a.n: fiksi yg terinspirasi pada saat ujian sekolah hari keempat. Ingat terinspirasi! Tdk semua adegan adalah kenyataan. Thanks for my friend who sat next to me, you made me forgot the difficult questions on exam and smile. (: danke nummer sechtundzwanzig! Ich liebe dich.

Teenage Dreams

(Suatu hari kenangan-kenangan indah kita hanya akan menjadi mimpi di hari-hari mendatang, jadi bolehkah aku mengabadikannya dalam tulisan?)

.

Uzumaki Naruto kini berwajah masam. Berkali-kali ia baca satu per satu kalimat dalam selembar kertas di atas mejanya penuh konsentrasi hingga matanya menyipit, namun tak kunjung ia mengerti apa maksud kata-kata itu, putus asa ia menggaruk sisi kepalanya dan bersandar lemas dalam pelukan kursi kayu. Ia melirik Sasuke yang kini sedang menatap bosan jam dinding. Pensil, penghapus, dan lembar kertas ulangan sudah tersusun rapi di depannya. Diam-diam Naruto menyimpan dendam pada sensei-nya yang sengaja memisahkan dia dengan Sasuke. Kalau aku deket Sasuke pasti sekarang sudah selesai!

Tak kehabisan akal Naruto merogoh saku celananya, berniat mencari jawaban pada mesin pencari di internet, siapa tahu ada. Sekali lagi ia mengumpat kesal ketika mengetahui hotspot sekolahnya yang sengaja dimatikan, ia jadi tidak bisa mencontek deh! Mana tidak ada pulsa se-yen-pun!

Tit… Tit… Tit…

Dering ponsel berbunyi. Sensei Tsunade cepat-cepat mengangkat teleponnya dan berlari ke luar kelas.

Sementara Naruto—entah mendapat keberanian darimana ia segera membuka ranselnya untuk mengambil buku paketnya dan meletakkannya dalam kolong meja cepat-cepat. Bodoh dengan tatapan tak suka seluruh isi kelas, toh semua orang tahu jika ia selalu mencontek ketika ulangan, jadi buat apa ditutup-tutupi? Ia tahu kalau ia bodoh! Ya, bodoh! Dan ia tak malu dengan hal itu, tapi tidak bisa dibilang bangga juga sih.

Tak lama kemudian sensei Tsunade sudah kembali duduk di atas singgasananya sambil mengedarkan pandangannya pada tiap sudut kelas. Naruto membuka perlahan bukunya sepelan mungkin dengan tetap memertahankan pandangannya pada lembar soal, pertama-tama ia harus menyelesaikan soal nomor satu! Setelah yakin arah pertanyaan soal itu segera Naruto menarik bukunya hingga buku itu menyentuh ujung lututnya, ia membaca perlahan penjelasan dalam buku itu dan cepat-cepat menyalinnya di atas kertas jawaban, sambil sesekali memerhatikan arah pandangan sensei Tsunade. Jika gurunya itu akan menoleh ke arahnya maka ia akan cepat-cepat memasukkan bukunya dalam kolong dan berpura-pura berpikir. Lalu menengok kembali baris per baris kalimat dalam bukunya dan menyalinnya setelah dirasa aman. Terus begitu.

Naruto sudah menyelesaikan tujuh soal, ia cukup puas dengan hasil kerjanya, ya setidaknya ia tidak akan mengulang—remidi. Lelah ia merenggangkan tangannya ke atas hingga sensei Tsunade menegurnya, "jangan bersantai-santai Uzumaki, kerjakan soalmu!"

"Sudah!" jawab Naruto bangga, hampir seisi kelas mencibirnya dalam diam.

Wanita tua itu terkejut sejenak, ia curiga pada keanehan Naruto, bagaimana bisa seorang Uzumaki yang hampir tiap ulangan selalu curang kini bisa mengerjakan soalnya tanpa bertanya pada Sasuke—sahabat sekaligus teman sebangkunya, tanpa mencari jawaban di internet, dan tanpa menoleh ke kiri, kanan, belakang, depan—kini bisa mengerjakan soal dengan jujur. "Kalau begitu teliti lagi. Jangan harap mendapat nilai standar bisa membuatku kagum padamu!"

Naruto memajukan beberapa mili bibirnya. Kini niatnya untuk bebas remidi tergantikan oleh niatan untuk mendapat nilai sempurna. Kembali lagi, Naruto menjalankan aksinya menyontek buku.

