Disclaimer: I don't own Bleach

Warning: AU, slash, a bit OOC, chara death(s). Main pairing Grimmjow/Ichigo. No chara bashing purpose. Don't like don't read.

-x-

-x-

-x-

Kurosaki, DA

-x-

-x-

-x-

Sebuah mobil Ferrari edisi khusus keluaran tahun 1963 yang jumlahnya hanya ada beberapa buah di dunia terlihat melintasi jalanan sepi tepian kota Karakura. Melewati kebun ceri, rumah-rumah peristirahatan musim panas dan bangunan-bangunan tua yang sudah lama ditinggalkan penghuninya. Sang pengemudi kendaraan itu, seorang pemuda berambut oranye dengan nama Ichigo Kurosaki tampak membelokkan Ferrari tersebut ke halaman sebuah rumah berpagar bata merah yang setengah diselimuti pohon-pohon ek tua. Dilewatinya barisan romneya pengapit jalan depan sebelum berhenti tak jauh dari dua buah pot besar berisi rimbunan kangkung yang berfungsi sebagai tanaman hias.

Rukia Kuchiki, gadis mungil berparas cantik teman lama pemuda itu sempat menggumam tentang betapa anehnya orang yang mau saja menanam tanaman seperti itu sebagai penghias halaman. Bukan cuma karena boros air, tapi juga karena di belahan lain dunia kangkung merupakan sayuran yang banyak ditumis seperti halnya jamur dan asparagus.

"Kau yakin tidak apa kalau aku ikut masuk ke dalam?" tanya Ichigo setelah mematikan mesin. Sambil melepas sabuk pengamannya ia menyambung, "Aku hampir tak kenal siapapun di rumah ini."

"Jangan kuatir," gadis itu meyakinkan "keluargaku sangat dekat dengan keluarga Yamamoto. Aku juga berteman baik dengan salah satu cucu Kakek Genryusai. Namanya Momo. Biar nanti kukenalkan kau padanya."

Ichigo masih ragu. "Tetap saja, Rukia. Aku merasa salah tempat."

Rukia turun, membuka pintu belakang mobil untuk mengambil bingkisan yang ditaruhnya di sana sebelum berangkat tadi. "Sudahlah. Mereka semua orang baik. Lagipula sudah lama aku tidak kemana-mana denganmu," tutur Rukia, yang memang benar adanya. Terakhir kali mereka bertemu adalah dua minggu lalu pada hari pemakaman mendiang ibu Ichigo, Masaki Kurosaki. Perempuan malang itu tewas setelah tergelincir dari sebuah tebing sebelum sempat menyaksikan putra sulungnya diangkat sebagai Jaksa Wilayah Karakura.

Keduanya mulai berjalan menuju pintu depan. Bingkisan yang dibawa Rukia tadi diserahkannya pada Ichigo sementara ia mengetuk pintu tiga kali. Usai menunggu beberapa lama, pintu besar itupun terbuka, menampakkan sesosok seorang perempuan berkacamata dengan rambut gelap yang tersanggul tinggi.

"Selamat siang, Bibi Nanao," sapa Rukia sambil tersenyum.

"Siang, Rukia." Sembari membalas senyum itu Nanao melihat Ichigo sejenak dan bertanya pada si bungsu Kuchiki, "Temanmu?"

Rukia mengangguk. "Perkenalkan, namanya Ichigo Kurosaki."

"Selamat siang," sapa Ichigo.

"Kurosaki?" Nanao memandang Ichigo sambil setengah mengingat-ingat. Warna rambut yang sangat mencolok itu memang sepertinya pernah ia lihat. "Jaksa Wilayah yang baru itu?"

"Benar sekali," jawab Ichigo.

