BLOOD
Main Cast :
Cho Kyuhyun (26 th)
Lee Sungmin (28 th)
Cho Minhyun (5 th)
Choi Siwon (27 th)
Lee Donghae (28 th)
Support Cast : All member of Super Junior, Member of TVXQ, Member of BAP, Member of BTS, Member of SNSD, Member of Red Velvet, Member of f(x), etc.
Other Cast : Untuk nama-nama yang tidak author cantumkan di Support Cast author taruh di bagian ini, oke. Cast ini mungkin akan terus bertambah dan berubah sesuai jalannya cerita. Ya, hanya untuk bagian Other Cast saja yang berubah dan bertambah.
Disclaimer : Semua cast yang ada di dalam cerita milik Tuhan YME, Keluarga mereka dan diri mereka sendiri. Fanfic ini murni milik author. Tercetus dari khayalan aneh author sendiri. Jika ada kesamaan cerita maupun unsur apapun itu. Hanya sebuah ketidaksengajaan.
Genre : Romance, Crime-Action, Blood, Hurt-Comfort.
Theme : Police Kyu, Detective Min, Friendship, Family, M-Preg, etc.
Rate : M
Summary : Mereka bilang cinta itu indah. Dusta! Cinta itu menakutkan, sangat menyakitkan. Terlebih bila hanya tersirat tak mampu terlontar. Bagai tertusuk seribu sembilu tajam. Setangkai mawar putih aku persembahkan untukmu. Sebagai suatu siratan ketulusan cintaku kepadamu.
Warning :BL (BoysLove), berbagai Typo(s) yg menjengkelkan, alur cerita aneh, M-Preg, Update molor, etc.
DONT LIKE! DONT BASH! DONT FLAME! DONT READ!
Happy Reading
BLOOD
Chapter 1
Pada saat jarum jam mengambil alih keheningan di sekitar. Peluh terus berjatuhan dari keningnya. Menetes perlahan melewati garis wajah, terjatuh menyapa borgol besi yang terpaut di sepasang pergelangan tangan. Dia terpaku, mencoba menghentikan waktu. Namun termangu di tempat. Hanya mampu terdiam menunduk, merafalkan sebaris lantunan doa. Mengharap belas kasih Tuhan akan nasib yang akan dia terima sesaat lagi.
Barisan pria paruh baya berbalutkan jubah hitam dengan garis melingkar di kerah leher berwarna merah yang berjajar rapi di depan. Seolah bagaikan barisan malaikat pencabut nyawa yang sedang menunggu jarum jam menyentak posisi mereka. Sorot mata yang teralih kepadanya, menghentikan aliran darahnya. Dia semakin tergugu, bergetar hebat di kursinya. Jari jemari yang saling bertaut, meremas, saling menyapa jari satu ke yang lain.
Mencoba menghantarkan kesadarannya melalui jari yang saling terpaut erat. Dia menahan gemuruh hatinya, menahan semua umpatan marah atas ketidakadilan yang merajam nasib buruknya. Dia sudah cukup terpuruk pada takdir yang enggan memihak keluarganya. Sepanjang usianya yang ke 35 tahun. Dia terus hidup berlindungkan rumah sederhana di pinggir kota. Dihimpit krisis ekonomi, sementara kebutuhan hidup terus berteriak minta dipenuhi. Dia yang hanya seorang tukang angkat barang berbekalkan kekuatan fisik serta ketahanan tubuh dari sinar matahari.
Bersusah payah membanting tulang demi menghidupi ibu, istri dan dua anaknya. Namun, sebaris gerutuan tidak pernah dia lontarkan. Lekuk indah yang setiap pagi membayangi wajahnya, cukup memberitahukan dunia bila dirinya mampu menjalani hidupnya. Mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya serta membahagiakan mereka.
Tentu saja. Sebelum sebuah tragedi naas melenyapkan lekuk indahnya. Bermula dari ajakan seorang teman yang berniat melepaskan dirinya dari kepenatan duniawi sejenak. Si teman mengajak dirinya ke sebuah kedai minuman. Meneguk beberapa gelas sampai pada akhirnya melayang tak sadarkan diri kemudian sempoyongan di pinggir jalan. Kesadarannya teralihkan. Tetapi, dia masih dapat mengendalikan dirinya. Benar, malam itu ponselnya berdering. Seorang majikan yang merangkap menjadi sahabatnya menghubungi dirinya. Berkata melalui telepon, jika wanita itu meminta bantuannya.
Bagaimana kepalanya tidak mengangguk? Saat bayangan beberapa lembar won langsung merayapi otaknya, mengingat anak keduanya tidak dapat lagi menikmati nikmatnya segelas susu sejak dua hari silam. Tentu saja dia tidak akan menyiakan kesempatan itu. Salah satu tangan menumpu tiang listrik, menggelengkan kepala sejenak. Berupaya mengembalikan kesadaran.
Sampai pada pintu rumah si majikan. Bibirnya terbungkam, kepalanya mendadak pening, dan sepasang mata terbuka lebar. Seketika kesadarannya kembali. Malam itu, dia melihatnya. Sebuah kejadian mengerikan yang pernah dirinya temui beberapa kali di layar televisi.
Rasa takut menggerogoti tubuhnya, kakinya melemas hanya mampu terpaku di tempat. Hingga disaat dua polisi menemukan dirinya beserta si majikan yang tergolek lemah di depan pintu rumah si korban. Dia tidak sanggup berucap, setiap lontar kata yang terhembus terdengar gagap. Mengukuhkan prasangka si polisi dan di mulailah ketidakadilan ini.
"Saudara Choi Baek sil." Seruan di depan mengembalikan dirinya dari asal muasal semua kejadian tersebut.
Choi Baek sil menengadahkan kepala, sorot matanya berbayang berusaha melunturkan setiap bukti yang hakim terima. Mencoba menggerakkan hati sang penegak hukum. Dia tidak bersalah, dia bukan seorang pembunuh. Berulangkali berteriak menyerukan semua pembelaannya.
Tetapi, mereka bergeming. Apa yang mereka pandang di tempat kejadian? Menjadi bukti utama yang meleburkan setiap bait pembelaan yang terkecap di lidah. Beginikah nasib seorang rakyat miskin, hanya karena tidak mempunyai uang dan pengacara hebat. Mereka meremehkannya, merendahkannya, mengacuhkannya tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu semua kesaksiannya.
