BLEACH FANFICTION
By Morte Hourglass
The Knight
and
The Princess
Ichigo X Rukia
Summary: A Knight and a princess. A Knight's duty is to sacrifice himself to his princess, while the Princess's duty is to sacrifice herself to her kingdom. What will happen if fate brought two of them together? What will happen to them if a heart was born between The Knight and The Princess?
Setting: In one place called Wasuru Kingdom, in one time at Heian Age...
Warning: alay, abal, gaje, aneh bin ajaib. Bagi penggemar Ichiori, Yuri, Yaoi, apalagi hentai, disarankan menekan tombol back atau close.
Proloque
"You said if you could fly, you would never come back down. You aimed for that blue, blue sky." Ikimono Gakari—Blue Bird
Suara pedang beradu, berdecit dan berderak. Suara kaki yang berdecit di atas tatami dan lantai kayu. Suara kertakan giginya sendiri saat menahan pedang yang malayang ke arahnya.
Bagi Kurosaki Ichigo, itu semua itu adalah suara-suara familiar yang didengarnya saat dirinya latihan. Tapi walaupun sedang latihan, dia selalu memastikan bahwa dia memakai pedang sungguhan. Pekerjaannya selalu menuntutnya untuk memiliki refleks yang bagus dan indera yang tajam. Karena itu dia selalu latihan seperti ini sehari dua kali dua jam nonstop.
Kecuali hari ini.
"Ichigo, time out!" kata Renji sambil membentuk huruf T dengan tangannya. "Aku harus pergi. Latihan ditunda dulu."
"Yahh? Kenapa? Ini baru pemanasan! Ayo, sekali lagi!" seru Ichigo menyemangati.
"Kamu sih, enak. Kamu nggak punya janji apa-apa. Aku harus membantu temanku berjualan di pasar. Dan aku sudah terlambat. Aku harusnya sudah disana sepuluh menit yang lalu." Renji menyarungkan pedangnya dan membenahi barang-barangnya. Renji mengikat pedangnya dengan rapi di pinggangnya dan beranjak dari situ.
"Yah, sayang," kata Ichigo sambil menyampirkan pedangnya ke pundaknya. "Padahal waktu latihan masih sejam lagi." Katanya sambil menyarungkan pedang hitamnya. "nanti sore datang lagi, ya."
"Gak janji; temanku itu bawel, jadi aku nggak tahu bisa kabur tepat waktu atau enggak." Kata Renji sambil memakai sandal dan menyampirkan tasnya di pundak. "Sampai nanti, Ichigo." Dan dia pergi dari situ, meninggalkan Ichigo.
Sepeninggal Renji, Ichigo terdiam sejenak. Dia mendesah dan mengikat pedang hitam yang bersarung ke pinggangnya dengan kencang. Setelah dia sadar bahwa dia telanjang dada, dia segera mengambil kaus yukatanya dan memakainya dengan cepat. Merasa sudah tak ada gunanya lagi dia ada di tempat dojo itu, dia segera membenahi barang-barangnya ke dalam tas dan menyampirkan tas kainnya di pundak. Dia menghampiri kuda hitamnya yang tampak menunggu dengan kesal.
Kudanya mendengus ketika Ichigo membelai lehernya dengan lembut, "aku membuatmu menunggu lagi, Zangu-kun. Maafkan aku." Kuda hitamnya mendengus—seolah menerima permintaan maafnya. "Kita pulang sekarang." Kudanya langsung mengangguk-angguk setuju dan bergerak untuk mempermudah Ichigo naik ke atasnya.
Seiring dengan derap kudanya yang membawanya pulang kembali ke rumah, ada angin dingin yang berdesir ke tengkuknya—Ichigo merasa, setelah ini akan ada sesuatu yang terjadi, meski dia tidak tahu apa itu. Dia hanya bisa berdoa yang terjadi itu adalah sesuatu yang baik...
