Aku punya keluarga yang aku sayangi.
Papa.
Mama.
Kakak kembarku Luhan.
Dia mempunyai 'itu'.
Dan Aku.
Aku tidak mempunyai 'itu'.
Satu-satunya noda yang ada di keluargaku...
...adalah Aku.
XX===XX
BROTHER
XX===XX
Cast : EXO Luhan, Baekhyun (GS)
Genre : Family, Drama
Rated : K+
Disclaimer : EXO dan para membernya bukan punya saya. Original story from Kekkai Sensen by Yasuhiro Nightow sensei. Remake story ini punya Nyandyanyan, dengan sedikit perubahan sebenarnya.
Summary : Keluarga kami dianugerahi kekuatan psikis. Sayangnya, aku tidak. –Baekhyun-. Bukankah lebih baik jika aku tidak menggunakan kekuatanku? –Luhan-. Tentang bocah kembar beda gender yang masih belum bisa menentukan pilihannya. EXO FICT. HANBAEK. LUHANXBAEKHYUN. GS for Baekhyun.
p.s. akan kulanjutkan versi dewasanya jika banyak yang minta lanjut /liciknya/ 'w'
XX===XX
Happy Reading
XX===XX
Keluarga kami adalah keluarga spesial. Sebab setiap keturunan keluarga kami dianugerahi kekuatan psikis. Kau tahu? Seperti telekinesis, telepati, atau apapun itu tentang mengendalikan sesuatu dengan pikiran.
Mereka menggunakan kemampuan itu untuk membantu orang lain. Bukankah itu keren? Begitupun Papa dan Mama. Kedua orangtuaku berasal dari keluarga dengan kemampuan itu. Kakak kembarku juga. Telekinesis adalah kemampuannya.
Sayangnya, aku tidak.
Terlahir sebagai seseorang berdarah murni membuatku terlihat menyedihkan. Aku seperti sebutir jagung diantara tumpukan kedelai. Menjadi sesuatu yang berbeda adalah hal yang sangat kubenci.
Apa ini yang disebut suatu ketidakberuntungan?
Kadang aku menempatkan diriku sendiri dalam sebuah pengadilan.
"Baekhyun, dinyatakan bersalah karena lahir tanpa kekuatan psikis apapun"
Dak! Dak! Dak!
Aku memukulkan sendok ke atas meja makan. Luhan menoleh ke arahku dengan mulut dipenuhi sereal paginya. Menatapku bingung dan tatapan seolah berkata, 'Kau kenapa?'.
"Aku keberatan" Papa dari tempatnya mengangkat tangan kanannya sementara tangan kirinya menggenggam secangkir kopi buatan Mama. Dia tersenyum lebar ke arahku. "Aku juga" Mama ikut dibelakangnya dengan seloyang cookies coklat yang baru di angkatnya dari oven.
"Untuk alasan apa kalian keberatan?" nada ketus khas seorang bocah. Mama terkikik, diletakkannya satu persatu cookies dalam piring lonjong di atas meja.
"Bukankah sudah jelas?" dia bertanya balik, "Karena dia terlahir sebagai gadis kecil kami. Memangnya ada alasan lain selain itu?" Mama menyodorkan piring itu sambil menatapku dengan senyum jahil diwajahnya. Aku merenggut. Luhan tertawa polos.
"Benar~ Benar~ Begitu saja sudah lebih dari cukup" kali ini Papa, plus cubitan pada hidungku. Aku mengaduh sambil memukuli tangan besarnya. Kedua orangtuaku tertawa. Kakak kembarku juga.
Jujur saja, bukankah aku kelihatan seperti anak yang tidak berguna? Kasih sayang mereka justru membuatku terlihat lebih menyedihkan.
XX===XX
Ada lagi yang lebih menyedihkan.
"Maaf, aku menjatuhkan mainanmu Luhan" aku menyodorkan mobil-mobilan penuh lumpur ke arahnya.
"H-hiks hhiks. Huwaaaaaaa~"
Kakak kembarku.
Luhan.
"PAPA! LUHAN MENANGIS" bukan hal aneh jika aku panik hanya karena tangisannya. Sebab seiring dengan suara keras dan tetesan air mata plus lendir dari hidungnya maka benda-benda disekitarnya akan ikut terangkat seakan melawan gravitasi.
"Huwaaaaa~~~ ampun~" tangisan lagi. Tapi tidak ada benda-benda terbang lagi disekitarnya. Entahlah, mungkin dia sudah bisa mengendalikan kekuatannya.
