Disclaimer: This story is based on characters and situations created and owned by JK Rowling.

Pairings: Draco Malfoy/OC

Setting: Harry Potter and Sorcerer's Stone (Book & Movie)

Notes:

Ini fanfic-ku yang kedua. Maaf banget aku gak terlalu ahli tentang istilah-istilah fanfiction. Intinya, tokoh utama adalah Draco Malfoy dan OC (perempuan). Walaupun rencananya ikut plot, timeline dan kejadian2 dalam buku-buku Harpot, tapi disini semoga Draco gak akan nikah sama Astoria (heuheuheu…), dan jalan cerita Draco dan tokoh-tokoh lain yang udh kita kenal jadi berubah karena masuknya OC ini… Istilahnya Fanon bukan, yah? Hehehe.

Rencananya bakal dibuat sampe tahun ketujuh kayak bukunya (selama hayat masi dikandung badan, amin..)

Beberapa nama diambil dari serial TV atau film.

POV diselang-seling tiap chapter.

Buat yang udah mampir, ditunggu reviewnya yakks!

Enjoy!


The Two-Tale Heart

I

SERENA

Serena van der Woodsen merasa hari terakhirnya di sekolah akan berjalan baik. Dia sudah mengalami hal-hal yang lebih buruk selama, yah, seumur hidupnya di sekolah swasta The Bradley School for Girls.

Tetapi seperti biasa, dia salah besar.

Pertama, anak-anak sekelas tetap berniat bersikap menyebalkan sampai detik terakhir. Dia tetap tidak diajak untuk berpartisipasi dalam acara perpisahan sekolah, yang akan memalukan nama van der Woodsen. Dia mencoba mengajukan diri, karena bukan Serena namanya apabila tidak keras kepala. Para panitia acara yang diketuai oleh Monica Rhodes, si Ratu Bradley, menatapnya bagai menatap kecoak. Seperti yang biasa terjadi.

Lalu Kepala Sekolah Grey memanggilnya ke kantor, yang bukan pertanda baik.

Kepala Sekolah Grey mempersilakan Serena duduk di kursi ukiran kebanggaannya yang keras dan menyambut Serena dengan senyum muram. Tanpa basa-basi, dia memberitahukan bahwa, walaupun dia tahu Serena sudah berusaha dengan susah payah untuk mendapatkan nilai terbaik tahun ini, Serena tidak dipilih untuk memberikan pidato saat upacara kelulusan esok hari. Kehormatan itu akan diberikan pada lulusan kedua terbaik. Monica Rhodes.

"Anda pasti bercanda!"

Hanya itulah argumen yang bisa dikeluarkan Serena. Terutama semenjak dia kehabisan kata-kata saat berusaha menyusun naskah pidatonya sendiri, yang sekarang tertimbun tak berdaya di dasar ransel.

Kepala Sekolah Grey memasang wajah tanpa ekspresinya yang terkenal. Dia menghadapi anak sepuluh tahun yang kaget, kecewa, dan merasa bodoh dengan sikap tegas dan tanpa kompromi. Serena sama sekali tidak mengerti mengapa seseorang yang sangat buruk menghadapi anak-anak bisa dipilih sebagai kepala sekolah di sekolah swasta terbaik di kota ini.

"Ini semata-mata pilihan kami sebagai pengurus dan dewan sekolah. Miss Rhodes terpilih karena dia lebih mencitrakan murid ideal The Bradley…"

"Maksud Anda, ideal seperti penindas, penggosip, dan merasa-diri paling cantik? Oh, saya lupa satu lagi… Jahat?"

"Miss van der Woodsen…"

"Ini hukuman saya karena meledakkan lab kimia, kan?" potong Serena tergesa. "Well, ralat, itu bukan salah saya! Bukan salah saya apabila tiba-tiba campuran itu meledak begitu cepat… Saya sudah membaca teorinya, tapi saya pikir akan lebih baik…"

"Miss van der Woodsen. Kami telah mencapai kesepakatan. Surat resmi akan dikirimkan. Aku yakin ayahmu akan mengerti. Dengan segala hormat…"

Sudah cukup buruk Kepala Sekolah Grey merebut hak Serena, tetapi dia membawa ayahnya dalam hal ini, yang membuat Serena merasa lebih buruk. Ayahnya mungkin mengerti, tetapi Serena lebih baik mati daripada mengecewakan ayahnya.

Itu tidak berlebihan. Sebagai salah satu orang terkaya di dunia, Nathaniel van der Woodsen tidak pernah menekan Serena sedikitpun untuk mengikuti jejaknya. Dia selalu bangga kepada Serena apapun yang terjadi.

Itu malah membuatnya merasa lebih parah.