Cadar semitransparan putih menutupi hampir seluruh wajah dan rambutnya yang diikat ke atas, menyisakan bibirnya yang merah marun mungil untuk dilirik, sementara dia berjalan dengan langkah pelan dan anggun. Hiasan rambutnya yang berdenting-denting kecil mengikuti irama langkahnya. Kimononya yang panjang terseret-seret di belakangnya sementara dia melangkah. Lengan kimononya yang panjang tergantung di sikunya dan bergoyang-goyang sesuai irama langkah dan terayun seperti sayap kupu-kupu.
Dua orang pengawal dengan yukata hitam dan bersenjatakan tombak berdiri dan berjalan di kedua sisinya, mengikuti kemanapun dia pergi—berjalan dengan langkah dan panjang, tegas dan menatap setiap orang yang lewat dengan sangar—mengintimidasi siapapun yang bahkan berani melirik tuannya.
Sebuah pintu besar di depan orang itu terbuka dan orang bercadar itu masuk ke dalamnya dengan anggun. Para pengawal yang tadi mengawalnya tinggal di luar saat pintu besar itu tertutup dan mengeluarkan bunyi berderit yang berat dan panjang.
Orang bercadar itu bersujud saat sosok yang duduk di singgasana di hadapannya bangkit, "kau datang juga, Rukia." Kaisar Byakuya berkata dengan suara berat dan berwibawa.
Gadis itu membuka cadarnya dan mendongak, "ya, ayahanda." Katanya dengan wajah pasif. "sesuai yang ayah inginkan." Dia berkata dengan suaranya yang tegas seperti laki-laki tapi tetap feminin.
Kuchiki Rukia, putri tunggal dari keluarga kerajaan Kuchiki. Turun-temurun, keluarga Kuchiki adalah pemimpin kerajaan Wasuru dan penerusnya adalah laki-laki. Tapi kemarin, Ratu Hisana baru saja meninggal karena sakit paru-paru dan beliau tidak meninggalkan seorang anak laki-laki. Sebagai penerus keluarga Kuchiki yang tersisa, Rukia harus melakukan apa saja untuk meneruskan eksistensi keluarga Kuchiki sebagai penerus kerajaan.
"Rukia, seperti yang kau tahu, Ibumu sudah meninggal," kata Kaisar.
Rukia mengedip-kedipkan mata untuk mencegah airmatanya menetes dan dengan gemetar, dia menahan sesenggukan yang hampir keluar. Dia tetap menatap lantai karena dia tidak tahu bagaimana wajahnya sekarang dan dia tak ingin orang lain tahu bagaimana wajahnya sekarang.
"Karena kau tak punya saudara laki-laki yang bisa meneruskan keturunan keluarga Kuchiki, aku harus menjodohkanmu, dan menjadikanmu Ratu. Kau akan dijodohkan dengan putra dari keluarga Shihouin."
Sambil berusaha untuk tidak gemetaran lagi, Rukia menelan dalam-dalam kesedihannya dan mendesah pelan. Dia tetap menatap lantai kayu di bawahnya dengan sendu dan berusaha menahan airmata yang hampir tumpah. Ini demi kerajaannya. Ini tugas seorang puteri—sejak dia lahir, dia sudah ditakdirkan untuk berkorban demi negeri.
Saat dia menjawab, di telinganya sendiri pun, suaranya terdengar patah, "Saya mengerti, ayahanda."
"Onii-chan!"
"Aku pulang, Yuzu."
Ichigo menyambut pelukan hangat dari adik perempuan kecilnya yang berambut cokelat, lalu menggosok rambutnya yang dikuncir dua dengan gemas.
"Ichi-nii, lama sekali, nih. Apa saja yang Ichi-nii lakukan?"
"Maaf, Karin." Kata Ichigo sambil melambai pada kembaran adik perempuannya—Yuzu—yang berambut hitam dan berperawakan tomboi dan dewasa. Adiknya Karin itu sedang berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan dipinggang.
"Onii-chan, bolehkah aku memberi makan Zangetsu-kun?" tanya Yuzu dengan mata puppy-eyes yang membuat Ichigo menggosok rambutnya lagi. Yuzu selalu memanggil nama lengkap kudanya, yaitu Zangetsu—yang artinya Bulan Hitam Terbit. Sedangkan Ichigo dan Karin lebih senang memanggilnya dengan Zangu.
