UNKNOWN
Chapter 1: An Illusion Of A Journey
For it didn't have a start nor an end…
A Persona series fanfic.
Spotlight Minato A. & Ryoji M.
Warning: Contain Major SPOILERS.
Disclaimer: Persona series © ATLUS.
.:0:.
All lifes will start the journey
And reach the answer on the journey's end
Whether it is the answer of what you seek or not,
There's no need to falter
For what you've decide
For what you'd want to protect
Those you cherished so much in the rest of your life
Your lover
Your neighbor
Even
Your friends
.:0:.
Velvet Room
Unknown Time
Sofa, kartu, meja, kursi tamu velvet room, sebuah jam dinding, sebuah ruangan lift dengan dekorasi biru sebagai dominasinya. Semua itu sudah menempati ruangan ini dalam waktu yang lama, sebuah penantian untuk seorang tamu yang akan menuntun mereka menjalin benang takdir mereka, menuntun tamu itu untuk melihat semua potensi yang ada dalam lautan jiwanya sendiri, menuntunnya untuk menjalani takdir atas keputusan yang dipilihnya. Sebuah penantian yang tidak sebentar. Dengan jarum jam dinding yang terus berputar, ruangan yang mengalir seperti lift itu terus berjalan tanpa henti ke tujuan yang tidak seorang pun tahu. Begitu pula dengan dirinya.
Namun penantian yang sepertinya tanpa akhir itu terputus. Saat seorang tamu laki – laki dengan warna rambut yang biru seperti dominasi ruangan itu terduduk diam di kursi dengan sandaran yang berbentuk seperti sebuah harpa, tak sadarkan diri. Ia tahu apa yang telah dialaminya atau mengapa tamu itu berada di hadapannya saat itu. Tuannya telah memanggilnya. Ia tak pernah tahu tamu seperti apa yang akan memasuki ruangan ini. Tidak pernah. Hanya tuannya yang tahu dan ia tidak pernah peduli untuk menanyakannya. Ia yakin tuannya pun tidak akan menjawab semua pertanyaannya. Tuannya hanya akan berkata, "Kita akan lihat nanti.", ia tahu itu dan ia yakin prediksinya tepat. Penantian ia dan tuannya dalam ruangan itu sudah cukup untuk berinteraksi dalam diam, tanpa kata – kata. Ia memang tidak tahu sudah seberapa lama mereka saling mengenal, tapi ia tidak peduli. Ia tahu akan lebih baik ia tetap berdiri di sampingnya dalam segala takdir yang harus mereka jalani, dengan pemuda laki – laki di hadapan mereka saat ini sebagai pemandu, sekaligus membantunya menyelami sedalam mungkin semua potensi yang dimilikinya.
Semua itu sudah digariskan.
Perjalanan takdir ia dan tuannya dimulai saat pemuda itu terbangun dengan lemah. Ia memperhatikannya dengan seksama, matanya, yang memancarkan segala ketenangan seperti dirinya dalam kepekatan hitam itu memfokuskan pandangannya sesaat pada dirinya. Ia yakin detik pertemuan pertama kali dengannya membuat jantungnya berdetak melawan kekosongan yang selalu ia bawa dan pelihara. Sesuatu yang belum pernah ia alami. Sesuatu yang tidak pernah ia rasakan. Ia tidak tahu tamu seperti apa yang akan datang karena ia tahu akan bertemu dengannya suatu waktu nanti. Kali ini ia tahu, detik pertama setelah ia bertemu dengannya hanya membawa rasa ketidaktahuan yang lebih besar dibandingkan saat penantian yang telah ia lalui. Terhadap dunia, pemuda yang berada di depannya, termasuk ia sendiri.
"Selamat datang di Velvet Room."
.:0:.
