Hai, Minna! Ini adalah fanfic pertama saya yang saya publish sejak dua tahun hilang dari FFn dan kembali dengan akun baru. So, happy reading and enjoy! XD
Warning: AU and (maybe) OOC.
.
Fairy Tail © Hiro Mashima
Kagayaku Kinka, proudly, present: the her first fanfiction.
From Magnolia with Love
.
Chapter one: A very lucky girl
Pagi hari di Magnolia; cuaca cerah yang sangat bersahabat membuat penduduk—di kota yang bisa terbilang cukup besar ini—menjadi bersemangat. Terlihat dari para penduduknya yang sedang menjalankan aktivitas mereka dengan wajah ceriah. Bahkan para pendatang yang baru saja tiba di kota Magnolia dapat merasakan suasana hangat yang dipancarkan oleh para penduduk kota.
Tak terkecuali gadis pirang yang satu ini. Ia baru saja tiba di Magnolia dan kini sedang mengelilingi kota untuk mencari sebuah tempat tinggal yang bisa ia tinggali di kota ini. Sudah hampir sepuluh menit ia berjalan dan mengelilingi kota, sapaan demi sapaan telah ia dapatkan ketika melewati sejumlah pedagang yang sedang menawarkan barang dagangannya. Meskipun sang gadis hanya mampu menolak tawaran-tawaran itu seraya tersenyum, tetap saja para pedagang itu bersikap ramah kepadanya.
Begitu juga dengan para penduduk kota yang bersikap sama dan tidak jauh berbeda. Hampir sepuluh menit sang gadis berjalan dan mengelilingi kota, beberapa kaum ibu-ibu yang sempat berpapasan dengannya selalu melemparkan senyum lembut kepadanya. Sehingga, Lucy—Sang Gadis Berambut Pirang ini pun merasa puas dan tidak menyesal dengan pilihannya untuk datang ke kota ini.
'Para penduduknya sangat ramah dan bersahabat', pikir Lucy seraya membalas senyum kepada seorang wanita tua yang sebelumnya tersenyum kepadanya.
Lucy terus berjalan mengelilingi kota dan ia sadar, ia sudah berjalan cukup jauh dari stasiun kota. Semakin ia menyusuri jalan yang ia ambil, sejauh mata memandang, ia hanya dapat melihat rumah-rumah penduduk. Setelah sebelumnya ia banyak menemukan pertokoan dan melihat banyak orang yang berlalu lalang—tetapi sekarang ia mulai merasa resah karena jalan yang ia selusuri sepi dan jarang sekali ia melihat ada orang yang melewati jalan yang sama dengannya.
Perlahan demi perlahan kaki Lucy pun mulai lelah melangkah, akan tetapi ia tidak bisa berhenti. Ia sama sekali belum menemukan sebuah apartemen atau indekos yang bisa ia tinggali walaupun ia sudah berjalan mencari selama kurang lebih lima belas menit. Dan kini rasa resah Lucy pun mulai tergantikan dengan rasa frutasi. Ia berpikir jika ia salah mengambil jalan.
Kemudian dilihatnya koper besar yang sedang ditarik oleh tangannya, "Ah, koper ini berat sekali!" gerutu Lucy. Merasa kaki dan tangannya lelah dan sudah mencapai batasnya, ia pun terpaksa menghentikan langkahnya.
Namun beberapa detik kemudian, ia mulai berjalan kembali ketika melihat seorang bapak-bapak yang kebetulan saja melintas di depannya.
"Pak, permisi!"
Lucy menghampiri bapak-bapak tersebut dan kemudian melanjutkan ucapannya setelah memastikan bapak-bapak itu memperhatikannya, "Saya mau tanya. Apa di sekitar sini ada sebuah apartemen atau kos-kos'an?" tanya Lucy dengan sopan.
Bapak-bapak itu terlihat seperti berpikir sejenak sebelum menjawab, "Kalau apartemen... sepertinya tidak ada. Tapi kalau kos-kos'an di kompleks ini ada."
"Benarkah? Dimana, Pak?"
"Kamu lurus saja, di depan ada perempatan, kamu belok ke kiri. Emm kalau tidak salah..." bapak-bapak itu memberi jeda pada ucapannya, ia terlihat berpikir. "Rumahnya yang di blok E nomor 12," lanjut bapak-bapak yang umurnya terlihat hampir setengah abad itu.
