Warning : Yaoi or boyxboy, OOC, typo, AU, ending ngegantung, non EYD, alur kilat, KARAKTER JAHAT ,MENGANDUNG ANGST-KISE! tapi ingat mereka hanya akting, oke?
Untuk merayakan AoKiDays/07-05
(maaf kalau telat, padahal udah disiapin dari tgl 5 :'3 )
Disclamer : Tadatoshi Fujimaki ; Kurobas
Cerita : Kuro
Rated : T
Mempersembahkan
"Egoism"
Langit menghasilkan warna lembayung, tidak berwarna orange atau cukup hitam, hanya warna kemerahan gelap yang terlukis disana. Angin-anginpun tak kalah ingin mengunjukkan gigi, berhembus dengan sangat beraninya, hingga bisa menerbangkan kerikil-kerikil kecil tak berdaya, yang mana kejadian itu sangat jarang terjadi, tertangkap oleh indranya, seperti kejadian yang tengah berlangsung saat ini, sangat jarang dan juga membuat segala macam indra yang ia miliki meronta-ronta.
Suara decitan sepatu basket menjadi alunan lagu, diiringi oleh setiap kibasan jaring yang tertabrak bola orange yang sedang dimainkan dengan sengit dilapangan sana. Dilapangan tanpa dirinya, dilapangan yang seperti panggung drama tanpa dibutuhkan satu manusia lagi untuk mengusik keindahan itu, keindahan yang hanya milik mereka berdua.
Tetes demi tetes keringat mengalir dengan sexynya, setiap hembusan napas kasar, atau setiap tawa yang sesekali lolos entah mengapa menjadi nilai tambah didalam bola keemasan miliknya. Menjadi nilai tambah untuk memelintir-lintir setiap urat nadi yang jalan menuju hati yang tengah berdetak, memelintir hingga ingin meledak, ingin menghempas, tenggelam atau apapun yang bisa membuatnya mati saat itu juga.
"Lu gak bakal ngalahin gue, Kagami!"
Ia tersenyum, bola mata dengan warna keemasan itu membola, walau hanya mendengar orang yang bersangkutan berucap satu kalimat, kalimat yang sebenarnya tidak penting dan bukanlah untuknya, Ia selalu bisa tersenyum otomatis, walaupun ia selalu tahu itu, setiap kalimat bersahabat disertai sebuah cengiran lebar yang selalu ditoreh oleh orang itu, tidak pernah ada untuknya.
"Terus aja lo mimpi, Aomine!"
Ahhh, hatinya makin terplintir, begitu orang dilain pihak menjawab dengan nada serupa, nada yang seolah mengejek eksistensinya saat ini. Seseorang yang sangat bodoh, Terlampau bodoh hingga ia tak pernah tahu seberapa beruntungnya ia berdiri disana. Berdiri disana tanpa tahu semua rasa sakit yang ia rasakan. Ia selalu berpikir, jika ia harus melepas semua apa yang ia punya untuk menukar posisinya dengan pria itu, maka ia akan melepaskan apapun itu, melepas apapun dengan sangat ikhlas agar ia bisa menggantikan orang bodoh disana,
–sehingga ia bisa membuat pria itu tak pernah menangis olehnya.
Tiba-tiba bibirnya terseyum, tertarik hingga membuat matanya meyipit, entah mengapa ia merasa berdialog dengan diri sendiri menjadi sesuatu yang sangat lucu. Ahh, lagi-lagi hatinya meringis jahat. Ia dipermalukan oleh kesadaran yang lagi-lagi menjadi tamparan keras, bahwa dirinya tidak pernah atau mungkin tidak akan dicintai oleh pria itu, Aomine daiki namanya. Pria yang saat ini sedang berdiri dilapangan basket dihadapannya, pria dengan kulit dim yang sexy, yang selalu memiliki mimik malas, yang akan menggila seperti panther ketika memegang bola bundar orange, dan yang –seterusnya, bisa ia jabarkan semalaman penuh hingga ia bisa kehabisan waktu tidur. Ia tersenyum semakin lebar, pria yang memelintir hatinya ketika ia tersenyum untuk orang lain, tambahnya satu lagi.