Sungguh kejam. Tautan jemari semakin menguat seiring dengan suara berat yang terlontar berlomba dengan suara detak jarum jam dalam menghancurkan keheningan di ruangan itu.
"Menurut kesaksian yang kami terima. Secara langsung maupun tidak langsung. Anda dinyatakan bersalah. Sesuai dari ketentuan peraturan perundangan serta pasal-pasal yang berlaku di negara ini. Anda saudara Choi Baek sil harus melaksanakan hukuman pidana mati!"
Tiga ketukan palu bergema di sepasang telinganya. Menggema berulang-ulang memenuhi sekujur otaknya. Tanpa sadar bulir air mata melinang membasahi wajah, berbaur dengan keringat dingin yang sejak tadi menyemarakan getar tubuhnya.
Choi Baek sil beranjak dari kursi, bergerak cepat menghampiri meja hakim.
"Tidak! Semua ini tidak benar! Aku tidak bersalah Hakim Jung! Aku tidak bersalah! Aku bukan seorang pembunuh! Aku bukan pembunuh Kim Minrae! Aku bukan pembunuh Kim Minrae! Mohon dengarkan penjelasanku Hakim Jung. Aku mohon! Ini semua tidak benar!"
Choi Baek sil meraung sambil terisak keras di dalam rengkuhan dua polisi yang mencekal sepasang lengannya. Menyeret tubuhnya menjauh dari meja hakim. Seolah tuli dan buta, dua polisi itu tetap sigap menyeret tubuhnya meski isak tangis dari pihak keluarga terdakwa bagai simphoni kematian.
Berdengung menghentikan langkah para penyaksi umum. Mereka berbisik, raut menyedihkan tergambar jelas di masing-masing wajah. Menatap tubuh ringkih seorang wanita paruh baya yang terseok di bawah lantai sambil menjerit histeris dengan pandangan sejuta arti.
"Tidak! Putraku tidak bersalah! Putraku! Choi Baek sil tidak bersalah! Dia bukan seorang pembunuh! Kau salah hakim Jung! Kau salah!"
Wanita itu tetap meraung, memberontak di dalam rengkuhan seorang wanita muda. Istri dari Choi Baek sil. Mereka menangis tersedu menatap kepergian Choi Baek sil yang di seret paksa memasuki mobil polisi.
Suasana mencekam itu ternyata mengambil alih fokus dua pria yang terduduk diam di kursi belakang. Salah satu dari mereka terlihat muram, iris foxy yang berkilat indah kini menggelap. Berkaca dengan umpatan di sela bibirnya.
"Min."
Seorang pria tampan di samping pemilik mata indah berujar pelan, berupaya mengembalikan pasang iris foxy itu ke arahnya. Sebuah pemandangan yang memilukan, hatinya mengintruksi satu lengannya ke samping. Melingkupi tubuh mungil si pemilik mata indah.
"Choi Baek sil tidak bersalah, Hae. Dia bukan pembunuh Kim Minrae. Aku yakin itu."
Suaranya terdengar bergetar, dua lembar kertas yang tergenggam di tangan bergoyang, bergerak kacau mengikuti alunan pergerakan lutut yang menjadi alas. Bibir bawahnya terkulum ke dalam. Mengeratnya, menahan sejumput umpatan kasar yang kian merusuhkan telinga.
Dia tidak berniat menyumpah serapahi hakim Jung, semua manusia pasti pernah berbuat salah. Dan apa yang dilakukan hakim Jung hari ini, hendak dirinya terima meski membebani hatinya. Barangkali pria paruh baya itu sedang dihimpit waktu yang sangat mendesak, sehingga membuatnya lalai tak berniat menganalisis ulang bukti yang dia terima.
Pasti seperti itu. Dan kini tugasnya meluruskan hal yang tidak sepatutnya terjadi di dalam dunia hukum. Ketidakadilan seharusnya tidak lagi tercium aroma maupun bentuknya disini.
Sungmin bangkit dari duduknya, genggaman pada dua lembar kertas terlihat menguat.
"Sungmin."
"Jangan menghalangiku. Aku bukanlah seseorang yang mampu bertahan dengan semua kekonyolan ini lebih dari dua menit, Donghae-ah. Hari ini aku sudah cukup bersabar. Beruntung aku tidak berlari ke sana, menghajar wajah baya hakim Jung," katanya sambil menggertakkan gigi.
Mengomando Donghae untuk tidak menghalangi langkahnya. Seraut wajah kesal yang terlihat di balik surai kelamnya mampu membungkam bibir Donghae. Hanya sebaris desisan samar yang terdengar. Donghae tidak berniat menghalangi.
Sejak tadi, sesungguhnya pria itu hanya ingin menenangkan Sungmin. Dia mengenal Sungmin lebih dari satu hari atau dua hari. Sebetulnya sudah begitu hafal dengan tabiat yang disandangnya. Hanya saja, alih-alih berterus terang. Donghae hendak menjelaskan maksud hatinya melalui sorot matanya.
"Hakim Jung." Sungmin sudah bergerak. Dia menghadang langkah hakim Jung, tepat disaat pria paruh baya itu mendekat nyaris melewati kursi mereka.
Dua lembar kertas yang sejak tadi memenuhi ruang tangannya. Berkibar di depan wajah hakim Jung. Sungmin melempar pandang, menyorot dalam mata hakim Jung menuai lekukan ramah di bibir si pria baya.
"Detektif Lee, aku pikir kau berhenti dari pekerjaanmu usai pernikahanmu 5 tahun silam," ucap hakim Jung basa-basi.
Sungmin bergeming, dia rupanya tidak berniat turut serta ke dalam untaian basa-basi hakim Jung.
"Dimohon untuk menangguhkan vonis anda, hakim Jung. Saya yakin, Choi Baek sil tidak bersalah. Dia bukan pembunuh Kim Minrae. Saya dapat membuktikannya kepada anda."
Terbukti, alih-alih menjawab perkataan hakim Jung dengan nada ramah yang serupa. Sungmin justru bertindak menegaskan setiap suku kata yang terlempar dari celah bibir. Dia malas berbasa-basi, hidup seseorang tengah dipertaruhkan. Bukan waktu yang tepat untuk menarik-ulur waktu.