"Senang bertemu denganmu, Ichigo." Nanao lalu mundur sedikit untuk memberi jalan pada kedua tamunya. "Mari masuk. Yang lain sedang berkumpul di ruang tengah." Ketiganya kemudian berjalan menyusuri selasar depan. Melewati deretan foto-foto keluarga yang terpajang di sepanjang dinding bersama puluhan barang-barang antik hasil koleksi dari berbagai negara. Tak luput pula dari pandangan Ichigo sebuah jam kukuk yang lapisan tembaganya terlihat mahal sekali. Hasil pesanan khusus, mungkin. "Kalau kalian mau menyapa Ayah dulu, naik saja ke kamarnya di lantai dua," tambah Nanao. "Kau tahu yang mana kamarnya 'kan, Rukia?"

"Ya, aku tahu."

"Kami tunggu di ruang tengah kalau begitu," kata Nanao sebelum berpisah dengan Ichigo dan Rukia di pangkal tangga. Si menantu pertama berbelok ke ruang tengah sementara dua tamunya berjalan naik.

"Itu tadi Bibi Nanao," terang Rukia sambil berjalan. "Istri putra sulung Kakek Genryusai, Paman Shunsui."

"Yang pernah kau bilang doyan berjudi dan main perempuan itu?"

"Iya, tapi jangan bilang siapa-siapa kalau aku pernah berkata begitu."

Ichigo memutar mata. Heran, tak tahu ia sejak kapan Rukia jadi suka bergosip dan membicarakan hal-hal tidak penting.

Kamar Genryusai rupanya adalah kamar ketiga dari ujung tangga. Menoleh ke bawah, Ichigo dengan jelas melihat ruang tengah yang sedang dihuni beberapa orang. Salah satunya adalah Shunsui, yang ketika itu tertangkap basah mencuri-curi kesempatan untuk menggoda pelayan rumahnya sendiri. Berbisik-bisik dan merayu, seakan berpikir bahwa istrinya tidak tahu. Tanpa memikirkan pria genit itu Ichigo kemudian mengikuti Rukia, melongok masuk ke dalam kamar berbau menyengat yang pintunya sudah setengah terbuka. "Permisi…"

"Rukia?" seorang lelaki menyahut dari dalam. Bukan Genryusai sendiri, melainkan putra bungsunya yang terkenal memiliki senyuman rubah, Gin. Mata pria itu sipit menggaris, demikian sipitnya sampai Ichigo tak bisa mengenali warna mata pria berambut perak tersebut.

"Halo, Paman."

"Halo juga." Kata Gin sambil tersenyum, "Ayah sedang tidur. Taruh saja bawaanmu di atas meja." Dengan ujung dagunya Gin lalu menuding gundukan berbalut selimut hijau gelap di atas tempat tidur. Rukia tersenyum geli. Baru tahu ia kalau si kakek tua pensiunan hakim yang sekarang berprofesi sebagai pebisnis otomotif itu suka bergelung di tempat tidur juga. Sama seperti kakek Rukia yang memang tak jauh beda umurnya.

Ichigo lantas masuk, meletakkan bingkisan yang ia bawa di atas meja mahoni simetris berlaci enam. Persis di sebelahnya ada sebotol minyak herbal yang baunya benar-benar tidak enak.

"Kau teman Rukia?" tanya Gin.

"Benar," jawab Ichigo. "Perkenalkan, nama saya Ichigo Kurosaki."

"Senang bertemu denganmu." Lanjut Gin, "Rukia, lebih baik kau ajak Ichigo ke bawah menemui yang lain." Setelah itu dipungutnya sebuah kardus dari atas lantai sambil menambahkan, "Biar kubawa dulu koran-koran bekas ini ke gudang."

"Baiklah."

"Oh ya, makan siang pasti siap sebentar lagi." Tutur Gin setengah promosi, "Istriku yang masak. Sup jamur buatannya pasti enak sekali." Kemudian ia berjalan keluar bersama Rukia dan Ichigo, menutup pintu kamar dengan tangan kirinya yang tidak sedang membawa kardus tadi.

"Benarkah?" Rukia terdengar ragu. "Kupikir Bibi Rangiku cuma bisa berdandan dan minum-minum saja."