"Tentu saja, Yuzu. Zangu lebih dipegang olehmu daripada olehku." Kata Ichigo lembut sambil menepuk kepala Yuzu.
Yuzu tersenyum lebar lalu memeluk kakaknya sekali lagi sebagai ucapan terima kasih, lalu pergi menghampiri kuda hitam Ichigo dan menuntunnya ke kandang di belakang rumah.
"Hati-hati disepak, Yuzu!" seru Ichigo memperingatkan.
"Plis, deh. Ichi-nii, Zangu gak pernah menyepak siapapun kecuali Ichi-nii." Kata Karin sambil melenggang masuk rumah. Ichigo mengikutinya ke dalam. "Ayah masih ada di tempat perkumpulan." Kata Karin. "Dan belum bisa pulang sampai besok."
"Yah, untunglah. Aku jadi tidak perlu berkelahi di tempat sempit." Kata Ichigo lega. "Makan siang hari ini ada?" tanya Ichigo.
Rumah Ichigo cuma terdiri dari sebuah ruangan besar yang digunakan bersamaan sebagai ruang tidur untuk empat orang dan ruang makan untuk empat orang. Mereka selalu menggunakan kamar mandi umum atau mandi di sungai sebelah. Keluarga Ichigo adalah salah satu dari ribuan keluarga miskin di komplek Rukon. Untuk makan sehari-hari, mereka mengandalkan penghasilan ayah mereka sebagai tabib dan penghasilan Ichigo sebagai pengawal kerajaan.
"Ada, ikan bakar dan sup miso." Kata Karin sambil menyerahkan nampan dengan semangkuk nasi, sepiring ikan bakar kecil dan semangkuk sup misoshiru. "Syukurlah masih bisa beli nasi. Ini berkat Ichi-nii juga yang mencari penghasilan tambahan. Tanpa Ichi-nii, penghasilan ayah takkan cukup untuk kita berempat." Kata Karin sambil tersenyum.
"Ditambah seekor kuda." Kata Ichigo mengingatkan.
"Zangu-kun itu satu-satunya harta berharga yang kita miliki, Ichi-nii. Jangan sampai kehilangannya." Kata Karin mengingatkan. "Dan... Tensa Zangetsu juga." Tambahnya.
"Ya, Karin. Aku tahu." Kata Ichigo sambil menepuk pedang hitamnya. "Aku heran apa yang membuat kalian begitu sayang pada Tensa Zangetsu—padahal ini cuma pedang biasa. Aku lagi yang buat. Apa kalian akhirnya mengakui hasil kerjaku?" tanya Ichigo sambil meringis arogan.
"Berisik, Ichi-nii!" kata Karin. "Mau makan atau tidak?"
"Iya, iya. Kau ini benar-benar mirip denganku." Kata Ichigo. Kemudian dia mengambil sumpit di samping mangkuk.
"Ichi-nii benar-benar berpikir mau jadi ksatria kerajaan?" tanya Karin pelan.
"Eh? Kenapa memangnya?" tanya Ichigo heran.
"Cuma... tanya." Kata Karin pelan.
"Iya juga. Selain untuk gajinya yang besar juga, untuk membuktikan kemampuanku pada Kerajaan. Aku bukan cuma pengawal rendahan—aku akan membuktikan bahwa aku juga punya kualitas sebagai ksatria!" kata Ichigo bersemangat. "Sayangnya, belum ada kesempatan untuk itu. Sampai kesempatan itu tiba, aku harus berlatih." Kata Ichigo sambil tersenyum.
Ichigo mengatupkan kedua tangannya di depan dada dan berseru lantang dengan girang, "Itadakimasu!"
"Itadakimasu."
Lalu Rukia mengambil sumpit dan menjepit sushi yang dihidangkan bersama takoyaki di meja makan.
