Jika benar apa yang dikatakan peramal itu bahwa nasibku kelak tak ubahnya seperti seorang Cinderella, seharusnya aku bertemu dengan sang Pangeran, bukan? Tapi kenapa aku bertemu dengan seorang pencuri? Oh, crap!

You Are My Cinderella

By:

Keira Luna

Disclaimer: Harry Potter by J.K. Rowling

Warnings: AU! NON-MAGIC! SLASH! OOC! IF YOU DON'T LIKE, PLEASE DON'T READ

Rated: T

Pairings: DMHP, TRHP

Genre: Drama, Romance

Happy reading all!

"HARRYYY!"

Teriakan seorang wanita membahana di seluruh manor megah tersebut. Rasa-rasanya, pagi hari yang indah ini hancur seketika karena teriakan wanita itu.

"HARRYYY!" teriak wanita itu lagi.

"Ya, Aunt Petunia. Lima menit lagi!" balas seorang pemuda yang juga menghuni manor tersebut.

"HARRYYY! CEPAT KEMARI!" teriak wanita itu lagi.

'Oh, crap!' batin si pemuda. Secepat kilat ia meninggalkan pekerjaannya di dapur dan berlari menuju kamar utama manor tersebut.

Tok… Tok… Tok…

"Masuk!"

"Aunt Petunia memanggilku?" tanya si pemuda yang ternyata bernama Harry itu.

"Kau kira aku memanggil siapa lagi? Siapkan sarapan dan suruh Hagrid mempersiapkan mobil!" perintah si nyonya.

"Baik, Aunty," ujar Harry patuh. Setelah menutup pintu kamar utama, ia bergegas berlari menuju bagian kiri rumah untuk bertemu Hagrid, sopir pribadi keluarga itu dan menyampaikan titah sang nyonya.

"Hah… biar kutebak, arisan lagi?" tanya Hagrid. Harry hanya mengedikkan sebelah matanya. Sudah menjadi rahasia umum diantara para pembantu di manor itu bahwa si nyonya rumah amat gemar mengikuti arisan di sana-sini.

"Harry, kau tak bersiap-siap? Inikan hari ujianmu," ujar Hagrid mengingatkan Harry.

"Iya aku ingat. Masih ada dua jam lagi, Hagrid. Sudah ya, aku mau membuat sarapan," ujarnya sambil berlari meninggalkan Hagrid. Hagrid hanya tersenyum melihat pemuda ceria itu berlalu darinya.

Hagrid menghela nafas pelan. Dalam lubuk hatinya, Hagrid sangat menyayangi pemuda itu. Pemuda yang menderita meski sebenarnya ia bergelimang harta. Sejak kecelakaan mobil yang menewaskan majikannya yang dulu, kini seluruh harta keluarga Potter jatuh ke tangan keluarga Dursley, kerabat terdekat Harry. Hagrid berharap saja semoga waktu dua tahun yang tersisa segera berlalu sehingga seluruh harta keluarga Potter kembali ke tangan Harry yang merupakan pewaris tunggal.

"HARRYYY!" terdengar suara teriakan sang nyonya dari dalam manor megah itu. Hagrid menghela nafas keras. Ia hanya berharap sang nyonya lekas-lekas keluar dari manor itu supaya Harry bisa mempersiapkan diri mengikuti ujian.

Tiga puluh menit berkutat dengan teriakan dan perintah bibinya yang ia anggap sebagai lagu penyambutan datangnya pagi, Harry bergegas menuju kamarnya untuk mempersiapkan diri mengikuti ujian. Ia tak mau terlambat hari ini karena ujian yang akan ia ikuti merupakan ujian yang telah lama ia nanti-nanti. Ya, ujian yang akan ia ikuti merupakan ujian saringan masuk Hogwarts University, salah satu universitas terbaik di Inggris, bahkan merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Dan Harry telah membulatkan tekadnya untuk memasuki kampus yang juga mendidik ayahnya dulu dengan segenap kemampuannya.

"Harry dear, kau tak berangkat?" tanya Cecilia, salah satu pembantu di manor itu.

Harry tersenyum pada Cecilia yang memang sangat akrab dengannya. "Iya, aku juga baru akan berangkat Ceci," jawabnya pada pembantu paruh baya itu.

Cecilia tersenyum hangat pada Harry. Secara perlahan, tangan kanannya merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan sejumlah uang yang ia berikan pada Harry.

"Ceci, kau tidak perlu—"

"Aku berkeras Harry. Pakai saja sebagai ongkos bis. Kalau kau berjalan kaki, kau pasti terlambat," ujar Cecilia penuh kasih. Dengan senyuman lebar, Harry menerima uang itu lalu memeluk Cecilia erat.

"Terima kasih banyak," ujar Harry sambil berlalu dari ruangan itu.

Halaman utama Hogwarts University disesaki oleh ribuan calon mahasiswa yang akan mengikuti ujian masuk pada hari itu. Untungnya, pihak universitas telah mempersiapkan sejumlah petugas yang akan memberi informasi yang diperlukan para calon mahasiswa. Hal ini dikarenakan tidak sedikit calon mahasiswa yang berasal dari luar Inggris yang mungkin tidak menerima informasi akurat mengenai pelaksanaan tes pada hari itu.