Gin tertawa. "Dasar kau ini," sentilnya sebelum menuju gudang yang terletak di sudut rumah.

Cuma butuh beberapa menit bagi Ichigo dan Rukia untuk turun ke ruang tengah. Sewaktu mereka tiba disana tiga orang anggota keluarga tampak baru saja sampai di rumah itu. Retsu terlihat menggandeng sang suami, Jyushiro, yang menyeret sebuah travel bag berukuran besar. Sementara putri angkat pasangan tersebut yang juga merupakan teman dekat Rukia sudah sibuk berebut dengan Rangiku.

"Pokoknya aku mau minta bonsai yang itu," Momo terdengar bersikukuh. Padahal barang yang dia perebutkan itu jelas-jelas tidak penting.

"Enak saja," Rangiku membalas, "kau ini anak kecil harus mengalah. Aku duluan yang menginginkan bonsai itu."

"Bibi ambil bonsai yang lain saja. Aku maunya yang itu."

"Aku juga maunya yang itu."

"Tapi Bibi, di rumah Bibi 'kan sudah ada banyak tanaman. Sementara apartemenku tandus sekali. Bonsainya buatku saja ya?"

"Kau cari tanaman lain saja, jangan bonsaiku."

"Itu bonsaiku!"

Retsu yang terkenal lembut dan penyabar akhirnya bosan juga melihat bibi dan keponakan saling berebut seperti anak TK. Iapun terdengar menyela, "Kalian ini sebenarnya kenapa? Bukankah ada puluhan bonsai di taman belakang Ayah? Ambil saja masing-masing satu. Atau sepuluh kalau perlu."

"Bonsai yang satu itu beda," Rangiku beralasan. "Ayah mendapatkannya langsung dari Seireitei. Bentuk akarnya bagus sekali dan bonsai jenis itu memang langka."

Momo menyambung tak mau kalah, "Dan ukurannya juga tidak mini seperti bonsai-bonsai Kakek yang lain. Mana mau aku memelihara tanaman yang serba kecil dan susah dilihat orang."

Retsu menggeleng heran. Jyushiro tersenyum sekenanya. Begitu pria berambut panjang itu melihat Ichigo dan Rukia yang datang menghampiri ia lantas menyapa, "Pagi, Rukia."

"Pagi, Paman."

Momo ikut berbalik. Sewaktu dilihatnya Rukia iapun ikut menyapa sambil tersenyum lebar, "Halo, Rukia!" yang diteruskan dengan, "Waah, kau ini suka sekali membawa pemuda tampan ya?" begitu gadis itu melihat Ichigo.

"Halo juga, Momo." Sambung Rukia, "Aku baru tahu kalau kau gila bonsai. Tanaman itu 'kan biasanya identik dengan para manula." Bibir Momo mengerucut sementara alis Rangiku naik sebelah mendengar perkataan Rukia ini. "Oh ya, Kakek titip salam untuk semuanya. Tadinya ingin datang sendiri, tapi belakangan ini Kakek sedang tidak enak badan."

"Tak apa," balas Jyushiro. "Siapa itu teman yang kau bawa? Duduklah sini."

Ichigo dan Rukia tersenyum lalu mengangguk. Adik milyuner tambang emas Byakuya Kuchiki itu mengambil tempat duduk di samping Nanao sedangkan Ichigo duduk tak jauh dari putra sulung Genryusai, Shunsui. "Temanku ini namanya Ichigo, Paman. Ichigo Kurosaki. Sudah pernah dengar belum?"

Jyushiro diam dan mengingat-ingat. Setahunya Kurosaki itu adalah nama seorang dokter bedah yang bertugas di rumah sakit kota. Tapi bukankah pria itu mestinya sudah tua? Ataukah ada marga Kurosaki lain di kota itu? Sepertinya tidak.

"DA Karakura?" Ternyata justru Shunsui yang mengingat nama Ichigo paling cepat. "Apa kau Jaksa Wilayah kita yang baru itu?"

