.
Chapter 1: Relapse
.
Haikyuu © Furudate Haruichi
.
.
"Tsukki." Tadashi menarik napas dalam-dalam, berharap detak jantungnya bisa sedikit saja mereda, karena ia tahu ia biasanya meracau jika sedang gugup setengah mati. Tangannya berkeringat, terkepal erat di sisi tubuh, sementara matanya menatap hamparan rerumputan yang terpangkas rapi di belakang gedung olahraga. "Kau tahu, selama ini aku—aku—"
Ini sulit. Tadashi selalu menduga bahwa mudah saja untuk menyatakan cinta pada sahabat baiknya, karena toh itu adalah kejujuran yang tidak lagi bisa dipungkiri, karena ia tahu cepat atau lambat mereka harus menghadapi situasi ini—menghancurkan dinding yang ada sekuat tenaga, dan membiarkan apa yang selama ini terperangkap di antara mereka meluap—tetapi nyatanya, ya, ini memang sulit. Lidahnya kelu. Tiap kali ia mencoba bersuara, ada yang terasa solid di tenggorokannya, membuatnya tercekat, kegugupannya terduplikasi dengan semena-mena.
Namun, hanya sekarang kesempatannya, bukan? Jika ia menunggu lebih lama, Tsukishima akan pergi lebih jauh dari jangkauan. Jika ia menunggu lebih lama, mungkin ia akan menyesal seumur hidupnya.
"Aku… selalu menganggapmu menarik, kau tahu?" Ia berujar, perlahan, mengeja kata per kata di dalam kepalanya sebelum betul-betul dilisankan. "Kau pintar dalam pelajaran, selalu mendapatkan minimal dua lusin cokelat pada Hari Valentine, dan belakangan Pelatih Ukai selalu memuji caramu mengobservasi pemain lawan di lapangan. Kau pembuat strategi yang baik, seperti ketika kau sedang bermain game, tak pernah terkalahkan. Kau… kau betul-betul bisa segalanya." Tadashi menggaruk sisi pipi, tersenyum sebentar di sela-sela kegugupan. "Dan—dan aku selalu menyukaimu yang seperti itu, Tsukki. Sangat, sangat menyukaimu."
Ia menelan ludah, wajahnya menghangat, dan ia yakin itu bukan karena pancuran cahaya matahari senja yang tengah membanjiri halaman belakang sekolah.
"…sangat, Tsukki. Aku sangat, sangat menyukaimu—menyayangimu. Dan kupikir—kupikir kau harusnya sudah tahu…?"
Ini memalukan; mengakui perasaannya pada kenyataannya hanya membuat Tadashi merasa rentan dan terpapar. Namun ia juga tidak ingin menyesal, tak ingin bersikap pengecut dengan melangkah mundur di tengah-tengah perjuangannya. "Aku—aku menyukai senyummu. Juga ketika kau menungguku pagi-pagi di persimpangan jalan, aku menyukaimu karena kau tak pernah sekalipun protes padahal setiap hari aku membuatmu menunggu lama di sana."
Atau itu hanya bagian dari rasa kasihan dalam diri Tsukishima? Tadashi ingin percaya bahwa Tsukishima memang tidak keberatan. Bahwa, setelah tahun-tahun berlalu, ia bisa dengan bangga mengklaim dirinya sebagai satu-satunya sahabat baik Tsukishima Kei. "Kau selalu mengajariku Sejarah Jepang dan Matematika ketika aku memintamu. Kau mengizinkanku meminjam CD lagu yang kau dapatkan dengan susah payah di toko barang bekas, dan kau tidak pernah protes ketika aku baru mengembalikannya berbulan-bulan kemudian."
Helaan napas lagi.
"Kau juga selalu membiarkanku menyandarkan kepala di bahumu ketika kita bepergian dengan bus, dan kau juga selalu memberiku sebagian dari kentang gorengmu karena kau tahu aku sangat, sangat menyukainya." Pipinya semakin memanas, terutama karena ingatannya terbangun tanpa ia inginkan, mengulang fragmen demi fragmen memori ketika ia merasa Tsukishima setidaknya tidak membencinya. Pemuda itu hanya tidak mahir merangkai kata-kata yang menyenangkan, dan pada akhirnya mencoba menyampaikan banyak hal dengan tindakan. Terkadang, ketika teringat dengan hangatnya pundak Tsukishima, atau dengan senyum tipis si pemuda yang hanya diulas ketika mereka sedang berdua saja, Tadashi bertanya-tanya dalam hati: apakah Tsukishima juga menyimpan perasaan yang sama dengannya. Apakah Tsukishima juga memikirkan Tadashi setiap malam hingga baru bisa tidur setelah lewat pukul dua belas.
