Little Red Riding Hood
=x=x=x=x=x=
Vocaloid © Yamaha Corp dan perusahaan lainnya
Beautiful Thing a.k.a Utsukushiki Mono © Sound Horizon
Orihara Izaya © Durarara! ! © Narita Ryōgo
=x=x=x=x=x=
Sakine Meiko (bukan Meiko): Si Kerudung Merah
Shion Akaito: Si Serigala (khusus fanfic ini, jadi serigala jadi-jadian nan narsis dan awesome *?*)
Lola: Si Nenek
Leon: Si Pemburu (khusus fanfic ini, juga jadi suami si nenek, sekaligus seorang pemburu)
Miriam: Ibu Si Kerudung Merah a.k.a Meiko
William/Wiriam: Ayah Si Kerudung Merah a.k.a Meiko (tokoh tambahan)
=x=x=x=x=x=
Pada zaman dahulu kala, di sebuah desa kecil yang damai bernama Vocal Village… Lahirlah seorang bayi perempuan dari sepasang suami-istri yang baik hati. Seorang bayi perempuan yang sangat manis (dan mungkin, di masa depan nanti, ia akan menjadi seorang gadis yang cantik), dan pasangan suami-istri itu memberinya nama 'Meiko Sakine'.
Pasangan suami-istri yang terkenal baik hati itu bernama William dan Miriam Sakine. Mereka yang tinggal berdua (dan sekarang bertiga) saja, sangat menyayangi putri tunggal mereka itu.
Meiko juga mempunyai sepasang kakek-nenek yang juga sangat menyayanginya. Sang kakek (yang selalu tampak awet muda) bernama Leon, dan sang nenek (yang juga selalu tampak awet muda, dan selalu ceria) bernama Lola. Meiko sangat menyayangi kedua orang tua dan kakek-neneknya. Ia bahagia dengan kehidupannya yang sederhana ini.
Saat Meiko berulang tahun yang ke-13, Lola memberikan Meiko sebuah kerudung manis berwarna merah, warna kesukaan Meiko. Meiko yang sangat menyukai kerudung itu, selalu memakai kerudung itu ke mana-mana (ke rumah teman, ke rumah tetangga, ke rumah kakek-neneknya, ke sekolah, ke pasar, bahkan di dalam rumahnya sendiri). Ia hampir tidak pernah terlihat tanpa kerudung itu; Meiko hanya melepaskan kerudung itu saat sedang mandi dan sedang tidur.
Karena wajah cantik dan kerudung merahnya itu, Meiko dikenal dengan nama 'Si Kerudung Merah'. Tapi, beberapa anak laki-laki yang takut dengannya karena pernah menjadi korban kekerasannya (selain sifat dewasa dan murah senyum dari ibunya, Meiko juga mewarisi sifat kasar neneknya), memanggilnya 'Monster Berkerudung Merah'.
… Oke, cukup pengenalannya. Sekarang, langsung ke cerita.
Suatu hari, Meiko yang sudah berumur 16 tahun, mendapat kabar dari ibunya kalau neneknya sedang sakit. Meskipun bukan sakit parah, Miriam tetap saja khawatir dengan keadaan ibunya. Akhirnya, wanita berambut platinum blonde itu pun menyuruh Meiko untuk pergi menjenguknya. Sebenarnya, sih, Meiko yakin kalau neneknya pasti akan cepat sembuh (Lola tidak sakit parah, ia cuma demam dan batuk-batuk). Lagipula, meski termasuk kategori nenek-nenek, Lola tetap lincah dan ceria. (Meiko yakin, Lola bisa memenangkan penghargaan 'Nenek Lincah Abad Ini' dengan mudahnya.)
Akhirnya, dengan setengah hati, Meiko pergi ke rumah Lola dengan kerudung merah kesayangannya dan sekeranjang makanan (pie apel, sup ayam, dan termos berisi teh hangat. Ada juga sebuket bunga tulip dan sebuah frying pan yang masih baru, entah untuk apa) di tangan kanannya.
