Reupload karena chapter 1 kemarin aku hapus

.

.

Saya lagi berbunga-bunga menyambut event pernikahan NaruHina. Terima kasih buat panitia acara #NaruHinaWeddingCelebration sebagai pengakomodasi penyelenggara event ini. Proud of you guys.

Pertamanya bingung ini masuk prompt yang mana dari prompt yang disediakan (malam pertama, mawar, musim semi, ayah dan buah hati) akhirnya saya campur-campur, entah rasanya bakal seperti apa. Tapi, sepertinya prompt #buah hati lebih sesuai –maksudnya membikin baby –upss.

Bingung lagi pas sadar ada ketentuan harus ada momen pernikahan. Rombak sana-sini berkali-kali lagi, ya semoga fanfic ini masih masuk kategori layak terbit haha. Saya serahkan sepenuhnya penilaian ke pembaca. Tolong sebelum membaca perhatikan warning yang tertera.

Disclamer : Masashi Kisimoto

Pairing : Naruto-Hinata

Original Story & cover : Atharu

Warning : Typos, AU, Marriage life, OOC, no FLAME, NC, lemon implisit-eksplisit

Bukannya tidak menghargai karya sendiri, tapi bahasa yang saya gunakan bukanlah bahasa yang diperdayakan.

Rated : M baik segi bahasa maupun adegan (Seriously for 18+)

anak dibawah umur silahkan skip atau lebih berpahala untuk mundur menunggu cukup umur OKEY.

No copas!

SKRIP-LOVE

.

.

.

.

.

Perempuan berambut dark blue lembut itu hanya memandang nanar pada lembaran kertas di depannya. Bunyi pena yang menyoret tiap lembaran kertas seperti bunyi ngilu gilasan roda kereta di atas rel, apalagi tinta merah mentereng nampak seperti kucuran darah. Tulisan hasil cetak printer seolah terpendam dikubur oleh timbunan coretan revisi. Hinata menahan napas, kursi berbahan busa nyatanya membuat pantatnya gerah ingin segera beranjak. Suhu rungan AC mendadak berubah seperti hawa jalanan kuburan. Mencekam dan membikin badan meremang.

"Pedoman, ingat buku pedoman. Format 4,3,3 dengan jarak spasi antara bab dengan sub bab berbeda. Perhatikan kalimat kutipan, beri ubahan sedikit biar tak dikira plagiat punya orang lain." Telinga Hinata dipaksa menelan kalimat diktate. Perutnya mulas, melilit menahan hasrat untuk tidak balas berkata kasar meski dirinya diperlakukan secara ketidak-mahasiswaan.

"Astaga, ini daftar pustaka apa daftar sampah? Fakultas kita punya gaya selingkung sendiri, bukan abal-abal seperti ini –Hinata mau jadi mahasiswa abadi?!" Bakal calon laporan skripsi puluhan halaman dilempar seperti mainan bola bekel. Tak tanggung-tanggung sampai penjepitnya langsung mencuat menghamburkan isinya. Mata lilac melihat kertasnya melayang-layang seperti hujan kapas, berserakan kemana-mana sebelum tangan kecil Hinata sempat menyentuhnya.

"Maaf, Uzumaki-sensei, tapi um. . . ini sudah sesuai buku pedoman." Sang submissive mencoba peruntungan untuk mengadu argumen. Siapa tahu dosen muda yang langsung menjabat menjadi dosen pembimbing di depannya ini bisa sedikit diajak kerja sama. Hitung-hitung sebagai pembelaan atas nama mahasiswi yang terdzolimi. Jika pun salah, Hinata pasti berbesar hati mengakui.

Namun, Hinata yakin format laporannya sudah sesuai kaidah penulisan, sudah ia teliti sampai selalu pakai print preview tiap selesai menulis satu kalimat. Fix tidak ada human error atau technical missing. Meski leptopnya sudah ketinggalan jaman, tapi programnya serupa dengan isi leptop keluaran baru.

Ia rajin update software legal, bukan bajakan isi malware.