Nilai ujiannya keluar beberapa hari yang lalu. Serena sudah mengabaikan semua telepon ayahnya yang saat ini berada di kepulauan Pasifik untuk mengurus bisnis resor. Ayahnya cemas bukan main, mengira Serena marah kepadanya. Tetapi ini bagian dari kejutan. Dia memperoleh nilai terbaik, lalu dia akan naik ke mimbar untuk menyampaikan pidatonya, ayahnya akan kaget dan terharu. Semua akan bertepuk tangan. Tidak akan ada orang yang menganggapnya sampah lagi. Persis seperti apa yang terjadi di film-film.

Rencananya gagal total.

Pada saat ini Serena menyesal dia tinggal di New York. Amerika yang terkenal dengan hak asasi dan kebebasan bersuara, seolah tercoreng oleh satu Kepala Sekolah Grey. Kepala sekolah konyol dengan alis yang digambar tinggi dan sanggul yang terlalu ketat. Yang telah menghancurkan mimpi-film Serena.

Bertahun-tahun hidupnya dihabiskan dengan merasa sebagai pecundang. Sekarang saat kejayaan berhasil diraihnya, Kepala Sekolah Grey merebutnya dengan kejam. Seperti Monica Rhodes yang selalu sengaja merebut perhatian orang-orang.

Kepala Sekolah mulai membuat dirinya lebih baik dengan membuat Serena merasa lebih buruk. Dia mulai membahas keonaran yang Serena buat sejak pertama kali menginjakkan kaki ke The Bradley.

Serena bisa saja membantah bahwa dirinya bukan penyebab kejadian-kejadian aneh tersebut. Tetapi hal-hal aneh memang selalu terjadi di sekitar Serena.

Dia selalu berhasil kabur dari penjagaan pengawalnya, sehingga Kepala Sekolah Grey dituduh tidak kompeten dalam mengatasi keamanan. Dia kelas satu saat berusaha meyakinkan guru Keseniannya bahwa bukan dia yang mengubah dinding sekolah menjadi kanvas. Hanya karena gambar itu mirip dengan apa yang digambarnya di buku gambar. Serena harus menyembunyikan surat resmi dari The Bradley untuk ayahnya, agar ayahnya memperhatikan apa yang Serena baca. Dalam surat tersebut ada pernyataan bahwa Serena membuat penelitian ilmiah mengenai unicorn, centaurus, dan hewan-hewan fantasi lainnya. Guru Matematikanya stres berat karena dia tidak pernah bisa menulis soal di papan tulis saat Serena ujian perbaikan. Monica Rhodes dan gengnya selalu menuduh Serena saat tas mereka dipenuhi kecoak dan loker mereka hujan-tikus.

Dia sama sekali tidak melakukan apa-apa. Dia hanya memikirkannya sedikit. Seperti yang diteriakkannya dengan putus asa saat Kepala Sekolah Grey terus menerus mendetensinya.

"Dengar, Kepala Sekolah…" potong Serena, yang selalu tidak merasa puas jika tidak membantah.

"Ini sudah keputusan, Miss van der Woodsen. Dan sekarang, maaf, aku harus gladi resik untuk upacara besok…"

Kepala Sekolah Grey bangkit dari kursi kerasnya. Wajahnya masih tanpa ekspresi dibingkai rambut pirang kusamnya yang digelung ketat. Serena tidak tahu pasti, saat ini semua yang ada pada Kepala Sekolah Grey tampak buruk di matanya. Seolah ada tulisan BISA DISUAP pada dahi si kepala sekolah. Yang mungkin memang benar. Gedung baru di sayap kiri aula akan dinamai Gedung Rhodes. Itu adalah sesuatu yang besar dan mahal dibandingkan saat ayahnya memperbaiki lab kimia The Bradley, yang katanya diledakkan Serena.

Serena berpikir apakah sebaiknya dia menghubungi ayahnya untuk membangun dua gedung baru di The Bradley sebelum Kepala Sekolah Grey berkata lagi,

"Aku berharap akan bertemu denganmu lagi di SMP…"

Ada kepalsuan dalam kata-kata itu yang membuat Serena tidak tahan lagi.

"Saya tidak akan terlalu yakin tentang itu…" cetus Serena begitu saja.

Serena bangkit mendadak dan dengan sengaja menjatuhkan kursi kebanggaan Kepala Sekolah Grey.

.

.

.

Rambut coklat panjang Serena beterbangan menutupi matanya yang kabur dengan air mata. Serena berjalan dengan gusar menuju pintu gerbang sementara kertas ujian hasil kerja kerasnya tergenggam erat. Untunglah dia memiliki kaki yang panjang sehingga bisa melangkah lebar-lebar. Menghindari beberapa anak yang berbisik-bisik.