Ichigo mengangguk. "Begitulah," jawabnya.

Mendengarnya Rangiku justru menatap Ichigo setengah heran. "Ya Tuhan, makin lama makin muda saja orang yang terpilih untuk posisi itu."

"Memang iya, Bibi." Rukia menimpali, "Aku saja masih tidak percaya si bodoh ini bisa jadi DA."

"Kalau ibuku saja dulu bisa, kenapa aku tidak?" tukas Ichigo ringan.

"Mungkin yang masih muda justru lebih cocok," kata Nanao ikut berkomentar. Dimintanya Rangiku kembali ke dapur sambil meletakkan dua piring kue di atas meja dan meneruskan, "Kurasa memang butuh idealisme tinggi untuk menjaga agar sistem peradilan tetap berjalan baik. Kalau untuk posisi hakim, barulah kita butuh yang sudah matang."

"Ngomong-ngomong soal hakim, Kakek mana?" tanya Momo.

"Di kamar," jawab Nanao. "Susul saja."

Momo mengangguk.

"Tapi Kakek Genryusai tadi sedang tidur," kata Rukia.

"Tidur?" Momo tak percaya. "Ini 'kan hari ulang tahunnya. Kita sudah jauh-jauh datang ke sini masa Kakek malah tidur?"

"Kau benar juga. Apalagi makan siang sebentar lagi siap." Pinta Nanao, "Tolong naik ke sana dan bangunkan Ayah, Momo."

"Oke. Lagipula aku membawakan syal rajutan tangan khusus untuknya," si gadis lalu mengangkat tas tangan berukuran cukup besar yang ia bawa sebelum berjalan ke arah tangga. "Kakek pasti suka."

"Oh ya, Ichigo," tanya Shunsui sepeninggal Momo, "ayahmu masih bertugas di rumah sakit kota, bukan?"

"Masih, Paman."

"Aku dulu pernah dirawatnya sewaktu sakit," tutur pria berambut ikal panjang itu. "Dia pasti sangat bangga dengan pekerjaan barumu." Tentu saja, orang tua mana yang tidak akan bangga kalau anak mereka diangkat sebagai seorang Jaksa Wilayah bahkan sebelum umurnya genap 26 tahun?

Ichigo membalas singkat, "Aku harap juga begitu."

"Tantangannya besar. Menjadi Jaksa Wilayah, maksudku." Kata Jyushiro, "Karakura memang bukan kota yang terlampau besar. Tapi kadang-kadang kejahatan besar bisa juga datang dari kota ini. Apa kalian masih ingat ilmuwan gila yang dulu membunuhi subyek-subyek percobaannya itu? Dia dihukum mati, bukan? Namanya Mayuri Kurotsuki, kalau tidak salah."

"Kurotsuchi," Retsu mengoreksi. "Seingatku ada juga kasus pencucian uang oleh Sousuke Aizen yang sempat menggegerkan warga. Pria itu mendapat hukuman lima tahun, kudengar. Tapi malah meninggal di penjara setahun kemudian. Dikeroyok rekan selnya. Mengerikan sekali."

"Itu belum apa-apa, Bibi." Rukia ikut angkat bicara, "Aku masih ingat kasus penembakan tiga belas siswi menengah yang dilakukan oleh teman sekelas mereka sendiri. Bahkan penjahat itu sampai sekarang belum tertangkap dan tidak pernah dibawa ke pengadilan."

"Tapi kurasa yang paling parah adalah kasus pemerkosaan dulu itu," giliran Nanao yang bercerita. "Aku sampai tidak bisa tidur membayangkan seorang ayah yang tega memperkosa anak-anaknya sendiri. Siapa pula nama pelakunya itu? Aku lupa. Shao Ling? Shaw Lang? Shuo Long?"

"Shuo-Shaw-Shao apa?" Shunsui tak mengerti. "Kau ini malah seperti menyebutkan nama floris itu."