Pria dengan tubuh tegap berkemeja polos serta surai blonde mencuat menghiasi kepalanya memandang remeh pada si mahasiswi malang. Pandangan tajam iris deep blue-nya seolah bisa menjatuhkan mental lawan hanya dengan sekali lirik. "Apa perlu aku membawa penggaris untuk mengukurnya? Atau jangan-jangan Hinata tidak menghormatiku sebagai dosen pembimbing mentang-mentang umur kita hanya selisi tiga tahun?"

Si perempuan kurus –Hinata buru-buru menggelengkan kepala sampai wangi shampo lavender menelikung hidung lawan bicaranya. Sialan! Sudah berwajah imut, masih saja wangi kurang ajar tubuh Hinata menempeli indera pembau lelaki dewasa ini sampai membuat jantungnya megap-megap ingin meraup lebih.

Ia perlu mendisiplinkan anak didiknya ini, Naruto membatin sambil tersenyum nakal.

"Bukan maksud saya seperti itu." Dasar dosen setan, iblis berwajah tampan! Hinata meraung, menyumpah serapah sang dosen dalam hati. "Tapi ini sudah revisi ke 10 kalinya dan sama sekali tidak ada perkembangan." Setidaknya dia berharap akan ada kemajuan agar bisa lekas bergelar sarjana. Hinata itu meski berbadan layu tapi punya tekad berani diadu.

"Dari mahasiswa yang dipegang dosen lebih senior –" Ada penekanan di kata terakhir. Masa bodoh dikira tidak hormat, tidak berkode etik atau mahasiswa kehilangan akal waras sampai berani mendebat pembimbing sendiri. Hati Hinata sudah mati rasa dipermainkan seperti adonan kurang ulenan. "Mereka tidak semendrama ini. Lima kali revisi langsung bisa ACC. Lalu untuk masalah format beserta segala tatanan baku yang Uzumaki-sensei bilang tadi, sudah sama dengan panduan penulisan skripsi –idem!"

Mau mencari mati atau tidak, Hinata tidak peduli. Segala bentuk diskriminasi mahasiswa harus dihapuskan meski mempertaruhkan keselamatan jiwa. Kepalanya sudah dongkol setengah mati, telinganya pun ikutan mendengung mendengar cercaan mengenai keabsahan skripsinya.

"Ho," Hawa absolut menguar dengan sebuah seringai yang Hinata yakin punya maksud kejam –mesum. Uzumaki Naruto sudah dilabeli dosen menganut paham anti kemahasiswaan. Sekali cari masalah nilai semesteran bakal ditahan. "Akan kutunjukkan kesalahan fatalmu, nona Hinata."

Naruto meraih kasar laporan skripsi Hinata. Melingkari dengan tanda merah besar di awal halamannya. "Lihat ini," Bola mata Hinata terarah mengikuti perintah Naruto, melihat tulisan namanya menjadi sasaran revisian merah. Dicoret sampai tembus ke belakang.

Hinata mulai menelan ludah dengan gugup.

"Hinata Hyuuga? Tsk, aku bahkan sudah menjamahmu setiap malam, membuatmu sama-sama mendesah, bersenggama, bercinta–"

Woah, wajah Hinata bersemu merah nyaris terbakar. Remasan pada roknya menguat seiring fakta yang dipaparkan secara vulgar tanpa ada saringan bagaimana berbahasa yang sopan. "Dan kau masih belum memasang marga Uzumaki di belakang namamu?! Hinata pikir suamimu ini patung yang tidak punya hati sampai rela pura-pura tidak diakui, hah? Apa perlu kau kusetubuhi saja di sini agar semuanya tahu bahwa kau sudah bukan gadis belia lagi melainkan istri seorang Naruto Uzumaki."

Akhirnya, Naruto meletus. Seolah klimaks luar biasa setelah menyampaikan uneg-unegnya pada istri tercinta. Jika Hinata keras kepala, maka ia bisa lebih berkepala batu untuk diakui secara terbuka oleh Hinata sebagai suami sahnya.

Goodness! Dilihat dari manapun sebutan nyonya Uzumaki lebih enak didengar.

Mata doe ber-iris lilac mendelik –membola bulat. Mulut mungil terplitur gincu merah jambu itu menganga kehilangan kata-kata. Telinganya memanas sampai menjalar ke pipi pualam hingga ke seluruh wajah. "Tapi –" Suaranya tercekat bingung menyusun kata-kata.