"Oh. Terima kasih, Pak!" ujar Lucy dengan nada gembira yang hanya dibalas dengan anggukkan bapak-bapak itu. Kemudian Lucy pun menundukkan kepalanya seraya memberi tanda kepada bapak-bapak yang tidak dikenalnya itu bahwa ia akan pergi ke indekos yang baru saja diberitahukan kepadanya.
Lucy kembali melanjutkan perjalanannya. Rasa lelah di kaki dan tangannya sekejap hilang setelah ia tahu bahwa ia tidak salah mengambil jalan. Rasa frustasinya pun sudah tergantikan dengan rasa semangat karena ia berpikir bahwa sebentar lagi ia bisa menemukan tempat tinggal yang bisa ia tinggali.
Lucy berjalan berdasarkan petunjuk jalan yang diberitahukan oleh bapak-bapak yang ia pikir sangat baik hati tersebut. Setelah beberapa menit berjalan, ia akhirnya sampai di depan rumah dengan tulisan E/12 tertera di tembok pagar rumah berwarna light cream itu.
Sedikit ragu, Lucy pun memperhatikan sejenak rumah bertingkat dua yang sekarang berada tepat di depan matanya. Rumah dengan warna cherry blossom itu cukup besar, halaman rumahnya juga sangat bersih, selain itu banyak sekali pot tanaman bunga di dalam halamannya. Lucy berpikir jika pemilik rumah ini sangat apik dan menyukai bunga.
Sebelum Lucy berniat masuk dan membuka pintu pagar rumah bernomor dua belas itu, ia memperhatikan sekelilingnya. Sedikit ragu dan takut jika kalau ia salah rumah, Lucy pun menghela nafas—berusaha membangkitkan kepercayaan dirinya. Setelah ia pikir siap, gadis pirang dengan paras cantik ini pun membuka pintu pagar rumah dan segera menekan tombol bel yang berada di samping pintu.
Tidak perlu menunggu waktu lama, pintu kayu jati yang cukup besar itu pun terbuka sedikit dan terlihat siluet seseorang dari celah pintu.
"Siapa?"
Terdengar suara wanita dari dalam.
"Aku Lucy. Apa benar rumah ini sebuah kos-kos'an? Jika benar, aku ingin mengekos di sini," ujar Lucy. Ia cukup terkejut dengan cara pemilik rumah menyambutnya. Kemudian pikiran mengenai
'apa ia salah rumah' terbesit di kepalanya.
"Memang benar ini sebuah kos-kos'an. Tapi kos-kos'an untuk perempuan. Apa kau seorang perempuan?"
Suara itu bertanya lagi. Lucy berpikir bahwa orang yang berbicara dengannya ini sedikit menyebalkan. Tentu saja dia itu seorang perempuan. Suaranya saja sudah terdengar seperti perempuan bukan?
"Tentu saja. Kau bisa tahu dari suaraku bukan?"
Dan kemudian pintu itu terbuka lebar dan menampilkan seorang figur wanita tua yang bertubuh kecil. Lucy memperhatikan wanita tua itu. Ia tidak menyangka pemilik rumah ini adalah seorang wanita yang umurnya kelihatan lebih dari setengah abad.
"Sepertinya kau memang perempuan," ujar wanita tua setelah memperhatikan Lucy dari atas ke bawah. "Masuklah. Mari kita berbicara di dalam," ajak wanita tua itu. Lucy pun memasuki rumah Si Wanita Tua yang bertubuh kecil dengan rambutnya yang sudah memutih.
"Taruh saja kopermu di sini. Kita akan berbicara di dalam," perintah wanita tua itu.
Lucy pun meninggalkan kopernya di dalam pintu masuk. Kemudian ia berjalan mengikuti Si Wanita Tua yang mengajaknya ke ruang tamu.
"Duduklah. Aku harus tahu siapa dirimu sebelum mengizinkanmu untuk mengekos di rumahku," ujar wanita tua seraya duduk di sofa ruang tamunya.
Lucy mengikuti perintah wanita tua itu dan duduk berhadapan dengannya. Sejurus kemudian ia merasakan jikalau ia sedang ditatap intens oleh wanita tua di depannya.
"Sekarang perkenalkan dirimu kepadaku. Siapa namamu, dari mana asalmu, kenapa kau mau mengekos di rumahku, dan lainnya," ujar wanita tua itu dengan tegas.