"Tch" itu membuatku tambah kesal.
"Cepat kejar si kacamata itu!"
"Hei cepat serahkan uangmu, kacamata!" Aku melihatnya dari kelasku di lantai dua. Dia dikejar 3 orang kakak kelas yang selalu membullynya. Tidak heran sih. Penampilannya memang cocok sekali sebagai anak yang mudah dikerjai. Kacamata besar itu. Seragam yang dipakai terlalu rapi. Dan dia cengeng. Selain itu kita berada dikelas yang berbeda. Jadi aku tak punya kesempatan untuk membelanya.
"Baekhyunnie, kakakmu-"
"Biarkan saja" aku masih menatapnya dari atas. Dia sudah jatuh ditengah lapangan dengan ketiga anak itu menginjak dan menendangnya dari berbagai sisi. Setelah ketiganya pergi dia tak kunjung bangkit dari tempatnya. Matanya bertemu pandang denganku. Membuatku diam sebentar dan bertahan menatapnya. Dia lalu tersenyum dengan deretan gigi yang terlihat seluruhnya.
"Dasar bodoh".
XX===XX
"Kenapa kau tidak melawan mereka?" kami diperjalanan pulang. Dia diam saja, matanya lurus menatap ke jalan penuh bebatuan didepan kami. Kakinya menendang asal kerikil yang berada didekat kakinya.
"Kau tidak seharusnya selalu dihajar begitu"
"Hm" aku berdecak, dia seakan tidak perduli pada dirinya sendiri. Aku kesal.
"Kau akan kesakitan kalau terus-terusan pasrah begitu"
"Habisnya.." ucapannya terhenti, dia menendang kerikil lagi jauh hingga beberapa meter didepan kami. "..aku tidak bisa berkelahi" pipiku menggembung disisi kanan, tanda bahwa rasa kesalku sudah berada di puncak. Aku berbalik, menghadap ke arahnya.
"Kau kan laki-laki! Lagipula kau bisa gunakan 'itu' kan?!" teriakku padanya, dia mundur beberapa langkah.
"E-eh?"
"Kekuatan psikismu. Gunakan saja! Kau punya sesuatu yang berharga. Kenapa tidak kau gunakan?!" aku berteriak lagi, wajahnya agak ketakutan. Dia sekarang menunduk, menghindari tatapanku.
"Maaf"
"Kenapa kau minta maaf?!"
"E-eh? H-habis-"
"Kau tidak perlu minta maaf. Lakukan saja! Aku tidak tega kalau harus melihatmu ditindas terus" aku menunjuknya tepat diwajah. Kedua iris coklat tua itu menatap ke telunjukku. Mengerjap beberapa kali sebelum membalas ucapanku.
"M-maaf" aku menghela nafas lalu berjalan lesu meninggalkannya. Dia mengekor dibelakangku. Beberapa saat setelahnya menyamakan langkah denganku seperti perjalanan kami sebelumnya.
"Baekhyun"
"Hng?"
"Terima kasih" aku menoleh, dia tersenyum sambil membetulkan kacamata besarnya. "Aku selalu saja ketakutan. Tapi kalau ada Baekhyun aku akan merasa baik-baik saja. Karena Baekhyun lebih kuat dariku".
"Hah? Kau meledekku?!" aku menatapnya kebingungan. Dia malah tersenyum makin lebar kemudian menggeleng pelan.
"Lupakan saja. Lagipula..."
"..bukankah lebih baik jika aku tidak menggunakan kekuatanku?"
XX===XX
Aku tidak pernah tahu jika dia punya ketakutan yang besar pada kekuatannya. Wajar sebenarnya. Seseorang dengan kekuatan besar akan dengan mudah dihancurkan oleh kekuatannya sendiri jika dia tidak bisa mengendalikannya. Mungkin itulah yang dia takutkan.
"Apa Papa tahu kenapa Luhan tidak mau memakai kekuatannya lagi?"
"Eh, Luhan?" aku mengangguk. Papa menatapku dengan tangan kanan mengusap dagu. Sementara tangan kirinya memegang tongkat baseball. Kami sedang bermain dihalaman belakang sebenarnya.
"Bukankah itu karena Baekhyun?"
"Aku?"
"Wah, wah. Tuan Putri kami lupa sesuatu. Padahal itu hal yang gawat loh" aku memajukan bibir, Papa tertawa melihatnya.