Sementara Rukia makan dengan khidmat tanpa suara, ayahnya—Kuchiki Byakuya—ikut bergabung di sebelahnya, duduk bersimpuh menghadap ke meja. Sebuah tarian tradisional Jepang dimainkan di hadapan mereka, tapi bahkan melirik pun tidak mereka lakukan. Beberapa orang pelayan berjalan dengan anggun, bolak-balik membawa keluar-masuk piring-piring yang kosong-penuh berisi berbagai macam masakan Jepang. Mulai dari hidangan pembukanya, yaitu sushi dan takoyaki. Lalu hidangan utama, yaitu nasi putih yang dihidangkan bersama sashimi dan sukiyaki. Kemudian hidangan penutup, yaitu wasabi.
Sementara mereka makan dengan kusyuk, dua orang pelayan masuk dengan tenang dan anggun, masing-masing membawa teko kecil. Salah satu pelayan menuangkan teh hangat pada gelas porselen kecil Rukia. Dan yang lainnya menuangkan sake ke gelas porselen ayahnya.
Sambil menyeruput gelasnya yang setengah penuh, Byakuya melirik putrinya yang tengah duduk bersimpuh dengan khidmat sambil mengunyah makanannya tanpa suara. Putrinya ini memang benar-benar mematuhi aturan meja makan. Dia akan mengunyah nasinya pelan-pelan, setelah selesai mengunyah, Rukia akan menyeruput tehnya lalu mengambil serbet dan mengelap bibirnya—walaupun tak ada apa-apa disitu. Cara makan Rukia yang sopan memberi kesan pada ayahnya bahwa dia tak lapar sama sekali.
Byakuya melirik putrinya sekali lagi. Dia harus berbicara pada putrinya. Sebentar lagi dia harus pergi ke negeri tetangga selama dua bulan untuk mengurus perjanjian kerjasama, dan dia butuh seseorang untuk menjaga putrinya—setidaknya sampai hari pertunangannya. Tapi bagaimana dia bisa mencari orang yang tepat untuk pekerjaan itu? Dia harus bicara pada perdana menterinya, Ukitake Juushirou untuk mendiskusikan masalah ini. Mungkin dia harus mengadakan sayembara? Hm, itu ide yang tidak jelek. Tapi apakah Rukia akan setuju dengan itu? Byakuya tahu Rukia paling tidak suka kalau harus diikuti kemana-mana dan dilindungi, karena putrinya pun tahu bagaimana cara membela diri. Byakuya memang sudah memberinya latihan kendo dan aikidou. Tapi ini perlu. Byakuya sangat menyayangi putrinya—walaupun dia tidak pernah mengatakannya—dan dia tak ingin putrinya terluka. Tapi dia ragu akan reaksi putrinya. Mereka masih dalam masa berkabung setelah kematian Hisana—ibu Rukia. Dan Byakuya tahu betapa Rukia menyayangi ibunya. Byakuya pun sangat menyayangi istrinya.
Tapi, dia takkan tahu jika tidak mencoba.
"Rukia, ada yang ingin ayah bicarakan." Kata Byakuya pelan. Dia berhati-hati agar Rukia tak terluka dengan inti pembicaraan ini.
"Katakanlah, ayah." Balas Rukia singkat.
Byakuya menarik napas pelan tanpa terdengar, "pertunanganmu akan berlangsung tahun depan, di ulang tahunmu yang ke tujuh belas. Jadi kau tak perlu cemas dulu." Kata Byakuya memulai.
"Aku tahu, ayah." Kata Rukia singkat.
"Dan satu lagi," tambah Byakuya cepat. "minggu depan, aku harus pergi ke kerajaan tetangga untuk urusan kerjasama selama dua bulan. Selama waktu aku pergi itu, aku akan menyerahkan urusan politik pada Ukitake-san, dan aku akan menyerahkan kepemimpinan penuh padamu, Rukia."
Rukia menoleh cepat pada ayahnya. Tapi dia mengerti bahwa ini adalah pembicaraan sepihak, jadi dia mengangguk, "aku mengerti, ayah. Aku akan mencoba."
"Ini bagus bagimu untuk belajar memimpin." Kata Byakuya. "Dan karena itulah, aku akan mencari ksatria untuk melindungi dan menjagamu selama aku pergi, dan selama kau melakukan tugas sementara ini."
