Standard disclaimer applied.


"Shin-chan, sampai kapan kau akan terus di sini?"

Takao bertanya tanpa ada nada jahil dalam suaranya—beberapa saat sebelumnya dia bertanya hal-hal yang bisa membuat Midorima kesal padanya—dan nada usil itu tergantikan dengan nada khawatir. Mata silver bluenya yang setajam elang memperhatikan wajah yang tertekuk saat sedang membaca. Takao tersenyum samar, bulu mata Shin-chan terlihat sangat lentik di kala matanya memandang ke bawah.

Tanpa memandang Takao, Midorima menggerutu pelan. "Aku sudah janji pada orangtuamu untuk menggantikan mereka sampai malam ini, Bakao. Sebaiknya kau jangan banyak bicara, kau butuh banyak istirahat."

Takao tidak menggubris kalimat terakhir Midorima, tapi, dia kembali melempar pertanyaan untuk membuat Midorima pergi.

"Shin-chan, bukankah ada latihan hari ini?"

Midorima mendengus pelan. Alisnya bertautan. "Aku bisa tidak ikut latihan beberapa kali. Lagipula aku sudah ijin, dan yang lain tahu kalau aku berada di sini. Berhentilah bicara."

Lagi, Takao tidak menggubris.

"Shin-chan, memangnya kau tidak bosan menemaniku di sini?"

Midorima yang kesal menutup keras buku tebalnya dan menaikkan kacamata dengan gaya khasnya. Matanya memandang kesal pada Takao yang cengar-cengir, mulai usil lagi rupanya.

"Kelihatannya kau ingin sekali melihatku pergi. Baiklah, kalau itu maumu."

Terdengar decitan dari kursi yang digeser mundur. Pemuda berambut hijau itu sama sekali tidak melayangkan tatapan pada Takao saat dia pergi. Saat dia berbalik, dia tidak sempat melihat tangan kiri Takao yang mencengkram kuat seprai putih ranjang dan terlihat mau menangis.

Pintu kayu itu menutup, menyisakan seorang pemuda di salah satu ruangan rumah sakit yang hening. Rasa sakit itu kembali datang tiba-tiba. Takao mengatupkan bibir rapat-rapat, menggigit lidah, demi menahan rasa sakit yang amat sangat kembali menghujam lengan kanannya. Denyutan denyutan di lengannya terasa seperti tusukan-tusukan pisau panas. Pipi dan bantalnya basah karena dia tidak sanggup menahan air mata. Dia sudah tidak kuat lagi—ini terlalu sakit. Mendadak dia merasa sakit ini akan membunuhnya. Terpaksa dia membuka mulut dan merasakan tenggorokannya tercekat.

"Shin—"

Takao memanggil, tapi tertahan oleh isakannya sendiri. Kepalanya ditekan kuat ke bantal. Sedikit menyesal dalam hati karena dia mengusir Midorima untuk pergi.

"Shin-cha—"

Percuma, panggilannya kembali tertahan karena Takao menarik nafas kuat-kuat, tanpa sadar dia menahan nafasnya. Rasa sakitnya tidak tertahankan hingga membuat Takao merasa bahwa dirinya bisa mati karenanya, dan tidak memikirkan apapun selain ingin bertemu dengan Midorima.

"Shin—ghh!"

Takao menggigit bibirnya keras kali ini, membuat dia merasakan rasa asin dari merah yang keluar dari lukanya. Matanya terpejam, dia tidak melihat sosok Midorima yang terkejut begitu melihat kondisinya yang menahan kesakitan. Midorima terlambat untuk menyesal sekarang.

"Takao!"

Midorima sedikit tergopoh saat menghampiri Takao. Takao yang mendengar namanya dipanggil membuka mata dan ingin berteriak 'Shin-chan!' tapi tidak bisa. Sakit ini membuat tenggorokannya tercekat karena terisak-isak. Hanya tatapan nanar dan air mata yang menetes sebagai jawaban atas panggilan Midorima. Pemuda yang lebih jangkung darinya itu dengan hati-hati mengangkat kepala Takao yang terbalut perban, dan mencondongkan tubuhnya untuk mendekap wajah menangis itu di dadanya. Tangannya yang selalu terbungkus perban mengelus belakang kepala itu lembut, berhati-hati karena tidak ingin membuat Takao sakit atas luka di kepalanya.

"Berteriaklah jika terlalu sakit, Takao."

Takao bukan lagi berteriak, melainkan meraung. Terkadang dia terisak-isak, lalu kemudian meraung-raung lagi. Midorima meminjamkan dadanya untuk menekan raungannya dan elusan lembut yang diberikan Midorima sedikit membuatnya tenang. Lama kemudian raungan itu tiada lagi, dan berganti menjadi isakan kecil. Tarikan-tarikan nafas yang tidak beraturan menandakan kalau Takao sudah mulai tenang lagi. Midorima sedikit menurunkan badannya, dia memeluk tubuh itu sebentar, lalu perlahan membaringkan kembali kepala Takao di atas bantal.

