Summary : Kutukan Hasebe (n): suatu keadaan di mana seorang saniwa mendapatkan pedang Heshikiri Hasebe terus menerus. Heshikiri Hasebe I (n): pedang yang tak berdaya menyaksikan adik-adiknya dilebur berulang kali sampai hatinya mati. Hashikiri Hasebe II (n): uchigatana baru yang tidak dilebur sang tuan karena dianggap membawa keberuntungan, dan menjadi alasan Hasebe senior untuk tetap hidup. Multiple!Hasebe. ShokuHeshi, KuriHeshi, dan bromance tumpah-tumpah.
Disclaimer : Touken Ranbu milik DMM dan Nitro +. Saya tidak memiliki apapun kecuali ide cerita dan saya tidak main touranbu jadi kalau karaterisasinya bye-bye mohon dimaklumi. Tidak ada keuntungan diambil dari cerita ini selain pemuas gairah fangirling belaka.
Warning :
(i) Konten BL (dan mungkin yaoi).
(ii) Double Hasebe dengan bromance tumpah-tumpah.
(iii) Gore dan darah.
(iv) Modifikasi konsep game untuk kepentingan cerita.
(v) Cerita tidak akan ditulis dalam satu cerita yang utuh dan runtut, melainkan potongan-potongan adegan seperti oneshot yang menyusun sebuah plot besar. Seringkali akan ada jeda jauh antara satu chapter dengan chapter sebelumnya, atau bahkan timeline maju-mundur. Kenapa saya tidak menuliskannya dengan "normal"? Karena ide saya loncat-loncat dan saya tidak punya cukup kemauan untuk menyusun mereka dalam sebuah fiksi yang lengkap.
.
.
bagian i: Kakak
Kepulangan pasukan dari ekspedisi selalu membuatnya gelisah.
"Siapa yang kalian temukan hari ini?"
Orang akan mengira dia mengharapkan penemuan pedang-pedang terbaik demi tuannya, karena begitulah dia dikenal: setia sampai mati pada siapapun yang memegangnya, menaati seluruh perintah dan pendapat seperti kambing buta. Tidak ada yang tahu (dan dia pun tak merasa perlu memberitahu) betapa ia tak peduli jika pedang yang mereka bawa bukanlah sang terlangka yang tak bisa mereka tempa sendiri, sang terkuat yang dapat menghabisi musuh dalam sekali libas, atau bahkan sang terindah legendaris yang dapat mengangkat status tuannya. Dia tak peduli jika mereka hanya membawa pulang sebilah tantou. Siapapun boleh, asalkan jangan—
"Ah, Hasebe, Kami mendapatkan salah satu darimu lagi."
"Oh."
—dirinya lagi.
Pedang baru itu berjalan dalam barisan pasukan, menatap ke sekeliling benteng dengan mata lebar penuh kekaguman. Semangat pengabdian terpancar di air mukanya dan dari tempatnya berdiri Hasebe dapat mendengar ia mulai bertanya kesana-kemari tentang tuan yang akan dilayaninya. Hasebe selalu mendapati hal ini aneh: mengamati versi lebih muda dari dirinya, menyadari bahwa di suatu masa dulu, dia pun pernah berada dalam posisi yang sama.
(tapi sungguhkah matanya pernah bersinar sepolos itu? Sungguhkah tubuhnya pernah semungil itu—ringan dan baru, bersih dari bekas luka?)
"Ah, Kakak!" Si pedang muda berseru saat menangkap sosoknya, bergegas memisahkan diri dari pasukan. Hasebe ingin berlari menghindar, bersembunyi hingga tak ada seorang pun yang menyadari bahwa sekarang ada dua Heshikiri Hasebe di dalam benteng. Alih-alih ia memakukan kaki di tempatnya berpijak, menanti dengan sabar ketika bocah itu berlari-lari menuju ke arahnya.
(Kakinya masih begitu pendek.)
"Selamat pagi Kakak!" Sapanya begitu berhenti di depan Hasebe. Pakaian mereka sama-sama ungu dan garis wajah mereka sama, tapi tinggi pedang muda itu hanya mencapai pundaknya. Tubuh uchigatana-nya terpasang dengan rapi di pinggang, belum pernah dihunus. "Mulai hari ini, izinkan aku menjadi adikmu. Tolong bimbing aku!" Ia membungkuk penuh hormat dengan senyum masih terpasang di bibirnya, dan ketika menegakkan tubuh lagi ia menatap Hasebe dengan ekspresi penuh ekspektasi. Ia bagaikan sebuah cermin bagi Hasebe,
cermin bening dengan bayangan lebih indah dari aslinya.