Rukia melebarkan mata, tapi dia tak berkata apa-apa.
"Aku berniat mengadakan sayembara untuk menentukan siapa yang pantas kupercayakan untuk melindungi dan menjagamu. Jika aku belum kembali juga dalam dua bulan, berarti selama aku tak ada, kaulah yang akan menjadi penggantiku. Selama itu juga, aku mempercayakan ksatria untuk menjagamu." Byakuya diam sejenak untuk menunggu respon dari putrinya. Ketika putrinya diam, Byakuya menoleh padanya, "kau mengerti apa yang kubicarakan, Rukia?" tanyanya.
Rukia mengangguk, "ya, ayahanda."
"Apa kau menerima tugas dan tawaran ini?" tanya Byakuya sekali lagi.
Rukia mendesah pelan tanpa terdengar. Bagi Rukia, setiap pembicaraan dengan ayahnya, berarti pembicaraan sepihak dimana dia takkan punya kesempatan untuk mengatakan pendapatnya—apalagi menolak. Jadi dia hanya akan menjawab dengan jawaban yang diharapkan ayahnya, "ya, ayahanda. Aku menerimanya."
"SUDAH CUKUP!"
Ichigo menjatuhkan diri ke tatami dengan tubuh penuh keringat dan ngos-ngosan.
"Hwee? Cuma seginikah kemampuanmu? Nggak menarik. Padahal aku capek-capek datang kemari untuk sengaja menjajal kemampuanmu." Kenpachi menyampirkan pedang rombengnya ke bahu. "Ayo berdiri, Ichigo. Ini belum selesai."
"CUKUP!" empat sudut siku-siku muncul di dahi Ichigo. "Aku nggak mau bertarung sama kamu! Ini cuma latihan! Orang waras butuh alasan untuk bertarung! Masalahnya, kamu bukan orang waras!" seru Ichigo bertubi-tubi sambil menunjuk satu jari telunjuk pada orang berbadan besar itu.
"Dasar bodoh! Yang membuat kita bertarung hanyalah insting! Tak perlu ada alasan untuk bertarung, yang ada hanyalah kesenangan melihat darah! Jadi jangan jadi kelewat lembut, Ichigo! Bangun dan lawan aku!"
"Ap—?"
Tanpa aba-aba, Kenpachi maju dengan kecepatan mustahal sambil menghunuskan pedangnya ke arah Ichigo. Ichigo tak punya pilihan selain melawan. Dia segera menghunuskan Tensa Zangetsu dan memblokir serangan Kenpachi. Tapi orang besar itu terus maju.
"Bodoh! Kau akan menghancurkan dojo!" seru Ichigo sambil menahan pedang Kenpachi yang terhunus ke arahnya.
"Masa bodoh! Yang jelas, kalau denganmu, aku tak perlu ragu-ragu lagi—dan aku bisa mendapatkan kesenangan bertarung!" seru Kenpachi sambil mengayunkan pedang ke arah Ichigo sekali lagi.
"OI, ICHIGO!"
Sebuah seruan membuat keduanya berada dalam keadaan pause dan menoleh ke pintu fusumi, tempat suara tadi terdengar. "Ichigo!" Renji tahu-tahu nongol di depan pintu dengan napas memburu. "Kamu sudah dengar pengumuman baru dari Kaisar?" tanyanya masih dengan napas satu-dua-satu-dua.
"Belum, kenapa memangnya?" Ichigo menggunakan kesempatan itu untuk menjauh dari Kenpachi dan pedangnya.
"Ada sayembara, lho! Percayalah padaku, kau ingin melihat yang satu ini! Ini bukan sayembara kayak lomba balap karung gitu! Cepat ikut aku!" Renji berbicara terburu-buru sampai lidahnya tergigit. "Pokoknya ini satu-satunya kesempatanmu, Ichigo!"
"Apaan, sih? Setidaknya beritahu aku!" kata Ichigo sambil menyusul Renji.