Hakim Jung tertawa, seperti sudah terbiasa menghadapi tabiat Sungmin. Dia tampak tenang dan tidak terlihat tersinggung. Tangannya bergerak, terulur menerima dua lembar kertas yang baru saja menyapa wajahnya.
"Baiklah." Hakim Jung berseru pasrah sambil menurunkan pandangan. Meneliti tiap detail yang tergambar di dua lembar kertas tersebut. "Aku senang kau masih menjadi seorang detektif. Sangat sulit mencari orang sepertimu, detektif Lee."
Hakim Jung menepuk bahu Sungmin sekilas. "Aku tunggu karya selanjutnya." Suara baya hakim Jung menelusup terhembus bersama iringan langkah sepatu disepanjang lantai marmer putih ruang peradilan.
Sungmin menghela napas panjang kemudian melempar pandang ke arah Donghae. Pria tampan itu menggelengkan kepala, mencoba bertahan dengan wajah datarnya. Lalu, mengulurkan tangan menepuk sisi kepala Sungmin.
"Keras kepala," gumam Donghae sambil melempar pandang ke arah lain. Sungmin mengusap sisi kepalanya, mendengus jengah.
Hati sekilas bergerumuh kesal ketika menerima perlakuan Donghae pada dirinya, jemari lentiknya kemudian terpaut menarik kulit lengan Donghae yang terbaluti jas hitam. Donghae mengaduh pelan setelah menerima tindakan balas dendam dari Sungmin.
"Aku bukan seorang bayi. Berhenti mencemaskanku dengan semua alibi tidak mendasarmu itu."
"Aku hanya menjalankan perintah!" sahut Donghae kesal.
Sungmin melirik Donghae dari sudut mata yang terhalangi bulu mata lentiknya. Bibir mendecih pelan beriringan dengan gerakan jemari yang menarik resleting jaket kulitnya, menguak dua sisinya menampakkan balutan kaos hitam yang begitu kontras dengan kulit putih susunya.
"Tidak perlu mendengarkan perintahnya lagi," ujar Sungmin cuek, lalu mengangkat bahu acuh kembali menyulut amarah Donghae.
"Kau pikir aku ingin. Jika dia bukan atasanku, aku tidak mungkin sudi dijadikan alibi kecemasannya terhadapmu."
"Tenang saja. Aku akan segera membicarakan hal ini kepadanya. Aku jamin, besok kau akan terbebas dari semua tindakan labilnya itu."
Donghae menghela napas panjang kemudian menghentak kaki, melangkah lebih cepat menghadang langkah Sungmin. Mencoba menarik ulur waktu demi meneliti setiap binar indah yang terpancar dari iris foxy Sungmin. Berusaha mengetahui jalan pikiran si pria cantik.
Alis Sungmin berkerut samar. Terdiam menunggu sepatah dua patah kata yang hendak Donghae lempar keluar. Berpikir bila rekan kerjanya ini tengah menyimpan suatu masalah yang membuat hatinya gundah. Sungmin lalu berinisiatif ingin mencoba menjadi teman curhat yang baik. Mendengar setiap keluh kesah yang Donghae lontarkan serta mencari solusi terbaik yang akan membuat hati Donghae menenang.
Begitu pemikiran Sungmin yang jauh melancong dari maksud hati Donghae.
"Kau kenapa? Sama sekali tidak merasakan kecemasan Kepala polisi itu, heum."
Sungmin berdengung tidak mengerti. Kendati menjawab pertanyaan Donghae, hatinya sibuk bergerumuh kesal ketika mendapati sebuah kesimpulan yang melenceng jauh dari pemikirannya. Donghae tidak sedang gundah, kini lelaki tampan itu justru menyudutkan dirinya.
"Sudahlah. Jangan mencampuri urusanku. Biar dia mau mencemaskanku atau tidak. Itu menjadi masalahku dengannya," jawab Sungmin ketus sambil memberengut kesal.
Bibirnya terpout, sepasang pipi halusnya mengelembung. Sebuah sikap kekanakan yang sering tampak dikala dia tengah kesal. Menampakkan diri tanpa dia sadari, Sungmin memang kerap kali tidak menyadari tabiat kekanakannya itu.
Donghae mendesah pasrah merasa percuma berdebat dengan Sungmin. Dia kemudian beringsut melajukan langkah ke mobil hitam yang terparkir di gedung basement Pengadilan lalu memasuki mobil dan memutar kunci hendak menghidupkan mesin.
Sungmin mengendikkan bahu, pria cantik itu melangkah mengekori Donghae kemudian turut serta memasuki mobil. Menyamankan diri di kursi penumpang yang terletak di sisi kemudi.
Selang beberapa detik suara gemuruh mesin menyelubungi keheningan, mobil tampak bergetar samar. Kaki Donghae bergerak menginjak pedal gas usai menarik porsenelin mobil. Mobil yang mereka tumpangi kemudian berjalan pelan menjauhi gedung basement gedung Pengadilan.
BLOOD
Mendadak kehilangan semua tata moral yang selama ini dia junjung tinggi. Sungmin tiba-tiba mendorong kasar pintu ber-frame gelap itu hingga terhempas keras menghantam dinding, menimbulkan debum riuh yang seketika mengejutkan penghuni di dalam.
Pria tampan berbalutkan jas hitam yang terhiasi berbagai atribut kepolisian serta tiga pasang bintang yang terbaris di masing-masing bahu beralih menatap Sungmin dengan kerutan bingung di kening. Salah satu tangannya memegang pena, berbagai map terbuka, berjajar rapi di sepanjang mejanya.
Sungmin menyongsong langkah tegas. Lencana-lencana emas putih dan kuning yang bertabur di beberapa sudut jas hitam si pria tampan berkilat tertempa cahaya matahari yang menyeruak masuk dari celah kaca di dinding atas. Menyadarkan Sungmin akan posisinya di hadapan pria itu.
Sungmin berhenti tepat di depan meja. Dia kemudian menghela napas panjang, map bening yang sejak tadi dia genggam di tangan kanan. Tiba-tiba terhentak kasar ke meja, membayangi wajah si Kepala polisi dengan ayunan angin yang membelai kulit wajahnya.
