Fragile

A simple drabble about KaiSoo

By Nam Raein

Hurt Comfort / GS

.

.

"Aku hanya sisa kelemahan diriku padamu."

.

.

Angin pagi menerbangkan sisa-sisa unggun api yang terbakar semalam, seekor burung datang sekedar menyapa; selamat pagi. Ketika langit hanya menunjukkan gumpalan yang abstrak, aku melihatnya. Lelaki itu terduduk dan menunduk menatap bongkahan batu.

Angin bertiup menyejuk, menggoyangkan surai yang menutupi dahi lelaki itu, namun ia tidak bergeming.

Aku dan dia bagaikan lawan yang tak dapat dihentikan. Saling memakan kenangan dari kebahagiaan yang ada, saling mengejar untuk sesuatu yang tak pasti tujuannya, selalu menjalar di manapun berada.

Dalam diam, aku mengamatinya dari jauh. Aku bahagia, dan aku yakin akan hal itu.

Aku terus memandangnya seperti tak ada hari esok. Hingga ketakutan menyelimutiku. Aku takut jika aku lepas kendali dan memaksanya untuk tunduk dan mengikuti segala langkahku untuknya.

Aku ingin dia menjadi miliku. Bukan musuh.

Suatu saat, ada seseorang yang bermimpi untuk melihat lengkungan di bibir dan sabit di mata. Selalu memimpikan kehadiranmu yang berharga melebihi berlian. Sehingga, ketika kau, lelakiku, merasa sendirian, aku ingin kau mengingatku. Karena, aku di sini memikirkanmu.

Malam ini hujan turun lagi, seperti malam-malam sebelumnya. Aku menghela napas ketika melihat lelakiku mematung di hadapan jendela yang basah karena rentetan air.

Kali ini, aku benar-benar lepas kendali. Dia adalah lelakiku dan aku menginginkannya.

Langkahku ini, meskipun perlahan, menyimpan segudang keberanian untuk menjangkaunya. Tanganku pelan menyentuh pundak lelakiku itu, ia menoleh dan menatapku.

Ketika mataku beradu dengan manik cokelatnya, dingin seketika menyergap ujung jari, menerobos urat nadi, ulu hati, kemudian tiba di hatiku. Membekukan seluruh perasaan, mengkristalkan semua keinginan, malam ini aku benar-benar yakin;

Kau adalah lelakiku.

"Katakan apa kau pernah mencintaiku, Jongin?"

Aku berbisik lirih. Aku mendongak menatap mata redupnya, jarak antara dia dan aku hanya selangkah, dan telapak tangan kiriku masih menapak pada bahu kokohnya.

Ia hanya tersenyum kecil dan menurunkan telapakku lembut, ia tidak berkata apa-apa, namun manikku rebak oleh air mata; Aku mohon.

"Katakanlah walau itu tidak berarti apa-apa lagi!"

Aku berteriak, namun petir yang menjawabnya.

Diam senyap, lelakiku menyeka air mata yang jatuh tanpa aku sadari, dan ia melenggang pergi. Desau angin malam dan ribut tetesan air merenggut asa terakhirku.

Lelakiku telah pergi dan tidak akan berada di sampingku lagi. Karena aku akhirnya tersadar;

Ia tidak pernah menganggapku sebagai wanitanya.

END—

im just missing this couple so much.