Sekilas dia melihat Monica Rhodes dan teman-temannya cekikikan mengiringi langkahnya. Mereka sedang sok sibuk menyiapkan pesta perpisahan yang kini menguap dari minat Serena.

"Miss Serena!"

Robert, supir sekaligus pengawal pribadi Serena, yang keturunan Afrika-Amerika dan mempunyai tubuh sebesar lemari es tiga pintu, melambai riuh dari barisan mobil dan limousine yang akan menjemput murid-murid. Klakson berbunyi sahut-menyahut, seolah itu adalah cara para supir pribadi dan supir taksi berkomunikasi. Sore yang biasa di jalanan kota New York.

"Sebentar lagi pesawatnya datang!" teriak Robert.

Serena berhasil tersenyum untuk pertama kalinya sejak memasuki kantor Kepala Sekolah Grey. Dia nyaris berlari untuk memasuki mobil. Tidak mempedulikan kegiatan anak-anak sebayanya di belakang. Masih mengejeknya dengan puas.

Serena van der Woodsen, seperti anak umur sepuluh tahun yang biasa, senang karena akan bertemu satu-satunya teman yang dimilikinya.

.

.

.

Nathaniel van der Woodsen setengah berlari saat menuruni tangga pesawat pribadinya. Rambutnya yang hitam legam berdiri tegak pada satu sisi karena tertiup angin bandara. Itu tidak bisa menutupi kharismanya. Dengan langkah anggun dibingkai pesawat besar yang keren, Serena berharap suatu saat nanti dia bisa menjadi seperti ayahnya.

Serena berusaha tidak tertawa saat melihat para asisten dan manager-entah-bagian-apa bergegas mengikuti langkah sang bos. Si orang-orang bodoh itu tidak akan mendapatkan ayahnya selama beberapa hari libur Serena.

Mata ayahnya menyipit dengan seringai saat melihat Serena. Matanya seolah bersinar walaupun dari kejauhan. Mata kiri yang berwarna biru gelap sementara kanannya hijau botol. Semua orang menyebutnya sebagai seorang heterochromia, kelainan karena warna mata yang berbeda. Serena tidak pernah menganggapnya sebagai kelainan. Dia menyebutnya ayah-anak yang sehati, karena Serena memiliki mata yang persis sama.

Hanya ayahnya-lah satu-satunya keluarga yang dia miliki. Sekaligus sahabatnya… Maka Serena sama sekali tidak protes, saat ayahnya memeluknya erat-erat, nyaris membuatnya kehabisan nafas.

"Akhirnya putriku lulus!" serunya, seolah itu seratus kali lebih membanggakan dibandingkan kontrak ratusan juta dollar yang berhasil didapatnya.

"Yeah, itu sih, gampang!" teriak Serena setengah berharap bunyi bising pesawat bisa menyembunyikan kesedihan dalam suaranya.

Ayahnya memberikan beberapa instruksi lagi untuk para anak buahnya sebelum akhirnya memasuki mobil. Dia mengangsurkan bungkusan saat Robert mulai menyalakan mesin. Iring-iringan mobil para pengawal ayah mengikuti mobil mereka.

Sebagai orang yang mampu membeli apapun, Serena harus merasa heran saat ayahnya mengangsurkan sesuatu yang kelihatannya seperti kotak kado murahan.

"Hadiah kecil untuk hari yang bahagia!"

Suaranya terdengar betul-betul senang sehingga menulari Serena. Dia menerima dan membukanya dengan bersemangat. Kodok berwarna coklat balas memandangnya dari dalam kotak.

"Coklat berbentuk kodok?" serunya heran. "Apa yang spesial dari kodok sehingga Dad memberiku ini?"

"Yah… Itu bagus, kan?"

Kecuali tidak benar-benar mengenal ayah sendiri, Serena yakin dia mendengar keragu-raguan pada jawabannya. Tetapi Serena tidak mengeluh. Dia menerima apapun pemberian ayahnya.

"Well, terima kasih, Dad!"

Dia menggigit kepala kodok itu bulat-bulat. Rasa manis dan pahit coklat berpadu sempurna. Dan seketika Serena tahu itu bukan coklat biasa, kehangatan lumer dari lidahnya, menjalari ujung-ujung jarinya. Seolah meringankan beberapa kesedihannya. Serena belum pernah merasakan yang seperti ini di toko coklat manapun.

"Monica Rhodes yang akan memberi pidato besok…"

Serena menjilati jarinya yang penuh coklat, berharap suaranya biasa-biasa saja dan terdengar tidak peduli. Dia tidak tahan untuk tidak mengadu. Terutama saat ayahnya sedang ada bersamanya.