Miriam juga sudah berpesan pada Meiko agar ia langsung ke rumah Lola, tidak jalan-jalan terlebih dahulu ke tempat-tempat lain, terutama hutan. Kabarnya, di hutan pembatas desa tempat tinggal Meiko dengan desa tempat tinggal Lola, ada seekor serigala berwarna merah yang sangat mengerikan. Serigala itu terkenal suka menipu dan memangsa gadis-gadis muda seumuran Meiko. Meiko sempat bingung mendengar berita itu ("Bukannya serigala berwarna hitam-abu-abu? Apa maksudnya 'menipu'? ― Serigala nggak bisa berbicara, kan? ― Dan bukannya serigala memangsa tanpa pandang bulu?"). Tapi, yah, karena tidak ada yang berbaik hati mau menjawab pertanyaannya, Meiko pun tidak mempercayainya. Tapi tetap saja, ia tidak akan jalan-jalan ke tempat lain; ia, sangat ingin segera bertemu dengan Lola setelah sekian lama.
Meiko melangkahkan kakinya keluar rumahnya dan memulai perjalanan. Sambil berjalan, ia menyanyikan lagu-lagu yang diajarkan oleh neneknya dengan riang. Ketika melewati rumah-rumah penduduk lainnya, Meiko juga menyapanya dengan senyum manis. Meiko terus melakukan perjalanan tanpa rasa waspada sedikit pun. Ia berpikir, semuanya akan baik-baik saja.
Di lain tempat, di dalam hutan perbatasan Vocal Village dan Symphony Village (desa tempat tinggal Leon dan Lola), tampak seekor ('seorang'?) serigala berambut merah yang sedang berjalan mondar-mandir.
Karena bosan, kesal, dan bad mood, serigala (laki-laki bertelinga dan berekor serigala, lebih tepatnya) bernama Akaito itu menghela nafas, sebelum akhirnya berjalan keluar dari hutan tempat tinggalnya dan bermaksud untuk menghirup udara segar di luar hutan. Sambil berjalan, ia terus menggerutu dan merutuki orang-orang desa, "Siaaal! Orang-orang desa sial! Karena mereka menyebarkan gosip yang aneh tentang diriku, rumahku jadi sepi, kaaan!"
Sampai di sungai dekat hutan pembatas itu, ia berhenti berjalan dan menghirup udara segar sebentar. Kemudian ia berjongkok untuk meminum air sungai yang jernih itu.
"Huh, menyebalkan! Lihat saja, suatu hari nanti, akan kumakan mereka!" Akaito menggerutu lagi seraya membasuh mukanya dengan air sungai. "Ah, tapi, semoga saja…" Ia bergumam pelan dan duduk di tepi sungai, mulai berkhayal mesum. "Semoga saja, nanti aku bisa bertemu dengan seorang gadis muda yang cantik. Fufufu~"
Akaito tertawa mes―licik, maksudnya. Tawa manusia serigala merah itu terdengar sampai radius 3 km dari tempat itu.
Meiko, yang sedang berada tidak jauh dari hutan perbatasan, mendengar sebuah suara tawa mengerikan. Ia sempat berhenti berjalan sebentar untuk mencari tahu asal suara itu, tapi kemudian, ia langsung melanjutkan perjalanannya kembali. Ia tidak peduli dengan suara tawa mengerikan itu; Meiko sudah sering melihat amukan neneknya yang jauh lebih mengerikan.
"Ah, hutannya sudah kelihatan!" Meiko tersenyum lebar begitu pohon-pohon hijau nan lebat sudah tampak di depannya. "Berarti, tinggal jalan mengelilingi hutan itu, lalu berjalan mengikuti jalan setapak, dan sampai di rumah nenek~!" Sembari mengucapkan itu, Meiko mempercepat langkah kakinya (ia semakin tidak sabar untuk bertemu neneknya).