Tapi nampaknya kali ini Naruto kurang awas, ketika ia memasukkan tangannya dalam kolong meja, sensei Tsunade segera memerintahkannya meletakkan tangannya di atas meja dan hasilnya buku paketnya yang tebal jatuh berdebum. Seisi kelas menahan tawanya dan hanya Sasuke yang menggeleng pasrah pada Naruto dan melanjutkan kegiatannya menatapi jam dinding yang bergerak pelan. Sensei Tsunade masih duduk tenang di atas kursinya namun urat-urat kemarahan kini nampak di wajahnya, "buku apa itu Uzumaki?"

"Buku… kimia!"

"Bohong!"

"Sungguh!" Kesal juga dikatai pembohong, Naruto segera mengangkat bukunya di atas kepalanya, menunjukkan sampul belakang buku paketnya dan cepat-cepat memasukkan bukunya dalam kolong. Berharap dengan begitu kebohongannya takkan terungkap.

"Jangan coba-coba membohongiku, Uzumaki! Aku tahu betul sampul buku biologi itu berwarna hijau seperti bukumu barusan!" sensei Tsunade berjalan mendekat dengan tatapan angkernya, susah payah Naruto menelan ludahnya, keringat dingin tiba-tiba muncul ketika secara perlahan sensei Tsunade menarik buku biologinya keluar dan memamerkannya di depan Naruto, "NA… RU… TO!"

Everyone, kill me now!

.

.

.

.

.

"Kenapa kau selalu mencontek, Uzumaki? Tidak adakah kesadaranmu untuk belajar barang sedikit saja? Sedikiiiit saja. Kau sudah kelas tiga dan sebentar lagi ujian kelulusan!" sensei Tsunade menatap tajam Naruto seusai jam pelajarannya yang diisi ulangan dadakan, "kau selalu saja mencontek. Entah itu menyalin jawaban Uchiha, mencari jawaban di internet jika tidak ada Uchiha, menggunakan kamus elektronik dalam ponselmu ketika ulangan bahasa asing, menukar lembar jawabanmu dengan milik Uchiha, atau melirik-lirik jawaban Uchiha! Tidak bisakah kau bekerja sendiri? Bukankah di tiap bagian bawah lembar soal kutuliskan bahwa kejujuran di atas segalanya? Tak sadarkah engkau arti kalimat itu?"

Diam sejenak. Hanya dentingan jam dan deru napas sensei Tsunade yang memenuhi ruangan.

Sensei Tsunade kembali duduk setelah sekian lama berdiri dan menatap penuh keputusasaan pada Naruto yang kini memainkan jari-jarinya dalam tundukkan kepalanya. "Tatap aku, Uzumaki!"

Naruto mendongak. Ia tak mampu berbicara apapun karena semua ucapan sensei-nya itu dianggapnya benar. "Katakan sesuatu!" perintah gurunya dan Naruto hanya menjawabnya dalam gelengan dan tundukan kepala.

"Katakan kenapa kau tak memiliki semangat bersekolah!"

"Aku memilikinya! Aku suka sekali menambah ilmu tapi… tidak di bidang ini," kata Naruto setelah sekian lama bungkam.

"Lalu apa yang kau inginkan?"

"Bukankah sudah kubilang berkali-kali, aku ingin masuk sekolah musik!" Ya Naruto sudah sering sekali mengatakan hal ini ketika ia mendatangi panggilan guru baik sendiri ataupun bersama orang tuanya. Semua orang tahu itu tapi nampaknya semua orang juga tak mau mengerti hal itu.

Sensei Tsunade tersenyum lembut. Sudah berkali-kali ia memertanyakan hal yang sama pada Naruto tetang hal ini dan selalu jawaban yang sama yang terlontar. Ia tahu mungkin Naruto tak secerdas dan berbakat daripada murid-murid Konoha Gakugen tapi ia tahu Naruto memiliki semangat dan keinginan yang luar biasa. Ia yakin pemuda itu akan cerdas dan bertalenta tinggi jika kemampuannya diasah. Ia adalah pemuda dengan semangat yang berapi-api, ia akan menjadi orang besar suatu saat nanti karena sifatnya ini.

"Ya karena aku tahu kau takkan pernah bisa mengerjakan soal yang akan kuberikan lagi jadi kali ini kuhukum kau untuk mencuci bus sekolah sepulang sekolah!"

.

.

.

.

.

"Kau pulang saja dulu, Teme!" ujar Naruto ketika jam istirahat masih berlangsung, ceramah kali ini tidak sepanjang ceramah-ceramah seperti dulu.

"Kenapa?" Tanya Sasuke setelah menghabiskan sisa minumannya.

"Aku dihukum membersihkan bus sekolah sepulang sekolah. Kau pulanglah dulu sepertinya akan lama, mungkin hingga petang."

"Hn, aku juga nanti ada les." Sasuke beranjak dan meninggalkan Naruto yang kini mengantri makanan untuk harinya yang masih panjang.

.

.

.

.

.