Tiba-tiba ia mengerjab tersadar, terdengar suara dering telpon disampingnya, berasal dari tas putih dengan tali kemerahan disana, ia tahu siapa gerangan yang punya, ia tahu itu.
"Kagami-cchi telponmu berdering!" serunya dengan suara keras, takut-takut bila salah satu dari dua pemuda dilapangan sana tidak bisa mendengar apa yang ia sampaikan.
"Oke, gue kesana," seru pemuda itu tak kalah kencang, "Gue off dulu," tepuknya pada pemuda dim yang sedang terbengong diam.
"Kok gitu!" terdengar nada tidak suka, "Lu kan janji one on one sama gue!"
"Don't be kids, Aomine," ia berlalu begitu saja, lalu membuka resleting tasnya, setelah menemukan apa yang ia cari, ia tempelkan benda persegi itu ditelinganya. Samar-samar terdengar percakapan yang mengalun rendah masuk kedalam pendengaran pemuda kuning yang sedang duduk diam tak jauh darinya.
"Kise, lu ajak tuh dia one on one," ia menutup tasnya tanpa menengok kearah yang bersangkutan, "Ngerengek kayak anak kecil gitu!" cibirnya dengan penuh candaan.
"Hey, gue denger itu Kagami!" lelaki dim menyahut masih dari tengah lapangan.
Mata kuning itu menatap nanar, berspekulasi tentang hatinya pikirkan, sebuah kenyataan bahwa ia bukanlah sesuatu yang pantas untuk masuk kedalam drama itu. Jadi, bolehkah bila ia hanya menjawab dengan cengiran yang lebar saja, cengiran lebih lebar dari penonton manapun.
"Gue balik dulu," sebuah tepukan dipundaknya menyadarkan, mata crimson itu menatap tanpa arti jahat untuk seseorang sepertinya, sesorang yang sebenarnya beberapa kali ingin menghilangkan pemuda itu.
"Hati-hati dijalan, Kagami-cchi," satu anggukan dan tepukan balik ia rasa sudah cukup untuk menjawab perpisahan.
Kaki-kaki berselimut bokser merah selutut berjalan dengan pasti, mendekati pemuda yang masih mendrible kesana-kemari, ia mendekat lalu merebut bola itu dengan mudah, sedangkan, yang berada dipinggir lapangan tak pernah melepas arah pandangnya.
"Gue balik dulu, Kuroko ketinggalan barangnya di apart gue," Kagami menyodorkan telpon itu mendekati ketelinga pemuda disampingnya, "dia udah sampe didepan apart, kasian kalau suruh balik lagi."
Pemuda berambut navy yang menerima sodoran telpon itu, hanya mendengus tidak suka, ia kibaskan tangan coklat madu milik Kagami, tidak suka dengan keadaan yang tengah berlangsung, "Yaudah sono," baliknya mulai mendrible bola kembali.
"Ada Kise ini, kalian biasanya juga one on one."
"Ck, bedalah, gak seasik elu!"
Dan entah mengapa mata berlapis emas itu panas, membara seolah terbakar dari ujung pendengarannya, tak cukupkah bila ia hanya ditampar oleh spekulasinya, tak cukupkah hanya bayangan saja, tanpa harus diperjelas oleh pemuda itu.
Sekali ia tanya, tak cukupkah Aomine.
|~O.O~|.|~O.O~|.|~O.O~|.|~O.O~|.|~O.O~|.|~O.O~|.|~O.O~|
Setelah hilangnya satu pemain didalam panggung drama, tersisalah satu boneka tak bernyawa yang sedang memainkan perannya, mendrible tanpa ada aura kehidupan. Berlari kesana kemari seolah berkata, 'hey, hati gue udah mati.'
Dan bodohnya, penonton yang melihat itu, merasakan sakit luar biasa. Ia terkekeh dari pinggir lapangan, menggerakkan tungkainya memulai memasuki panggung drama yang terlihat menyedihkan didepan sana. Ia selalu berpikir, memang selalu seperti itulah arti sebuah penonton, ketika karakter yang kau sukai menderita dihadapanmu, maka hati penontonlah yang menjadi pilu. Menjadi pilu, tanpa tahu apa yang harus dilakukan agar karakter itu kembali tersenyum.