Sambil berjalan menyebrangi sungai dekat hutan, Meiko bersenandung dengan lembut. Lagu Beautiful Thing, lagu yang diajarkan oleh neneknya, dan lagu yang paling disukai Meiko.
Akaito masih sibuk dengan khayalan mes―liciknya. Kali ini, ia berharap ― terlalu berharap, dan tidak mungkin akan terjadi ― akan ada seorang gadis cantik (kalau bisa, juga seksi) yang lewat di depannya.
Ah, ya, tipe idamannya sih, yang cantik, seksi, dan masih muda. Lalu juga berambut coklat pendek, bersuara emas, dan berkerudung me―
"Se―
Yoru no madobe ni… Hohoemu tsuki… Aki no tsuisou…
Kirei na ne… Utau monika… Mushi no haoto… Hari wa susunda"
―Eh?
"Se―
Daichi o tsutsumi… Madoromu yuki… Fuyu no tsuisou
Kirei na ne… Kimi ga ikita keshiki…
Zutto wasurenai…"
Tu-tunggu! Itu bukan tipe idamannya lagi! Itu benar-benar ada! ― Ada! Gadis cantik berambut coklat pendek dan berkerudung merah, benar-benar ada di hadapannya saat ini!
"'Utsukushiki mono'… Atsumeru tame ni…
Hito wa sugite yuku…
Kimi ga kake nuketa mabayuri seison…
Yamai no honoo ni yakarenagara…"
Akaito menyunggingkan sebuah senyum licik di wajahnya yang lumayan tampan itu; sudah cukup dengan khayalan 'licik'nya. Ia akan menghampiri dan merayu gadis cantik itu. Fufufu, gadis mana, sih, yang nggak akan jatuh cinta melihat wajah tampannya?
Akaito membetulkan syal merah yang selalu dipakainya, dan kemudian berjalan mendekati gadis itu, masih sambil tersenyum licik.
"'Aa… Kirei da ne'… Waratte itta…
Kimi no imaaju wasurenai yo…"
'Aaah~ Suaranya merdu sekali~' Senyum 'licik' Akaito semakin melebar. Dalam hati, ia beteriak dengan bahagia, 'Ahahahaha! Terima kasih, Kami-sama! Terima kasih karena Kau telah mempertemukanku dengan calon istriku yang cantik iniiii!'
"Siapa 'calon istri'mu itu?"
"Heh?"
Akaito menengok ke belakangnya dan mendapati gadis berkerudung merah tadi sedang menatapnya dengan heran.
"GYAAAAAA!" teriak Akaito kaget.
"Kenapa kau berteriak tiba-tiba, sih? Bikin kaget, tahu!" ujar gadis itu dengan jengkel seraya mengelus-elus telinganya.
Akaito kembali membalikkan tubuhnya ― membelakangi gadis itu dan mengacak-acak rambut merah pendeknya, bingung dan kaget. 'D-dia―Ke-kenapa dia ada di belakangku tiba-tiba! ?' pikirnya. 'B-bisa gawat kalau dia memberitahu penduduk desa kalau aku, Akaito, tuan serigala yang awesome ini, pergi keluar hutan!' Ia lalu menjedutkan kepalanya ke batang pohon terdekat, membuat gadis itu kebingungan dan sweatdropped. 'Bisa lebih gawat lagi kalau―' Akaito terdiam sebentar, ngeri membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. '―Kalau… Tidak! Tidaaaaak! Aku nggak mau dikulitiiiiii! Gyaaaaa!' Wajahnya memucat seketika, diikuti dengan keringat dingin bercucuran di pelipisnya. 'Aaaah! Gawaaat! Pasti gara-gara tadi aku nggak sengaja meneriakkan pikiran mes―licikku itu tadiii!'
"Err… Halo?" Meiko menepuk pelan pundak laki-laki sinting yang ada di hadapannya itu.
Akaito terlonjak kaget, tapi ia berusaha untuk bersikap senormal mungkin. "I-iya?"