"Tidak usah khawatir. Luhan itu anak laki-laki Papa yang kuat. Dia hanya belum menentukan pilihan yang tepat untuknya" aku mendengus, mengalihkan pandanganku dari Papa.
"B-bukannya aku khawatir"
"Ah, Baekhyun benar-benar tsundere* seperti Mama"
Bugh.
"Aduh" Papa memegangi bagian bawah kaki kirinya yang barusan kutendang. Papa lalu tertawa, "Dan Baekhyun sama kuatnya dengan Mama" aku menatapnya kesal. Tangan Papa kini mengacak pelan rambutku. Membuatku protes karena usahaku menata rambut tadi pagi jadi sia-sia karenanya.
"Kau tahu? Memilih tidak menggunakan sesuatu yang berharga adalah keputusan yang berani" Papa memukulkan tongkatnya ke tanah beberapa kali. "Lagipula Papa tidak memaksanya untuk menggunakan kekuatannya. Jika itu hal yang dipilih Luhan maka Papa akan terus mendukungnya" aku terdiam. Kata-kata Papa benar sepenuhnya. Kami tidak bisa memaksakan kehendak pada seseorang.
"Ah, Luhan" aku melihatnya disana, dengan nampan berisi sebotol jus jeruk dan beberapa gelas.
"Luhan, barusan Baekhyun bilang-"
Bugh.
"Aduh~" kali ini aku memukul keras perut Papa. "Bukan apa-apa" sambungku.
Luhan hanya menatap kami kebingungan.
XX===XX
Musim semi. Tiga hari lalu adalah ulang tahunku dan Luhan yang ke 11. Dan hari ini kedua orangtuaku mendapat panggilan pekerjaan. Papa dan Mama yang biasanya dengan Papa dan Mama saat mereka bekerja adalah sosok yang sangat berbeda.
"Baiklah, jaga Baekhyun ya, Luhan" Luhan mengangguk yakin. Aku merasa kata-kata itu lebih tepat ditujukan padaku daripada untuknya. Kata-kata yang selalu diucapkan Papa dan Mama sesaat sebelum kepergian mereka dalam setiap pekerjaan yang mereka dapat.
Pekerjaan utama kedua orangtuaku adalah... hm, bagaimana menjelaskannya? Mereka membantu penyelidikan berbagai macam kasus kejahatan didunia. Bisa dibilang agen rahasia. Keren. Apalagi dengan kekuatan psikis masing-masing. Papa dengan teleport dan Mama dengan time controlnya. Mereka mempertaruhkan nyawa mereka dalam pekerjaannya. Juga melindungi sesuatu dari orang-orang jahat. Semua hal itu kadang membuatku iri. Karena itu juga kadang sebuah pertanyaan kutujukan untuk diriku sendiri.
Akan menjadi apa aku nanti?
Bukankah aku harus mempunyai sesuatu yang harus kucapai saat aku dewasa nanti?
Sesuatu ya.
Tapi apa?
"Eh, Baekhyun. Kau menemukan sesuatu yang menarik ya?" Mama menatap ke arah sesuatu dalam genggamanku dengan penasaran. Aku menunjukkan benda itu padanya. "Aku menemukannya di gudang. Boleh kupakai?" Mama tertawa, dia mengusap rambut coklat sebahuku.
"Tentu saja. Lagipula kamera itu milik Papa kan. Dia tidak akan keberatan" Mama lalu meninggalkanku diruang tamu. Dia bergumam soal makan malam sambil berlalu. Aku menatap kamera polaroid di tanganku.
Sesuatu yang ingin kucapai ya?
XX===XX
Anjing milik tetangga kami.
Sungai di sore hari.
Teman-teman sekelasku.
Gerbang sekolah.
Orang-orang di taman.
Domba di peternakan.
Wajahku yang tertutup cahaya kamera saat aku memotret cermin di gudang.
"Baekhyun suka kameranya ya?" tanya Mama saat aku menempel satu demi satu objek yang kupotret dan tercetak dari kamera polaroid milik Papa di salah satu sisi dinding ruang tengah.
"Hmm" aku menyahut asal. Mama mulai memuji apa yang kupotret. Aku mengabaikannya. Menatap satu persatu potret yang baru saja kutempel.
Kucing liar.
Pemukiman di atas bukit.
Mama, Papa, dan Luhan.
Para pria yang berkumpul di kedai.
Matahari tenggelam.
Makam di pinggir kota.