"Floris?" tanya Ichigo. "Maksudnya Soi Fon?"

"Kurasa begitu," jawab Nanao.

Rukia menyambar, "Jangan-jangan perempuan tanpa ekspresi itu yang menyarankan kalian supaya menanam kangkung di depan rumah?"

"Memang iya." Nanao menyambung, "Kami selalu menggunakan jasa floris yang sama. Kenapa? Kau tidak suka kangkung?"

"Bibi Nanao, kangkung itu tanaman boros air," tandas Rukia. "Lagipula wujudnya juga tidak bagus-bagus amat."

"Tapi kurasa warna bunganya bagus," Retsu beropini.

Rukia jadi heran. "Warna bunganya 'kan cuma putih saja?"

"Putih?" Ichigo tak mengerti, "Bukannya itu biru muda?"

"Biru muda bagaimana?" Nanao ikut-ikutan, "Itu ungu."

"Ungu?" Jyushiro berpendapat, "Kukira kangkung tadi bunganya biru Prussia."

"Biru Prussia?" Shunsui nimbrung, "Kita ini sedang membicarakan bunga kangkung atau racun asam?" Lanjutnya, "Jelas-jelas warna bunga kangkung itu merah jambu!"

Entahlah. Tak jelas mata siapa yang buta warna. Bahkan bisa jadi juga tidak seorangpun di ruangan itu bisa membedakan mana bunga kangkung dan mana bunga bakung.

Selang beberapa lama setelah percakapan tersebut Momo turun dari lantai dua. Sedikit merengut gadis itu. "Kakek tidak mau bangun," katanya.

"Masih tidur juga?" tanya Nanao.

Momo mengangguk. "Eh, mana Bibi Rangiku?" tanyanya setelah tak melihat sosok perempuan berbadan aduhai itu di ruang tengah.

"Di dapur," jawab sang ibu. "Kenapa?"

"Lebih baik bonsainya kuambil ke kamarku saja." Momo kemudian bergegas menuju taman belakang. Berjalan cepat seperti diburu waktu. "Kalau tidak diamankan sekarang pasti nanti direbut oleh Bibi Rangiku."

"Ya sudahlah, biar Ayah kubangunkan sendiri," kata Nanao sambil bangkit dari duduknya dan beranjak ke kamar sang mertua. Sembari berdoa dalam hati agar ia tak perlu berlama-lama mencium bau busuk minyak urut herbal yang sering dipakai kepala keluarganya itu. Bisa-bisa nanti bajunya ikut beraroma aneh juga.

"Perasaan dari tadi aku belum melihat Paman Kenpachi," tutur Rukia. Diambilnya sebuah sepotong kue sambil berharap Rangiku akan segera datang membawa teh sebagai pendampingnya. Lalu ia mulai mengunyah.

"Masih di jalan, kurasa," tebak Retsu.

Baru saja istri Jyushiro itu berkata demikian, sebuah suara melengking dari arah depan terdengar membisingkan telinga. "Haloo semuanyaaa!"

Seorang anak perempuan usia sekolah dasar muncul, berlari diiringi suara derap sepatunya yang sempat Ichigo kira dipasangi pegas dengan sengaja. Soalnya anak berambut merah jambu itu seperti setengah melompat-lompat saking girangnya. Dibelakang anak tersebut, sosok sang ayah berwajah preman terlihat mengikuti. Mengamati posturnya yang tinggi besar, rambut landak dan muka sangarnya, orang pasti tak akan mengira kalau Genryusai bisa punya anak bertampang tukang jagal seseram itu.

"Halo, Yachiru," sapa Rukia.

"Halo Kak Rukia," Yachiru mengecup pipi Rukia. Lalu diteruskannya mengitari ruangan itu seraya memberi kecupan pada semua orang yang hadir satu persatu. Mirip kutu loncat saja anak ini. "Halo Paman Jyu, Halo Bibi Rere, Halo Paman Shun Shun."

Bahkan Ichigo yang jelas-jelas belum dikenalnya pun tak kelewatan. "Halo, Oranye!"