"Kau siapa?" tanya Meiko dengan polosnya, tanpa rasa curiga sedikit pun. "Rasanya, aku baru pertama kali melihatmu."
Mendengar pertanyaan itu, rasa cemas Akaito langsung menghilang dan berganti dengan akal licik. "Kau," Akaito menunjuk Meiko. "Tidak mengenal siapa aku?" tanyanya, menyeringai licik.
Meiko menggelengkan kepalanya.
Senyum licik Akaito kembali melebar. "Ufufu," ia tertawa kecil. Kemudian ia berjalan mendekati Meiko sambil menari-nari kecil, lalu merangkul bahu gadis berkerudung merah itu. "Namaku Akaito―"
"―Oh. Namaku Meiko Sakine―"
"―Kau bisa memanggilku 'Tuan Akaito yang Awesome' atau 'Tuan Akaito' saja." Akaito terus saja berbicara tanpa mendengarkan ucapan Meiko tadi. Dan tiba-tiba saja, ia melepaskan rangkulannya dari Meiko, lalu menunjuk dirinya sendiri dengan sebuah senyum (seringai) khas Orihara Izaya tersungging di bibirnya. "Dan aku adalah serigala awesome penguasa hutan ini~"
"Oh, serigala, toh." Dibandingkan dengan kalimat yang diucapkannya, Meiko tampak tidak terkejut sama sekali (Akaito sempat heran melihatnya; bukankah manusia pasti akan ketakutan begitu melihatnya? ― Dirinya yang seekor serigala?). "Kalau begitu, minggir," dengan wajah datarnya, Meiko mendorong Akaito minggir dari jalan yang akan dilewatinya. "Aku mau lewat."
'Sekarang, aku mengerti kata penduduk desa. ― Serigala berwarna merah yang bisa berbicara…' batin Meiko seraya berjalan melewati Akaito yang kebingungan. 'Seharusnya, mereka juga bilang kalau serigala ini mesum dan bodoh.'
"Eits! Tunggu dulu!" Akaito segera berlari menyusul Meiko dan kembali menghalangi jalannya (Meiko mendesah kesal). "Kau tidak takut denganku? Aku serigala, loh! Serigala!" Akaito sengaja menekankan kata 'serigala' itu, dengan maksud agar Meiko takut padanya.
Meiko mengernyitkan dahinya, memperhatikan 'serigala' di hadapannya itu dari atas sampai bawah. Hmph. Telinga serigala. Rambut merah pendek. Wajah tampan (meski bagi Meiko hanya 'cukup tampan'). Mata berwarna bloody red. Syal merah. Ekor serigala.
Meiko mengambil kesimpulan, "Kau bukan serigala betulan. Kau cuma seekor serigala jadi-jadian."
Ah, dan entah kenapa, ucapan Meiko itu menusuk hati Akaito. Dan kalau boleh jujur, ini adalah pertama kalinya seseorang berkata seperti itu padanya! Tidak ada seorang pun yang boleh lancang kepada Tuan Akaito yang awesome ini!
"Minggir." Meiko mendorong Akaito lagi, lebih kasar kali ini. "Aku mau ke rumah nenekku. Beliau pasti sudah menungguku!" Dan sambil menggerutu dengan kesal, gadis berambut coklat pendek itu pergi meninggalkan Akaito.
Tapi sebelum Meiko sempat melangkahkan kakinya, Akaito menahan pergelangan tangan gadis itu dan menariknya, membuat Meiko hampir jatuh menindih sang serigala.
"Tunggu dulu, bocah!" seru Akaito dengan kesal (Meiko juga mengernyitkan dahinya dengan kesal; ia tidak sudi dipanggil 'bocah' oleh seekor serigala jadi-jadian yang narsis!). "Kau mau ke mana?"
Meiko menghela nafas, sebelum akhirnya menjawab, "Ke rumah nenekku. Aku juga sudah mengatakannya tadi, bodoh."