Velvet Room
31th March, 2010
Pandangannya menerawang jauh pada semua yang telah ia alami saat di ruangan ini, dengan tuannya, begitu pula dengan pemuda tersebut. Semuanya telah berlalu. Ia sendirian di ruangan itu, dengan buku tebal yang selalu ia bawa di tangan kirinya.
Buku tebal yang selalu dibawanya sudah seperti riwayat hidupnya, dan dia.
'Minato Arisato'
Nama itu terdengar istimewa untuknya, terukir dengan warna keemasaan terpoles pada sampul buku berwarna coklat tersebut. Kumpulan diri pemuda itu yang lain.
Semua hal yang tercantum di dalamnya adalah kekuatan hatinya, personanya. Sesuatu yang menjelaskan mengapa ia dengan tenang menyetujui apa yang ditakdirkan untuknya, baik dengan ataupun tanpa pernyataan di kontrak itu. Pernyataan yang mengikat semua yang terlibat di dalam Velvet Room,
"Aku mengambil jalan yang kupilih ini atas dasar keputusanku sendiri."
Ia mengalihkan pandangannya ke pintu itu. Penantian yang lama telah berakhir. Tidak akan ada lagi tamu yang melangkah masuk. Gerbang lift yang berada di belakangnya telah terbuka lebar, jarum jamnya berhenti, tidak berputar lagi tepat pada perhentian dua belas. Tujuan pemuda tersebut yang telah ia raih dengan hal yang harus ia bayar sebagai konsekuensinya.
Kematian.
Semuanya sudah digariskan. Keberadaannya, tuannya, kedatangan pemuda tersebut ke Velvet Room, berputar dalam lingkup yang saling terkait satu sama lain.
Hal yang tidak ia duga terjadi setelahnya, dengan tetap tidak berada di luar lingkup itu dan seakan ditarik untuk memasukinya, seorang wanita berambut pirang terduduk lesu, dalam kondisi yang sama dengan tamu sebelumnya saat itu.
De ja vu.
Seseorang yang dalam penantian seperti dirinya datang untuk semua pertanyaan yang belum dapat ditemukan jawabannya.
~0~
Velvet Room
31th March, 2010
Elizabeth berdiri dalam diam. Percakapan permulaan adalah hal terpenting yang harus didapatkan untuk seseorang yang baru memasuki ruangan itu. Ia tahu tuannya, Igor, akan mengantisipasinya dengan baik seperti yang telah ia lakukan sebelumnya.
"Semua yang ada dalam Velvet Room ini ditakdirkan untuk mencari jawaban atas pertanyaan terbesar dalam kehidupan, sama seperti tamu kami sebelumnya."
Wanita berambut pirang itu bangkit dari kursinya, terkejut, "Tamu yang sebelumnya, kau kenal dia!?"
Dengan senyum yang tidak menghilang Igor menjawab, "Tentu, dia adalah tamu yang luar biasa. Dia telah berhasil menjawab pertanyaan terbesarnya akan kehidupan."
Jawaban yang ia dapatkan membuatnya berhenti untuk berpikir sejenak. Terlihat dengan jelas bahwa ia sedang diliputi kebingungan dan terlebih lagi, kesedihan, meskipun kekakuan wajah mekaniknya tidak terlalu banyak mengekspresikan semua pikirannya.
"Apakah… bila aku menemukannya… aku akan… mati?" tanyanya dengan lirih. Pandangannya masih tertuju pada lantai lift itu yang kembali bergerak.
Elizabeth terhenyak mendengarkan pertanyaannya. Waktu di sekelilingnya seakan berputar dengan lambat tatkala ia terlarut dalam lamunannya sendiri. Pertanyaan yang masuk akal setelah hal yang sama terjadi dan sekaligus, menjadi sebuah misteri baginya.
Ia pun mempertanyakan hal sama, "Apakah… semua yang mencapai jawaban itu harus… mati?"