"Whoaaa banyak sekali" kali ini Papa. Papa mengamatiku yang menempel foto-foto baru.
"Hm" jawabku singkat.
"Apa tidak ada foto Baekhyun?"
"Tidak ada. Lagipula itu bukan tujuanku"
Bukannya aku menyukai fotografi atau objek yang kupotret. Aku cuma ingin mengabadikannya. Selain itu jika aku mati suatu hari nanti, aku ingin apa yang kupotret menjadi sesuatu yang bisa dikenang.
Tujuan yang sangat sederhana.
XX===XX
"Oi, adiknya si kacamata. Kudengar kau punya mainan yang menyenangkan" tiga orang yang sering membully kakakku menghadangku saat aku melewati jembatan kecil yang melintasi sungai di area sekolah. Kamera ditanganku sedang diincar rupanya.
"Pinjamkan pada kami" ucap salah satu dari mereka dengan suara sangar yang sangat dibuat-buat.
"Hm, boleh" aku menyerahkan kameraku. Mereka tertawa seperti anak umur lima tahun dengan sekantong permen ditangannya. Aku meninggalkan mereka. Kembali kekelas mungkin adalah pilihan yang baik.
"Kembalikan kameranya!" aku mendengar teriakan Luhan dibelakangku saat aku sudah separuh jalan dari tempatku tadi menuju kelas. Aku berbalik, benar saja Luhan disana. Pundaknya naik turun dengan nafas terengah. "Kembalikan kamera adikku".
"Hah?! Adikmu sendiri yang meminjamkannya dasar kacamata siscon**"
"T-tetap saja... Kembalikan! Itu adalah sesuatu yang berharga untuknya" dasar dramatis. Aku berjalan pelan menghampiri mereka. Mengajaknya pergi dari sana atau mengambil kembali kameraku adalah pilihan yang harus kuambil secepatnya. Biarpun begitu hal yang lebih penting adalah menghampirinya terlebih dahulu.
"Hmm. Baiklah, aku kembalikan" salah satu dari mereka menyahut kamera itu dari tangan temannya. Kemudian melemparnya ke arah sungai. Lalu aku melihatnya. Untuk pertama kalinya. Saat kakak kembarku memperjuangkan sesuatu yang menjadi milikku.
XX===XX
"-hyun? Baekhyun" aku mengerjapkan mata lalu mengusapnya kasar. Aku tertidur rupanya. Luhan terbaring diranjang rumah sakit sambil menatapku bingung.
"Kau sedang apa?" aku mendengus.
"Memastikan apa kau masih hidup"
"Oh. Mama mana?"
"Menelpon Papa"
"Oh" respon yang menyebalkan.
"Kenapa kau loncat ke sungai?"
"Hng, tadinya aku mau menyelamatkan kameramu. Tapi tidak berhasil ya?" dia mengalihkan pandangannya dariku. "Maaf" gumamnya. "Padahal kau menyukainya".
"Jika orang-orang tidak menyelamatkanmu kau pasti mati"
"Begitu ya" wajahnya acuh, menatap kosong ke arah pintu ruangan itu. "Bahaya sekali ya. Aku akan berterima kasih pada mereka nanti".
"KAU KENAPA SIH?!" dia menoleh, kaget dengan teriakan tiba-tiba dariku. "Kau bertingkah seakan tak terjadi apapun. Aku tidak perduli dengan kameranya. Foto-foto itu juga tidak penting. Aku benci padamu. Kau punya kekuatan kan? Gunakan saja kekuatanmu untuk melindungi dirimu sendiri!"
"Baekhyun, m-maaf. Aku-"
"Bagaimana jika kau mati?!" aku tidak tahu darimana kata-kata itu berasal. Tapi aku tahu jika sesuatu sedang berusaha melesak keluar dari kedua kelopak mataku. "Jika kau mati.. j-jika kau benar-benar mati.. jika k-kau meninggalkanku.. hiks-"
"B-baekhyun-"
"-aku tidak akan rela" kemudian aku menangis. Tangisan dengan teriakan sedih, wujud rasa kesalku pada kakak kembarku yang melakukan hal bodoh demi diriku. Sesaat setelahnya dia ikut menangis. Sama kerasnya denganku.
XX===XX
"Baekhyun".
"Hng" aku menyahut panggilan Luhan. Dia sudah keluar dari rumah sakit tadi pagi. Kata dokter lukanya tidak terlalu serius. Selain itu, mungkin karena kekuatannya juga beberapa lukanya sembuh dengan cepat. Dan disinilah kami sekarang. Kamar kami berdua. Aku terlentang diatas tempat tidur dengan kedua kakiku tertekuk, menatap langit-langit kayu diatasku.