Lucy hanya mengerjapkan matanya mendengar ucapan wanita tua di depannya. Ia merasa seperti diintrogasi walau kenyataannya memang seperti itu.
"Aku Lucy. Aku berasal dari kota sebelah. Alasanku ingin mengekos di sini karena aku harus punya tempat untuk tinggal," jelas Lucy.
"Lalu, apa alasanmu ke kota ini?"
Lucy terdiam sebentar sebelum menjawab, "Aku ke kota ini untuk merantau..." Ia menekan bibir bawahnya, ia sedikit ragu dengan jawabannya bahkan jawaban itu terdengar meragukan.
Lucy melihat raut wajah wanita tua di depannya, wajahnya menyiratkan rasa curiga dan sedikit tidak percaya. Sepertinya Lucy harus meyakinkan wanita tua di depannya agar ia bisa tinggal di rumahnya dan sepertinya ia gagal melakukan hal tersebut.
"Apa itu benar?" tanya wanita tua itu, ia sedikit menaikkan sebelah alisnya.
"Ya, tentu saja benar," jawab Lucy dengan tegas agar wanita tua itu percaya.
Wanita itu menghela nafas dan menggelengkan kepalanya pelan. Tubuhnya sedikit mau ke depan. "Kau pikir kau bisa membohongiku, Lucy?"
"Aku tidak membohongimu, Obaa-san," sanggah Lucy.
Wanita tua itu menghela nafas. Kemudian ia menyandarkan tubuhnya ke sofa, mencoba bersikap santai. "Sepertinya kau sudah lupa padaku."
"Eh?"
Lucy yang mendengar pernyataan wanita tua di hadapannya hanya bisa memasang raut wajah bingung.
"Apa maksudmu, Obaa-san? Apa kau mengenalku?" tanya Lucy.
"Aku Hilda. Kakak dari ibu mamamu. Sepertinya kau lupa padaku. Yah, tentu saja, terakhir aku bertemu denganmu, kau masih berumur 6 tahun," ujar Hilda —wanita tua yang kini sedang duduk berhadapan dengan Lucy.
Hilda menghela nafas kembali. Ia mengamati raut wajah Lucy—yang sepertinya sedang mengingat-ingat tentang dirinya. Wajar saja jika Lucy tidak mengingatnya. Waktu itu Lucy masih kecil dan baru saja berumur genap enam tahun ketika Hilda berkunjung ke rumahnya. Jikalau bukan karena rambut Lucy beserta wajahnya yang mirip anak adiknya itu, mungkin juga ia tidak akan mengingat gadis kecil yang dulu dikenalnya ini.
"Oh, aku ingat! Obaa-san yang waktu itu tiba-tiba saja datang ke rumahku dan kemudian mama menyabutmu dengan wajah senang, 'kan?" ujar Lucy setelah berhasil mengingat wanita tua di depannya.
"Ya, ternyata kau mengingatnya, Lucy," ujar Hilda.
Wanita yang rambutnya telah memutih itu tersenyum, begitu juga dengan Lucy. Gadis itu membalas senyum Hilda, senyumannya persis seperti senyum ibunya. Tapi sejurus kemudian senyum Hilda menghilang digantikan dengan raut wajah serius yang terlihat kaku. Kemudian wanita yang berumur lebih dari setengah abad itu menatap Lucy dengan intens dan mengintimidasi.
"Jadi, apa alasanmu sebenarnya datang ke kota ini dan ingin mengekos di rumahku, Lucy?" tanya Hilda. Tatapan matanya seperti menusuk sepasang bola mata coklat karamel di depannya.
Lucy merasa takut ditatap seperti itu. Tiba-tiba saja ia menjadi gugup dan tidak tahu harus berbicara apa. Kini pikirannya sibuk memikirkan apa yang harus ia jawab atas pertanyaan Hilda tersebut.
Apa yang harus ia jawab? Apa ia harus menjawab pertanyaan itu dengan jujur? Tapi jika jujur, apa konsekuensi yang akan ia dapat? Jika ia berbohong, apa ia bisa membohongi Hilda? Tapi sepertinya tidak. Wanita tua di hadapannya ini sangat sulit untuk dibohongi.
"Aku..." Lucy menimang-nimang lagi jawaban yang akan ia lontarkan sebelum melanjutkan, "...aku kabur dari rumah," jujurnya.