~0~
Velvet Room
1st April, 2010
Saat perjalanan takdir yang kedua kalinya itu berakhir, barulah semua bayangan yang menutupi jawaban pertanyaan tersebut terungkap. Tamu mereka yang kedua, seorang robot manusia bernama Aegis, mendapatkan kehidupannya yang baru dengan jawaban yang telah ia temukan.
Ia hidup.
Kekakuan tubuh robotnya memang tidak hilang, tetapi ia lebih dari seorang robot. Ia memiliki emosi dan perasaan layaknya seorang manusia atau tepatnya, seorang wanita. Sesuatu yang tidak mungkin dicapai ilmuwan manapun, sepintar apapun otak yang dimilikinya.
Suatu pencapaian kehidupan yang tidak didapatkan oleh seorang Minato Arisato.
Dan dengan akhir seperti itulah, tirai takdir untuk Elizabeth sebagai asisten Velvet Room selesai. Gerbang lift di belakangnya dengan jarum jam pada perhentian dua belas terbuka, dan pintu Velvet, tertutup rapat, selamanya.
.:0:.
Velvet Room
Unknown Time
Dalam kesendirian di Velvet Room itu Elizabeth kembali memandangi buku yang selalu ia bawa di tangan kirinya.
'Minato Arisato'
Buku itu masih dalam kondisi yang sama. Nama dengan ukiran keemasan tercetak pada sampul buku yang berwarna coklat itu. Takdir kedua yang telah dijalaninya tidak berpengaruh apapun pada nama tersebut. Pemuda itu datang kembali, dalam diri Aegis. Mengunjunginya.
"Mengapa hanya kamu yang harus mengalami ini semua… Minato-san…"
-0-
Velvet Room
31th January, 2010
Benang bercahaya pelangi yang terpancar dan mengelilingi kartu itu menggambarkan lambang Arcana yang terakhir, 'The World'. Aku dan tuanku terkejut akan pencapaian yang telah Minato-san dapatkan.
Tuanku, masih dengan senyumnya yang tidak menghilang melanjutkan tugasnya dalam memandu Minato-san, "Dengan kekuatan ini kamu dapat mengalahkan yang Tidak Terkalahkan. Sebuah Arcana untuk membawa awal yang baru, atau akhir dari segalanya."
Aku menyadari, saat tuanku selesai mengeluarkan kalimat itu jarum jam Velvet Room berputar dengan liar, pertanda bahwa lift ini akan segera berhenti dan menampakan tujuan perjalanannya. Bahwa semuanya, termasuk takdirku dan tuanku pada Minato-san, akan segera berakhir.
"Sebentar lagi kita akan sampai di tujuanmu." kataku menutup perjalanan ini.
Detik kemudian, jarum jam berhenti berputar pada perhentian dua belas. Gerbang lift terbuka dan menyinari Velvet Room dengan cahaya putih pekat. Sebagai asisten Velvet Room, terdapat kepuasan tersendiri saat tamuku mencapai tujuan perjalanannya. Tetapi sebagian diriku yang lain berteriak, bahwa hal ini adalah hal yang tidak seharusnya terjadi, mereka tidak menginginkannya. Jantungku berdetak dengan sangat cepat. Perih.
Aku dan tuanku tahu apa yang menanti di hadapannya, konsekuensi atas jalan yang dipilihnya, dan aku yakin Minato-san juga sudah menyadarinya setiap kali ia menapakkan kakinya ke ruangan ini. Tetapi kenapa? Perasaan apa ini?
Minato-san, masih dengan ketenangan yang tidak tergoyahkan seperti saat ia datang pertama kali ke ruangan ini, bangkit dan berdiri. Kartu 'The World' yang merupakan bagian dirinya yang terakhir, menyerap masuk ke dalam dirinya. Ia memberikan anggukan kecil dan senyuman tulus sebelum melangkahkan kakinya ke balik cahaya itu, "Terima kasih atas bantuan kalian selama ini, Igor-san, Elizabeth-san."