"Ini kejutan! Ayolah, kita pakai kudamu saja biar lebih cepat!" seru Renji sambil menggiring Zangetsu.
Dalam hitungan detik, mereka sudah hilang dari situ dan hanya meninggalkan asap debu yang mengepul di kaki belakang Zangu.
Kenpachi cuma bengong melihat mereka pergi.
"Ken-chan?" keponakan Kenpachi, Yachiru, menghampirinya dengan mata lebar tak berdosa seperti boneka. "Icchin melarikan diri, ya?" tanyanya.
"Yah, sudahlah. Toh, aku sudah kalah sekali darinya. Kalah sekali lagi juga sama saja." Kata Kenpachi.
PENGUMUMAN
Kaisar mengadakan pencarian Ksatria. Siapa saja boleh mendaftar.
Silakan mendaftar di Istana pertemuan besok pukul 10.00 A.M.
Hanya ada satu pemenang. Informasi lengkap, hubungi Ukitake Juushirou.
"Ahh," Ichigo melotot tak percaya sambil memandangi pengumuman yang tertempel di dinding depan istana. "Ini..."
"Benar kan kataku?" Renji meringis melihat reaksi Ichigo. "Kau selalu ingin jadi ksatria, bukan? Ini kesempatanmu! Kau bisa membiayai keluargamu, kau bisa membuktikan pada dunia kalau kau juga bisa!" seru Renji menyemangati.
Mata cokelat Ichigo berbinar-binar, "kau benar, Renji! Ini kesempatan! Mungkin takkan datang dua kali!"
"Selain itu, kau beruntung punya teman seperti aku. Aku sudah mencari info tentang sayembara itu." Kata Renji sambil menunjuk dirinya sendiri dengan jempol.
"Sungguh? Kau benar-benar teman paling pengertian, Renji!" kata Ichigo.
"Sudah, jangan memandangiku seperti itu. Kau ini membuatku jijik!" kata Renji sambil menarik Ichigo keluar dari kerumunan orang-orang yang berdesak untuk melihat pengumuman. "Aku dengar, nanti akan ada empat macam pertandingan. Uji ketahanan stamina, uji kelihaian berpedang, uji ketahanan kekuatan, dan uji kecerdasan." Kata Renji. "Jadi menurutku, paling tidak ada lomba lari, duel pedang, duel karate, dan... kuis?"
"Ada kuisnya segala?" Ichigo menaikkan satu alis.
"Entahlah. Namanya juga adu kecerdasan. Siapa tahu nanti kau diberi soal pilihan ganda." Kata Renji. "Oh, ya. Katanya ada satu pertandingan lagi, tapi masih rahasia, jadi aku tidak diberi tahu."
Ichigo mengusap dagunya, "hm, itu saja sudah cukup buatku."
"Oh, ya! Aku belum cerita hadiahnya!" kata Renji dengan mata berbinar. "Jika kau terpilih jadi ksatria, kau akan memiliki hak istimewa untuk tinggal di istana dan gajimu akan dinaikkan dua kali lipat dari gaji ksatria biasa! Maksudku, coba bayangkan. Waktu kau jadi pengawal gajimu 200 yen per hari. Kalau jadi ksatria, gajimu paling tidak 2400 yen per hari. Pekerjaan ini gajinya dua kalinya, berarti paling tidak kau akan mendapatkan 4800 yen per hari! Lumayan, bukan? Belum ditambah dengan biaya konsumsi dan transportasi gratis. Kau akan mendapat makan gratis oleh pihak istana, dan diberi kuda baru oleh pihak istana!"
Kuda hitam Ichigo yang diikat di pohon tepat disamping mereka tahu-tahu meringkik mendengar kata-kata Renji yang terakhir, dan menggeleng-geleng keras sambil mendengus-dengus, membuat Renji kaget.
"Kau lihat, Renji? Kau membuat Zangu tersinggung." Kata Ichigo sambil menepuk-nepuk kudanya untuk menenangkannya. "Tenang saja, Zangu. Walaupun pihak istana memberi kuda baru, kau tetap jadi kuda kesayanganku." Kata Ichigo pada kudanya. Mendengar kata-kata Ichigo, Zangu jadi tenang kembali dan mendengus—membiarkan Ichigo mengelus-elus leher dan punggungnya.