Nathaniel adalah ayah terbaik yang bisa diharapkan Serena, tetapi dia bekerja terlalu keras. Serena selalu kehilangan jadwal untuk mengikuti kegiatan ayahnya. Terkadang dia di London untuk mengurusi bisnis transportasinya. Beberapa hari kemudian di kepulauan Pasifik untuk mengembangkan resornya. Terkadang di Asia untuk membantu desa-desa tertinggal. Dia ke New York hanya untuk bisnis properti, rapat perusahaan dan mengunjungi Serena. Serena berusaha mengerti karena tahu ayahnya melakukan semua itu hanya untuk yang terbaik bagi putrinya. Dan Serena belajar untuk mengerti.

"Aku hanya percaya bahwa kaulah yang terbaik…" komentar ayahnya pendek.

"Sungguh?"

"Ya… Kau pintar sama seperti ibumu… Dia pasti bangga padamu…"

Suara ayahnya menghilang dan Serena tahu dia sedang memikirkan hal yang sama. Setiap kali mereka membicarakan Celia van der Woodsen, rasanya ada lubang kosong yang menganga dalam hati mereka…

Ayahnya selalu bercerita bahwa Celia adalah ibu yang baik, penuh perhatian, sangat cerdas dan cantik. Ayahnya hanya mempunyai sedikit foto yang masih hitam-putih. Tetapi dia selalu bilang Serena mirip dengannya. Salah satu pujian yang paling berlebihan karena Serena sama sekali tidak merasa baik, perhatian, cerdas ataupun cantik.

"Sebagian perusahaan kita dulu dirombak olehnya. Dia ahli strategi bisnis dan berusaha mengembangkannya. Dia salah satu penasihat perusahaan yang paling hebat…" kata ayahnya suatu kali.

"Dulu kami tinggal di London, Ser… Tempat yang indah dengan taman besar untukmu bermain. Kamar putih bersih yang seperti kamar seorang putri… Dia yang merancangnya sendiri…"

Serena tidak pernah bertanya mengapa mereka tidak tetap tinggal di London. Kematian ibu, bahkan saat Serena terlalu kecil untuk mengenalnya, sangat menyakitkan hati. Ayahnya pastilah meninggalkan rumah yang dipenuhi kenangan itu dengan susah payah. Berusaha menenggelamkan diri pada pekerjaan. Membesarkan Serena di salah satu kota terpadat dan tersibuk lainnya agar dia melupakan kesepiannya. Serena tidak pernah diajak ke London lagi sejak saat itu.

"Aku tidak tahu itu…" Serena memecahkan keheningan, menggigit kembali coklatnya. "Aku rasa aku lebih mirip kau, Dad. Aku keras kepala, nekad, tidak mau diatur…"

Ayahnya akhirnya terbahak, "Kalau hanya itu pandanganmu terhadapku, aku akan memotong uang jajanmu!"

Serena tidak tersenyum, keningnya berkerut memikirkan sesuatu yang belum dikatakannya.

"Well, ada apa?" tanya ayahnya.

"Aku mendapat nilai terbaik, tapi Monica Rhodes yang akan memberikan pidato. Aku dianggap tidak layak tampil untuk seluruh sekolah…".

Serena menatap ayahnya untuk mengetahui reaksinya. Bersiap melihat kekecewaan dalam mata biru-hijaunya. Tetapi bukan itu yang Serena dapat. Ayahnya kelihatan sedih dan ragu. Seolah berhati-hati dalam memberikan respon. Akhirnya dia memberi Serena senyumnya yang biasa.

"Siapa peduli? Kau keras kepala, nekad, tidak mau diatur sama seperti aku, kan? Suatu saat kau akan menemukan tempatmu. Suatu saat orang akan mendengarkanmu."

Kata-katanya seharusnya cukup untuk menenangkan Serena, tetapi dia tetap bertahan.

"Tapi itu bukan salahku! Monica Rhodes pasti menyuap Kepala Sekolah Grey. Aku yang seharusnya berdiri di mimbar! Aku telah berusaha dan aku tidak mau kau dipermalukan, Dad! Dad orang penting di sekolah, orang penting di dunia! Aku tidak mau duduk di upacara kelulusan, sendirian karena aku tidak punya teman dan orang-orang berpikir aku adalah van der Woodsen yang payah…"

Ayahnya memegang erat tangan Serena saat Serena mulai menangis sesegukkan di tengah-tengah omelannya. Segala yang dia pendam selama ini akhirnya tumpah. Dan dia baru berhenti menangis saat melihat Robert mengintip dengan penuh simpati dari kaca dashboard-nya. Serena merasa malu menangis seperti anak kecil pengadu. Dan Robert yang perkasa tidak seharusnya menampilkan wajah penuh kasih sayang.