Tuanku mengiringnya pergi dengan kalimat perpisahan, "Sama – sama, anak muda… Aku senang telah mengenalmu, kau benar – benar tamu terbaik yang pernah aku miliki."
Tak ada kata apapun yang terucap dari bibirku, seakan suaraku telah habis seutuhnya. Diriku mematung, masih memandangi kursi yang baru saja Minato-san tinggalkan saat ia berjalan melewatiku.
Ingin sekali aku menarik lengannya saat itu, tidak ingin membiarkannya pergi ke balik cahaya, ke tempat yang tidak mungkin aku raih. Tetapi hingga saat terakhir aku tidak berbuat apapun untuknya. Aku mengurungkan niatku untuk menghentikannya saat teringat pandangan matanya ketika ia berjalan melewatiku. Pandangan yang tertuju pada hal yang tengah ia hadapi di dunianya. Sebuah pandangan yang penuh dengan kemantapan hati, pandangan sama yang ia berikan tatkala aku menantangnya bertarung, dan ia menyanggupinya. Sebuah pandangan yang telah menuntunku pada sebuah jati diri seperti aku menuntunnya sebagai asisten Velvet Room ini.
Kilatan cahaya meredup saat ia telah melangkah ke balik cahaya, kembali ke dunianya. Aku dan tuanku menghabiskan waktu dalam diam. Meskipun tidak mengatakannya, aku tahu tuanku merasa kehilangan atas kepergian Minato-san. Tetapi apapun yang terjadi semuanya sudah ditakdirkan. Minato-san menerimanya, dan aku pun akan melakukan hal yang sama.
Aku menghargai keputusannya saat aku diingatkan pada bunyi kontrak yang mengikat semua yang terlibat dalam Velvet Room ini.
"Elizabeth, duduklah dan tenangkan dirimu." sahut tuanku lembut tanpa mengalihkan pandangannya.
Ia selalu tahu apa yang tidak aku ketahui. Bahkan saat air mataku mengalir deras seperti ini, aku tidak menyadarinya sedikit pun.
-0-
Velvet Room
Unknown Time
Tetesan air mata mengalir dari matanya yang berwarna kuning keemasan. Ia menyekanya dengan segera. Mereka akan datang kemari dan ia tidak ingin ada seorang pun yang melihatnya menangis, khususnya dia. Ia menutup lembaran buku itu, menggenggamnya di tangan kirinya dan menunggu kedatangan mereka.
Sebentar lagi.
"Apa maksudmu!?" teriak seorang wanita, rambut panjangnya yang bergelombang memiliki warna yang sama dengan Elizabeth.
"Seperti yang sudah aku katakan, Margareth nee-san… aku harus pergi, aku ingin membebaskannya." jawab Elizabeth tenang meskipun wanita yang ada di hadapannya, kakaknya, tidak seperti itu.
Igor yang datang bersamaan dengan Margareth, diam dalam posisi yang sama di sofanya. Kedua tangan menopang dagunya selagi ia memperhatikan kakak beradik itu. Ia sudah memperkirakan apa yang terjadi tatkala Elizabeth meminta mereka untuk datang ke tempat ini, Elevator Velvet Room.
Ikatan Elizabeth dengan tamunya, Minato Arisato, begitu kuat. Hal itu terjalin setiap Minato menyanggupi permintaannya untuk menemaninya melihat dunia luar dan itu terjadi tidak hanya sekali atau dua kali. Bukti terakhir mengapa Elizabeth berani mengutarakan keinginannya sendiri dan bukan sebagai asisten Velvet Room, meskipun ia tahu bahwa keputusannya merupakan hal yang tabu untuk dilakukan. Berniat untuk mengubah takdir, meninggalkan kewajibannya dan memutuskan ikatan dengan dunia ini, Velvet Room, untuk selamanya.