"Oh." Akaito menyeringai licik. 'Nenek', huh? Sasaran empuk, nih. "Di mana rumah nenekmu itu?"
Meiko yang sudah berfirasat buruk, berniat untuk menghajar Akaito sekali lagi. Namun ia membatalkan niatnya begitu teringat kalau Lola pernah menghajar dan mengusir tiga orang pencuri dari rumahnya hanya dengan sebuah frying pan (ya, frying pan; alat dapur yang biasa digunakan untuk menggoreng itu). Sebuah senyum licik (tapi Akaito tidak menyadarinya dan malah menganggap itu sebagai senyum manis nan polos) tersungging di bibir mungil Meiko. "Rumah nenekku ada di seberang hutan sana." Ia sengaja menunjukkan arahnya. "Rumahnya yang bertembok biru muda dan beratap merah. Di halaman depannya, banyak bunga tulip." Biar saja, kalau Akaito datang ke rumahnya nanti, Lola akan menghajarnya sampai babak belur.
'Fufu, ternyata, gadis ini benar-benar polos~' Akaito tertawa licik dalam hatinya. "Ah, maaf, ya, aku bersikap kasar tadi." Akaito menundukkan kepalanya dan meminta maaf, tentu saja hanya bohong.
"Tidak apa-apa, kok." Meiko tersenyum manis, tentu saja juga bohong. "Aku juga minta maaf."
"Err… Sebagai permintaan maafku…" Akaito mengangkat kembali kepalanya dan kemudian menoleh ke arah hutan. "Di dalam hutan, ada banyak sekali bunga yang indah, loh!" ucapnya, dengan harapan Meiko akan tertarik dan kemudian pergi ke dalam hutan itu. Dengan begitu, Akaito pun bisa pergi ke rumah mangsa barunya. Akaito tertawa licik penuh kemenangan di dalam hatinya. "Bagaimana kalau kau petik beberapa tangkai untuk nenekmu? Dia pasti akan senang!"
Wajah Meiko kembali sinis tiba-tiba, Akaito pun bergidik ngeri. "Maaf saja, ya." Meiko berujar seraya mengeluarkan sesuatu dari dalam keranjang yang dibawanya dan menunjukkannya kepada si serigala mes―licik itu. "Aku sudah membawa bunga." lanjutnya, menunjukkan sebuket bunga tulip yang dimasukkan Miriam tadi.
"E-eeeh! ?" Akaito jawsdropped, kaget. Syok karena rencana liciknya gagal! Ia pun segera memutar otak lagi. (Akaito adalah seekor manusia serigala yang awesome! Ia tidak boleh menyerah hanya karena seorang gadis yang galak seperti Meiko Sakine ini!)
Merasa menang, gadis berkerudung merah itu memasukkan kembali buket bunga yang tadi dikeluarkannya ke dalam keranjangnya, lalu membalikkan tubuhnya dan melanjutkan perjalanannya, meninggalkan Akai―
"Tungguuuu!" ―Dengan cekatan, Akaito mencengkram tangan Meiko.
Meiko yang merasa terancam, dengan sangat cekatan, mengeluarkan sebuah frying pan dari dalam keranjang tersebut dan memukulkannya ke arah muka Akaito. "Jangan macam-macam dengankuuu!" teriaknya. Dan―
Duagh!
―Akaito sukses mencium bagian bawah penggorengan tersebut dan terkapar tak berdaya. Nice hit, Meiko.
"Hmph!" Meiko mendengus kesal, memandangi jasad Akaito sebentar, kemudian kembali melanjutkan perjalannya. Sepanjang perjalanan, gadis berambut coklat pendek itu terus menggumamkan sesuatu seperti "Dasar serigala mesum!", "Serigala bodoh! Membuang waktuku saja!", "Untung saja, ibu memasukkan frying pan ke dalam keranjang ini! ― Ah, sekarang, aku mengerti untuk apa frying pan ini."