Demi Tuhan!

Hinata tidak menyangkah bahwa lelaki yang sudah menikah dan mengawininya ini masih mengungkit status hubungan mereka meskipun sudah diteken sebuah perjanjian. Gara-gara nama sampai skripsinya tak kelar-kelar. Memang mereka sudah menikah, sudah setahun pula tinggal dan tidur sekamar.

Namun, tetap saja sikap sang suami terlalu keterlaluan. "Kenapa jadi Naruto-kun mengungkit-ungkit pernikahan kita? Kita sudah berkomitmen untuk tidak membawa status hubungan kita jika dalam perkuliahan. Professional Naruto-kun." Balas Hinata penuh determinasi. Sudah dibilang Hinata itu tipe keras kepala, tidak mudah dibelokkan sekalipun ada tikungan.

Kalau sudah seperti ini Naruto kadang sampai mengurut dada, cinta matinya kepada Hinata terasa berat sebelah. Mengemis pengakuan tak semudah membobol keperawanan. Hinata enggan mengakui dirinya sebagai suami legal di depan umum, sampai-sampai membuat peraturan seperti lapis pasal undang-undang. Isinya sungguh merampas hak sebagai suami legal, tidak boleh pergi ke kampus bersama atau bertegur sapa hanya jika dibutuhkan. Kalau bisa tidak saling kenal.

Mana mau Naruto membiarkannya.

"Hinata tahu kan sejak awal aku tidak setuju." Intonasi Naruto berubah melembut, yang lebih dewasa harus mampu menjadi pihak yang mengalah. Ia menggeser kursinya, lebih mendekat ke wanitanya dan mencium bibir itu dengan sesekali lumatan. "Aku sering mendapati dirimu ditatap dengan pandangan melecehkan oleh para lelaki di luar sana. Wajah imut dan tubuh montok istriku ini hanya milikku." Posesif akut, Naruto mendekap tubuh kecil namun berisi ke pangkuannya.

"Na-naruto –kun." Hinata mulai resah dan gelisah. Niat awalnya hanya untuk bimbingan skripsi, bukan dibimbing untuk duduk di atas pangkuan Naruto. Saat hendak bangkit, malah tanggannya ditarik dan tengkuknya dikecup sampai digigit kecil.

"Ahn. .."

"Sangat reaktif." Bisik Naruto seduktif. "Kau tak aman jika menyembunyikan pernikahan kita sayang. Banyak buaya yang mengincarmu untuk tujuan yang tidak baik." Kali ini tangan Naruto bergrilya masuk ke dalam baju atas istrinya. Mengusap lembut perut datar serta meremas sensual dua payudara yang terbungkus bra. "Ugh –hentikan." Susah payah Hinata menahan erangannya malah ia yang berakhir dibuat kualahan.

Tangan kekar itu semakin bejat untuk menjelajah, membuat kabut gairah Hinata perlahan muncul kepermukaan. Tapi Hinata masih memegang akal sehatnya, melakukan hal asusila di ruang kerja suami membuatnya merengek minta dilepas.

"Jangan macam-macam Naruto-kun." Sekuat tenaga Hinata mendorong tangan jahil suaminya keluar. Keputusan Hinata tidak bisa diganggu gugat. "Maaf jika aku masih memakai marga keluargaku, tapi ini yang terbaik. Hanya sampai aku lulus oke." Bujuk Hinata dengan wajah memohonnya. Jika sudah disodori wajah memelas dengan dua bola mata mengerjab polos ini, Naruto jadi bimbang antara tega tidak tega.

Dirinya sudah lelah dengan keinginan Hinata yang meminta pernikahan mereka disembunyikan, ditutup rapat bak bangkai bekas kejahatan. Sudah sering pula ia melihat mahasiswa lelaki berkelebihan hormon menggoda istrinya, dari adik tingkat sampai yang sudah jadi bapak-bapak.