"Ser, kau tidak pernah membuatku malu… Dan kita van der Woodsen akan mendapatkan apa yang kita inginkan, hanya dengan usaha kita sendiri… Ingatlah itu, Ser. Dan tetap ingatlah itu bahkan saat kau memasuki duniamu sendiri…"

.

.

.

Pagi itu Serena merasa ada yang tidak beres pada perutnya saat dia berdiri di pojokkan taman sekolah. Dia sendirian seperti biasa, sementara semua anak dengan gembira berceloteh dalam balutan jubah hijau sutra dan topi toga. Mereka bercampur dengan anak-anak lelaki dari St. Jude School for Boys. Sekolah swasta yang bertetangga dengan The Bradley.

Sudah menjadi tradisi untuk The Bradley dan St. Jude untuk mengadakan acara-acara sekolah besar seperti upacara kelulusan dengan bersama-sama. Mereka ada dalam satu dewan sekolah. Bagi beberapa anak The Bradley, entah mengapa, itu merupakan anugerah.

Monica Rhodes berada di tengah-tengah gengnya. Rambutnya yang pirang-berkilau tertata rapi. Dia mengenakan banyak rias wajah sehingga terlihat pantas untuk seseorang yang akan memasuki SMP. Dia sedang dikelilingi beberapa anak cowok St. Jude yang mengaguminya. Monica tertawa dan terkikik genit berkali-kali.

Sekarang Serena merasa dia akan muntah. Tetapi pikirannya menerawang. Kalaupun akhirnya dia yang memberi pidato saat ini. Akankah para cowok-cowok di St. Jude melihatnya? Serena berusaha untuk tidak berharap, tetapi ternyata sulit. Serena van der Woodsen yang aneh dan payah pastilah sudah menyebar bahkan sampai ke kelas-kelas St. Jude. Bayangannya menjadi populer dan dikelilingi anak-anak lelaki seperti Monica langsung pupus seketika.

Seorang guru berseru dan menginstruksikan mereka untuk berbaris. Semua dengan semangat saling merangkul, saling menyenggol atau saling menonjok bahu saat memasuki barisan. Tidak ada rangkulan, sengolan atau tonjokkan untuk Serena. Kebanyakan mengernyitkan hidung dan menjauh seolah dia tikus bau.

Serena tersandung jubahnya hanya untuk memperburuk citranya. Tetapi untunglah perhatian beberapa anak sedang pada diri mereka sendiri. Mereka memasuki aula dengan dagu terangkat. Tersenyum pada masing-masing orang tua. Serena celingukkan mencari ayahnya.

Ternyata ayahnya ada di kursi terdepan. Kursi kehormatan yang juga diduduki anggota dewan sekolah dan orang tua Monica Rhodes. Ayahnya mengacungkan dua jempol dan nyengir lebar saat melihat Serena. Mungkin untuk menunjukkan lagi bahwa dia bangga padanya.

Serena tidak tahan dan ikut nyengir. Dia akan melalui upacara ini dengan gagah berani. Lalu pergi bersama ayahnya makan es krim, nonton dan ikut bernyanyi di Broadway, makan pizza sampai perut meledak, lalu Serena akan mencoba membujuk ayahnya agar memasukannya ke SMP negeri saja. Yang mungkin tidak terlalu dipenuhi anak-anak sombong yang menyebalkan.

Tetapi harapannya pupus lagi. Dimulai saat Kepala Sekolah Grey dan Kepala Sekolah dari St. Jude memasuki aula. Mereka menggunakan jubah yang penuh dengan emblem. Di belakang mereka ada orang-orang yang juga memakai jubah, memegang tongkat dengan bendera dan panji-panji sekolah. Layaknya tentara romawi yang akan maju perang.

Semuanya sangat impresif dan mengintimidasi sekaligus membosankan. The Bradley dan St. Jude melakukan upacara kelulusan seperti kelulusan anak SMA. Serena berpikir, waktu yang mereka pakai untuk mencoba mengesankan para orang tua murid seharusnya digantikan dengan melayani murid-murid dengan lebih baik. Ayahnya tidak membayar uang bayaran yang amat mahal agar Serena diperlakukan seperti ini.