Hilda menaikkan sebelah alisnya. "Kabur? Kenapa?"
"Ya... Itu karena... Otou-san sangat menyebalkan dan tidak memperdulikanku," jawab Lucy.
"Ceritakan padaku lebih detail. Aku tidak mau ada kesalah pahaman di sini," perintah Hilda.
Lucy pun menceritakan semua alasan kenapa ia kabur dari rumah kepada Hilda. Ia menceritakan bagaimana ayahnya telah berubah ketika ibunya sudah tidak ada. Ayahnya yang dulu sangat memperhatikannya dan begitu peduli padanya. Ayahnya yang sebelumnya tidak pernah menuntut banyak kepada dirinya. Tapi sekarang, ayahnya telah melakukan hal yang sebaliknya. Ia tidak mempedulikan Lucy seperti dulu. Jangankan mempedulikan, memperhatikan Lucy saja sudah tidak pernah. Ditambah lagi ayahnya terlalu menuntut banyak kepadanya sampai-sampai Lucy muak dan kabur dari rumah.
Hilda hanya mendengarkan cerita Lucy dengan seksama. Kini ia tahu alasan kenapa gadis di depannya ini sampai nekat untuk kabur dari rumah.
"Baik, Lucy. Aku pikir sudah cukup. Kau boleh tinggal di sini. Aku tidak akan memberitahu ayahmu bahwa kau tinggal bersamaku. Biar ia yang mencari anaknya sendiri," ujar Hilda kepada gadis di hadapannya.
"Terima kasih, Hilda-obaa-san."
Lucy menundukkan kepalanya. Ia sangat senang Hilda bisa mengerti dirinya. Senyum manispun terlukis di wajah cantik gadis berusia tujuh belas tahun itu.
"Sama-sama. Panggil saja aku Obaa-san, Lucy," ucap Hilda dengan lembut.
Lucy mengangguk dan kemudian bertanya kepada Hilda, "Nee, Obaa-san. Berapa sewa kos selama sebulan?"
Mendengar pertanyaan Lucy, Hilda hanya tersenyum. "Kau tidak perlu membayar uang sewa, Lucy. Hitung-hitung kau menemaniku yang tinggal sendirian di sini. Lagipula kau adalah cucu dari adikku. Dan hanya tinggal kau dan papamu saja saudaraku sekarang. Jadi kau tidak perlu membayar uang sewa. Kau gratis tinggal di sini."
Lucy mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia tidak percaya akan apa yang ia dengar.
"Benarkah? Aku tidak perlu membayar uang sewa?"
"Ya, Lucy. Kau tidak perlu membayar," ujar Hilda. "Selain itu, aku juga akan membayari semua kebutuhan sehari-harimu," lanjut wanita tua itu.
Dan lagi Lucy tidak percaya apa yang ia dengar dari wanita tua di depannya.
"Benarkah? Kau mau membayari kebutuhanku?"
"Ya. Aku sudah menganggapmu seperti cucuku sendiri, Lucy. Jadi aku akan membayari kebutuhanmu. Apa kau tidak mau?"
"A-aku mau... Tapi... Bagaimana menjelaskannya? Uh, aku tidak enak padamu, Obaa-san," ujar Lucy seraya menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal.
Hilda menautkan kedua alisnya. Kemudian wanita tua itu menghela nafas. "Begini begini aku ini nenekmu, Lucy. Kau tidak perlu sungkan padaku. Apa kau mengerti?"
Lucy menjadi merasa serba salah. Ia tahu Hilda adalah neneknya, meskipun bisa dibilang nenek jauh. Tapi tetap saja, Lucy tidak enak kepada Hilda.
"Baiklah, aku mengerti, Obaa-san."
Hilda tersenyum, ia tahu pasti sulit bagi Lucy untuk menerima tawarannya begitu saja. Biarpun ia adalah nenek Lucy tetap saja Lucy akan merasa tidak enak hati padanya. Terlebih lagi ia adalah nenek jauh yang baru bertemu Lucy kembali setelah sebelas tahun lamanya tidak berjumpa.
"Kalau begitu bawa kopermu ke atas. Kamarmu ada di lantai atas, tepat di samping tangga. Kebetulan sekali aku baru saja merapikan kamar itu. Jadi kau hanya perlu merapikan barang-barangmu," ujar Hilda menjelaskan.