"Yo, Aomine-cchi," ia rebut bola orange yang sedang didrible tanpa minat, berlarian hingga surai kuningnya terbang terbawa angin, kemudian loncat indah memasukan kejaring yang melambai-lambai terlupakan.
"Hmn," gumamnya.
Bola yang masuk kedalam jaring, mulai terjatuh memantul, menggelinding kepinggir lapangan, tanpa ada minat seseorang yang akan mengambilnya.
Kise, lelaki kuning, penonton idiot itu, lagi-lagi melihat karakter tersayangnya dengan nanar, ia tak pernah menyangka bola lezat yang sedang menggelinding itu tidak bisa menyedot keinginan panther dihadapannya saat ini. Dia berpikir, sehina itukah bermain dengannya.
"Kise..." panggilnya dengan suara rendah, "Apa yang harus gue lakuin," punggung lebar itu hanya diam tanpa gerakan sedikitpun. Entah mengapa netra kekuningannya mengabut monoton melihat punggung itu, ia menjerit dalam bisu, ingin menampar lelaki dihadapannya, agar iris saphir itu cukup berhenti menatap sesorang yang bahkan tak menyadari setetes eksistensi rasa berharga miliknya. Ia juga ingin menghipnotis pemuda biru itu, dan mematahkan setiap sendinya agar menatap dirinya seorang, yang selalu berada dibalik punggung lebarnya. Menyadarkan, dan berteriak kencang ketelinganya yang mungkin sudah penuh dengan bayangan semu. Berkata dengan bangga, "Gue selalu ada dibelakng lu. Brengsek!'
Tetapi, lagi-lagi semua hanya eksistensi belaka, bayangan ataupun sebuah ekspetasi hanyalah omong kosong yang tak mungkin dirinya tega lakukan untuk pemuda yang bakan lebih berharga dari dirinya seorang. Jadi, jika tangan-tangannya bergerak tanpa otak perintahkan bukanlah menjadi kesalahannya, tetapi itu memang merupakan reaksi normal yang memang sudah direncanakan Tuhan untuknya.
Ia tenggelamkan pucuk kepalanya, ia lilitkan jemari-jemari membungkus perut rata pemuda itu, menghantarkan kehangatannya untuk hati pemuda yang sedingin es, menghantarkan panas dan mengantikannya dengan membunuh hatinya sendiri.
"Gue selalu ada disini, Aomine-cchi," bisiknya tenggelam diperpotongan punggung lebar yang tetap diam, mengabaikan keberadaannya. Ia terpaku. Lagi-lagi bibir cherrynya bergetar, ingin memaki tetapi tak sanggup, yang bisa ia lakukan adalah menggigit hingga memerah dalam. Diam membisu, berdemo menyeruakan suara-suara yang tak pernah timbul ke permukaan.
Ia lagi-lagi bermain didalam otaknya, berpikir tak pernahkah Aomine menyadari bahwa dirinyalah orang yang pantas untuknya seorang, hanya dirinyalah yang terbaik. Ia mendengus, butiran kristalnya sudah tak tahan ingin saling terjun.
"Semua ini salah gue," Akhirnya bibir kehitaman Aomine terbuka, menyuarakan pendapat yang memang ditunggu, "Seharusnya gue gak ngelibatin elu, Kise," dengan berakhirnya suara itu, tangan putih miliknya sudah dilepaskan, ditarik agar menjauh dari tubuh yang bersangkutan. –dan demi apapun hatinya menjerit, bukan adegan inilah yang ia tunggu.
"A-aomine-cchi,"
Ia berlari, merubah haluan agar menghadap makhluk biru dihadapannya, wajah bertemu wajah, ia ingin memperjelas, apa yang kurang darinya.
"Maksudmu apa, Aomine-cchi?"