Tadashi merasa lancang, jika ia berani-beraninya mengharapkan kemungkinan tersebut menjadi kenyataan.
"Selama kau tetap di sampingku, aku bisa terus berjuang." Tadashi mengulum senyum malu, membiarkan angin sepoi-sepoi mengecup ujung hidungnya. Dingin. Ia semestinya tidak meninggalkan jaketnya di dalam gedung olahraga. "A-Aku—aku juga ingin mengatakan hal yang keren seperti Hinata dan Kageyama, kau tahu? Dan itu memang benar. Aku akan terus berjuang jika kau tetap mendukungku."
Jantungnya sekarang berdebar keras sekali. Tadashi takut dunia bisa mendengarnya, detakan demi detakan yang mewakilkan kegugupan sekaligus rasa takutnya untuk mengungkapkan semua ini.
"A-Aku menyayangimu. Kau tidak perlu menjawabku sekarang juga, sungguh! Aku hanya merasa kau perlu tahu bahwa aku menyayangimu. Bahwa aku selalu senang jika bisa membantu dan mendukungmu setiap saat, Tsukki."
Dan saat Tadashi mendongak, di hadapannya ia melihat Hinata Shouyou yang melebarkan cengiran, mata anak lelaki itu berseri-seri, dua jempolnya teracung.
"Yamaguchi! Apanya yang payah dari pernyataan cinta ini? Kau keren! Tidak butuh latihan lagi!"
"…tapi, Hinata..." Tadashi mengerang, darahnya masih terasa mendidih di balik pipi. "Apa kau tidak merasa pernyataan cintaku—payah sekali? Keju?"
"Tidak sama sekali! Kau keren! Pernyataan cintamu keren!"
"Terlalu banyak hal yang menurutmu 'keren', di dunia ini." Mau tak mau Tadashi tertawa, sebab bagaimanapun keantusiasan Hinata membuatnya geli. Mereka masih duduk berdampingan di undakan tangga yang letaknya berada di belakang gedung olahraga, botol minuman terabaikan di atas lantai. Kira-kira lima belas menit lalu Hinata bersikeras bahwa Tadashi tidak lagi membutuhkan 'latihan' untuk menyatakan perasaan pada Tsukishima Kei—tetapi Tadashi sama-sama keras kepala, dan berakhir memohon pada Hinata untuk mendengarkannya berlatih mengungkapkan perasaan.
Pilihan Tadashi mungkin tidak terlalu tepat, mengingat kepekaan Hinata yang begitu meragukan ini.
"Aku masih berpikir bahwa yang tadi itu… memalukan." Tadashi mengangkat kedua lengan, lantas menutupi wajah dengan dua telapak tangannya. Hangat. Ia merasa telinganya bisa kapan saja mengeluarkan asap jika wajahnya memanas lebih lama. "Bagaimana kalau Tsukki menjauhiku setelah ini? Bagaimana kalau Tsukki tidak menyukaiku? Hinata?"
"…kenapa kau bisa-bisanya berpikir seperti itu?"
"Karena! Aku sekalipun kadang… tidak bisa membaca isi hati Tsukki. Aku tidak tahu apakah dia akan membalas perasaanku, atau akan menganggapku menjijikkan setelah ini—"
"Tidak akan." Hinata memotongnya, suaranya terdengar penuh keyakinan. "Tsukishima menyukaimu, Yamaguchi."
"Teori darimana itu?" Tadashi tertawa, dua tangannya masih menutupi wajah. "Tidak perlu repot-repot menghiburku, Hinata. Aku… kupikir aku harus mempertimbangkan pilihanku…? Mungkin aku dan Tsukki semestinya berteman saja…"
Hinata terdiam, begitupun Tadashi. Kedua telapak Tadashi terasa sejuk di wajah, dan matanya terpejam lagi. Tadashi mendengarkan suara rerumputan yang disibak angin, juga dekut camar yang melintas di langit. Ada suara langkah kaki di latar belakang, semakin mendekat, mungkin Ennoshita atau Tanaka yang baru menyelesaikan porsi latihan tambahan mereka. Ah, Tadashi semestinya cepat berkemas, sebelum Tsukishima menunggunya terlalu lama.