"Dulu kau pernah membuat bola lumpur".
"Hah?!".
"Bola lumpurmu bagus sekali".
"Aku memang suka dengan lumpur".
"Karena itu aku kesal, jadi aku merusak bola lumpurmu".
"Dasar kekanakan" aku berkata ketus, kudengar desahan keras dari seberang tempat tidurku. Tempat tidur Luhan. Sekilas aku menoleh dari celah kakiku, dia juga terbaring dengan posisi terlentang. Hanya saja sebagian kakinya tampak menyentuh lantai.
"Memang terjadi saat kita masih kecil kan? Jadi wajar saja" aku tersenyum, kalau dipikir-pikir banyak sekali hal konyol yang selalu kami lakukan bersama sejak dulu. Aku sedikit merindukan masa-masa itu.
"Kupikir.. kau akan menangis" suara Luhan terdengar lebih berat dari sebelumnya. Membuatku ingin melihat langsung ke arah wajahnya walau nyatanya urung kulakukan. "Tapi ternyata kau cuma menatapku kebingungan lalu membuat bola lumpur lagi. Aku memalukan ya?".
"Tidak juga".
"Aku merasa kau meninggalkanku. Karena kekuatanku tentu saja. Tumbuh besar dengan kekuatan ini membuatku takut. Karenanya sejak saat itu kuputuskan untuk menjadi kuat dengan usahaku sendiri".
"Kau benar-benar kekanakan" aku mendengar gumaman maaf darinya, "Eh, tunggu. Jadi kau berhenti menggunakan kekuatanmu hanya karena bola lumpur?".
"Hah?!".
"Apanya yang gawat? Papa menyebalkan" ujarku kesal.
"Hm, sebenarnya soal aku berhenti menggunakannya tentu saja karena tangisanku" ucapnya lembut. "Berbahaya kan jika aku terus menerbangkan barang-barang secara acak. Dan juga kata Papa kau khawatir soal pilihanku itu. Aku akan baik-baik saja, Baekhyun" entah kenapa suara Luhan lebih menenangkan daripada sebelumnya. Aku merona, malu.
"A-aku tidak khawatir padamu kau tahu".
"Pfftt" kudengar suaranya menahan tawa, dia memperhatikan aku ternyata. "Baekhyun tsundere*" kemudian dia merenggut, kemudian menutupi wajahku dengan kedua tangan. Perlahan, ikut menertawakan hal bodoh yang baru saja kami bicarakan.
"Selain itu. Sebenarnya aku sangat menyukai foto-fotomu"
"Itu bukan hal yang spesial"
"Kau memotretnya karena menurutmu bagus. Jadi jangan katakan kalau foto-foto itu hal yang tidak penting" suara Luhan agak meninggi, aku bangun dari posisiku. Dia sudah berganti posisi sejak tadi. Kami saling tatap dari ranjang masing-masing. "Ah, aku ingat kalau aku pernah memotretmu" dia lalu bergerak ke arah sudut ranjang bagian atasnya. Merogoh sesuatu dicelah antara ranjang dan dinding kemudian mengeluarkan sebuah foto dari sana.
"Nah, lihatlah" dia menyodorkannya padaku sambil tertawa. Difoto itu adalah aku. Tertidur dengan mulut terbuka dan air liur disudut bibirku. Piyama merah muda yang kugunakan terlihat berantakan.
"Aku nakal sekali kan? Haha, habisnya kau tidak akan mau difoto jika sedang sadar. Jadi aku memotretmu saat kau tidur" aku menunduk, potret itu berada di atas pangkuanku. Aku menangis, dalam diam. Tetes demi tetes membasahi potret itu.
"Lagipula foto yang kuambil tidak sebagus milikmu. E-eh? Baekhyun? Kau menangis? M-maaf" Luhan kini didepanku, bersimpuh dengan wajah khawatir. "Aku memang jahat. Maafkan aku. Kau pasti kesal melihat foto itu. Aku-"
Bruk!
Aku memeluknya. Hingga tubuh kurusnya jatuh terduduk. Pelukan yang erat seakan dia akan hilang jika aku melonggarkan pelukanku.
"B-baekhyun?"