Dia meletakkan pena di samping lengan lalu menautkan jemari. Sepasang lengan tertekuk bertumpu di meja kemudian melekukkan seulas senyum ramah. Sepertinya si Kepala polisi mampu mengartikan roman samar yang terulas di wajah Sungmin.
Bagaimana sepasang pipi halus Sungmin merona? Bagaimana sorot tajam iris foxy Sungmin menyorot wajahnya? Dan bagaimana gerak dada yang bertalu sedikit cepat, menarik napas dalam mengimbangi gemuruh kesalnya. Lebih dari cukup memberitahukan dirinya tentang kondisi emosi sang pujaan hati saat ini.
"Bagaimana?" tanya Kyuhyun tenang.
Seolah memahami roman muram yang terlukis di seraut wajah indah Sungmin. Kyuhyun berupaya menahan setiap suku kata yang ingin dia lempar keluar. Tidak hanya barisan kalimat yang dia pertimbangkan, namun tinggi-rendah nada suaranya turut menjadi pertimbangannya.
Dia hanya tidak ingin menyulut emosi Sungmin lebih dalam lagi.
Sungmin menurunkan pandangan, menatap lekat lembar map bening yang terbuka karena hempasannya.
"Choi Baek sil dijatuhi hukuman pidana mati." hela Sungmin kecewa.
Suaranya bergetar, begitu mencolok, memberitahukan kepada Kyuhyun bila dirinya tidak menyetujui keputusan hakim Jung. Sungmin sengaja mengeluh hendak memprovokasi Kyuhyun. Barangkali berhasil dan Kyuhyun pada akhirnya bersedia berpijak di belakang tubuhnya turut mendukung pemikirannya.
"Aku pikir masih ada waktu 5 bulan untuk mengganti vonis pidana mati itu."
Kyuhyun meraih map bening yang tadi dilempar Sungmin ke meja. Menggerakkan jemari di atas lembar kertas, membuka tiap lembar kertas secara bertahap. Pinggul Sungmin menyentuh sisi meja, sama sekali tidak berniat menyamankan pantat di kursi kosong yang terletak di samping tubuhnya.
Turut melempar pandang ke arah lembar map bening, mengikuti gerak jemari Kyuhyun. Beberapa foto jasad Kim Minrae bertabur jelas di kertas putih membayangi mata Sungmin. Dapat dia lihat, bagaimana sepasang tangan itu terpotong kasar dan terlepas dari tubuhnya.
Bagaimana setiap organ tubuh seperti, otak, mata, hati dan jantung berhambur keluar saling berjauhan. Serta, bagaimana ukiran sebaris kalimat melintang di sepanjang dada beserta setangkai bunga Mawar putih yang ikut serta menghiasi tubuh yang telah bersimbahkan darah itu.
'Mawar putih tak bernoda. Dan aku akan melenyapkan siapapun yang berani menodai milikku'
Begitu kalimat yang tertera di dalam pekatnya darah di sepanjang dada korban.
"Seharusnya kau tidak ikut campur."
Suara Sungmin tiba-tiba mengacaukan keheningan yang sekejap tercipta di antara mereka. Kyuhyun sontak mendongak, menatap dalam wajah Sungmin.
"Ikut campur," ulang Kyuhyun sambil mengeryitkan kening.
Kyuhyun menghentikan gerakan jarinya. Semakin menyorotkan pandangannya ke Sungmin, berusaha mencerna setiap gurat wajah yang samar berubah. Seketika otaknya dirundung perasaan bingung, lontaran kalimat Sungmin mengandung beribu arti.
Dimana letak 'seharusnya kau tidak ikut campur' bila pada dasarnya identitas dirinya diharuskan ikut terlibat ke dalam permasalahan ini. Tentu saja. Kyuhyun harus ikut campur. Tubuhnya bergerak, mencondong ke depan kemudian menumpu dagu dengan tangan kanan. Rupanya, istrinya berniat kembali memulai percekcokan familiar dengannya.
"Andai saja kau tidak membatasi ruang gerakku dengan memberikan perintah labilmu itu kepada Donghae. Mungkin saat ini Choi Baek sil_."
"Sayang..." Seakan mengerti kemana arah alur perkataan sang istri selanjutnya Kyuhyun kemudian bergegas memotong lontaran kalimat bernada tinggi itu. Kyuhyun yakin, saat ini Sungmin ingin sekali membentak dan memaki dirinya.
"Kau tentunya sudah mengetahui alasanku."
Tiba-tiba Sungmin berbalik dan menggebrak keras meja Kyuhyun. Menghiraukan denyut sakit serta guratan merah samar yang membayangi telapak tangannya. Sungmin kemudian berucap,
"..aku bukan seorang bayi, Cho Kyuhyun! Berhenti bertingkah konyol!" deru napas Sungmin terdengar jelas bersahutan, beriringan dengan suara ketuk sepatu Kyuhyun di bawah meja.
"Aku tidak bertingkah konyol. Aku hanya mencemaskanmu," jawab Kyuhyun tenang.
Terlalu sering menangani sikap keras kepala Sungmin yang acap kali terhempas keluar manakala keinginannya di tentang membuat benteng kesabaran Kyuhyun kian menebal. Alih-alih melontarkan nada yang sama tinggi, Kyuhyun justru menyurut. Melontarkan nada rendah bersama seulas senyum menawan di bibir.
Pada akhirnya napas tersenggal Sungmin terhenti ketika menerima sikap tabah suaminya. Dia merunduk menyembunyikan rona malu yang tersebar di sepasang pipi halusnya. Namun, kuasa hatinya tidak menyurut barang seteguk. Sungmin tetap berdiri kokoh menentang tingkah Kyuhyun yang selalu mencoba membatasi ruang geraknya.
"Ayolah, aku tidak sedang sakit parah atau mengidap penyakit mematikan. Untuk apa kau begitu mengkhawatirkanku? Bila kenyataannya kau mengetahui ketangkasanku dalam ilmu bela diri serta kemahiranku dalam memainkan senjata api."
"Dulu, sayang. Sebelum kau melahirkan Minhyun. Aku masih dapat menekan rasa cemasku. Tapi, maaf. Tidak untuk sekarang."
Sungmin mengumpat lirih, suara gertakan gigi bergerumuh di dalam mulut. Dia kemudian kembali melayangkan pukulan ke meja. "Sebenarnya apa yang kau cemaskan?! Kau tahu aku baik-baik saja."