Lucy pun mengangguk, kemudian ia menaiki tangga dan membawa kopernya ke lantai atas—setelah sebelumnya ia mengambil kopernya yang berada di depan pintu.
"Jika kau butuh sesuatu, jangan sungkan untuk mengatakannya padaku. Kamarku ada di lantai bawah, Lucy," lanjut Hilda dengan suara yang agak keras agar Lucy yang sudah berada di atas mendengarnya.
Gadis berusia tujuh belas tahun yang kini sedang mengamati kamar barunya pun berteriak, "Ya," menanggapi ucapan Hilda sebelumnya.
Sepasang bola mata coklat karamel itu kini sibuk mengamati kamar barunya yang berukur empat kali empat meter. Di dalamnya terdapat satu buah ranjang yang cukup besar, satu buah lemari dengan dua pintu, dan satu buah meja belajar yang Lucy pikir besarnya lebih dari cukup. Kedua ujung bibir Lucy tertarik membentuk seulas senyum manakala ia sadar nuansa kamarnya begitu girly dengan dindingnya yang berwarna soft pink.
Tak menunggu lama, gadis pirang itu segera membereskan barang bawaannya. Namun sebelum itu, ia tampaknya harus membersihkan lagi kamar yang akan ia tempati. Masih ada beberapa debu di kamar barunya. Lucy merasa tidak nyaman jika kamarnya tidak benar-benar bersih seutuhnya. Akhirnya gadis berambut pirang itu pun membersihkan kamarnya terlebih dahulu sebelum membereskan barang-barangnya.
Setelah Lucy pikir kamarnya cukup bersih dan nyaman, ia pun memulai kegiatan membereskan barang bawaannya. Dengan sigap ia mengeluarkan pakaian-pakaiannya dari dalam koper, lalu memasukkan pakaian-pakaiannya tersebut ke dalam lemari. Tidak lupa, Lucy juga menaruh beberapa figma dan nendoroid—yang sengaja dibawanya dari rumah—di meja belajarnya dan menata rapi mainan-mainan yang ia anggap barang paling berharganya tersebut.
Cukup lama ia merapikan kamar berserta barang-barangnya, Lucy sampai tidak sadar jika hari mulai malam dan makan malam sudah siap. Dari lantai bawah, Hilda telah memanggil Lucy untuk turun dan mengajak Lucy agar makan malam bersamanya. Lucy yang mendengar panggilan Hilda pun segera turun ke bawah dan makan malam bersama Hilda.
Makan malam kala itu berlangsung sunyi tanpa adanya percakapan antara Lucy dan Hilda. Hanya suara dentingan antara alat makan yang saling beradu, yang menjadi latar belakang acara makan malam mereka berdua. Tetapi suasana itu segera berakhir tak kala Hilda memulai pembicaraan dengan Lucy.
"Hei, Lucy..."
Lucy yang sedang fokus dengan makanannya langsung menatap Hilda ketika wanita tua itu memanggil namanya.
"Ya, Obaa-chan?" sahut Lucy.
"Tiba-tiba saja aku kepikiran dengan sekolahmu. Nee, apa kau sudah berhenti dari sekolahmu yang lama?"
Lucy terdiam sejenak dan akhirnya ia menjawab. "Belum. Tapi karena aku home schooling, otomatis aku bisa berhenti begitu saja," jawab gadis itu.
Hilda hanya mengangguk. "Kalau begitu, kau harus melanjutkan sekolahmu di kota ini, Lucy."
"Eh?" Lucy terkejut, ia memberhentikan kegiatan makannya sejenak.
"Aku tidak mau, Obaa-san," tolaknya.
"Kenapa?" Hilda spontan bertanya.
"Tidak ada alasannya... Ehm, aku hanya tidak mau saja."
Hilda mengangkat sebelah alisnya. "Apa saat kabur kau membawa surat-suratmu? Surat-surat penting seperti akte kelahiran dan lainnya?"
"Tentu saja aku bawa," jawab Lucy.
Tentu saja ia membawa surat-surat penting miliknya untuk jaga-jaga jika ia membutuhkannya.
"Kalau begitu besok aku akan mendaftarkanmu ke sekolah yang berada di kota ini."