"Sungguh, deh. Kadang-kadang aku takut sama kudamu itu. Dia hampir sama dengan tuannya." Kata Renji sweatdrop. "Dia bisa mengerti semua yang kau ucapkan?" tanya Renji.
"Hah, dia mengerti semua yang manusia katakan—hanya saja, dia kesulitan untuk mengatakan pendapatnya. Cuma aku saja yang mengerti apa yang dia pikirkan." Kata Ichigo. Zangetsu mendengus dan mengangguk-angguk membenarkan kata-kata tuannya.
"Jadi itu sebabnya kau sering bicara sendiri dengan kudamu?" tanya Renji tak percaya. "Yah, pokoknya, kembali ke inti cerita. Kalau kamu memenangkan sayembara ini, kau juga akan melindungi anggota kerajaan. Dan yang paling penting, apa kamu tidak penasaran dengan tuan puteri?" tanya Renji.
"Tuan puteri?" tanya Ichigo tak mengerti.
"Lho, nggak tahu, ya? Kalau kamu terpilih jadi ksatria, tugasmu adalah melindungi tuan puteri—putri tunggal dari Kaisar Kuchiki-sama! Apa kamu nggak penasaran dengan wajahnya?" tanya Renji. "Aku dengar, sih, dia bagaikan rembulan. Kata pengawal yang pernah melihatnya, dia cantik sekali, tapi juga menakutkan. Tapi sayangnya dia jarang menampakkan wajahnya—selalu menggunakan cadar kemanapun dia pergi. Jadi aku tak tahu pasti."
"Entahlah, Renji. Kurasa itu cuma isu. Aku sendiri sudah kerja jadi pengawal bertahun-tahun, tapi tak pernah kulihat wajahnya. Dia selalu menyembunyikan wajah di balik cadar—makanya aku curiga. Jangan-jangan dia tak punya wajah." Kata Ichigo bergidik membayangkannya.
"Hush! Jangan keras-keras, bodoh! Ini tuan puteri yang kita bicarakan! Lagipula, kau kan bekerja sebagai pengawal luar istana, bodoh. Mana pernah kau lihat taman bagian dalam istana? Tapi kalau aku, kan bekerja sebagai pengawal bagian dalam, jadi kadang-kadang aku lihat dia mondar-mandir pakai cadar di dalam istana." Kata Renji mengingat-ingat. "Tapi kalau cuma ciri-ciri luarnya, aku ingat. Dia pendek, dan gendut. Tapi mungkin karena dia pakai kimono, jadi kelihatan gendut. Pokoknya dia pendek, tak lebih tinggi dari pundakku."
"Sudahlah, kenapa malah membicarakan Puteri, sih? Kita sedang membicarakan sayembara itu." Ichigo mengingatkan arah pembicaraan mereka.
"Benar juga." Renji menggaruk kepala. "sayang aku tidak bisa ikut sayembara ini." Kata Renji sambil tersenyum kecut.
"Eh, kenapa tidak?"
"Kau lupa kalau aku punya adik, Ichigo? Kalau aku dapat pekerjaan ini—dan aku tidak tahu kalau aku bisa—aku harus tinggal di istana. Adikku itu masih kecil, mana mungkin kutinggalkan sendiri." Katanya. "Lagipula, sama sepertimu—aku akan melakukan apapun untuk melindungi orang-orang yang kucintai."
Ichigo tersenyum, "Benar juga." Katanya. "Tapi, aku harus berterima kasih untuk semua informasi ini. Kalau aku jadi ksatria, aku akan membagi gajiku 10% denganmu. Bagaimana menurutmu?" tanya Ichigo.
"Ah, tak usah. Aku ikhlas membantumu, aku tak mengharapkan imbalan apapun. Kita kan teman sejak kecil, dan kau sering bilang kalau kau ingin jadi ksatria. Aku hanya ingin membantumu mewujudkan impianmu—kau yang harus bekerja keras untuk meraihnya. Jalan itu sudah ada didepan matamu sekarang." Kata Renji. "Inilah gunanya nakama."
