya. Dengan lembutnya, ia mengusap kening Seonho dengan handuk pemberiannya.
Selama detik itu, dunia seakan berhenti berputar. Seonho menahan napas, tidak berani menggerakkan bagian tubuh apapun selagi orang itu perlahan mengeringkan wajahnya. Beberapa kali jemarinya tidak sengaja mengelus kulit wajah Seonho, dan Seonho tidak bisa menahan getaran halus yang melanda tubuhnya setiap kali itu terjadi. Debaran di dadanya amat kencang. Ia takut orang itu bisa mendengarnya dari jarak sedekat ini. Ya Tuhan, apa yang sedang terjadi kepadaku?
"Nah. Paling tidak mukamu tidak basah kuyup lagi." Suara baritone itu membuyarkan ketegangannya. Seonho mengedipkan matanya, tak sadar bila ia sudah menutupnya selama ini. Ia memandang kedepan tanpa pikir panjang, dan seketika hampir ambruk ke lantai karena lututnya lemas. Ya ampun, orang ini tampan sekali. Seonho sama sekali tidak menyangka bahwa penolongnya ternyata orang setampan ini. Tiba-tiba, ia merasa malu akan wajahnya sendiri.
"Uh, em, iya. Eh, maksudku, makasih banyak… DADAH KAK MAKASIH YA!" Tanpa menunggu aba-aba, Seonho lari sekencang-kencangnya. Kemana, ia pun tidak tahu. Yang penting jauh dari orang itu, karena debaran jantungnya sudah sangat tidak sehat. Bisa-bisa meledak dan membunuhnya seketika.
.
Dan seperti itulah hidup Seonho yang aman tentram damai dari kata romansa selama limabelas tahun lamanya diombang-ambing oleh kedatangan seorang pangeran berkuda putih. Pangeran berpayung hitam, lebih tepatnya. Entah mengapa malah terdengar seperti grim reaper. Grim reaper yang mencuri hati. Aaaahhh udahan ah gakuat Seonho, bisa jebol bantal gulingnya di tinju-tinju gajelas.
Malam itu, Seonho yang biasanya pelor alias nempel molor sibuk bolak-balik resah di ranjangnya. Penasaran siapa identitas orang itu. Mana tahu keesokan harinya ia akan langsung tahu. Bagaimana bisa tidak, dengan kehebohan para murid perempuan yang berkoar-koar tentang kedatangan pangeran kelima dari Taiwan. Seonho ingin menangis rasanya. Entah dewa cinta mana yang mengutuknya untuk jatuh suka kepada seseorang yang way out of his league.
Sebab itulah Seonho merahasiakan crush nya dari semua orang, karena ia yakin Guanlin tidak mungkin melirik balik kearahnya. Seonho sangat sadar diri. Ia selalu menghibur dirinya dengan meyakini bahwa melihat dan mengagumi Guanlin dari kejauhan itu sudah cukup. Tetapi namanya juga suka, kadang-kadang ia pun terbawa imajinasi. Mungkin jikalau Seonho berpenampilan menarik dan populer seperti Samuel dan Justin, ia akan punya kesempatan menarik perhatian Guanlin. Setiap kali mencoba membayangkannya, Seonho selalu tertawa sendiri. Tidak bisa terbayangkan, saking mustahilnya.
"Liat tuh. Dia cekekekan sendiri lagi." Samuel menyikut lengan Justin yang duduk disebelahnya.
Seonho langsung memutar kepalanya menjauhi jendela, melepaskan pandangan dari sosok tubuh Guanlin yang sedang disoraki oleh penggemarnya.
"Belakangan dia emang sering cengengesan gak jelas gitu, gak tau mikirin apa, sampe gak bereaksi waktu bel istirahat bunyi. Padahal biasanya yang paling semangat," balas Justin sambil asyik mengetik di handphonenya.
Seonho menggaruk tengkuknya, malu tertangkap basah melamun oleh teman-temannya. "Masa sih? Aku nggak sadar hehehe."
Mereka berdua hanya bisa menghela napas sambil menahan senyum, terbawa hawa riang Seonho. Sebenarnya ada sedikit kecurigaan Seonho sedang menyembunyikan sesuatu, tapi mereka tidak akan memaksa untuk tahu kalau Seonho belum merasa nyaman berbagi. Toh anaknya masih terlihat baik-baik saja.
Samuel berdiri dan mengajak mereka keluar kelas. "Yaudah yok ke kantin. Kalo perutmu itu nggak diisi pasti bentar lagi bunyi kayak halilintar."
Seonho tertawa lepas mendengar ucapan itu. Ia pun bergegas menyusul temannya melangkah pergi. Andai saja dia menoleh sekali lagi ke arah jendela, dia akan mendapati penampakan yang pastinya membuatnya terkejut.
Di pinggir lapangan sepak bola, setelah jam pelajaran olahraga telah usai, seorang Lai Guanlin bisa terlihat mengusap keringatnya dengan handuk kecil berwarna kuning. Sangat ganjil, mengingat barang-barang lain miliknya yang berkecenderungan berwarna hitam, abu-abu atau putih. Jika dilihat terlebih dekat lagi, tersebar di permukaan handuk itu adalah motif anak ayam yang sedang menetas dari telur. Dan jikalau penglihatan anda amatlah tajam, di salah satu sudutnya tertulis tiga huruf alphabet inisial nama seseorang. Y.S.H.
"Woy. Tumben senyum-senyum sendiri." Dongbin menepuk punggung teman sekelasnya.
"Emang nggak boleh?" tanya Guanlin sembari melipat balik handuknya dengan rapi.
"Enggak sih, aneh aja liatnya. Gak cocok sama image cool prince yang bikin lu digila-gilain cewek. Sama kayak sapu tangannya juga, terlalu imut buat lu," ejek Dongbin, mencoba mengambil handuk di tangan Guanlin.
Belum sempat tersentuh, Guanlin sudah dengan sigap memasukannya kedalam kantong celana. "Ini handuk, bukan sapu tangan," koreksinya, mengacuhkan tuduhan pelit dari Dongbin.
"…Tapi memang anak ayamnya imut," tambah Guanlin beberapa detik kemudian. Hanya dirinya seorang yang tahu, bahwa yang ia maksud bukanlah motif gendut anak ayam yang terpapar di handuknya, melainkan sosok misterius pemilik asli benda itu.
Ah, entah kapan bisa bertemu lagi dengannya.
TBC
.
.
.
Next chapter ganti povnya Guanlin ^^ dimohon review, saran dan kritiknya ya teman teman hehehehe
