Masashi's Chara was Borrowed by Cecil Hime

SasuHina

.

Semoga tidak bosan melihat fic saia beberapa hari ini.

Setelah membaca review dari readers yang telah menyempatkan diri meninggalkan jejak, saia merasa readers SANGAT benar. Fic Without YOU, all is NOTHING memang agak-agak GAJE. Karena tidak rela Hinata-chan meninggal, so this is the one i have in mind. SEQUEL. But, take it easy because this is just TWOSHOT.

Happy reading

.

.

"Untuk apa kau mengajak bertemu?"

"Duduklah dulu. Kau ingin memesan sesuatu?"

"Tidak."

"Baiklah."

"Jadi?"

Karena melihat pria di depannya sepertinya tidak menyukai pertemuan ini lebih lama lagi, pemuda berambut merah itu menyerah dan mengambil sesuatu dari sakunya lalu menyerahkannya pada pria itu.

Walau pemuda berambut merah itu tidak mendapatkan reaksi apa-apa dari orang tersebut, ia tahu bahwa pria di depannya sedang menahan gejolak di dadanya.

"Hinata yang mengusulkannya." Dia hanya tidak ingin disalahkan disini.

"Jangan munafik." Ya, pada dasarnya tetap saja dia punya kesalahan disini.

Kemudian dia merasakan kursi di depannya berderit, pria itu hendak pergi begitu saja.

"Sasuke, tunggu. Aku tidak berbohong ketika ku katakan bahwa Hinata lah yang mengusulkannya, dan kau benar, aku juga salah karena tidak menolaknya."

"Katakan apa maksudmu."

"Aku masih menginginkan Hinata. Aku berjanji akan membahagiakannya."

"Cih, kau bajingan, Gaara."

Dengan itu Sasuke meninggalkan kafe itu, juga meninggalkan Gaara yang menatapnya dengan perasaan bersalah.

Merasa tidak ada lagi yang dapat dilakukannya, Gaara pun beranjak keluar dari kafe. Ia masih sempat melihat sebuah kertas tebal bercorak merah maroon yang sudah lusuh akibat diremas kuat-kuat di dalam tong sampah dekat kafe. Rasa bersalah kian kentara di raut wajah tampannya.

"Maaf Sasuke" lirihnya sebelum memasuki sebuah ferrari hitam.

Seorang anak kecil mendekati tong sampah dan membuang sebuah es krim yang sudah kotor. Mungkin bekas terjatuh. Tapi bukan itu intinya. Intinya adalah eskrim itu mengenai kertas merah maroon itu dan menutupi sebagian tulisannya hingga yang terbaca hanya 'Undangan', 'Hyuuga Hi—" dan 'Saba—".

.

.

"Teme, berhentilah minum. Kau sudah menghabiskan dua botol penuh."

"Hn."

"Kau terlihat berantakan. Kau tidak boleh berakhir seperti ini."

"Hn."

"Apa yang akan Hikari pikirkan nanti jika kau pulang dalam keadaan mabuk?

"..."

"Cih, kau berisik."

Karena Naruto tahu dengan mengatasnamakan Hikari Sasuke pasti akan lebih berpikir jernih. Dan Naruto mengehela nafas lega ketika sahabatnya itu berhenti menenggak bir itu dan perlahan meninggalkan bar itu.

Sasuke menghentikan mobilnya ketika melihat lampu merah. Dalam keadaan setengah mabuk, Sasuke mengedarkan onixnya ke arah jalan. Enatah kenapa dia sangat membenci yang namanya lampu merah. Benci mobil berwarna hitam. Dan benci melihat aspal. Samar-samar ia masih dapat mengingat potongan kejadian yang dialaminya satu bulan yang lalu.

"Sasuke-kun, sepertinya Hikari haus. Tolong jaga dia, aku akan membelikan minuman di toko itu."

"Hn."

Beberapa menit kemudian ia heran melihat Hinata yang berlari ke arahnya dan Hikari dengan wajah panik sambil mengucapkan sesuatu. Sasuke heran, padahal Hikari baik-baik saja di gendongannya. Ada apa dengan Hinata? Setelah Hinata dekat barulah ia mendengar kata-kata wanita itu walaupun terputus-putus. Mobil? Terlambat. Ketika ia membalikkan badannya, ia merasa terdorong. Secara refleks, ia melindungi kepala Hikari dan memelukknya erat-erat ketika mereka terjatuh di aspal.