"Para Dewan Sekolah The Bradley School for Girls dan St. Jude School for Boys yang kami hormati, para orang tua murid yang juga kami hormati, dan anak-anak sekalian yang kami sayangi. Di pagi hari yang cerah ini, izinkan kami selaku pihak sekolah untuk…"

Serena hampir menjatuhkan toganya karena mengantuk. Tetapi siksaan belum selesai. Kepala Sekolah St. Jude berpidato setelah itu. Dan Ketua Dewan Sekolah berpidato setelahnya. Sama panjangnya dengan pidato Kepala Sekolah Grey. Lalu wakil kepala sekolah dan yang lainnya. Perhatian anak-anak dan orang tua murid mulai terpecah. Bisik-bisik bergaung memenuhi aula sekarang. Mereka mengobrol sendiri. Tetapi karena tetap tidak ada yang mau mengobrol dengan Serena, dia memutuskan untuk tidur sebentar di kursinya.

Serena baru membuka mata lebar-lebar lagi saat moderator memanggil nama Monica Rhodes sebagai lulusan terbaik tahun ini.

Dia sungguh tidak percaya mereka melakukan ini. Memberi Monica pidato kelulusan yang seharusnya menjadi haknya sudah cukup buruk. Tetapi mengatakan kepada seluruh hadirin bahwa Monica yang menjadi lulusan terbaik, benar-benar sudah merupakan kebohongan.

Serena menatap tajam Monica di mimbar yang mulai berterima kasih pada siapapun di daftarnya yang panjang.

"… kepada teman-teman yang sudah selalu mendukung saya di saat senang atau susah. Kita sudah berjuang bersama…" dia berkata dengan suara-suara yang terlalu manis sehingga menyakiti telinga Serena.

Perhatian Serena teralih pada ayahnya di depan, yang berusaha berkontak mata dengannya sejak tadi. Tangannya diletakkan di dada dan mengangguk, seolah menyuruh Serena untuk bersabar. Tetapi Serena merasa tidak punya stok kesabaran lagi. Dia gelisah di kursinya. Dia memikirkan coklat kodok ayahnya yang memberikan perasaan tenang dan lembut. Rasa manis yang menyenangkan… Tetapi suara semanis madu Monica membuyarkan semua. Akhirnya yang bisa dipikirkan Serena adalah, betapa semuanya akan menjadi lebih baik kalau Monica hanya bisa mengeluarkan dengkungan kodok.

Tetapi pikiran itu seolah belum cukup. Dia membayangkan ayahnya. Apa yang akan Nathaniel van der Woodsen lakukan kalau dia ada di posisi Serena saat ini? Apa yang akan ibunya lakukan kalau dia ada di sini hari ini? Bagaimana perasaannya ketika mengetahui putrinya diperlakukan tidak adil? Apa yang akan diharapkannya dilakukan oleh Serena?

Serena tidak tahu. Melompat ke mimbar dan merebut paksa pengeras suara dari Monica tampaknya bagus juga.

Ya, Serena berpikir, itu lebih baik daripada mendengar si kodok itu bicara.

Lagipula, dia harus mendapatkan segala sesuatu dengan tangannya sendiri, dan dia akan membuat dirinya terdengar saat ini juga.

Serena sudah benar-benar berdiri. Tetapi suatu suara mendahului dia. Bahkan mendahului terangkatnya alis mata Kepala Sekolah Grey yang melihat gelagat-mengacau Serena.

"Kroak… Kroak… Krok Krok… Groaakk Groak… Krokkkk…"

Aula sunyi senyap dalam sekejap.

"…Krokk Krokkk.. Grokkk Groakkkk…"

Suara itu berasal dari mimbar. Dari pengeras suara Monica. Dari mulut Monica…

Monica tidak menyadari ada hal yang aneh karena dia terus mengoceh membacakan catatannya. Dia kelihatan seperti makhluk dari planet kodok yang lupa untuk bicara bahasa manusia. Alis mata Kepala Sekolah Grey meninggi kepada Monica sekarang, seolah mengira Monica juga sengaja mengacau.

Monica mengangkat kepala dari catatannya untuk tersenyum lebar kepada hadirin. Dan akhirnya dia menyadari ada yang salah. Dia berusaha berbicara, suara kodok yang keluar lagi. Matanya membelalak. Berusaha bicara lagi, suara kodok yang terdengar lagi. Dia akhirnya menangkupkan kedua tangannya pada mulutnya.

Monica memang benar punya nyali dan kemampuan untuk menjadi ratu drama. Serena mengakui hal itu. Dia bukan berusaha turun, tetapi berteriak dari mimbar. Suara kodok terbesar yang pernah didengar Serena menggaung di aula. Beberapa anak mulai tertawa terbahak termasuk Serena, tapi Monica berkoak-koak lagi dengan frustasi dan dia mulai menangis ala kodok.

"KROAK!" jeritnya. "GROAAAAKKKK!"