Di tengah-tengah riuhnya peserta tes yang mencari lokasi tes mereka, ada dua pasang mata yang mengamati segala tingkah mereka dari menara tertinggi yang ada di universitas itu, menara dimana ruangan rektor berada.

"Bagaimana pendapatmu tentang calon mahasiswa baru tahun ini, Severus?" tanya Dumbledore yang menjabat sebagai rektor di universitas itu.

Severus hanya mendengus. Baginya memandang riuhnya para peserta tes sama sekali tidak menimbulkan ketertarikan padanya. "Mereka tampak seperti kumpulan idiot yang heboh berebut makanan," ujarnya sinis.

"Ayolah Severus, bukankah melihat mereka seperti ini mengobarkan kembali semangat masa mudamu?" tanya Dumbledore lagi. Manik biru matanya memancarkan kilat jenaka. Sayang, perkataannya sama sekali tidak digubris oleh lawan bicaranya.

"Hah, kau memang tidak asyik diajak mengobrol," ujar sang rektor yang kesal karena diacuhkan begitu saja oleh Severus. "Bagaimana persiapan di fakultas kedokteran?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

Severus melirik ke arah Dumbledore. "Tenang saja, mereka akan kubuat mati kutu tahun ini," ujarnya sambil menyeringai.

Sang rektor geleng-geleng melihat tingkah Severus. 'Pantas saja seluruh mahasiswa takut padanya,' batinnya dalam hati. "Aku hanya berharap tahun depan masih ada peserta yang melamar ke fakultasmu, Dr. Severus," ujarnya sarkastik.

Harry baru saja menginjakkan kakinya di salah satu fakultas favorit di Hogwarts University, Hogwarts School of Bussiness. Ia memandang aula utama fakultas itu dengan takjub. Ya, dia akan mengambil manajemen bisnis sebagai major utamanya selain ilmu komunikasi. Sejak kecil ia sangat ingin meneruskan jejak mendiang sang ayah yang dulunya merupakan pengusaha ternama di Inggris. Perusahaannya pun termsuk salah satu perusahaan terbesar di Eropa. Meski kini ia belum berhak menjalankan perusahaan, ia bertekad akan meneruskan kejayaan bisnis ayahnya dua tahu lagi. Ya, dua tahun lagi tepatnya di hari ulang tahunnya yang kedua puluh, ia akan mendapatkan hak atas seluruh kekayaan orang tuanya. Tiba-tba saja Harry merasa sedih mengingat perlakuan keluarga bibinya padanya. Tapi sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk mengenang kejadian yang telah lalu. Sekarang adalah momen krusial dimana ia harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk menyelesaikan deretan soal-soal yang telah menantinya. Dengan tekad baja dan kepercayaan diri penuh, Harry melangkah maju menuju ruang tesnya. Ia sedikit tersesat karena tubuhnya yang kecil membuatnya sulit melihat arah di tengah-tengah kerumunan peserta lainnya yang jauh lebih tinggi darinya.

BRUK!

Secara tak sengaja, ia menabrak seseorang. Dalam hati, ia menyalahkan dirinya sendiri yang selalu saja didekati masalah.

"Er… maaf, maafkan aku," ujarnya pelan sambil membantu pria yang ia tabrak tadi.

"Tak apa, bukan salahmu," ujar si pria sopan.

Harry terpaku di tempatnya ketika manik emeraldnya beradu pandang dengan bola mata safir pria yang ada di hadapannya. Ada getaran aneh yang menjalari dadanya saat ia memandang ke dalam mata safir yang cerah itu. Bahkan ia melupakan tujuan utamanya berada di tempat itu.

"Maaf? Ada sesuatu yang salah?" ujar si pria yang menyadarkan Harry dari trans-nya.

"Ah, oh, tidak… Um, kau terluka?" ujarnya pelan.

Si pria menggeleng. Kemudian, mata safirnya tertuju pada dada kiri Harry. "Kau peserta tes masuk fakultas ini?" tanyanya setelah ia melihat bet nama yang bertengger di dada kiri Harry.

Harry hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Ia masih tersihir akan tatapan dari bola mata safir lawan bicaranya.

"Well, kurasa kau harus segera masuk. Lima menit lagi ujian dimulai," ujar si pria kalem.

Perkataan si pria sontak mengembalikan pikiran Harry kea lam sadarnya. Ia kembali ingat tujuannya berada di tempat ini. Ia langsung melihat kartu ujiannya untuk memastikan dimana ruangan tesnya berada.

"Biar kubantu," ujar si pria lagi. Ia mengulurkan tangannya untuk mengambil kartu ujian yang ada di tangan Harry dan menelitinya dengan seksama.

"Well, kau beruntung Mr. Potter. Ruanganmu ada di ujung koridor ini," katanya sambil mengembalikan kartu ujian Harry.

"Terima kasih," ucapnya sambil mengembangkan senyum terbaiknya. Ia segera beranjak dari tempat itu menuju arah yang ditunjuk si pria tadi. Saat ia merasa sedikit menyesal saat ia sadar ia sama sekali tidak mengetahui nama pria baik tadi.

Bersambung

AN: Hello! Kei di sini. Satu fic lagi dari saya. Kali ini saya mencoba latar belakang cerita yang berbeda. Ini baru prolog kok makanya chap ini pendek banget #nyengir. Jadi gimana menurut kalian? Kasih tau aku ya dengan menekan tombol review di bawah sana, okay? Untill next chapter then…