Modus pelecehannya beraneka macam, dari yang bersiul, pura-pura minta kenalan, menyusun skenario tabrakan di lorong agar bisa bersinggungan tangan, hingga mengirimi ponsel Hinata dengan pesan ajakan berkencan lengkap dengan voucher kamar hotel. Apalagi ketika tahu bahwa sahabat laki-laki sang istri juga menaruh afeksi berlebih pada diri Hinata. Naruto masih menahan, sampai tak kuat ketika tahu siapa yang nantinya akan menjadi dosen pembimbing istri tercintanya.

Tentu Jiraiya bukanlah sosok yang tepat untuk masalah konseling Hinata dalam mengerjakan skripsinya. Naruto tahu watak mantan dosen pengampunya itu, yang gemar menjahili mahasiswi cantik dan Hinata tidak boleh menjadi korbannya. Ditambah sifat tidak tegaan Hinata, selalu berprasangka baik membuat dirinya terlihat sebagai sasaran empuk gampang diperdaya.

Naruto sampai harus kerja keras ekstra agar bisa menduduki jabatan ini. Mengebut pendidikannya sendiri serta sedikit menggunakan cara licik untuk menjadi dosen di fakultas sang istri hingga menjadi dosen pembimbing Hinata.

Hanya demi Hinata Naruto rela jungkir balik kesusahan. Dirinya rela melakukannya, apalagi jika harus menjungkirkan Hinata ke ranjang. Naruto mulai membayangkan hal-hal kotor di pikirannya.

"Baiklah," Wajah Hinata sumringa, mengira sang suami bisa menerima. "Terserah padamu mau melakukan apapun, tapi dengan satu syarat." Hinata mengangguk tak menaruh curiga, ia bahkan sudah siap memeluk tubuh beraroma citrus ini jika tidak mendengar kelanjutan kalimat Naruto.

"–Kau harus mengandung anakku."

". . ."

Hening.

Bisakah Hinata ganti dosen saja.

.

.

.

"Sudahlah Hinata, nasibmu memang sedang apes. Dapat dosen pembimbing macam orang praktek santet. Salah sedikit, sudah dijampi-jampi ceramah." Tapi untung tidak sampai dijamah-jamah. Kiba berusaha menghibur sang teman yang diam-diam dia suka meski sudah kalah start.

Hinata masih murung, bibirnya mencebik kesal sambil merapikan skripsinya yang kucel sehabis dibantai suami sendiri. Sudah keluar uang banyak untuk mencetak puluhan lembar eh malah harus berakhir seperti pembungkus gorengan. Melihat kesadisan pembimbing Hinata, setidaknya Kiba bersyukur dapat dosen pembimbing baik hati macam prof. Hiruzen.

"Mungkin kau bisa mengadukan Uzumaki-sensei ke rektorat." Biar sekalian didepak, harap Kiba. Ia jadi terintimidasi tiap bertatapan dengan suami Hinata yang galaknya minta ampun itu. Tak segan-segan memberi nilai E pada setiap mahasiswa lelaki yang kedapatan mencuri pandang pada Hinata.

Sampai pernah terpikir ia akan membuat petisi menolak klaim sepihak Hinata dari dosen killer itu, tapi Kiba masih lebih sayang masa depan dan kelestariannya. Takut jika dipaksa menandatangani surat pengunduran diri dengan tuduhan membuat makar.

Mendelik tajam, Hinata kadang sadar bahwa otak Kiba tak sebesar napsu makannya. "Apa Kiba-kun lupa ini Universitas apa." Sengit Hinata dalam mode serius namun tetap nampak berwajah anak bau kencur. "Universitas Konoha. Itu artinya Naruto-kun lah calon pemilik Universitas ini." Gelas plastik isi susu vanilla disedot sampai mengerut. Tetesnya dicari-cari sampai melingkari dasar gelas.

Dua orang tua Naruto adalah pendiri Universitas terkemuka ini, tentu akan mudah bagi Naruto untuk berlaku semaunya. Toh, ibu mertuanya itu malah mendukung saja Naruto menjadi dosen agar dapat melindunginya. Suaminya pintar untuk mencari sekutu.

"Seharusnya Naruto-kun tahu alasanku tidak memakai marganya." Hanya Kiba yang tahu hubungan macam apa antara Hinata dengan dosen muda mereka karena ia adalah sahabat terdekat Hinata. Satu-satunya teman yang dikirimi Hinata undangan pernikahannya namun tidak pernah didatangi dengan alasan sakit konstipasi padahal patah hati.

