Disclaimer :

Shingeki No Kyojin Hajime Isayama

All characters belongs to Hajime Isayama.

Warning :

Typo(s), semicanon, chapter 113 – 114, etc


[Memoar Singkat]


Rintik hujan berubah menderas. Membasahi tanah, membasahi bumi.

Menghapus jejak air mata lelahnya.

Derap langkah kuda-kuda menemani suara air yang menghantam bumi. Menemani sendirinya bersama pikiran-pikiran.

Ia masih terbayang, dan terus terbayang, wajah-wajah rekannya yang terpaksa Ia habisi demi sebuah tujuan. Perasaan berdosa menyusup hatinya. Ia merasa amat bersalah, terlebih Ia belum bisa membunuh sang biang kerok demi tujuan yang ingin Ia maki sebanyak mungkin.

Air langit terus membasahi, membuat kuyup pada tubuhnya. Jubah berlambang tempat Ia mengabdi tak sanggup menahan banyaknya air yang terserap kain.

Ia masih menahan rintihan perih, sambil mengatur derap kedua kuda yang membawanya.

Kehilangan.

Ya, Ia kehilangan lagi.

Kehilangan anak buahnya, yang Ia sendiri baru merasa amat akrab dengan mereka sejak tugas mengawasi pemilik titan kera.

Ia teramat lelah. Jiwanya terlalu lelah.

Lagi dan lagi, dan akan terus begitu, Ia harus melihat kematian rekan dan anak buahnya.

Hal yang Ia benci.

Menyakitkan.

Bahkan dengan segala usaha dan perjuangannya selama ini, Ia tidak bisa menyelamatkan mereka. Dan tak bisa menyelamatkan jiwanya dari kesedihan.

Hujan menderas. Seakan semesta ikut merasakan kesedihannya. Menumpahkan segala sesak, mengalirkan segala sembilu.

Dan hujan, hujan selalu menjadi teman yang datang menambah suasana sedihnya.

Kelabu, pekat, tak ceria.

Seperti dirinya.

Seperti Hanji, kini.

.

.

.

Ah, Hanji.

Ia kehilangan musim semi pada diri Hanji. Sampai Ia lupa rasanya muak mendengar tawa cerianya yang menggelegar.


Di belakangnya, sosok yang ingin Ia bunuh mengigau. Mengucap kalimat-kalimat terputus yang Ia tak terlalu paham.

Tapi, Ia tahu bahwa sosok itu ternyata juga menyimpan pedih hidup.

Sosok itu masih mengigau. Melantunkan percakapan-percakapan yang entah pada siapa dituju.

Ia masih membiarkan sosok itu mengigau. Membiarkan sosok itu tenggelam dalam ingatan masa lalu.

"Satu-satunya keselamatan—"

"—euthanasia—"

"—orang-orang Eldia..."

Levi bangkit dari duduknya.

Euthanasia.

Ia tahu itu.

Mengakhiri hidup seseorang, dengan alasan kemanusiaan. Begitu yang pernah Ia dengar.

Apa sosok itu berniat melakukannya pada orang-orang Paradis?

Kelebat memori berebut tempat di ingatannya. Kembali merekahkan luka yang selalu ingin Ia kubur di palung terdalam. Potret wajah-wajah penuh ketakutan, kesakitan, kepasrahan, kebencian, dan kehilangan bergantian muncul.

Dan sungguh, Ia tak ingin melihat itu semua lagi. Cukup sekali lagi, dari sosok yang ingin Ia bunuh ini.

Izinkan aku kembali menghabisinya.

Zeke berteriak dalam igauannya. Menarik leher tanpa Ia sendiri sadari.

Mata Levi melebar.

Kemudian yang Ia ingat hanyalah kepulan asap pekat, bau daging terbakar, bau amis darah, suara ringkikan kuda yang bersahutan, dan bau hujan yang melenakan.

Tubuhnya terasa ringan, amat ringan. Sampai Ia tak merasakan tubuhnya.

Mati rasa.

Kalau ini akhirku, ah, konyol sekali.

Bahkan aku belum melihat senyum mu lagi, Hanji.

Sensasi melayang kali ini terasa lebih gila. Lalu meluncur cepat menuju bumi, tanpa sempat Ia mengambil nafas panjang.

.

Remuk

.

Ia merasa remuk.

Seremuk hatinya saat melihat kematian.

Seremuk hatinya saat melihat Hanji menangis dalam diam.

.

.

.

[]