Lalu, pernyataan cintanya? Mungkin masih bisa menunggu. Sampai bulan depan, tahun depan, atau ketika hari kelulusan…
"Bisa kau ulangi sekali lagi?"
Seseorang bergumam di sampingnya. Suara rendah dan datar, tepat di dekat telinga. "Pernyataan cinta yang barusan."
Tadashi mengerjap, punggungnya reflek menegak ketika ia merasakan tangan seseorang menggamit punggung tangannya, menjauhkan satu telapak tangan Tadashi dari wajah. Sinar matahari terlihat menyilaukan, merembes ke retina, oranye-terang senja yang belum berakhir.
"Ah—"
Ia menoleh dalam ketergesaan yang dibubuhi rasa panik dan detail yang kini diraup matanya sama sekali tak membuat Tadashi merasa lebih baik. Tsukishima; rambut pirangnya terlihat keemasan di bawah sinar matahari, kening berkerut, mata sewarna madu itu memicing seolah tak sabar lagi untuk menunggu penjelasan. Tangannya terasa hangat, hangat sekali ketika merengkuh jemari Tadashi dalam genggaman longgar—tetapi ia tidak bisa serta-merta merasa bahagia atas pengetahuan tersebut. Tidak, tidak sama sekali…
"T-TSUKKI?!"
Tsukishima berpaling darinya hanya dalam hitungan setengah detik, garis di antara kedua alisnya bertambah. "Hei, aku tidak bermaksud menguping—"
"Jadi kau semenjak tadi mendengarkan—"
"Kau dan Hinata seharusnya berbicara lebih pelan—"
"Aku tidak—"
"Aku mendengar semua—"
"M-Maaf, Tsukki—"
"… Kau tidak perlu meminta maaf—"
"Lupakan saja yang tadi!"
Genggaman Tsukishima pada tangan Tadashi mengerat, dan itu berhasil membungkam racauannya. Tadashi terkesiap, tetapi ia berujung merapatkan bibir dan menundukkan kepala, berusaha mengabaikan badai kepanikan yang berpusar dalam benaknya. Ia tak perlu bercermin untuk mengukur seberapa memerahnya wajahnya kini, ia tak ingin menoleh sebab ia tak ingin Tsukishima menertawakan kekacauan yang kini menghuni setiap garis ekspresi di wajahnya. Dan saat itu pula, dengan kengerian melintas di sorot mata, Tadashi menyadari Hinata telah pergi dari sana. Sejak kapan? Mengapa? Mengapa Tadashi yang lagi-lagi harus menanggung takdir semalang ini seorang diri?
Keringat dingin menitik di pelipisnya, terasa sangat simbolis dengan determinasi Tadashi untuk segera mengubur dirinya hidup-hidup di bawah permukaan bumi demi menyembunyikan rasa malunya.
"Kau boleh melupakan… yang kukatakan pada Hinata tadi…"
Itu upaya terakhirnya untuk membantah Tsukishima Kei. Suara Tadashi sedikit gemetar akibat rasa takut; kekhawatirannya bagai lubang hitam yang menyedot seluruh sudut pandang positif yang tersisa dalam dirinya.
"…tidak mau." Tsukishima bergumam—dan Tadashi bisa mendengar senyum dalam nada bicara Tsukishima, mungkin pemuda itu sedang menyeringai sekarang, menertawakan kebodohan Tadashi. Sama sekali bukan reaksi yang mengherankan.
"Tsukki…" Ia menekankan satu telapak tangannya yang masih menutupi wajah pada kulit pipinya yang memanas, matanya terpejam. "Jangan menggodaku lagi, ya? Sudah cukup—"
Ia disela lagi; tapi kali ini bukan oleh kata-kata, melainkan oleh genggaman tangan yang mengerat. Jemari Tsukishima terjalin di antara jari-jemarinya, dan meski Tadashi merasa bahwa terkadang ia kesulitan untuk membaca isi hati Tsukishima, ya, kali ini setidaknya ia bisa menyimpulkan bahwa ada yang terasa keras kepala dalam gestur Tsukishima tersebut. Tadashi menurunkan telapak tangan yang semenjak tadi melingkupi wajah, mata melirik Tsukishima dengan sedikit kalut.