Tiba-tiba saja Lucy membulatkan matanya. Ia terkejut mendengar perkataan Hilda yang duduk di hadapannya.
"Aku sudah katakan bukan? Aku tidak mau, Obaa-san..."
"Aku tidak peduli kau mau atau tidak. Aku ingin kau melanjutkan sekolahmu," ujar Hilda secara tegas.
"Tapi... Siapa yang akan membiayai sekolahku nantinya, Obaa-san? Tidak mungkin aku yang membiayai sekolahku sendiri. Dan aku juga tidak mau kau membiayaiku sekolahku..."
"Aku yang akan membiayai sekolahmu, Lucy. Dan kau harus mengikuti kemauanku, —atau kau mau aku membawamu pulang ke papamu?" ujar Hilda.
Ia sengaja mengancam Lucy. Hilda tahu Lucy pasti akan menolak tawaran baiknya karena Lucy sungkan dengannya.
"Tapi... aku akan merepotkan Obaa-san..." lirih Lucy. Gadis itu menundukkan kepalanya.
"Lucy, aku tidak merasa direpotkan olehmu. Aku sudah bilang kalau aku sudah menganggapmu seperti cucuku sendiri, bukan?"
Lucy hanya mengangguk. Jujur saja, Lucy belum sepenuhnya menganggap Hilda adalah neneknya. Jadi rasa sungkan masih saja hinggap dalam dirinya manakala Hilda menawarkan kebaikkan untuknya.
Hilda tersenyum. Ia sangat senang Lucy menerima kebaikannya. Ditambah lagi Lucy merupakan anak yang baik yang tidak mau merepotkan orang lain begitu saja.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kau sendiri yang menentukan dimana kau akan bersekolah?"
Lucy kembali mengangguk. Gadis ini sungguh sedikit tidak percaya dan terharu atas kebaikkan Hilda kepadanya.
"Terima kasih, Obaa-san. Kau baik sekali mau membiayai sekolahku. Aku sangat berhutang budi padamu," ujar Lucy seraya tersenyum.
Hilda mendengus mendengar ucapan Lucy. Anak ini benar-benar sungkan padanya.
"Lucy, aku nenekmu, ingat? Kau sama sekali tidak berhutang budi padaku."
Untuk ketiga kalinya, Lucy mengangguk. "Baik, Obaa-san. Sekali lagi terima kasih," ujar Lucy seraya menundukkan kepalanya. Hilda hanya menghela nafas dan kemudian tersenyum.
Setelah menyelesaikan makan malam dan mencuci piring kotor, Lucy kembali ke kamar. Ia kembali ke kegiatannya merapikan barang-barang yang sempat tertunda. Tidak lama setelah melanjutkan kegiatannya yang semula, Lucy pun hampir selesai.
"Yosh, tinggal memindahkan kardus-kardus ini... dan semuanya selesai! Semangat, Lucy!"
Kemudian Lucy mengangkat kardus-kardus itu. Kardus yang ia angkat tidak berat karena isinya sedikit. Hilda bilang kardus-kardus beserta isi di dalamnya ini hanya barang lama yang sudah tidak terpakai. Jadi Lucy pikir tidak masalah jika ia menaruhnya di balkon kamar.
Lucy menaruh semua kardus-kardus itu di pojok balkon kamarnya. Totalnya ada tiga kardus. Meskipun ringan, tapi ia rasa cukup berat karena ia sudah sangat lelah.
Lucy baru saja akan masuk ke dalam kamarnya. Akan tetapi langkahnya terhenti; saat tiba-tiba saja pintu jendela balkon di seberang kamarnya terbuka. Dan seorang pemuda dengan warna rambut yang aneh dan cukup unik muncul di balik pintu balkon. Raut wajah pemuda tersebut kelihatan bad mood dan garang—membuat Lucy berpikir bahwa pemuda di seberang balkon kamarnya sangat menakutkan.
Pemuda itu menatap Lucy ketika ia baru saja keluar dari dalam kamarnya. Mukanya yang sedang kelihatan garang ini semakin terlihat garang ketika ia memergoki Lucy sedang menatapnya.
Kedua alis pemuda itu saling bertautan, ia menatap Lucy dengan pandangan tidak suka. "Kau siapa?" tanya pemuda di seberang balkon, jutek.
"Eh? Aku?"
Lucy mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia terkejut pemuda dengan rambut pink di hadapannya itu bertanya padanya.