"Minhyun."
"Minhyun?"
Sungmin menekan kening. Perkataan Kyuhyun penuh dengan teka-teki, tidak mengerti kemana arah pembicaraan ini. Sungmin memutuskan bungkam, menunggu kelanjutan kalimat dari bibir Kyuhyun.
"Kau tahu dengan jelas, bagaimana Minhyun sangat bergantung kepadamu, sayang."
"Tentu saja. Aku ibunya," cibir Sungmin cepat dengan geraman tertahan.
Kyuhyun tersenyum. Dia menyandarkan punggung ke badan kursi. Meneliti lekuk tubuh istrinya. Perawakan yang cukup feminim untuk ukuran seorang pria. Memiliki rambut legam halus menyentuh leher, sepasang iris foxy membulat jernih, bibir mungil berbentuk shape M berwarna peach, kulit halus seputih susu, bulu mata yang terbalik indah, serta jari jemari putih meruncing lentik.
Kyuhyun terkadang mengerut heran saat mengingat profesi yang tengah dilakoni istrinya saat ini. Tentunya, tidak jarang satu gores, tiga gores, hingga sepuluh goresan luka mengotori kulit cantik Sungmin. Tapi, mengapa? Setiap dia menyentuh kulit halus itu, satupun bercak nista tidak Kyuhyun temui disana.
Kecuali setelah dirinya menyelesaikan tugasnya. Tentu saja, berbagai bercak merah keunguan yang berasal dari belah bibirnya akan selalu menyelubungi tubuh Sungmin, nyaris di berbagai lekuk tubuh Sungmin.
Jemari Kyuhyun mengetuk meja dengan gerakan konstan. "Seharusnya kau berhenti dari pekerjaanmu, sayang," pesan Kyuhyun begitu berhasil menyadarkan diri dari larutan pesona Sungmin.
Sungmin menyilangkan tangan di dada. Kendati mendengus kasar, dia memilih terkekeh ringan. Sebuah pertanda untuk Kyuhyun, jika dirinya tengah menahan gejolak emosi yang meradang di hati. Kyuhyun mengetahuinya, tetapi menahan diri untuk sejenak berpura tidak tahu apapun.
"Aku tahu kau brengsek. Sangat brengsek. Karena kau sudah membuatku seperti ini. Memaksaku menikah denganmu dan membuatku menjadi pria aneh. Dapat mengandung serta melahirkan. Namun, aku tidak menyesal. Sebab, aku mencintaimu dan Minhyun. Tapi tidak untuk yang satu ini. Meskipun kau berlutut di depanku, memohon untuk berhenti dari tugasku sekarang. Aku tidak peduli."
"Ternyata dugaanku benar."
Kepala Kyuhyun mengangguk-angguk seakan membenarkan setiap lontaran bernada tinggi yang tercelos dari bibir Sungmin. Pria cantik itu menahan napas, berusaha mengubur dalam niatan kepalan tangan yang hendak memberontak melayang ke wajah Kyuhyun. Untuk saat ini, dia harus bisa menguasai emosinya.
Tidak ingin semakin memperkeruh suasana, tangan kanan Kyuhyun tiba-tiba terulur ke depan. Bergerak meraih tubuh Sungmin, kemudian menempatkannya ke dalam pangkuannya.
Sungmin memberontak, tentu saja. Dia sedang kesal dan ingin segera melangkah pergi menemui putri tercintanya. Dengan begitu kemungkinan munculnya kerutan samar di kening karena terlalu sering memendam amarah sejenak dapat Sungmin tangguhkan.
Dia tidak ingin menjadi tua, meskipun umurnya semakin matang, 28 tahun. Tetapi, dia masih ingin terus berwajah muda, sampai dimana Minhyun mampu menjaga dirinya sendiri.
Sementara Kyuhyun tengah menyibukkan diri dalam usaha mencekal semua pergerakan tangan Sungmin. Wajahnya terdorong mendekat, menyekat jarak di antara mereka hendak mencari titik lemah Sungmin yang mampu membungkam pria cantik itu dalam sekejap.
Cukup mudah baginya melumpuhkan pertahanan Sungmin. Kini bibirnya telah mendapatkan mangsanya. Bagaikan seekor oasis yang terjebak di gurun tandus dengan rasa haus yang membakar kerongkongan, binatang melata itu akan langsung meraup habis seteguk air minum yang terpampang di mata. Begitu pula dengan Kyuhyun.
Sungmin bergerak gelisah di atas pangkuan Kyuhyun. Pergerakan Kyuhyun kian dalam, meraup habis yang terkecap dengung samar beserta pukulan protes Sungmin lemparkan. Barangkali Kyuhyun bersedia menghentikan tindak asusilanya. Dia mencoba menarik kerah Kyuhyun yang berakhir dengan desisan samar ketika Kyuhyun menyapa lidahnya.
Menyentuh, menyapa dan mengajaknya bermain. Sebuah gerakan oral setan yang memabukkan jiwa serta semakin termangu di pangkuan Kyuhyun. Tidak ada lagi umpatan atau pukulan maupun berontakan kasar yang terlempar menggebu seperti tadi. Kini dirinya sepenuhnya terjatuh ke dalam pelukan Kyuhyun. Jemari lentiknya mengerat jas hitam Kyuhyun, membuat kerutan-kerutan melintang di sepanjang jas yang tergenggam tangan.
Suara kecipak basah, menistakan telinga bersih anak-anak di bawah umur. Tidak patut memandang adegan intim di depan, meski hanya sekadar sebuah adegan bercumbu bibir.
Kyuhyun menghisap kuat lidah Sungmin sebelum melepas tautan bibir mereka. Meninggalkan bercak saliva di sepanjang bibir Sungmin yang membengkak serta merona merah. Geram tertahan akan kenikmatan di depan mata, mencoba mengaburkan akal sehat Kyuhyun.
Menyemukan keadaan sekitar. Sedikit berhasil ketika Kyuhyun tergoda ingin mencecap kembali nikmatnya bibir mungil itu sebelum Sungmin menyentakkan kepala ke belakang. Napasnya memburu, sepasang rona merah menyelimuti pipi halus Sungmin.