Pancaran kekhawatiran terlihat lewat redupnya sorot mata ungu pucat. "Aku hanya merasa tidak enak padanya jika nanti terdengar desas-desus negatif yang mengatakan hal buruk pada Naruto-kun," Menyebut nama suaminya harus dilakukan secara pelan, Hinata tidak mau ada yang mencuri dengar. Dia cinta Naruto, sangat cinta sampai harus rela kucing-kucingan perihal pernikahan mereka. Hinata juga ingin dapat bermesraan tanpa rasa takut diketahui publik.

"Kau tahu sendirikan bagaimana berita hoax santer dibuat haters untuk menjatuhkan seseorang. Buah simalakama itu tidak enak, Kiba-kun." Ucap Hinata meremat gelas bekas minumnya.

"Memang apa sih yang kau khawatirkan." Meski tengah mencomel rotinya, Kiba tetap serius menjadi teman curhat yang baik. "Ia mapan meski terkadang arogan, kalian bahkan sudah menikah, tampang pun oke." Meski masih gantengan aku, narsis Kiba melanjutkan melahap roti isi mayo. "Tidak akan ada yang berani berbuat macam-macam pada suamimu, Hinata." Siapa juga yang nekat menyerahkan kepala ke tiang gantungan.

Kiba bergidik ngeri membayangkannya.

"Bagaimana jika rekan Naruto mengejeknya karena punya istri biasa sepertiku, tidak se-kasta atau patut diperistri. Pasutri yang dipaksakan." Hinata tidak buta sampai tidak menyadari suaminya sering ditatap penuh puja oleh para perempuan se-universitas. "Untuk dapat beasiswa saja aku sampai dimarahi Naruto-kun akibat pulang larut malam karena belajar di perpus. Padahal aku ingin membuatnya bangga. Meski tak cantik setidaknya aku punya otak lumayan encer."

"Tapi, aku pernah melihat Naruto-kun berkumpul dengan teman-temannya. Banyak wanita yang sangat cantik, terpelajar dan tentunya dari keluarga terpandang. Aku jadi minder. Bersolek pun yang kupunya cuma lipstik batangan dan bedak tabur bayi." Hinata dilanda krisisi kepercayaan. Meja riasnya hanya diisi tumpukan laporan serta buku-buku manajemen, bukan sepaket alat make-up lengkap sebagai penunjang penampilan fisik.

Apalagi di semester tua ini, Hinata sampai sering begadang lupa tak mengurus diri mengurus suami. Akhirnya Naruto yang selalu menyiapkan sarapan, memijat tengkuknya bila terasa pegal dan menggendong dirinya ke kamar sewaktu ketiduran di sofa. Padahal Naruto sebagai dosen dan calon pewaris utama Universitas Konoha lebih memiliki banyak kesibukan tapi dia masih menyisihkan waktu untuk memperhatikan istrinya.

Hinata jadi bingung antara ingin bersyukur atau meratapi nasib Naruto punya istri seperti dirinya.

"Kau harus lebih percaya diri lagi Hinata. Penyakit malu-malumu itu harusnya kau hilangkan. Meski suamimu berprilaku seperti setan alas, kau harus yakin dia mencintaimu seluas jagad raya." Lidah Kiba keluh, kaku rasanya bila meneruskan memberi nasihat kiat-kiat berumah tangga awet jika nyatanya hatinya masih terasa teriris perih merelakan Hinata pada orang lain.

Argkk, mungkin Kiba harus mengurangi intensitas mendengar lagu kutunggu jandamu yang sering diputar teman satu kosannya.

Belum puas, Hinata kembali melanjutkan cerita kegundahannya. "Aku bahkan pernah melihat isi foto di ponsel Naruto-kun. Ada gambar wanita cantik berfoto selfie dengan menggandeng lengan Naruto-kun ketika wisuda strata duanya dulu, ketika aku tidak bisa datang karena sedang ada diklat PKM." Api kecemburuan itu nyalang terlihat.