"Tentu saja. Kau pikir ada orang lain selain kau di sini?" Merasa kesal dengan gadis pirang di depannya, pemuda ini pun menghela nafas.
"Eng.. Etto, perkenalkan, aku Lucy. Cucu dari Hilda-Obaa-san. Salam kenal," ujar Lucy diakhiri dengan senyum tipisnya yang cukup mempesona.
Pemuda itu menatap Lucy bingung. "Aku baru tau Hilda-Obaa-san punya seorang cucu," ujarnya.
"Tentu saja... Hari ini aku baru saja menjadi cucunya," gumam Lucy dengan suara yang pelan.
Tapi sayang sekali, pemuda di hadapannya samar-samar dapat mendengar gumaman itu dengan jelas.
"Hm, kau bilang sesuatu?"
Lucy terkejut. 'Sepertinya gumamanku terdengar', pikirnya.
"Ti-tidak. Aku tidak bilang apa-apa," ujar Lucy secara terbata. Gadis itu terkejut dan takut gumamannya terdengar.
"Aneh," nilai pemuda dengan rambut pink itu kepada Lucy.
"Ehm, kau mengatakan sesuatu?" tanya Lucy. Sebenarnya gadis ini mendengar pemuda di hadapannya menyebut dirinya aneh.
"Tidak. Oh ya, perkenalkan, aku Natsu. Eng, salam kenal, Lucy," ujar Natsu—pemuda berambut pink itu.
"Salam kenal, Natsu." Lucy tersenyum, walau begitu Natsu hanya bersikap biasa saja dan tidak membalas senyumnya.
Lucy pun merasa kikuk. Ia berpikir sepetinya Natsu sedang tidak mood untuk diajak berbicara dengan orang yang baru saja dikenal.
"Eng.. Sepertinya aku harus masuk ke kamar. Err, aku permisi dulu, Natsu," pamit Lucy sebelum ia masuk ke dalam kamarnya.
Natsu hanya mengiyakan saja. Pemuda berambut aneh tapi unik itu berpikir bahwa tetangga seberang kamarnya itu aneh. Meskipun kata 'cantik' sempat terlintas di pikirannya saat ia menilai Lucy pertama kali.
Sementara itu, Lucy yang baru saja masuk ke kamarnya merasa malu terhadap dirinya sendiri. Kenapa ia harus kelihatan aneh di depan pemuda yang baru saja kenal dengannya? Ditambah lagi ia mendengar bahwa Natsu menyebutnya aneh.
Merasa malas dan pusing sampai bisa jadi gila jika lama-lama ia memikirkan hal yang tidak begitu penting, akhirnya Lucy memilih untuk mandi agar pikirannya dapat segar kembali.
Setelah selesai mandi dan memakai piyama, Lucy menatap dari jauh laptopnya yang berada di atas meja.
'Hm... Apa aku online forum dulu sebelum tidur ya?' pikir Lucy sebelum beranjak ke ranjangnya.
'Aku sudah tidak online satu malam. Apa anak itu akan mengkhawatirkanku?'
Lucy pun menghampiri meja belajarnya. Ia menatap lama laptop miliknya.
'Ah, tidak online 2 hari, ia tidak akan kesepian, bukan~ Lagipula ia tahu bahwa aku pindah ke Magnolia,' pikir Lucy setelah lama menimbang-nimbang apa ia akan online atau tidak.
Lucy adalah seorang gadis yang lumayan otaku yang hobi online di sebuah forum website bernama Otaku Fiore. Alasan mengapa ia sendiri menganggap dirinya sendiri lumayan otaku adalah karena ia tidak terlalu berminat menjadi seorang otaku. Baginya ia tidak terlalu mendalami hobinya. Untuk itulah ia menganggap dirinya sendiri lumayan otaku.
Di forum Otaku Fiore, Lucy mempunyai seorang teman yang cukup akrab dan dekat dengannya. Meskipun gadis ini hanya mengenal temannya itu dari dunia maya. Tapi sungguh, ia benar-benar dekatnya dengannya. Bahkan ia juga mengenal teman-teman dari orang yang dikenalnya itu.