Ibu Monica segera menghambur ke mimbar dengan teriakan-manusia yang lebih keras. Dia memeluk Monica pada lehernya, berusaha menghentikannya. Tetapi hal itu malah membuat Monica tercekik.

Semua anak sekarang menghambur ke depan karena ingin tahu.

"Tenang, anak-anak! Tenang para hadirin!"

Kepala Sekolah Grey menyambar pengeras suara terdekat, dan berdiri di undakkan yang lebih tinggi.

Ada tulisan BISA DISUAP besar-besar pada dahinya yang tertarik sanggul ketatnya. Tulisan itu tampaknya ditulis oleh lipstick merah menyala oleh tangan-tidak-kelihatan. Pasti begitu. Karena Serena tidak bisa membayangkan ada yang tidak sadar saat dahimu ditulisi.

Beberapa orang terhenyak. Kini untuk alasan yang berbeda. Kepala Sekolah Grey tetap tidak menyadari apa yang salah karena baik Monica maupun ibu Monica sekarang berteriak histeris bersama-sama.

Monica melepaskan diri dari cengkeraman ibunya dan berlari menuruni mimbar. Anak-anak saling dorong untuk membiarkannya lewat, sepertinya ketakutan akan tertular virus-manusia-kodok.

Dan seperti masalah yang selalu menghampirinya, Monica pun berlari menghampiri Serena, yang sekarang menyesal karena masih nyengir lebar.

Serena pastilah sudah babak belur dalam balutan jubah dan toganya kalau Robert tidak langsung menghampiri entah darimana. Monica menjambak rambut Serena kuat-kuat, seolah itu bisa menyembuhkannya. Toganya terjatuh dan Serena merasa kulit kepalanya terluka.

"Apa…"

Robert berhasil melindungi Serena dengan membopong Monica dengan mudahnya. Serena merasa wajahnya memanas dan dia tahu penyebabnya. Perhatian semua orang kini teralih padanya.

Dengan insting mencari perlindungan, Serena mencari ayahnya di tengah keramaian. Dia setengah menyesal melakukan ini, karena apa yang ditemukannya tidak sesuai harapan.

Ayahnya menghampiri, ekspresi wajahnya sama dengan semua orang, dan cukup jelas untuk menyatakan,

Kau memang yang menyebabkan semua ini…

.

.

.

"Aku sama sekali tidak tahu apa-apa! Bagaimana mungkin aku bisa melakukan hal-hal itu? Apa yang terjadi pada Monica dan Kepala Sekolah diluar akal sehat, Dad! Mereka mungkin salah makan atau apa…"

Serena memberontak seperti anak kecil saat dipaksa masuk ke dalam limousine mereka.

Monica dilemparkan begitu saja ke mobil ambulan oleh Robert, diiringi kecaman ayah Monica yang mungkin akan menuntutnya jutaan dollar karena kekerasan. Tetapi mereka punya hal lain untuk dicemaskan, anak mereka yang masih berkuak. Dan mereka berbondong-bondong ikut ke rumah sakit.

Kepala Sekolah Grey berlari ke toilet terdekat, diikuti para koleganya yang masih memegang panji-panji. Dia terus menutupi dahinya. Tidak ada seorang pun yang berminat menghadiri acara ramah-tamah-makan-siang yang seharusnya diadakan setelah upacara. Ayahnya pun jelas tidak.

"Aku tahu, Ser… Tapi…"

Robert memberikan sapu tangannya yang diisi es dari lemari pendingin limousine. Serena mengompres kepalanya yang terluka. Ayahnya tidak melanjutkan kata-katanya karena perhatian Serena sendiri sudah teralih.

Semua anak yang dibawa pulang oleh orang tua mereka melewati Serena dengan tatapan benci. Mereka seolah mengatakannya dengan jelas kepada Serena,

Terima kasih telah mengacau acara kami, anak aneh!

Serena menatap ayahnya setelah serangan bertubi-tubi itu, memohon dukungan. Tetapi wajah ayahnya malah tampak lebih sedih dan bingung, yang membuat Serena setengah yakin sekarang, bahwa kejadian tadi memang salahnya, walau dia tidak tahu bagaimana.

"Mari kita minta Anna untuk mengepak barang-barangmu. Kita bisa langsung ke bandara setelahnya."

Anna adalah pelayan sekaligus asisten rumah tangga di apartemen mereka. Serena bingung sekali karena ayahnya terdengar seperti merencanakan liburan pada situasi seperti ini.

"Apa? Dad tidak akan melarikan diri, kan?"

Serena menatap ayahnya dengan tidak percaya. Sekarang dia meyakini bahwa mereka akan kabur karena ayahnya malu terhadap Serena.