"Aku harus bergegas menjemput Minhyun," sela Sungmin menghancurkan kerutan emosi di kening Kyuhyun akibat penolakan Sungmin. Pria tampan itu beralih, mengecup lembut kening sang istri.
"Aku antar."
"Tidak perlu," tukas Sungmin sambil bangkit dari pangkuan Kyuhyun.
"Lebih baik kau selesaikan berkas-berkasmu yang kian menumpuk itu." Sungmin mengalihkan fokus Kyuhyun. Setumpuk map di sisi kanan meja menuai umpatan samar di bibir Kyuhyun.
Kyuhyun memutuskan untuk tidak mempedulikan tumpukan map itu. Keinginannya pergi bersama Sungmin dan Minhyun jauh lebih membumbung tinggi daripada lambaian jemu sang map bertumpuk. Kyuhyun bangkit dari kursi, mencekal pergelangan tangan Sungmin.
"Tidak, sayang. Kita pergi bersama ke sekolah Minhyun. Aku ingin makan siang bersama kalian."
Tiga ketukan di pintu menahan suara Sungmin. Dia terpaksa menelan kembali alibinya. Wajah mereka berpaling menatap pintu ruangan Kyuhyun, bayang tubuh seseorang tampak di balik pintu.
"Masuk!" titah Kyuhyun sambil menatap lekat wajah Sungmin.
Rupanya pria cantik itu hendak melarikan diri saat dia mendapati seorang tamu. Tentu Kyuhyun tidak akan mengabulkan permintaan istrinya semudah itu dan mengeratkan genggaman adalah pilihan yang paling bijak.
Seorang pria tampan berbalutkan jas hitam dengan kilauan lencana di sisi kanan jas hitamnya, sejenak terpaku di ambang pintu. Iris tajamnya bergerak resah, merasa segan dengan pemandangan yang membayangi mata. Kendati melangkah maju demi menyerahkan sebuah berkas penting yang tergenggam di sepasang tangan ke meja Kyuhyun.
Pria tampan itu menunduk dalam meminta maaf. Langkah kaki terangkat terdorong ke belakang berniat melangkah pergi sebelum suara Kyuhyun mendorong tubuhnya mendekat.
"Aku pikir kau hendak menyerahkan berkas itu kepadaku, Choi Siwon."
Seolah mengerti atas kerisauan hati wakilnya, Kyuhyun kemudian bergegas menarik niat awal Siwon mengunjungi ruangannya dengan kalimat sindirannya. Siwon menunduk hormat. Sepasang irisnya mengedar, menatap Sungmin sekilas.
Sementara Sungmin berpura menyibukkan diri dengan ponselnya. Mengelabuhi Siwon agar tidak memandang rona malu yang terbias di sepanjang garis wajahnya.
Siwon menyembunyikan senyum, sahabat baiknya itu sesungguhnya tidak mampu berkelit darinya. Mengacuhkan Sungmin sejenak, dia beralih menyodorkan map cokelat ke tangan Kyuhyun.
"Hasil interogasi Choi Baek sil, sir," kata Siwon memperjelas begitu mendapati alis si Kepala polisi berkerut penuh tanya.
Mendengar nama yang cukup membuat emosinya naik-turun bak stavol listrik beberapa hari ini. Sungmin segera merampas map cokelat itu dari tangan Kyuhyun. Sekali lagi mengabaikan tata sopan santun, Sungmin menghentak tangan kiri yang tergenggam di tangan Kyuhyun. Kemudian menyibukkan diri pada lembar-lembar kertas yang terguratkan berbagai baris huruf hangul penuh makna.
"Izinkan aku untuk membawa berkas ini," pinta Sungmin setelah membalik acak lembar demi lembar kertas putih itu.
"Aku membutuhkannya," lanjutnya.
Mata Kyuhyun berkedip dua kali. Dia meraih pinggang Sungmin lalu mengusapnya pelan. Tindakan Kyuhyun tak luput dari penglihatan Siwon. Seulas senyum lembut kemudian terukir di sudut bibir Siwon.
Sungmin menoleh, menatap Kyuhyun dari samping. "Bagaimana?" desak Sungmin begitu tidak mendengar sepatah katapun dari bibir Kyuhyun. "Dengan satu syarat," goda Kyuhyun yang seketika membuat Sungmin jengkel.
"Ayolah." Sungmin merengek. Dia tidak peduli dengan dengusan jenaka dari Siwon. Sungmin menghiraukannya, sebab pada dasarnya mereka berteman baik. Bahkan kerap kali dirinya juga merengek kepada Siwon.
Setidaknya bukan lagi sebuah tontonan aneh bagi dua pria tampan yang berdiri tegak di masing-masing tubuhnya ini. Kyuhyun tertawa, tangannya terulur meraih puncak kepala Sungmin. Mengusap gumpalan halus Sungmin dengan gemas. Tiba-tiba mendekatkan wajah lalu mengecup kilat bibir Sungmin.
"Baiklah. Kau menang, sayang." Gerakan alamiahnya menyerebak ke permukaan.
Sungmin melonjak senang, segera merengkuh leher Kyuhyun kemudian membawa tubuh tinggi suaminya melingkupi tubuh standartnya. Siwon terkekeh, menggeleng pelan melihat romansa manis yang terjadi di hadapan matanya.
"Terima kasih." Lekuk Sungmin terulas lebar. Menampilkan dereran gigi putihnya. Suara dehem dari Siwon cukup menghentikan Sungmin dari tingkah tak terduganya.
Dia menjauhkan tubuh, mengusap tengkuk malu sambil sesekali melirik Siwon dari balik bulu mata lentiknya. Tidak mampu menahan gelitikan perut yang kian mendesak, Siwon pada akhirnya tertawa keras.
"Oh, maafkan aku Kyuhyun. Istrimu sungguh menggelikan," gurau Siwon usai mengusap setitik air di sudut mata.
Sungmin memutar bola mata kesal. Tiba-tiba map cokelat melayang ke atas kepala Siwon, menyapa puncak kepalanya dengan gerakan cukup tragis.
"Jangan menertawakanku. Cukup sekali bila kau masih ingin berdiri kokoh di hadapanku." Ancam Sungmin sadis.