"Kau tau itu," Suaranya rendah, mencoreng harga dirinya sebagai pria, apakah lelaki dim itu benar-benar menganggapnya barang yang bisa digunakan ketika dibutuhkan, lalu dibuang ketika sudah tidak butuh? Hatinya benar-benar sudah tak mengerti lagi.
"Jangan memandang dengan wajah itu," Aomine berfrontokasi, "Gue tau, minta maaf gak cukup," ia menggaruk tengkuknya, "Tapi setidaknya gue harus berterimakasih, Kise."
Ia berlalu, kaki bersket hitam itu menjauh, meninggalkan dirinya. Dibuang dan diabaikan, selalu, selalu dan selalu seperti ini.
"Gue gak ngerti lagi, Aomine-cchi!" Ia berseru lantang, dadanya sesak. Marah luar biasa, "Apa yang salah dari keberadaan ini" ia menunduk, memegangi dadanya erat, "Segitu tidak berharganya dimatamu, itu?" ia tertawa, tak tahan bila suaranya bergetar.
"Kise?"
"Kau selalu, dan selalu seperti itu," ia arahkan pandangnya menantang, bersibobrok dengan safir didepannya, "Kau tahu, walaupun kau tak pernah mengganggapku sepertinya," ia menatap nanar, menahan semua rasa panas yang berkumpul dinetra emasnya, "Aku tidak pernah peduli, –ssu."
Setelah semua apa yang hatinya ingin ucapkan, akhirnya ia ucapkan. Namun ia tak pernah menyangka jawaban apa yang menantinya, karena pada dasarnya semua jalan Tuhan tak ada yang pernah tahu. Kehidupan adalah sebuah misteri, kau tak akan pernah tahu jika tidak berada digaris itu, berjalan dan merasakan sendiri. Seperti apa yang sedang makhluk kuning itu rasakan. Ternyata kehangatan tubuhnya mendapat balasan, ia digenggam erat, tubuhnya terbungkus oleh badan pemuda yang selama ini hanya menjadi impian belaka paling terdalamnya.
"Gue, minta maaf," suara serak penuh serat penyesalan tepat masuk kegendang telinganya, berbisik hingga napas pemuda itu berhembus mengenai daun cuping yang mulai memerah.
"A-aomine-cchi,"
Pemuda itu, Aomine semakin mengeratkan pelukannya, "Tapi, gue gak bisa Kise," ia tepuk beberapa kali punggung ringkih yang tenggelam dalam dekapan, "gue gak pernah bisa."
"A-Aomine?!"
Tiba-tiba yang tak pernah terduga muncul, mimpi buruk diantara dua pemain yang sedang memainkannya didalam panggung drama, pemain yang sebenarnya, ia menyaksikan dengan mata membesar, membola mempertontonkan apa yang tak pernah terpikirkan didalam otak dengan kapasitas terbatas miliknya, "Se-sedang apa kalian?"
Sedangkan lelaki yang sangat mengenal suara itu hanya bisa mengejangkan irisnya, bibirnya kaku, tenggorokkannya tercekat, ia buru-buru melepaskan pelukan yang pasti akan membuat salah paham, "Ka-kagami?" ia mencari sosok yang memanggilnya, "Gue pikir lu udah pulang," lanjutnya setelah menemukan sang pemilik badan.
"Ah, Kuroko udah balik, jadi gue kesini lagi," ia menggaruk surai merah bergradasi hitamnya, canggung "Tapi gue balik aja kali ya."
Dengan itu, entah mengapa pemuda merah yang memang pada dasarnya masih berada dibalik lapangan mulai berlari kencang, raib oleh kecepatan angin.
"Hoi, Kagami!" Aomine berseru kencang, bersiap mengejar yang bersangkutan, mungkin saja dirinya akan ikut menghilang secepat angin, hanya saja, bila tangannya tidak ditahan dengan pemain dipihak lain.
"Kau tahu, kenyataannya Aomine-cchi," ia bersumpah sampai matipun ia tak akan melepaskan genggamannya, karena ia tahu kenyataan apa yang akan dihadapi pemuda dim dihadapannya ini bila ia mengejar Kagami, -dan ia sudah tak ingin melihat pemuda ini menangis untuk kedua kalinya.