Alasan kenapa Lucy berkata teman dunia mayanya itu benar-benar dekatnya dengannya adalah karena mereka berdua saling terbuka untuk bercerita tentang diri mereka masing-masing. Lagipula karena mereka satu hobi, mereka bisa dekat begitu saja dengan sangat cepat. Bahkan Lucy sendiri lupa sejak kapan ia bisa dekat dengan teman dunia mayanya yang satu itu.
Lucy melirik jam dinding di depanya. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ah, kika saja ia tidak lelah dan besok tidak banyak kegiatan, jam segini ia tidak akan tidur. Ia lebih memilih untuk online forum dan chat dengan teman dunia mayanya untuk bertanya tentang sekolah yang bagus di kota Magnolia. Tapi apa daya, tubuh Lucy benar-benar lelah. Tulang-tulangnya seperti akan patah jika ia tidak tidur sekarang.
Lucy pun segera menghampiri ranjangnya. Kemudian ia merebahkan dirinya di atas ranjangnya dan bersiap untuk tidur. Ia harus mengistirahatkan tubuhnya dengan baik malam ini, agar besok ia bisa mencari pekerjaan sambilan, pikir gadis itu.
Mencari pekerjaan sambilan? Untuk apa?
Tentu saja agar ia tidak membebani Hilda begitu saja. Ia pikir, ia pantas bekerja agar ia tidak terlalu merepotkan Hilda. Lagipula, sebelum ia datang ke Magnolia, ia telah memantapkan dirinya untuk bekerja di kota ini agar ia bisa membiayai kehidupannya.
Dan lagi, selain mencari pekerjaan, besok ia juga harus mencari sekolah untuknya dirinya sendiri. Masalah ia akan bersekolah dimana, ia akan meminta saran kepada teman dunia mayanya itu ketika online forum.
Mengingat banyak pekerjaan yang harus dilakukan besok, Lucy pun segera merapatkan kedua matanya dan bersiap untuk tidur. Tak perlu waktu lama, gadis pirang ini pun segera tertidur dengan lelap—terbuai oleh lelahnya yang menghantarkannya kepada alam bawah sadarnya.
.
To Be Continued
.
A/N:
Maaf banget yang sebesar-besarnya kalau chapter pertama (saja) sudah panjang (pake banget). Padahal saya sudah berusaha untuk membuat chapter pertama pendek sependek-pendeknya prolog pada umumnya T_T
Tapi yah... nyatanya saya gagal... Saya terlalu banyak memasukkan point di chapter awal ini...
Ah~ Gomen nee, minna, kalau chapter awal panjang dan membosankan seperti ini... Uh, gomenasai orz
Betewe, saya ini author lama yang dua tahun lalu (katanya sih) menyatakan out dari FFn. Eh, tapi tapi tapi, karena pairing NaLu begitu menggoda, akhirnya saya buat fic lagi deh~ Muahahahaha XD
Sebelumnya saya jarang buat fic multichap~ Pernah buat dua kali (kalau gak salah *ditimpuk*), tapi berakhir discontinued di chapter awal karena suka kehilangan feel tiba-tiba pas mau ngelanjutin. Haha. *digampar*
Tapi, eittsssss, tenang~
Untuk fic ini saya sudah buat kerangka cerita sampai chapther 6! Jadi fic ini akan terus berlanjut sampai chapter 6~ Dan kerangka cerita akan terus saya buat sampai akhir~
Haha ini sengaja saya lakukan biar ketika saya gak dapet feel buat lanjutin ide cerita, saya bisa lihat kerangka dan tinggal membuat fic berdasarkan kerangka itu~
Muahahaha, aje gile saya niat banget ya buat fic NaLu? Iya dong demi NaLu gitchu~ B) (nih anak ketahuan banget NaLu shippernya)
Oh ya, saya akan usahakan fic ini diupdate tiap minggu. Doakan saya agar tidak banyak gangguan untuk buat chap selanjutnya. Jadi kesannya saya kan gak PHP sama readers~ :3
Terakhir, saya ada permintaan. Tolong kasih saran enaknya genre untuk fic ini apa? Dan komentar, apa cara saya membawakan cerita terlalu serius? Sejujurnya saya mau buat fic ini gak terlihat serius dan gak berat(?) dibacanya. Jadi yah pengennya fic ini asik dan bisa dibawa nyantai pas minna baca fic ini :D
Hm, sekiranya cukup untuk saya berbacot ria. Mohon diriview demi menambah kesejahteraan(?) penulis dan karyanya. Onegaishimasu! orz