"Selamat bergabung di benteng kami, Adik," balas Hasebe dengan nada kaku, menetralisir semangat yang membuncah dari pedang muda di hadapannya. "Kami mengharapkan yang terbaik darimu."
Bocah itu mengerjap, terkejut pada balasan Hasebe yang dingin merindai seperti aliran sungai. Ia berdeham, pipinya sedikit memerah, dan ketika berujar lagi nada suaranya menjadi lebih santun, postur tubuhnya menjadi lebih tegap; berusaha menyamai kesempurnaan kakaknya.
"Siap," katanya, membungkuk hormat. "Mohon bimbingannya!"
Aku pun dulu pernah sepatuh ini, Hasebe terkenang—sebuah memori yang begitu tua hingga ia tak lagi merasakan relasi terhadapnya. Ia hanya mengingat hari-hari itu sebagai sekuen peristiwa, seperti mengingat adegan-adegan pertunjukan panggung yang pernah ia saksikan alih-alih menjadi pemeran di dalamnya. Ia ingat betapa ia dulu begitu bersemangat untuk belajar, bersemangat untuk menjadi lebih baik demi Tuan; tapi betapapun ia berusaha mencari, tak dapat lagi ia menemukan semangat itu sekarang.
(Kini ia hanya bergerak layaknya boneka: berperang untuk Tuan, terluka, bangkit, berperang lagi—tidak akan berhenti sampai mati. Itu saja, tidak kurang tidak lebih).
"Ayo, kuantar kau menghadap Tuan," ajaknya, melangkah menuju bangunan utama tempat para pedang merancang strategi perang sekaligus tempat tinggal sang Tuan, "Beliau tentu ingin segera bertemu denganmu."
"Oh, aku pun ingin segera bertemu Tuan!" Adiknya berlari-lari kecil mengejarnya, dua langkah untuk setiap satu langkah panjangnya. "Aku tak sabar untuk melayani beliau. Menurut Kakak, apakah aku akan segera diterjunkan ke medan tempur?" Matanya berbinar oleh prospek membuktikan diri di medan laga, oleh harapan menjunjung nama baik tuannya.
Hasebe tersenyum tipis. "Jikapun tidak, apapun perintah dari Tuan kau harus menerimanya dengan lapang dada."
"Tentu saja," Hasebe muda itu menjawab, ada kebanggaan kekanakan dalam suaranya. "Jika itu perintah dari Tuan, apapun akan kuterima!"
(Bisakah kau sebut itu kutukan-bahwa semua Heshikiri Hasebe tercipta dengan kesetiaan abadi terpatri dalam darah mereka?)
~.~.~
Tuan mereka adalah seorang puan.
Hasebe tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Tidak pernah pula ia mempermasalahkan bahwa beliau tidak terjun ke medan perang, tidak terlibat dalam pengurusan benteng, serta sesekali khilaf mengatur strategi penyerangan yang menyebabkan kawan-kawannya hancur di ladang pertempuran. Tidak pula, Hasebe menyadari, ia mengindahkan bahwa beliau adalah orang suci yang dianugerahi kekuatan menghidupkan jiwa-jiwa pedang untuk menghalau serangan iblis.
Yang dipedulikan seorang Heshikiri Hasebe hanya satu: bahwa puan ini adalah pemiliknya. Tidak masalah bagaimana pandangan Hasebe terhadap beliau, tugasnya hanyalah mengabdi hingga titik penghabisan.
"Heshikiri Hasebe lagi, hm?"
Seperti biasa Tuan mengenakan cadar sutera semi transparan yang membirai seluruh wajah. Hanya suara beliau mengalun lembut menyambut, dan Hasebe bisa mendengar napas adik di sampingnya terselak oleh rasa sayang. Hasebe memejamkan mata, mafhum. Tak ada Heshikiri Hasebe yang tak ingin melindungi sosok seperti beliau.
"Tuan," adiknya berkata khidmat, membungkuk dalam duduknya. "Hamba tiba untuk mengabdi pada Tuan." Kedua tangannya terangkat, mempersembahkan tubuh uchigatana-nya pada sang Tuan; kepalanya terus menunduk dalam penghormatan tertinggi.
Desir lembut kimono sang tuan memenuhi ruang saat beliau melangkah maju, perlahan dan anggun seperti tarian sakura. Hasebe turut melipat tubuh dalam sembah dan menundukkan pandangan, hanya warna hijau tatami yang bertemu dengan matanya.