Baberapa detik kemudia ia tersadar bahwa ia terdorong ke samping, bukan terpelanting ke depan. Saat ia melihat ke aspal, ia menemukan Hinata dengan kepala berdarah.

Tin,tinnn! Tin...Tinn!

Tersadar dimana ia sedang melamun, ia kembali memajukan mobilnya.

Tidak sampai lima belas menit ia sudah sampai di apartemennya dan menemukan Hikari yang tertidur di sofa.

Sekali lagi, hal yang sudah biasa sejak sebulan terakhir ini. Menambah kebiasaan barunya lagi, Sasuke mengangkat tubuh gadis kecil itu dan membawanya ke kamar. Tak lupa ia kecup keningnya, lalu meninggalkan Hikari. Ia juga butuh tidur, walaupun akhirnya ia tidak akan pernah bisa tidur dengan tenang.

Sebenarnya ia ingin langsung tidur saja, tapi tangannya sepertinya ingin ia sedikit bernostalgia. Dibukanya laci kecil itu hingga ia kembali melihat kertas hasil lab yang sangat ia benci. Matanya langsung menuju satu kata diurutan paling bawah, yaitu 'KESIMPULAN'.

Dia memang membenci lampu merah. Dia juga memang membenci mobil berwarna hitam. Dan memang, dia juga membenci jalan beraspal. Tapi, di atas semua kebenciannya itu ia lebih membenci dirinya sendiri.

"Itu bukan salahmu Teme, berhentilah menyalahkan dirimu sendiri. Pengemudi mobil itu sedang mabuk sampai-sampai ia tidak melihat jalan dengan benar, bahkan tidak menyalakan lampu mobilnya. Wajar kau tidak menyadari kedatangan mobil itu. Lagipula, dia sudah di bawa ke kantor polisi."

'Tidak. Ini tetap saja keasalahanku. Aku tidak bisa melindungi keluargaku sendiri.'

.

.

Minimarket itu tampak berbeda. Lebih ramai. Karena memanng minggu adalah waktunya bagi sebahagian besar orang untuk mencukupi kebutuhan rumahnya.

"Tou-san, aku ingin es krim."

"Hn."

Sasuke membiarkan tangannya ditarik oleh Hikari sampai tiba-tiba Hikari berhenti.

"Ada apa?"

"T-tou-san, i-itu Kaa-san." Kata Hikari sambil menjulurkan telunjuknya ke arah dekat toko es krim.

DEG

'H-Hinata'

Wanita itu masih secantik dulu. Rambutnya masih sama, masih sependek bahu bekas pangkas waktu itu. Mungkin hanya bertambah beberapa senti saja. Matanya masih sama antusisnya saat melihat es krim dengan banyak rasa. Cara berpakaiannya masih sama sederhananya dengan dulu. Sederhana, tapi tetap cantik.

Yang berbeda hanyalah bekas luka di dahi kirinya. Akibat... 'Akibat kesalahanku' pikrnya.

Lalu ia melihat seorang anak kecil yang tiba-tiba memeluk kaki Hinata.

Hikari? Sejak kapan?

"Kaa-san, hiks... Hikari rindu Kaa-san."

"Eh?" wanita yang dipeluk tentu saja heran. Kaa-san? Apa maksudnya?

"Ekhm. Maaf, anak saya salah orang."

"Eh? Tidak apa-apa."

"Apa yang Tou-san katakan? Ini Kaa-san."

"Maaf, anak saya baru saja kehilangan Kaa-sannya. Dia mirip sekali dengan anda."

"Aa, saya mengerti. Kasihan sekali."

Ya, kasihan sekali.

"Ayo, Hikari. Kita pulang."

"Aku t-tidak mau. aku masih mau sama Kaa-san. Hiks."

"Bagaimana kalau kita minum teh sebentar?" tawar Hinata. Sepertinya dia tidak tega pada anak kecil itu. Atau tidak tega karena alasan lainkah? Entahlah. Dia juga bingung.