Siwon terdiam. Satu, dua deheman kerap terdengar. Rupanya dia masih berupaya menahan gejolak tawanya. Menimbulkan dua pukulan kesal melayang merajam lengan kekarnya. Kyuhyun hanya menggelengkan kepala, tidak berniat melerai justru memandang penuh minat pertengkaran antar sahabat itu.
Tanpa sengaja iris orbsnya menatap arloji yang terpaut di selingkar tangan kiri. Kemudian bergegas meraih lengan Sungmin, membawa tubuh sang istri mendekat ke tubuhnya. Lengannya terulur, melingkupi bahu Sungmin.
"Aish. Apa ini?! Lepaskan aku! Aku masih ingin merajam tubuhnya." Sungmin memberontak. Menghentak lengan Kyuhyun, berusaha melepaskan diri dari kungkungan si Kepala polisi.
Siwon mengambil langkah mundur. Sepasang tangannya terangkat di sisi kepala ketika mendapati seruan Kyuhyun melalui sorot tajam atasannya. Mengintruksi dirinya untuk berhenti.
"Sayang, sudah waktunya menjemput Minhyun," cegah Kyuhyun begitu melihat Sungmin masih bersikukuh meraih tubuh Siwon.
Mendengar nama putri tercinta terlafal dari bibir Kyuhyun, mendadak semua keganasannya akan tubuh Siwon terhenti. Dia segera menarik tangan, menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Sesaat menepuk kening keras setelahnya meraih tangan Kyuhyun lalu melangkah pergi dari sana.
Setelah sebelumnya memaki Siwon sekali lagi, membuahkan satu gelengan maklum dari si sahabat."Dasar, tidak berubah sama sekali," gumam Siwon sambil berlalu lenggang dari ruangan Kyuhyun, menyisakan kehampaan dengan sejuta siasat tak terbaca.
BLOOD
Kyuhyun senantiasa melekukkan bibir, sesekali dia berdehem pelan menghentikan pergerakan bibir Sungmin dari seruan lontaran kata tidak pantas. Barangkali Sungmin bersedia mengartikan suara dehem yang kerap kali Kyuhyun layangkan demi mengusik kesibukan Sungmin dalam mengumpat, Kyuhyun terus melanjutkan niatnya.
"Sesuatu telah menyangkut tenggorokanmu," ketus Sungmin akhirnya setelah sekian lama menahan buncahan jengah akibat tingkah aneh Kyuhyun.
Mendengar nada suara yang terkesan jauh dari kata ramah, Kyuhyun melempar pandang. Menyorot dalam sepasang iris foxy yang menatap datar ke arahnya.
"Sayang, butuh berapa umpatan lagi di setiap langkah menuju mobil, heum?" tanya Kyuhyun menafsirkan.
Roman wajahnya tampak sedang berpikir. Mengerutkan kening sambil menyipitkan mata. Sungmin memberengut, raut wajah Kyuhyun secara tidak langsung meledek dirinya. Merasa tidak tahan dengan sikap Kyuhyun, jemari Sungmin teralih. Mencubit kulit lengan Kyuhyun dari balik jas hitam.
"Aw, sayang. Mengapa tiba-tiba mencubitku?" Kyuhyun mengusap lengan kirinya sambil menatap Sungmin heran.
Sungmin mendengus keras. "Kau brengsek," umpat Sungmin tanpa tandang alih.
"Aku hanya menyadarkanmu. Tidak baik mengumpat di sepanjang jalan, sayang. Lagipula Choi Siwon itu sahabat baikmu. Mengapa mengumpatinya sebegitu kesal sementara dia hanya menertawakanmu?"
"Dia meledekku. Ayolah, kenapa kau malah membelanya? Jangan bilang jika kau berbalik menyukainya."
Kyuhyun seketika berbalik, menghadang langkah Sungmin. Dia merunduk, menyamakan wajahnya dengan wajah Sungmin kemudian menatap lekat iris kembar sang pria cantik yang telah resmi terikat dengannya sejak 5 tahun silam.
"Coba ulangi perkataanmu, sayang."
Sungmin tergagap, sepasang bola mata bergerak acak. Terlempar ke berbagai arah. Rupanya dia tengah berusaha menghindari tatapan lekat Kyuhyun. Bibirnya bergolak cepat, melantunkan sebaris kalimat aneh begitu saja tanpa pertimbangan.
Otaknya berputar rumit, sementara hatinya dirundung perasaan gundah. Dia pula tidak tahu, mengapa melontarkan kalimat seperti itu. Andai saja nada suaranya bersahabat, mungkin saja tidak akan setegang ini.
Sungmin menelan ludah berat, bagai tenggorokan tersumbat barang sebesar batu berlian. Menyulitkan pergerakan sebulir air liur yang hendak melesat, mengaliri tenggorokan.
"A-apa? Perkataan apa?" jawab Sungmin gugup.
Keringat dingin membaluri kening halus Sungmin. Poni legam yang melintang miring menutupi kening sedikit basah karena menyerap bulir keringat yang tanpa diminta turut menyemarakan gemuruh hati Sungmin.
Kyuhyun melekukkan senyum, dia mengulurkan tangan, kemudian mengusap kening Sungmin secara perlahan usai menguak helaian legam Sungmin ke atas. Sebaris kening putih dan halus tanpa cela terbayang di mata Kyuhyun. Tiba-tiba Kyuhyun mencondongkan wajah, mengecup kening Sungmin.
"Pemilihan kata yang salah, sayang. Lain kali pertimbangkan dulu kalimatmu sebelum berucap. Terlebih saat kau menyadari kenyataan yang ada. Bagaimana mungkin aku meninggalkan makhluk seindah ini demi seorang pria macam Choi Siwon, heum. Oh, andai kau tahu. Bahwa aku menjadi seorang gay karena dirimu."
Jemari Kyuhyun merapikan poni Sungmin. Lekuk senyum di wajah senantiasa terbentang di sepanjang garis bibir. Memberitahukan kepada Sungmn bila setiap kata yang terucap bukan hanya sekadar bualan semata atau sebuah kalimat rayuan picisan yang kerap terdengar di sepasang kekasih anak senior high school zaman sekarang.
Tentu saja. Mengingat Cho Kyuhyun bukan seorang pria yang pandai dalam bermain kata indah. Menurutnya, itu membuang waktu. Daripada menghabiskan waktu dengan sebaris, dua baris kalimat picisan yang belum tentu benar keberadaannya di dalam hati.