Begitu tersadar, Akaito, yang biasanya akan langsung berlari mengejar mangsanya yang kabur, kali ini malah terdiam di tempat, cengo (manusia serigala itu bahkan tidak mempedulikan wajah tampannya yang nanti akan tampak kebiruan, ranting-ranting pohon, daun-daun yang tersangkut di rambutnya, dan syal merahnya yang berantakan). Pandangan matanya lurus ke arah punggung Meiko yang semakin lama tampak semakin kecil dan menjauh darinya. Tanpa ia sadari, warna merah lembut mulai mewarnai pipinya. Perlahan, Akaito meletakkan tangan kanannya di atas dada kirinya, dan ia merasakan jantungnya yang berdebar lebih kencang daripada biasanya. Dan ketika punggung Meiko sudah menghilang dari pandangannya, sebuah seringai terbentuk di wajah tampan Akaito.
Sambil beranjak dari posisi tidak awesome-nya itu tadi dan berlari menyusuri hutan (mengambil jalan pintas untuk mengikuti Meiko), Akaito bergumam pelan, "Ufufu. Tunggu aku, cintaku."
Ini adalah pertama kalinya Akaito merasakan 'cinta pada pandangan pertama' pada Meiko Sakine. Di saat yang bersamaan, gadis yang bersangkutan tersebut untuk pertama kalinya merasakan yang namanya 'benci pada pandangan pertama' pada manusia serigala itu.
.
.
.
Akaito menghembus nafas lega begitu ia sudah sampai di luar hutan. Ia menghirup udara segar lagi dan tersenyum licik. Sekarang, ia tinggal mencari rumah seperti yang dideskripsikan Meiko tadi; rumah bertembok biru muda dan beratap merah, dengan bunga tulip di halaman depannya. Ini akan mudah!
Akaito melangkahkan kakinya dan melihat ke arah belakangnya (arah jalan memutar hutan) sebentar dan mendapatinya kosong. Sepertinya, gadis galak itu masih berada jauh di belakang. Fufu, dengan begini, Akaito akan semakin mudah untuk menjalankan rencana liciknya! Dan tanpa banyak bicara lagi, serigala merah itu langsung berlari ke arah pemukiman penduduk. Oh, sambil bersembunyi, tentu saja. Bisa gawat kalau ia nanti ketahuan, dan kemudian akan… Di… kulit… i…
… … … Bah. Lupakan. Akaito masih sayang nyawanya yang awesome itu.
Jauh di belakang, tampak Meiko yang sedang berjalan dengan riang dan santai sambil mengayunkan keranjang yang dibawanya. Sesekali, ia berhenti sebentar untuk menikmati udara segar (udara di desa ini jauh lebih sejuk daripada di desa tempatnya tinggal!) dan melihat burung-burung kecil yang terbang. Ia juga berjalan pelan sambil memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi (padahal, baru 2 tahun ia tidak mengunjungi Symphony Village, tapi sudah banyak sekali hal yang berubah). Yah, Meiko harap, rumah kakek-neneknya tidak berubah sama sekali. Tapi di sisi lain, Meiko juga berharap supaya rumah kakek-neneknya berubah, sih, biar saja kalau serigala mesum itu nyasar.
"Meiko?"
"Hm?"
Mendengar namanya dipanggil, Meiko menoleh ke arah asal suara itu, dan ia mendapati dua orang gadis sebayanya yang sedang menatap ke arahnya.
"Dia…" Gadis yang berambut pirang panjang membuka mulutnya. "Meiko Sakine…?"
Gadis yang berambut pink panjang tersenyum kecil, menjawab, "Apa maksudmu? Tentu saja hanya dia satu-satunya orang yang selalu memakai kerudung merah ke mana pun ia pergi."
Sebuah senyum lebar terlukis di wajah Meiko. Ia tidak salah lihat! Dua orang itu ― Mereka tidak melupakan Meiko!
"Lily! Luka!"