.

.

Sepertinya dia hanya lima menit ke toilet. Tapi, sekembalinya ia dari toilet pria berambut merah maroon itu langsung disuguhi pemandangan yang mengejutkan. Awalnya ia ingin menghampiri calon istrinya, tapi sepertinya hati kecilnya berbicara lain. Tidak seharusnya ia mengambil dunia Hinata 100% kan? Membiarkan pemuda berambut raven disana melepaskan rindu beberapa jam ke depan tidak ada salahnya. Dia tidak ingin menjadi orang jahat disini. Memilih mendengarkan hati kecilnya, ia pun meninggalkan minimarket itu dan sambil mengetikkan sesuatu di ponselnya.

Memang tidak salah jika dulu Hinata pernah mencintai lelaki sebaik itu. Dulu.

.

.

"Kaa-san, aku ingin disuapi."

"Hikari, jangan bertindak tidak sopan."

"Tidak apa-apa m-m-"

"Sasuke."

DEG

Hinata tiba-tiba saja merasakat sakit di dadanya. 'Ada apa denganku?' pikirnya

"Apa Anda baik-baik saja?"

"Hai. Hikari-chan tidak apa-apa memanggilku Kaa-san. Dia gadis yang baik. Namaku Hinata. Hinata Hyuuga. Sasuke-san bisa memanggilku Hinata."

'Benarkah masih boleh? Bagaimana dengan 'Hime', sudah tidak bisa kah?'

Walaupun begitu, Sasuke tetap saja senang. Dia tidak menyangka Kami-sama masih mau membiarkannya melihat wajah 'istrinya' itu. Dan untuk pertama kalinya dalam sebulan ini, ia menampakkan lagi senyumannya. Bukan sekali. Tapi setiap saat.

Bagaimana tidak?

Di depannya Hinata kembali menyuapi anak merka dengan kasih sayang. Senyumnya masih tulus seperti dulu. Cara menyuapkannya juga sama. Dan masih sama caranya mengelap sisa es krim di sudut bibir Hikari ketika makan es krim.

Dia tahu bahwa kebahagiaan saat ini hanyalah sementara. Tapi, dia tidak mau pikiran itu merusak harinya. Ia ingin menikmati waktu itu.

"Setelah ini aku mau jalan-jalan ke taman denga Tou-san dan Kaa-san!"

.

.

"Terima kasih telah membuat Hikari senang."

"Sama-sama. Aku juga senang melihatnya senang. Dia gadis yang cantik. Pasti istri anda cantik sekali."

'Ya. Kau memang cantik Hinata.'

"Memangnya apa yang terjadi pada istri anda?"

Menyadari ucapannya yang agak lancang, Hinata kembali bersuara.

"Gomen, saya tidak bermak—"

"Hn. Tidak apa-apa. Kami mengalami kejadian yang mengharuskan kami berpisah."

Awalnya Sasuke tidak ingin bercerita, tapi ia ingin mengetahui pendapat Hinata. Layakkah ia dimaafkan atau tidak. keingintahuan itu memenangkan egonya.

"Apa bercerai?"

"Tidak juga. Karena kesalahanku ia mengalami kecelakaan. Waktu itu ada mobil hitam yang dikendarai orang mabuk tanpa menyalakan lampu mobilnya. Mobil itu hampir menabrak kami. Tapi, Hinata menyelamatkan kami sehingga akhirnya dialah yang mengalami kecelakaan itu."

"Aku turut menyesal, Sasuke-san. Istri anda sangat baik."

'Ya. Kau sangat baik Hinata.'

"Tapi itu bukan kesalahan Sasuke-san. Itu memang sudah takdir. Aku yakin istri anda sudah memaafkan Sasuke-san. Dia menyelamatkan kalian, berarti dia sangat mencintai kalian."

'Benarkah? Kau bahkan tidak sudi mengenalku lagi'

Ketika Sasuke mengarahkan matanya ke arah Hinata, Hinata sedang tersenyum. Hikari melambaikan tangan padanya. Sudah lama sekali rasanya tidak melihat Hinata tersenyum lepas seperti ini. Ia benar-benar merindukannya.

"Apa Sasuke-san tidak mencarikan Hikari Kaa-san baru?"