Tangan kiri Midorima yang kini bebas menggenggam erat tangan Takao. Pemuda berkacamata itu menatap nanar pada kasihnya yang tergolek lemah di atas pembaringan. Jari-jari tangannya yang lain menyibak helaian poni rambut yang menutupi kening Takao. Perlahan dia condongkan tubuhnya untuk mencium lembut keningnya yang terbalut perban.

Takao sempat memejamkan mata untuk menikmati sentuhan kecil yang diberikan Midorima padanya.

"Shin-chan." panggil Takao serak dan lirih. Midorima yang mendengar suara Takao yang hampir mirip dengan kakek-kakek, berbaik hati mengambilkan gelas berisi air dan membantu pemuda yang lebih kecil untuk meminumnya.

"Kupikir kau pergi untuk latihan." gumam sang point guard, sedikit terkesiap saat Midorima kembali mengaitkan jemarinya di sela-sela jemari miliknya. "Kupikir—kau tidak akan kembali."

Senyuman pahit diberikan Midorima sebagai jawaban. "Aku hanya pergi untuk membeli cemilan." genggaman mereka mengerat, "Aku tidak mengira akan seperti ini jadinya."

Senyap menyelimuti mereka selama beberapa saat.

"Maaf." bisik Midorima. Ibu jari tangannya yang lain mengusap pelan pipi Takao yang sedikit basah.

Takao menggeleng pelan. "Aku yang bodoh karena mengusirmu pergi, Shin-chan." dia menarik nafasnya yang masih sedikit terputus-putus dengan perlahan, "Aku tidak ingin kau menganggapku merepotkanmu. Setelah kondisiku menjadi seperti ini, aku tidak ingin—" bibir itu berhenti bersuara saat jemari Midorima menahan laju kalimatnya.

"Lebih baik kau tidur." lembut, Midorima mengelus kepalanya. Takao terdiam dan menurut, memejamkan mata.

"Aku mau saja sakit terus kalau Shin-chan jadi bersikap manis padaku." masih dengan mata terpejam, Takao tersenyum jahil.

"Bakao!"

dan Takao langsung kembali mencoba tidur.

Midorima terus mengelus surai hitam itu dengan lembut. Tersenyum sedih, dia menatap kondisi tubuh pemuda yang terbaring di hadapannya dari ujung kepala hingga kaki. Kedua kakinya diperban hingga lutut, lengan kiri, kepala dan seluruh lengan dan bahu kanannya juga tertutup perban. Dia tidak pernah memikirkan kejadian seperti ini bisa menimpa rekan satu timnya yang paling dia percayai—kaki dan tangan adalah bagian tubuh paling penting bagi seorang pemain basket. Masih segar dalam ingatannya, berita bahwa Takao kecelakaan dalam perjalanan menuju tempat latihan, terkena pecahan-pecahan kaca besar yang akan digunakan dalam pembangunan sebuah gedung, langsung membuat seluruh anggota kalang kabut. Midorima lah yang seketika itu langsung berlari keluar pergi ke tempat kejadian. Hanya tersisa darah dan pecahan kaca yang berserakan di sana.

Saat Takao siuman di malam keesokan harinya, Midorima berada di sampingnya. Setia menggenggam tangan kirinya yang mati rasa, sambil menceritakan perlahan kondisi tubuh rekan sejawatnya—dan air mata itu tumpah.

Lengan kanan Takao adalah bagian tubuh yang terluka sangat parah. Dan sudah terlalu sering Takao memperparahnya dengan memaksakan diri agar tangan kanannya mau bergerak.

Syaraf lengan kanannya terputus, dan sudah dilakukan operasi untuk menyambungnya kembali. Namun butuh waktu rehabilitasi bertahun-tahun agar tangannya kembali ke kondisi sebelumnya. Rasa sakit yang terkadang datang tiba-tiba adalah cara tubuhnya menyatukan kembali urat syarafnya.

Pertama kali rasa sakit itu datang, Midorima tidak berada di sampingnya. Ruangan itu penuh dengan jeritan kesakitan dan air mata.

Satu minggu penuh berada di dalam ruangan, Takao diperbolehkan berkeliling di sekitar rumah sakit menggunakan kursi roda. Rasa putus asa menghampirinya ketika melihat anak kecil yang tangannya juga tidak berfungsi—sama seperti dirinya—menangis dan mengeluh tidak ingin melanjutkan rehabilitasi. Anak itu sudah di rehabilitasi tiga bulan, dan Takao tidak bisa menunggu selama itu.

Suatu hari, rekan-rekan satu timnya menjenguk dan membawakan bola basket untuknya. Tangan kirinya yang sudah mulai kembali normal, bisa merasakan tekstur karet yang agak kasar pada si bola merah. Digenggamnya bola basket itu dengan tangan kirinya, dan dia bisa. Disentuhnya permukaan bola dengan jari-jari tangan kanan, dan dia tidak merasakan guratan-guratan kasar pada bola. Ketika dia mencoba menggenggam bola dan tidak bisa, air mata itu kembali tumpah.

.

.

.

eh...gantung ya? gomen otl

next chapter coming….soon.