Masa pengenalan Hinata dengan Naruto memang berlangsung sesingkat semester pendek dan buru-buru dilamar oleh Naruto. Katanya tidak baik terlalu lama pacaran, bisa menimbun dosa maksiat bila tidak kuat iman. Oleh karena itu Hinata tidak terlalu mengenal siapa-siapa sahabat Naruto, khususnya siapa perempuan-perempuan yang pernah mendiami hati suaminya sebelum dirinya.

Mungkin karena mereka telah menikah membuat Hinata berpikiran naif bahwa Naruto tidak akan tergoda dengan permata lain. Tapi, siapa yang tahu. Diam-diam Hinata ketika akan masuk ke rungan Naruto harus dibuat menelan butiran kekecewaan ketika matanya melihat Naruto tengah bercengkrama akrab dengan wanita berambut pink yang wajahnya serupa dengan wanita yang berfoto dengan Naruto di hari kelulusan magister-nya.

Benarkah Naruto bosan padanya? Apa dia sudah menjadi istri yang tidak baik? Ditambah tingkahnya yang belum mau mengganti marganya di absensi kelas mengikuti marga sang suami serta keegoisannya menolak berbadan dua sebelum lulus ujian.

Aku takut Naruto-kun khilaf menafsuhi wanita lain

Kepala bermahkota biru gelap itu terkulai di atas meja. Jari-jarinya mngetuk meja frustasi. "Kiba-kun," Panggilnya lirih.

"Hmm."

"Apa aku memang harus menuruti Naruto-kun untuk membiarkannya memasuki ku tanpa pengaman kontrasepsi sehingga aku bisa hamil."

Dan terkutuklah wajah polos Hinata ketika mengatakan hal dewasa yang membuat Kiba menyemburkan minumannya.

.

.

.

Siang panas dengan angin kering membuat Hinata harus memakai masker untuk menutupi wajahnya dari debu. Jarak kampus dengan gedung apartemennya memang tidak terlalu jauh, hanya 30 menit jalan kaki dan 10 menit jika naik mobil pribadi.

Sepulang dari kampus sebenarnya Naruto sudah meminta Hinta membawa mobilnya karena ia sedang ada rapat. Toh Hinata sudah ia ajari cara menyetir mobil dengan aturan keselamatan standart, pria blesteran itu tidak tega bila membiarkan istrinya jalan sendirian. Hinata terlalu rawan jika ditinggal sendiri, takut jika malaikatnya itu digendam lalu dibawa kabur orang.

Tapi memang dasarnya Hinata tidak merasa nyaman naik mobil mewah, jalan kaki lebih hemat dan sehat. Selain itu, akan sangat mencolok jika selama ini dirinya dikenal sebagai anak perantau dari desa namun tiba-tiba naik mobil jaguar, ber-plat merah pula. Pasti akan timbul fitnah dirinya sebagai mahasiswi punya bisnis haram.

Gedung kawasan apartemen elit sudah terlihat di ujung mata. Naruto lah yang memutuskan untuk membeli satu suite apartemen di sini semenjak mereka menikah karena dekat dengan kampus. Setidaknya Naruto tahu Hinata tidak harus selalu naik angkot lagi untuk ke kampus seperti sewaktu tinggal di gang kos sempitnya dulu. Selain itu juga keamanan di kawasan apartemen ini cukup ketat, tak sembarang orang bisa keluar-masuk seenaknya.

Ruang tamu luas terlihat lenggang, tatanan furniture yang minimalis membuat Hinata kembali berpikiran bahwa kamar apartemen ini memang terlalu besar jika harus dihuni dua orang saja. Hinata jadi gusar, tuntutan punya anak sudah suaminya inginkan sejak awal malam pertama, bahkan mertua dan kedua orang tuanya ikutan memanasi Naruto untuk segera menghadirkan sang jabang bayi. Mereka ingin menimang cucu hingga sering mencekoki minuman suaminya dengan jamu-jamuan penguat stamina sewaktu tinggal di kediaman utama.

"Tapi aku masih 23 tahun." Hinata mendesah frustasi. Ia bahkan punya ambisi untuk meneruskan S2 nya namun urung disampaikan ke Naruto karena tahu akan seperti apa tanggapan suaminya nanti. Bukan berarti ia menolak rizki berupa seorang anak, tapi lagi-lagi di satu sisi ia masih merasa belum siap. Takut jika kesibukannya akan membuatnya lalai menjadi ibu yang baik.