"Namaku Ichigo," ujar si pemuda meralat.

Yachiru mengulang, "Halo, Stroberi."

Dahi Ichigo serasa berkedut. "Kubilang, namaku Ichigo."

Yachiru mengulang sapaannya lagi. Dengan senyum yang lebih lebar kali ini. "Halo, Berry Berry!"

Ah, sudahlah.

"Kau ini tidak berubah, Kenpachi," ujar Jyushiro pada adiknya. "Malah makin terlihat seperti kriminal saja. Aku heran bagaimana anakmu bisa betah sampai selama ini."

"Hey, aku ini ayah yang baik," tukas Kenpachi.

"Ayah yang baik akan mencarikan ibu bagi putrinya," kata Retsu.

Kenpachi menggumam acuh. Seperti bosan mendengar pernyataan-pernyataan bernada seperti itu. "Terserah padamu saja. Dimana Pak Tua?"

"Di kamar," jawab Shunsui. "Nanao sedang membangunkannya."

Persis saat itulah Nanao turun. Tanpa Yamamoto. Malah dibawanya setumpuk cucian kotor dalam keranjang plastik yang ia pegang di tangan kanan.

"Halo Bibi Nao Nao!" Yachiru melompat ke arah si perempuan berkacamata. "Kakek mana?"

"Kakekmu tidur seperti kerbau," jawab Nanao. " Kugoyang-goyang badannya tapi bergerak sedikitpun Ayah tidak mau. Coba sana kau yang bangunkan." Kemudian setelah melihat Yachiru yang bergegas penuh semangat ia menambah, "Tapi jangan kasar-kasar. Kakekmu sudah tua dan sering sakit belakangan ini. Jangan melompat-lompat di atas tempat tidurnya juga."

Yachiru menyahut keras, "Baik!"

"Ayah belakangan ini sakit?" tanya Retsu. Dari keempat anak Genryusai, hanya Shunsui dan istrinya yang tetap tinggal di rumah keluarga. Wajar saja kalau anak dan menantunya yang menetap jauh dari Karakura jadi tidak tahu banyak tentang kondisi kakek tua itu.

"Hanya tidak enak badan," jawab Shunsui. "Biasalah, penyakit tua."

"Bagaimana dengan teh herbal yang dikirimkan Momo? Kudengar teh itu sangat bagus untuk para lanjut usia."

"Paketnya baru tiba pagi ini," terang Nanao. "Isane baru membuatkannya untuk Ayah jam sebelas tadi."

Ketika itu Retsu berniat menanyakan keadaan mertuanya lebih jauh lagi. Tapi pertanyaan tersebut tertahan di ujung bibirnya karena tiba-tiba suara melengking Yachiru terdengar dari lantai dua. Gadis cilik itu berteriak keras sekali.

Semua kepalapun menoleh. Kenpachi adalah orang pertama yang berlari dengan tanggap menaiki tangga, mengira sesuatu terjadi pada putrinya. Disusul dengan Shunsui dan Jyushiro. Sisanya mengekor kemudian, termasuk Rangiku yang masih memegang spatula dan dua orang pelayan rumah yang sebelumnya sibuk menyiapkan meja makan. Dalam kepalanya Ichigo bertanya-tanya, kenapa anak itu suka sekali memekakkan telinga. Namun jawaban yang ia lihat ternyata bukanlah jawaban yang ingin ia tahu.

Sebab terbaring di atas ranjang kamar itu adalah sosok Genryuusai Yamamoto yang sudah tak lagi berkepala.

-x-

-x-

-x-

TBC

-x-

-x-

-x-

a/n: Salam kenal, semuanya. Perkenalkan, nama saya Tea. Ini fic pertama saya di fandom Bleach. Kalau ada kesalahan tolong ditunjuk, ya.

Grimmjow baru akan muncul chapter depan. Jadi inspektur, ceritanya.

Thanks for reading and please leave your review.