Aomine menggeram, "Lepas Kise!" membentak dan mengibaskan tangannya.
Namun Aomine tak pernah tahu satu hal, pemuda yang sedang menatapnya nanar tersebut, bukanlah lelaki yang akan menyerah dengan mudah, karena Aomine tak pernah tahu, betapa berharganya dirinya tersebut untuk pemuda emas yang sedang menggenggam erat pergelangan tangannya, menggenggam dan mencoba mengeluarkan keegoisan yang selama ini ia pendam.
"Kau tak mengerti Aomine -cchi, dia normal!"
Namun, Aomine juga bukanlah lelaki yang mudah menyerah, ia akan terus menulikan pendengaran dan menutup kenyataan didepan matanya, tak peduli seberapa keras lelaki kuning itu membeberkan kebenaran, ia tidak akan bisa menerima itu.
"Lepas Kise," Ia menggeram kembali, "Jangan buat gue marah."
Tetapi lelaki kuning tersebut tetap menetapkan keegoisannya, memainkan peran dengan tak peduli bila ia akan dicap sebagai antagonis dalam drama hidupnya sendiri. Ia tidak akan menyerah untuk kali ini, tidak sebelum lelaki dim itu sendiri yang benar-benar membuangnya.
"Tidak, -ssu," Kise, lelaki itu mengeratkan genggamannya, tak peduli jika pundaknya sudah dicengkram oleh Aomine, tak peduli jika beberapa kali kerahnya ditarik paksa, tak peduli bahkan jika beberapa kancing kemejanya jatuh berhamburan, tak peduli dan tak peduli, bahkan tidak ketika akhirnya ia terbanting jatuh menghantam lantai berlapis semen tipis.
"Kau tak pernah mengerti Aomine-cchi," ia mengejar pundak yang mulai menjauh, menerkamnya dan menahan dengan bobotnya sendiri.
"Diam disini bersamaku, -ssu," ia eratkan dekapannya pada pemuda biru didepannya, "Tinggalkan saja Kagami-cchi, aku akan menggantikannya"
Tetapi lagi-lagi sebuah takdir coretan Tuhan tak pernah ada yang tahu dan mengerti, pemuda itu tak pernah tahu jawaban apa yang akan menantinya. Karena seiring napasnya yang tersengal-sengal mencoba segala kemungkinan, jawaban atas do'a terdalamnya tak pernah terjawab ke permukaan.
Tangan dim yang luar biasa hangat, menggenggamnya erat, ia ditatap sedemikian rupa. Bukan dengan nyalang ataupun dengan rasa tak peduli, tidak kali ini. Saat ini mata safir itu menatapnya dalam, penuh dengan arti, rasa sakit dan penyesalan.
"Lebih baik gue mati, Kise. Dari pada gue ngelepas Kagami."
Kupingnya berdengung, matanya kosong, melebar tak fokus, tangannya hampa, mendingin sejalan dengan pemuda dim itu melepaskan genggamannya, lepas lalu berlari secepat angin, berlari dengan bayangan samar kehitaman yang mengecil lalu menjauh, hilang dari hadapannya, hilang dan kali ini tak akan pernah kembali, karena Aomine sudah memperjelas bahwa ia benar-benar membuang keberadaan dirinya.
"Kau jahat, Aomine-cchi" gumamnya pelan.
Tapi ia tahu, ia tak akan menangis, tidak akan pernah. Karena pada dasarnya, dia sudah pernah bilang, bila ia melepaskan genggaman itu, ia akan mati.
.
.
.
.
.
Tbc/Fin? – dengan jahatnya –
Quots(?) : Entahlah ya, dadaku sakit luar biasa, mau buat AoKi kasian abang Kagami, tapi kalau buat begini, kok kasian bang Kise yak... sudahlah, pukul saja tangan berdosa ini :'3 #halah~
SAYA PENGGEMAR AOKI KOK, TAPI CARA SAYA MENCINTAI KISE MUNGKIN AGAK BERBEDA :3
Unless your imagination~