'Apa kau bercanda, Hime?'

"Gomen. Tapi, Hikari masih kecil. Dia butuh kasih sayang seorang ibu."

"Hn. Tapi, aku tidak bisa."

"Apa Sasuke-san menyerah?"

"Bukan menyerah. Aku hanya berusaha bertahan."

"Eh? Kenapa harus bertahan?"

"Karena kami sedang berusaha mencari jawaban."

.

.

Hinata pov

Ah, rasanya segar sekali setelah mandi. Hari ini hari yang melelahkan sekligus mengasikkan. Aku tidak tahu mengapa rasanya hatiku senang sekaligus sesak saat bersama Hikari dan Sasuke-san. Mungkin karena aku menyukai Hikari sekaligus juga kasihan karena Hikari kehilangan Kaa-sannya dan Sasuke-san kehilangan istrinya.

Aku dapat merasakan Sasuke-san sangat mencintai istrinya. Apakah nanti Gaara-kun juga akan begitu jika ia kehilanganku? Ah, apa yang kupikirkan? Mengapa aku membandingkan Gaara-kun dengan Uchiha-san? Tentu saja Gaara-kun akan mencintaiku juga.

Aku tidak dapat melupakan apa yang dikatakan Uchiha-san tadi.

.

"Karena kami sedang berusaha mencari jawaban."

"Maksudnya?"

"Apakah ia baik-baik saja sekarang? jika ia tidak baik-baik saja, apakah ia bisa memaafkanku? Atau jika dia mau memaafkanku masih sudikah ia berbicara padaku, atau bahkan sekedar melihat wajahku? Apakah ia masih mencintaiku? Jika tidak, apa itu artinya kesalahan yang ku buat terlalu besar? Atau jika ia masih mencintaiku, kenapa dia sama sekali tidak kembali padaku? Kenapa ia bahkan tidak mengingatku? Apa itu artinya ia memang ingin melupakanku? Atau apak—"

"Hiks...Hiks.." melihat wanita yang ia cintai itu menangis, ia pun berhenti. Ia terlalu emosi. Karena dia memang sudah lama menyimpan pertanyaan itu. Rasanya tidak nyaman jika tidak keluar.

"Aku membutuhkan jawaban itu. Aku akan bertahan. Sampai dia sendiri yang mengijinkanku untuk berhenti."

.

Sampai sekarang saja aku masih tetap menagis ketika mengingatnya. Padahal aku bukan lagi gadis yang cengeng sekarang. Tapi itu memang menyesakkan dan membuatku tidak berhenti menangis. Aku dapat merasakan rasa kehilangan dan rasa bersalah yang dirasakan Sasuke-san. Dadaku juga ikut sesak mendengarnya. Tidak, jangankan mendengarnya, dengan mengingatnya saja sudah cukup membuatku sulit bernafas. Sesak. Itu terlalu menyakitkan. Dan rasanya sangat tidak enak.

.

"Hiks, maaf. T-tapi kenapa Sasuke-san memilih bertahan? Bu-bukankah istri Sasuke-san telah meninggal?"

"Tidak aku tidak pernah mengatakannya."

"Tapi, bukankah istri anda mengalami kecelakaan?"

"Hn."

"..."

"Dia... dia amnesia."

"..."

"Dia melupakanku. Ketika ia terbangun ia hanya ingat keluarga dan mantan pacarnya. Dia tidak mengingatku. Bahkan Hikari."

"..."

"Dokter bilang dia tidak boleh dibebani pikiran. Biarkan dia mengetahui yang ia ingat saja. Aku tidak dapat melupakan wajah senangnya ketika mantan pacarnya itu menjenguknya. Dan di atas itu semua aku terlalu takut untuk menjumpainya. Aku tidak berani lagi menawarkan kebahagiaan padanya, karena buktinya ia terluka bersamaku. Jadinya, seperti inilah aku dan Hikari."

"T-tidak bisakah lagi semuanya diperbaiki?"

'Hanya kau yang dapat menjawabnya, Hinata.'

"Mereka akan menikah minggu depan."

.

tbc

.

.

Akhirnya ngetiknya selesai jugag. Langsung publish ah... LOGIN