Tapi seorang van der Woodsen seharusnya tidak melarikan diri dari apapun. Itu salah satu alasannya bertahan di The Bradley sampai hari ini.

"Ini tidak ada hubungannya dengan melarikan diri… Tetapi aku sudah menahanmu terlalu lama…" lanjut ayahnya berhati-hati.

"Kita akan pindah ke London."

.

.

.

Banyak hal yang bisa dilakukan Serena untuk merespon keputusan ayahnya. Seperti berkata, Oke! Aku ambil dulu tasku, lima menit! Atau Tidak masalah! Aku siap kalaupun besok lusa kita tinggal selamanya di Thailand! Atau yang lebih masuk akal, kabur dari jendela rumah sakit bandara, saat dokter memberi betadine untuk kepalanya.

Tetapi yang dilakukan Serena adalah menempelkan dahinya pada jendela pesawat yang dingin. Mereka mengudara sejak beberapa jam yang lalu. Dan dia mendapati dirinya menatap gumpalan awan beraneka bentuk sebagai bentuk protes.

Serena berusaha mengabaikan ayahnya yang sejak tadi menawarinya makan. Diluar kejadian yang tidak dimengertinya tadi pagi, ayahnya seolah sudah memutuskan hal ini begitu saja, tanpa persetujuan Serena. Padahal biasanya mereka selalu berdiskusi tentang apapun, bahkan rencana kecil seperti akan makan malam dengan apa sekalipun.

Sekarang dia memindahkan Serena ke Inggris tanpa persiapan apapun. Baik persiapan barang-barang ataupun mental. Mereka tidak pernah tinggal di Inggris lagi sejak kematian Celia van der Woodsen…

Serena merasa tercerabut dari New York, tempatnya hidup selama ini. Dia terkadang membenci tempatnya tinggal dan selalu berandai-andai apakah ada tempat yang lebih baik. Tetapi dia merasa di London pun dia akan sama saja. Menjadi anak aneh.

"Kita akan kembali lagi ke rumah…" kata ayahnya, mencoba mencairkan keheningan untuk yang kesejuta kalinya. "Kau akan suka disana…"

Serena sama sekali tidak yakin tentang hal itu.

"Mungkin Paman dan Bibi Blotts akan datang," kata ayahnya lagi.

Serena melepaskan dahinya dari jendela, kali ini perhatiannya benar-benar teralih.

Bibi Charlotte adalah adik ibunya dan Paman Ed Blotts adalah suaminya. Mereka tidak punya anak. Serena tidak pernah bertemu mereka secara langsung. Sehingga Serena terkadang lupa bahwa mereka punya satu keluarga lagi dari pihak ibunya.

Mereka secara rutin mengirimi Serena hadiah ulang tahun, hadiah natal dan paskah berupa coklat-coklat yang luar biasa enak seperti coklat kodok. Dan terutama, buku-buku yang menakjubkan.

Ayahnya bilang mereka punya toko buku kecil yang dulu juga dikelola ibu. Mereka tampaknya tahu kegemaran Serena. Semua yang mereka kirimkan adalah buku-buku fantasi yang amat bagus. Tentang naga, unicorn, goblin, sejarah penyihir… Buku-bukunya bercerita seolah semua itu nyata…

"Aku bisa bertemu mereka?" tanya Serena, akhirnya membuka mulut untuk pertama kalinya semenjak mereka meninggalkan The Bradley.

"Tentu! Aku, ah… akan mengirimi mereka surat…"

Ayahnya terlihat gugup, yang tidak bisa dimengerti Serena, tetapi tidak menghentikannya bertanya,

"Toko buku ibu dulu… Aku bisa kesana, kan? Dad bilang tempatnya di London juga…"

"Ah…"

"Tempatnya di jalan apa, sih?"

"Hmm… Itu toko buku kecil, Ser.. Tempatnya memang di London. Kita akan kesana begitu… Ah, mungkin bulan Agustus?" gumam ayahnya tidak yakin.

"Dad akan cuti kerja sampai bulan Agustus untuk menemani aku di London?" tanya Serena, tak urung merasa gembira dengan rencana ini.

Mereka jarang menghabiskan waktu berdua sampai selama itu. Mungkin proses adaptasi Serena di London tidak akan terlalu buruk kalau ada ayahnya.

"Kau tahu itu tidak mungkin, Ser…" ayahnya memandangnya dengan lebih gugup sekarang.

Serena menghela nafas kesal dan tidak mendengarkan lagi. Dia kembali menempelkan dahinya pada jendela, yang sekarang menampilkan langit berwarna gelap.

Jaring-jaring lampu besar kemerlip di bawahnya seperti miliaran kunang-kunang.

Mereka telah sampai di London.

.

.

.