Margareth menanggapi keputusan adiknya dengan segala hal logis yang terpikirkan, berharap agar Elizabeth mengurungkan niatnya, "Hanya karena kamu merasa kasihan bukan berarti kamu harus pergi! Minato-san—ia sudah tahu konsekuensinya, ia memilih jalan itu atas kesadarannya sendiri! Kita sebagai penghuni Velvet Room tidak berhak mengubah keputusan yang telah diambilnya!"
Elizabeth memperlihatkan raut muka yang sedih atas pernyataan kakaknya, "Margareth nee-san… kau tidak mengerti…"
Margareth bertanya balik setengah berteriak, "Dan apa 'hal yang tidak aku mengerti' itu, Elizabeth!?"
Elizabeth memandangi karpet Velvet Room yang biru sebelum menatap kakaknya kembali, "Percuma, apapun yang kukatakan Margareth nee-san pasti tidak akan mengerti perasaan yang kurasakan terhadap Minato-san…"
"Kau—"
"Margareth nee-san akan mengerti, bila telah mengalami hal yang sama denganku." Elizabeth memandangnya tajam sebelum kakaknya selesai berkomentar.
"Pergilah, Elizabeth." Igor memberikan izinnya tanpa mempedulikan pendapat Margareth.
Margareth memandang ke arah Igor, terkejut dengan pernyataannya., "Master!?"
Elizabeth tersenyum atas pengertian tuannya itu, "Master, kau selalu tahu apa yang ada dipikiranku. Aku, berterima kasih atas hal itu."
"Lakukanlah apa yang menurutmu benar, Elizabeth. Jangan khawatir, Margareth akan membantuku disini"
"Tunggu, Master, mengapa anda mengizinkan Elizabeth!? Itu hal yang terlarang bagi seorang penghuni Velvet Room ini untuk meninggalkan tugasnya dan ikut campur masalah dunia luar!"
Igor tersenyum, "Kalau begitu semuanya akan baik – baik saja, bukan? Elizabeth bukan lagi asistenku.". Kemudian ia mengalihkan perhatiannya pada adik Margareth, "Aku harap kamu tidak keberatan atas hal ini, Elizabeth?"
Mendengar hal itu Elizabeth menggeleng kecil, "Ini konsekuensi yang harus aku tanggung, karena itu aku tidak akan keberatan.". Senyum kebahagiaan terpancar dari wajahnya, "Terima kasih atas segalanya, Master."
"Akulah yang seharusnya berterima kasih, Elizabeth, selamat jalan."
Elizabeth memandang kakaknya yang beberapa menit lalu hanya terdiam menatap Igor, kemudian bertukar pandang menatapnya. Sorot mata Margareth menyiratkan kebencian dan rasa dikhianati oleh adiknya sendiri, "… Aku tidak ingin melihatmu lagi!"
Pernyataan tajam kakaknya sudah ia perkirakan. Tetapi anehnya hal itu tidak menyakitinya sama sekali. Tidak sesakit penyesalan yang ia simpan terhadap ketidakmampuannya menghentikan kepergian Minato saat itu. Berkebalikan dari nada tidak bersahabat kakaknya, Elizabeth mengucapkan kalimat perpisahan, "Margareth nee-san, maafkan aku… jaga dirimu baik – baik."
Margareth memalingkan mukanya berlawanan dari arah pintu keluar Velvet Room. Menyuruh adiknya pergi sesegera mungkin dari hadapannya.
Elizabeth, dengan buku tebal yang selalu ia bawa, melangkah keluar dari ruangan itu menuju tempat Minato Arisato berada, tidak lagi menengok ke belakang.
.:0:.
The Great Seal
Unknown time
Entah sudah berapa lama ia disini, di ruangan tak berdimensi, di hadapan pintu megah berwarna keemasan yang menjulang tinggi kokoh, sendirian. Segala cara telah ia lakukan, semua pengetahuan yang telah ia dapatkan sebelumnya sebagai asisten Velvet Room sama sekali belum membuahkan hasil. Konsentrasinya terbagi dua karena Erebus selalu menyerangnya.