Naruto menatap senang jerih payahnya. Ia mengusap pelan dahi berkeringatnya dan meneliti tiap sudut bus yang biasanya kotor kini mengkilat bersih. Tinggal bagian dalam saja yang perlu dibersihkan. Naruto mengangkat ember berisi sikat dan air sabun dan berjalan gontai menaiki bus, ia mengumpat-umpat dirinya sendiri, dia tahu betul di bawah kursi paling belakang pasti penuh dengan permen karet yang biasa ia tempelkan disana bersama Kiba, Lee, dan Kankurou dengan tujuan agar petugas pembersih bus kesal. Dan ya… kegiatannya bersama teman-temannya itu berhasil. Petugas pembersih itu kesal, kesal sekali kini. Naruto kesal dan berjanji lain kali akan mengingatkan teman-teman nistanya itu untuk berhenti melakukan hal itu.

Naruto melongo ketika sudah di atas bus. Dilihatnya kursi-kursi plastik yang biasanya berwarna kuning kehitaman kini kuning mengkilap, begitu pula dengan tiang-tiang di sisi-sisi pintu bus yang kini menyilaukan matanya—bahkan sering kali Naruto enggan menatap bagian yang biasa penuh dengan kotoran hidung itu, ia bersimpuh dan mengecek bagian bawah kursi paling belakang dan tak ada satu pun permen karet disana. Naruto bertanya-tanya siapa yang membersihkannya, ia yakin tadi pagi ia sempat menempelkan permen karet rasa jeruk disana. Siapa yang kurang kerjaan membersihkan ini semua?

Naruto menatap juluran kaki mulus dengan bulu terawat di depan sana, ia berjalan perlahan dan berteriak histeris ketika bertatap mata dengan petugas-pembersih-bus-sekolah-lain-itu, maanya membulat tak percaya, dan bibirnya hampir tak bisa menutup karena keterkejutannya, " SASUKE!"

"Hn?"

"Apa yang kau lakukan disini?"

"Membantumu membersihkan bus. Kalau saja bukan ulahmu bersama Kiba dan lainnya, kegiatan ini takkan melelahkan dan memualkan! Bereskan sisanya!" Sasuke melempar lap setengah kering tepat di wajah Nauto dan menuruni tangga bus untuk keluar, "kutunggu di gerbang."

Naruto terdiam cukup lama hingga ia menyadari Sasuke sudah pergi, ia berlari menuruni tangga dan berteriak sekencang-kencangnya sambil berpegangan pada palang pintu bus mirip kondektur bus kota, "terima kasih ya, Sasuke!"

Rasa kesalnya menguap entah kemana terganti dengan keinginan untuk menyelesaikan apa yang sudah diperbuat Sasuke, ia bersiul-siul riang menuju tempat dimana ia bertemu Sasuke tadi, berniat membereskan tadi yang dikatakan Sasuke. Namun kini siulannya terganti dengan kedipan tak percaya. Kini di depannya semuanya terlihat bersih berkilau karena sabun, hanya ember berisi air kotor yang membuat jelek pemandangan steril itu. Naruto benar-benar tak meyangka Sasuke berbuat sejauh ini untuknya. Sekali lagi ia berjanji lain kali akan mengingatkan teman-teman nistanya itu untuk berhenti melakukan hal-hal yang membuat bus ini kotor.

Naruto segera berlari dan membereskan apa yang dimaksud Sasuke—membuang air kotor dalam ember dan mencuci lap dan sikat hingga bersih. Kemudian mengganti kaos olahraganya yang bau dengan seragamnya yang putih bersih, menyemprotkan beberapa kali parfum yang ia simpan dalam lokernya, dan menyisir rambutnya yang basah, ia tersenyum ketika melihat Sasuke sedang berjongkok di depan gerbang menunggunya, "hei Sasuke!"

"Lama!"

"Hehehe… maaf aku 'kan harus dandan dulu. Siapa tahu ada gadis cantik di jalan nanti."

"Terserah kau sajalah. Ayo pulang!"

Naruto berjalan perlahan di sisi Sasuke, ditatapnya sahabatnya itu dalam, "omong-omong terima kasih atas bantuanmu. Aku menyayangimu!"

""Jangan mengatakan hal menjijikan itu, Dobe!"

FIN

Story is 1504 words.

Drabble fict lagi! Tapi sekarang bukan sasusaku, tapi sasunaru, eits jangan keburu mikir fiksi ini bakal menjurus ke yaoi. NO! it just friendship one. Saya benar2 kagum sama persahabtan ala sasunaru, bener2 bikin ngiri! And yeah, I made it by my self, bukan canon (ga tega bikinnya hyuhuhu). And all stories WILL be inspirited from my goddamn life. xDDD~~

Review, please?