Lebih baik serentak melontarkan isi hatinya kepada sang pujaan hati. Meskipun terkesan frontal dan terburu-buru. Kyuhyun tidak peduli. Memang dirinya sempat mempelajari sebait kata roman picisan itu, barangkali sesekali Sungmin menginginkan dirinya bertindak layaknya pasangan anak senior high school.
Tapi, belum sampai jarum jam bergerak ke menit 10. Dia terlebih dulu menghempaskan niatnya ke jurang. Mengubur dalam semua ilmu yang baru saja dia dapat ke dalam lembah tak terlihat. Mendadak begitu membenci, ketika mendapati dirinya sempat kehilangan jati diri.
Hingga pada akhirnya Cho Kyuhyun menyatakan kepada dunia, jika dirinya menyerah mempelajari sebait kalimat roman picisan di menit ke 10. Dirinya menyerah sebelum jam berputar semakin jauh, terbilang hanya 10 menit dia mampu mempertahankan diri mempelajari semua kata-kata indah terkutuk itu.
Sementara Sungmin lebih dari paham akan tabiat Kyuhyun. Sesungguhnya, dirinya pun tidak pernah meminta Kyuhyun bertingkah macam pasangan senior high school mengingat berapa umur mereka saat itu. Meski di tahun pertama mereka saling mengenal sampai menjalin hubungan ke jenjang yang lebih serius, Sungmin tidak pernah meminta hal-hal aneh.
Cukup dengan tindakan serta kalimat jujur dari hati. Sungmin dapat dilumpuhkan, terlebih bila dirinya pula merasa nyaman. Terbilang singkat memang, hanya berjarak satu minggu dari pertemuan pertama mereka. Sampai saat dimana Kyuhyun melontarkan perasaannya.
Sungmin tersentak pelan saat sekilas bayang semu seseorang terpantul dari badan mobil hitam yang terparkir di samping mereka. Kalimat yang hendak dia lontarkan kepada Kyuhyun tertahan begitu saja ketika mendapati samar bayang seseorang setengah mencondongkan tubuh keluar dari kaca mobil.
Iris foxynya melebar, membulat dengan gemuruh hati yang spontan menyentak gerakan tubuhnya. Sebuah peluru melesat bersama kilasan angin mengenai lengan atas kanannya begitu Sungmin dengan cepat menarik tubuh Kyuhyun. Berganti posisi ke kiri, di mana posisi Kyuhyun sebelumnya.
Mendapati kekeliruan dalam membidik target. Si pria misterius segera menenggelamkan setengah tubuh yang condong keluar ke dalam mobil. Suara pedal gas yang di injak panik menderu bising menyentak gertakan Kyuhyun.
"Brengsek!"
Kyuhyun mengumpat geram. Orbs tajamnya menatap lekat barisan plat nomor di bibir mobil, mengingat dengan cepat sambil menahan tubuh Sungmin yang terhuyung jatuh. Gurat kepanikan melanda wajah Kyuhyun.
"Sayang, bertahanlah. Jangan pingsan, aku mohon. Sayang." Kyuhyun berseru cemas sambil menekan lengan Sungmin. Berusaha menahan laju darah yang merembes keluar dari balik jaket kulit Sungmin.
Roman wajahnya tampak kacau, berimbang dengan binar geram di sepasang mata. Turut menyalahkan kelalaiannya. Andai saja dia lebih dulu menyadari kondisi sekitar, Sungmin tidak akan terluka seperti ini.
Kejadiannya memang cukup cepat, namun sebuah cctv di sudut atap basement cukup menahan gemuruh hati Kyuhyun. Tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi yang turut membahayakan kondisi istrinya. Kyuhyun segera memboyong tubuh Sungmin di sepasang lengannya. Bejalan cepat ke arah barisan mobil.
"Aku mohon bertahanlah." Suara Kyuhyun terdengar bergetar.
Dalam desisan perih menahan sayatan peluru, Sungmin sekilas melekukkan senyum. Kelopak mata yang terbuka sayu, samar menatap raut gusar Kyuhyun dari samping.
"Tenanglah. Aku baik-baik saja."
Meskipun terdengar lirih, Sungmin mencoba membuat nada semangat. Melihat getar samar di tangan Kyuhyun saat memutar stir kemudi cukup membuat Sungmin mengerti akan kecemasan yang melanda suaminya. Sungmin acap kali membuka bibir, berniat melontarkan sebait kalimat menenangkan meski hanya desisan pedih yang dia dentangkan.
"Sudah. Berhenti bicara," titah Kyuhyun sayup-sayup.
Yang dia tahu sebelum terlelap, Kyuhyun tampak menambah kecepatan mobilnya. Membelah acak barisan mobil tanpa mempedulikan keselamatan serta posisinya sebagai pengadil kacau hanya untuk sekadar berpikir bijak. Kyuhyun memang kerap kali lepas kendali bila menyangkut kondisi keluarganya.
BLOOD
"Gyeongju."
"Ya, Gyeongju, provinsi Gyeongsang utara."
Suara ketikan samar turut menyapa di gendang ponsel.
"Sekitar 5 km dari laut timur. Sebuah bangunan hanok dengan ukuran minimalis. Menghadap ke arah barat, membelakangi pohon oak."
Penjelasan terakhir dari seseorang di line ponsel membuahkan satu lekuk penuh arti. Ibu jari menyentuh layar ponsel, menggelapkan sinar ponsel yang sejenak menerpa wajah berlindungkan masker hitam.
Sebaris mata bergerak cepat menatap keheningan di luar kaca mobil. Dia memutar kunci, mobil hitamnya berderu, bergerak samar. Seutas kalimat terlontar sebelum kaki kanan mendorong pedal gas.
"Tidak akan aku ampuni. Siapapun yang berani melukai milikku. Dia harus lenyap."
TBC
Yooo….BLOOD kembali aku publish…Ciahh…hehe
Setelah aku timbun beberapa bulan..eh tahun mungkin ya #plak
Tiba-tiba aku dapat ilham untuk kembali melanjutkannya di tengah-tengah hutang FF yang kian menumpuk..kekeke
Okee…okeee…maaf jika updatenya ngaret banget neee…
Heum…ya udah kalo gitu….RnR neee
Saranghae
Muach