"Ah," Ichigo tersenyum lalu menepuk bahu Renji, "nakama."
Hari sayembara pun tiba,
"Para peserta yang terhormat," Ukitake muncul di puncak alun-alun. "Sekarang dipersilakan maju ke depan untuk memulai sayembara pertama."
Ichigo dan puluhan—ratusan—peserta lainnya maju dan naik ke alun-alun untuk mendengarkan intruksi dari Ukitake-sensei.
"Para peserta," Ukitake memulai. "sayembara pertama adalah adu stamina dan adu kecerdasan." Katanya dengan senyum penuh arti. "Kalian akan lari mengelilingi ibu kota—cukup sekali saja. Yang tidak kuat boleh menyerah—tapi itu artinya kalian akan didiskualifikasi dan tidak diperbolehkan untuk ikut babak selanjutnya. Dan yang paling penting, yang sampai sini akan lolos ke babak selanjutnya.
"Rutenya boleh ambil sesuka kalian. Garis finish pertandingan ini ada di istana. Selain itu, ada kata kunci yang harus kalian pecahkan. Kalau kalian memecahkan kata kunci ini, mungkin kalian bisa memenangkan pertandingan ini."
Ukitake-sensei mengambil kertas yang diselipkan di yukatanya, membukanya perlahan dan berdeham, "kata kunci pertama, tidak boleh duduk sambil berjalan."
Para peserta berbisik-bisik dengan bingung, sementara Ichigo mengernyitkan dahinya.
"Kata kunci kedua, kerang kecil sama saja dengan kerang besar."
Ichigo mengerutkan alisnya lagi, kerang? Apa hubungannya?
"Dan kata kunci terakhir. Satu kepiting di tangan sama dengan lima kerang dalam keramba."
Kenapa kata kuncinya berhubungan dengan laut? Apa laut ada hubungannya dengan pertandingan ini?
"YAK! BERSIAP! MULAI!"
~To be Continued...
Author's Note :
Bonjour, mademoiselles et monsieur. Disini Morte—yang terus-terusan punya ide baru, tapi gak pernah ada yang selesai. Hukz...
The Knight and the Princess ini adalah karya terbaruku yang baru selesai 3 chapter—tidak termasuk prolog. Tahu-tahu kepikiran bikin fic tentang Knight and Princess setelah lihat poster Ichiruki terbaru yang gambarnya Ichigo bawa pedang dan Rukia pake kimono putri. OMEJOTNESS, si Ilham tiba-tiba nongol dan nabrak jidat gue sampek kebanting di lantai, dia bilang—ralat, tereak, "CEPETAN BIKIN FIC ICHIRUKI TENTANG KSATRIA DAN PUTRI!" masih bengong-bengongnya aku di lantai gara-gara ditabrak sama si Ilham, tiba-tiba kepikiran tentang Titanic, "You jump, I jump." Ohh, romantis banget boo... hukz... tadinya kepikiran mau bikin ni fic jadi sad ending—tapi gara-gara adikku ngotot maunya happy ending, yahh apa boleh buat dewh.
Terinspirasi dari BLEACH (tentunyah), The Princess and the Pauper (betulan, lho), Titanic, Dragon War, dan semua film lamanya "Wong Fei Hong". Tahu kan itu siapa? Masak gak tahu Wong Fei Hong? Itu... si Guru Silat China yang ngerangkap dokter di masa penjajahan Inggris di China. Kalo gak tahu, kebangetan dah. Itu film diputer di MNC hampir tiap malem sampek aku bosen.
Aku ambil setting di Jepang, di jaman Heian. Honestly, aku sebenarnya gak tahu apa-apa tentang Jepang di jaman Heian, jadi aku sedang melakukan research tentang itu dengan nanya-nanya sama Mbah Google.
Anyway, daripada aku bablas curcol disini, mending aku tutup aja deh ya? RnR please... hanya itu yang bisa menyembuhkan kelelahan batinku...