"Aku bukan sedang… menggodamu."
Lalu? Dalam kefrustasiannya, Tadashi begitu ingin menyerukan pertanyaan itu keras-keras, ia ingin mengulurkan tangan untuk mengguncang kedua bahu Tsukishima, melancarkan segala protes tentang mengapa bisa-bisanya Tsukishima mempertahankan nada bicara jemu itu pada suaranya, tetapi otot-otot tubuhnya terasa lemas, tak berdaya, dilumpuhkan oleh rasa malu yang entah akan mereda kapan. Dalam hati, Tadashi mengerang, tak paham mengapa Tsukishima menggenggam tangannya, mengapa Tsukishima belum berdecak jijik dan kemudian mengatakan, lebih baik kita berteman saja; aku tidak pernah berminat denganmu, sejak dulu sampai sekarang. Seharusnya kau yang paling mengerti itu, kan, Yamaguchi?
"Aku…" Tsukishima berdeham. Tadashi berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sedang berhalusinasi, bahwa senja menciptakan trik cahaya yang membuat wajah Tsukishima terlihat sedikit memerah. "Aku benar-benar ingin mendengarnya sekali lagi."
"Aku tidak ingin…" Tadashi tertunduk, menggigit ujung bibir. "… mempermalukan diriku lagi."
Ia ingin menutup kedua telinganya, tergoda untuk mengubur wajah dalam lingkupan lengan seraya berharap Tsukishima segera jengah dan pergi meninggalkannya sendirian, tetapi Tsukishima terasa nyata di sampingnya. Menggenggam tangannya. Belum melepaskan. Mengapa? Tadashi telah menaruh ekspektasinya di titik terendah, tetapi mengapa jantungnya masih berdebar? Mengapa, meski ia sangat ingin, ia tidak bisa mengusir Tsukishima dari dalam kepalanya?
"Ini memang memalukan." Di sampingnya, Tadashi mendengar Tsukishima bergumam. Suara yang ia sukai; rendah dan dalam, terdengar sejuk di telinganya. Tadashi terkesiap ketika ia merasakan Tsukishima menariknya agar lebih merapat—kini bahu mereka berbenturan, dagu Tadashi dekat sekali dengan kain jaket Tsukishima, membuat napasnya tertahan lama.
Sebagai tanggapan yang terlambat, Tadashi mengangguk samar. Ini memang memalukan. Dan ini, sama sekali tidak adil.
Ini tidak adil.
"Karena itulah." Ia berusaha melepaskan genggaman tangan mereka, tetapi jalinan jemarinya dan Tsukishima terlalu erat. Tadashi menelan ludah, hanya bisa berharap Tsukishima berhenti keras kepala. "Karena ini memalukan, kau harus melupakannya…"
Tsukishima menatapnya dengan sorot mata yang tak bisa Tadashi terjemahkan maknanya; ia hanya tahu bahwa mata keemasan itu terlihat seindah dan secemerlang yang ia kenal, dan kini tengah memandangnya seakan-akan Tadashi adalah sebuah teka-teki yang sukar dipecahkan. Jarak mereka terlalu dekat. Tadashi bisa melihat pemuda di sampingnya merona; jejak warna merah yang menyebar perlahan, mulai dari ujung telinga, lantas merambat ke pipi dan kulit leher.
Sama sekali bukan ilusi yang diciptakan senja. Sama sekali bukan.
"Tadashi." Tsukishima berujar lagi, lebih pelan dari sebelumnya, dan nada bicara itu begitu lembut, serasi sekali dengan suara dedaunan yang bergemeresak akibat disibak angin, membuat rasa panas di pipi Tadashi serta-merta berpindah ke matanya.
Saat itulah, seketika saja, Tadashi mengerti.
.
.
end
.
a/n: Happy Tsukkiyama day! Ceritanya saya mau kelarin birthday fic Yamaguchi duluan, tetapi rupanya lebih lancar ngetik one-shot yang ini, jadilah saya post ini duluan biar setidaknya on-time sama tsukkiyama day, ehehe. Dan rencananya, fic ini bakal jadi kumpulan drabble/one-shot, dengan berbagai tema tapi pairingnya tetap tsukkiyama. Udah ada beberapa ide sih, dan saya pengen bikin fic dari request-an di fb juga, doakan saya bisa update rutin ya! Terima kasih telah membaca~ :'D