Dalam sekali kedipan mata, Meiko memeluk kedua sahabat lamanya itu.
Ah, dan mungkin, reuni kecil mereka ini akan memakan waktu 2-3 jam… Ibu, mohon maafkan Meiko yang jadi tidak langsung pergi ke rumah nenek…
Kedua mata Akaito berbinar-binar, seakan ia baru melihat seorang wanita yang jauh lebih cantik dan seksi daripada Miyabi alias Maria Ozawa! Akaito tidak menyangka bahwa rumah nenek yang diberitahukan Meiko tadi sangat mudah ditemukan! Ya, bagaimana tidak? Saat ia sedang berjalan mondar-mandir dan kecewa karena tidak menemukan rumah yang dimaksud, tiba-tiba saja, ia menabrak sebuah sarang lebah. Ialalu kabur karena diserang oleh pasukan lebah yang marah, sampai akhirnya terjatuh (terpeleset syalnya sendiri) di depan sebuah rumah dengan tembok biru muda dan atap merah, dengan bunga tulip di halaman depannya.
Meski wajah dan tubuhnya bengkak disengat lebah, tapi pada akhirnya, ia bisa menemukannya! Ha! Usaha keras dari Akaito yang awesome pasti akan menghasilkan buah manis yang awesome!
Oke, sekarang, saatnya menyusun rencana!
Pertama, Akaito akan menyusup masuk ke rumah itu melalui jendela. Lalu… Err… Akaito memang suka memangsa perempuan, sih… Tapi itu bukan berarti Akaito juga suka memangsa seorang nenek, kaaaaaan…
Hup!
Sambil menyusup masuk melalui jendela di dekat halaman belakang rumah (setelah memastikan bahwa di dalam ruangan itu juga tidak ada orang) dengan hati-hati, Akaito terus memikirkan rencana yang tepat. Tuan Akaito yang awesome harus membuat rencana yang awesome!
Hal pertama yang Akaito lihat begitu ia menapakkan kakinya di lantai kayu ruangan itu adalah sebuah meja panjang dengan beberapa buah bingkai foto tersusun rapi di atasnya.
Akaito yang penasaran, berjalan mendekati meja panjang itu dan melihat foto-fotonya. Di bingkai foto yang paling besar (juga yang paling bagus), ada foto dengan 5 orang di dalamnya. Seorang pria tampan (tapi tetap saja, Tuan Akaito jauh lebih tampan!) berambut pirang yang tangan kirinya menggandeng tangan seorang wanita cantik berambut hitam pendek. Di depan mereka, ada seorang pria berambut platinum blonde yang sedang merangkul seorang wanita berwarna rambut sama dan seorang gadis manis berambut coklat pendek dan berkerudung merah.
―Oh!
Akaito tersenyum lebar. Gadis manis berkerudung merah itu sudah pasti Meiko-nya. Dan pasti, dua orang berambut platinum blonde itu adalah orang tuanya. Jadi, pria berambut pirang itu adalah kakeknya, dan wanita yang berambut hitam adalah neneknya!
Kalau begini sih, Akaito rasa, memangsa neneknya juga tidak apa-apa. Khukhukhu~
-Tsudzuku-
Aaaaaah, tidaaaaaaak, kenapa jadinya twoshots beginiiiii OTZ
Maafkan saya, minna-san, fanfic yang lainnya akan saya usahakan update secepat mungkin OTZ"
Sebenernya, ini cuma oneshot, tapi jadinya terlalu panjang. Jadi saya bagi dua, deh OTZ
Mungkin bakal saya update minggu depan ._."
Dan, ya, Orihara Izaya yang disebutin itu tadi, Izaya yang dari DRRR! ! 8D
Bayangkan saja Akai bergaya (?) seperti Izaya, nggak susah, kan? Mereka mirip, sih 8Dd
Lagi, terima kasih kepada Ryuuha Yuna yang sudah membantu mengetik dan menyumbangkan ide 8D
~Seiryuu Kasane