"Terima kasih, oppa" aku mengatakannya sepelan mungkin. Entahlah, aku merasa senang dan sedih disaat yang sama. Kemudian kurasakan lengan Luhan membalas pelukanku.
"Hm, sama-sama. Baekhyunnie"
"Ne~ Luhan"
"Hng?"
"Jika kau ingin bekerja seperti Papa dan Mama saat dewasa nanti kau harus mulai melatih kekuatanmu" kataku masih dalam pelukannya, dia tampak menggumamkan sesuatu sebelum menbalas perkataanku barusan dengan jelas. Aku merasakan kepala bersurai coklatnya menggeleng pelan.
"Tidak. Aku akan melindungi Baekhyun saat dewasa nanti"
"Tapi-"
"Jangan meragukanku. Aku akan menjadi lebih kuat darimu saat dewasa nanti" dua kalimat itu terucap dengan keyakinan penuh. Aku tersenyum, mengangguk. Percaya dengan sepenuh hati pada kata-katanya.
"Lagipula aku tidak yakin bisa menjadi agen rahasia sehebat Papa dan Mama"
"Kau pasti bisa. Aku percaya padamu" Luhan melepas pelukannya, kedua tangannya memegangi pundakku. Aku bisa melihatnya tersenyum sambil menatap langsung ke arah mataku.
"Terima kasih" bibirku membentuk sebuah senyuman. Bukan perintah dariku tapi dari hatiku. Aku mengangguk. Dia lalu menarik tanganku, membantuku berdiri. "Ayo tidur".
"L-Luhan..." aku menatapnya ragu, kemudian menatap ke lantai bermaksud menghilangkan rasa canggung. "M-mau tidur denganku malam ini?" dia terdiam sebentar sambil menatapku dengan tatapan yang tak dapat kuartikan. Kemudian tertawa pelan.
"Tentu saja" dia melepas kacamatanya dan meletakkannya diatas nakas diantara ranjang kami sebelum melompat ke atas ranjangnya. Lalu sambil menatapku dari tempatnya dia menepuk bagian kosong disebelahnya. "Sini" satu kata yang membuatku tersenyum dan naik ke atas ranjang yang sama dengan milikku.
Kami berhadapan. Dia masih terjaga, aku tahu walau aku memejamkan mata. Dia bersenandung, lullaby yang sama dengan yang sering dinyanyikan Mama dulu.
"Baekhyun? Sudah tidur ya?" aku tidak menjawabnya. Dia menghela nafas, hembusannya sampai diwajahku. Kemudian tangannya memelukku dari samping.
"Baiklah. Selamat tidur" setelahnya justru akulah yang terjaga. Mataku melebar saat sadar dengan hal yang dia lakukan setelah berkata 'Selamat tidur'. Luhan menciumku, tepat di bibir.
"Eh, kau belum tidur?"
"A-apa yang-"
"Ciuman selamat tidur" jawabnya dengan senyum lebar. "Selamat tidur" kemudian matanya terpejam dengan senyum yang belum meninggalkan wajahnya.
"Luhan bodoh"
XX===XX
*Tsundere = tipe cewek/cowok yang menyukai seseorang tapi selalu menutupi sikapnya dan berusaha bersikap tidak perduli.
**Siscon = dari kata Sister Complex, yaitu sosok kakak yang terlalu overprotektif pada adik perempuannya.
JAAAAAAAA, Allo gays /coret/ Allo guys 'w'
Bagaimana? Bagaimana?
Aku tetap bertahan pada keabsurdanku 'w'
Ini cerita tentang si kembar William dan Marry dari anime Kekkai Sensen /lebih dikenal sebagai Black dan White sih/
Kupikir akan menarik jika kubuat versi EXO nya dan sedikit lebih EHEM romance.
HAHA.
Garing.
._.
Thanks buat reviews, favs and follows kalian di fanficku sebelum-sebelumnya /bow/
Aku butuh lagi semua itu di fanfic-fanfic selanjutnya.
Juga akan kulanjutkan fict ini /baca=versidewasanyamereka/ jika banyak yang menaruh minat 'w'
See you next time.
BALASAN REVIEW FF WARN
aeri0110 = justru karena muka polosnya hahah :D thanks for reading, babe /titikduabintang/ XD
gray = haha, mian mian. Abisnya Cuma Lay yang pas buat karakter ini :D thanks or reading /titikduabintang/
ABC-HS = soalnya Baekhyun unyu /plak/ thanks or reading /titikduabintang/ :D
CIAO GAYS!
\(^0^)/