"Kau akan menjadi bagian yang berguna dalam benteng ini, Heshikiri Hasebe," sang tuan berujar syahdu. Dari bayangan yang terbentuk di tatami Hasebe dapat melihat tangan tuannya menjulur menerima tubuh uchigatana adiknya. "Dan aku berterima kasih sedalam-dalamnya untuk pengabdianmu."
Terdengar desiran lain, desir yang berbeda dari helai-helai sutra mencumbu jalinan jerami. Terdengar bunyi denting, begitu kecil hingga kau tak akan menangkapnya jika tak tahu lebih dulu bahwa bunyi itu akan ada.
Kemudian—tak ada metafor yang dapat mengibaratkan bunyi itu—bunyi bilah pedang bertemu daging, menebas seperti makhluk yang terburu-buru, melibas semua rintangan. Diiringi gerung tertahan—campuran terperanjat dan kesakitan; kemudian benda berat jatuh ke lantai.
Hasebe merasakan darah hangat menyiprat ke sisi sebelah kanan tubuhnya. Tatami di bawahnya tercerat noda merah. Ia tidak mengangkat kepalanya.
Suara napas tersengal-sengal, terkadang diiringi batuk dan deguk tertahan; mengembang di udara. Kontras dengan teriakan-teriakan prajurit yang tengah berlatih d luar sana.
"Hasebe," tuannya berujar setelah beberapa saat, desir ekor kimononya kembali terdengar saat ia mulai melangkah menjauh, kembali ke tempat bersemayamnya di balik pintu bambu. "Bawa itu ke penempaan. Dan beritahu pasukan, jangan ambil pedang dari medan lagi kalau itu hanya jenismu."
"Sesuai perintah Anda, Tuan," Hasebe berujar seiring dengan suara pintu geser yang membuka dan menutup; dan baru setelah gema terakhir dari suara-suara yang menandakan kehadiran tuannya menghilang, pedang itu mengangkat kepalanya.
Di sampingnya, terbaring dalam genangan darahnya sendiri, adalah si pedang muda. Bagian depan tubuhnya terkoyak, sosok uchigatana-nya menancap dalam-dalam di dadanya, tembus ke punggung.
Bukankah itu ironis—mati terbunuh oleh dirimu sendiri?
Dengan penuh kehati-hatian Hasebe mengangkat tubuh muda yang sekarat itu dalam pangkuan. Dibersihkannya wajah pucatnya dari darah yang masih hangat mengalir, kemudian direngkuhnya pedang muda itu dalam buaian seperti bayi.
"Pengabdianmu tidak akan sia-sia," bisiknya pelan, nyaris seperti seorang ibu yang melantunkan nyanyian penghantar tidur. "Kau telah melaksanakan tugasmu dengan baik."
"Kh—kena… pa?" Pedang muda itu tercekat, dadanya naik turun dengan cepat dalam usaha sia-sia memompa udara ke paru-parunya yang tenggelam dalam darah. "Kena…pa…." Airmata menetes dari ujung-ujung matanya yang tak mampu lagi berkedip.
"Inilah yang diinginkan Tuan darimu," Hasebe membelai poni sang adik yang basah oleh keringat, "Bukankah kau siap menerima apapun yang dititahkan kepadamu?"
"Bukan…." Bisik Hasebe muda itu pelan, darah terus meleleh dari mulutnya yang terbuka seperti bunga. "B—bukan… begi—" Tubuhnya mengejat, cekikan-cekikan kecil keluar dari tenggorokannya. Tangan kecilnya (belum kasar oleh kerasnya hulu pedang, licin oleh darah dan keringat) mencengkeram tangan Hasebe dalam refleks kejang. Ia balas menggenggam dengan lembut.
Kemudian, sunyi.
Hasebe memejamkan mata, dan saat membukanya lagi, tubuh bersimbah darah di pangkuannya tak lagi ada. Hanya tersisa pecahan uchigatana, sarungnya robek di tengah-tengah seolah seseorang telah menjatuhkannya dari tempat tinggi. Bilahnya patah menjadi tiga.
Noda merah yang barusan menodai sekelilingnya bagai teratai kini menghilang tak bersisa.
Hasebe membawa potongan pedang itu ke tempat penempaan. Di depan kompor peleburan ia menunduk menatap bilah-bilah itu untuk terakhir kali, bertemu pandang dengan matanya sendiri yang kosong dan tua.
(Kini cermin di hadapannya itu menunjukkan bayangan yang sebenarnya).
"Selamat jalan, Adik," bisiknya, lalu melemparkan seluruh potongan itu dalam bara api.