Erebus, kristalisasi keinginan semua makhluk hidup yang menginginkan kematian, selalu datang dan menyerang tidak ada habisnya. Semua perhatiannya tertuju pada satu — patung yang menjadi pusat dari segel emas itu. Meninju, mencakar, apapun akan ia lakukan untuk meraih Nyx, untuk mengabulkan permohonan terbesarnya — kematian. Tetapi targetnya berubah tatkala kehadiran seseorang yang memiliki kekuatan yang sama untuk kedua kali, mengusik perhatiannya. Ia memfokuskan semua kekuatan yang dimilikinya untuk menjatuhkan wanita itu. Karena ia yakin kali ini usahanya pasti akan berhasil. Satu lawan satu.
Elizabeth melompat ke belakang dengan gesit, keluar dari jangkauan cakar Erebus, menyebabkan makhluk itu semakin menggeram tidak sabar. Segera saja ia mengeluarkan Bufudyne untuk menghentikan gerakan wanita itu namun usahanya lagi – lagi gagal, karena Elizabeth menukar Persona yang sesuai di saat yang tepat, menahan serangan tanpa luka sedikit pun seakan sudah membaca pergerakannya.
"Aku tidak punya waktu untuk hal ini, tikus kecil!" Elizabeth menatap makhluk itu dengan penuh kebencian. Ia tidak ingin membuang tenaga sedikit pun untuk mengalahkannya, prioritasnya hanya membebaskan Minato dari The great Seal, karena itulah Elizabeth hanya terus menghindar dan bertahan. Kesempatannya hanya satu kali. Namun tidak untuk Erebus dan mimpinya.
Andai saja ada hal yang dapat mengalihkan perhatian Erebus sehingga dapat memberikan cukup waktu untuk Elizabeth membebaskan Minato. Apapun itu. Hanya saat ini Elizabeth memohon dengan sungguh – sungguh. Tinggal selangkah lagi, tidak mungkin ia meninggalkan Minato begitu saja. Bila ia lakukan itu berarti ia tidak ada perubahan sama sekali dibandingkan saat terakhir Minato berada di Velvet Room, dimana ia tidak sanggup untuk menghentikannya pergi. Penyesalan yang ia tanggung selama ini sudah cukup berat dan perih, tidak ingin lagi menanggungnya. Cukup satu kali saja.
Langkahnya terhenti saat menyadari salah satu dari kepala Erebus berhasil mensejajari punggungnya dan bersiap menyerang. Detik terakhir sebelum serangan itu mengenainya terucap sebuah kalimat kecil,
"Maafkan aku…"
.:0:.
Author's note: Halo, back with Nana bagi yang sudah baca fanficku sebelumnya. Seperti yang sudah direncanakan akhirnya jadi juga bikin fic yang temanya sedikit berat. Spotlight Minato A. & Ryoji M. itu bukan yaoi ya, ingat… soalnya sasaran spotlightnya mereka berdua sih, bukan love interest.
Tambahan lagi, untuk judul dan permulaan chapter ini ada beberapa bagian yang aku kutip dari lagunya De'e yang albumnya Recto Verso. Lagunya 'Grow A Day Older' dan 'Back to Heaven's Light'. Bagi yang lagi mood dengerin lagu yang mendayu – dayu, lagi bete sama pacar yang boke (?) atau semacamnya, aku sarankan dengerin lagu itu. Entah kenapa '…wah' gitu…
Terakhir karena fic ini akan jadi fic series terpanjang yang pernah aku tulis, maka segala saran, kritik dan kelitikan (?) aku terima lewat review atau PM. Di sini juga bagiannya Q&A, jadi untuk yang mereview bakalan aku beri pengumuman aja kalau cerita ini sudah aku update. Hitung – hitung Say Thanks atas review yang kalian diberikan.
Regards, Iwanishi Nana.