Getaran di ponsel membuat Hinata mengalihkan perhatiannya. Sebuah panggilan dari Naruto masuk ke ponselnya. Hinata buru-buru menggeserkan touchpad ke tombol hijau untuk mengangkatnya.

"Naruto-kun."

'Sayang, bisa kau bawakan aku map biru yang berada di atas meja, di ruang kerjaku?'

Hinata menoleh ke sebelah ruangan yang digunakan Naruto untuk mengerjakan pekerjaannya jika dibawa pulang. Ada sebuah map plastik biru bening di atas meja. "Ya, tentu saja. Kita bertemu dimana Naruto-kun."

'Hinata antar ke kantin rektorat saja ya, aku sedang makan siang. Jika kau belum makan kita bisa makan bersama.'

Hati Hinata menghangat. Meski sikap Naruto sewaktu menjadi pembimbingnya bisa membuatnya tega untuk mencekik lelaki itu, namun Naruto yang menjadi sosok suami adalah lelaki yang begitu membuat Hinata mabuk kepayang. Jantungnya berdebar oleh tiap perhatian penuh kasih suaminya. Inilah alasan kesekian yang membuatnya masih ingin berdua dengan Naruto. Ingin bermanja-manja lebih lama.

'Aku juga ingin mengenalkanmu pada seseorang.'

"Eh, Siapa?"

'Datang saja ke sini ya honey.'

Setelah sambungan diputus, wanita dengan panjang rambut sepinggang itu segera bergegas kembali ke kampus, menemui Naruto.

Namun, baru sampai di tempat yang dijanjikan, kaki mungil itu berhenti melangkah. Tepat di depan kaca etalase mata Hinat membeo tidak berkedip memandang satu gambaran yang dilihat dari sisi manapun akan seperti 'keluarga' sungguhan.

Naruto tengah memangku anak kecil di pangkuanya, tertawa lebar ketika anak kecil itu menolak menerima suapannya. Di depan Naruto duduk seorang wanita cantik berpaikan formal juga ikutan tertawa. Rambut bubble gume nya digelung ke atas memamerkan leher jenjang putih. Naruto belum sadar kehadiran Hinata, dia menciumi pipi tembem si anak kecil. Sesekali juga berbincang mengenai hal yang nampak menyenangkan bersama wanita di hadapannya.

Mereka bahagia seolah dunia milik berdua.

Ada suara retak yang membuat Hinata meringis sakit dari dalam dirinya. Ia pernah mendengar cerita tentang patah hati, katanya sakit sampai ingin mati. Kejamnya pacar ditikung seperti rasa jantung dipasung. Hinata pikir itu hanya kiasan macam hiperbola –alay sebutannya. Dibuat berlebih seperti hidup dikendalikan sebatas perasaan tanpa rasionalitas.

Selama ini pula rasa sakit dan sedih yang dia rasakan hanya sebatas pada penolakkan pihak sponsor atas proposal bisnisnya, revisiannya di coret-coret Naruto dengan alasan mengada-ada atau nilai IPnya mengalami penurunan meski hanya nol koma.

Tapi, Hinata tahu saat ini itu semua itu tidak sebanding. Efek inflasi kesakitannya sudah taraf akut. Sudah tidak sanggup untuk diungkapkan, sesak tak terkira membuat kaki gemetaran mencari pijakan. Seluruh tubuhnya merespon berlebihan, terjadi komplikasi secara keseluruhan. Dari kepala, jantung, perut sampai ujung kaki semuanya hanya merekam rasa satir dan getir.

Matanya memburam tertutup liquid hasil kerja kelenjar Lakrimalis. Rongga perutnya nyeri, seolah ribuan jarum menusuki organ hati hingga membuat Hinata sesunggukan menghapus tetesan air mata. Dadanya pun kembang kempis seolah keracunan gas nitrogen.

Ini kah yang namanya diselingkuhi? Dicurangi? Dihianati?

Naruto tukang tega, raja begal perasaan. Hinata bukan ampas yang habis manis sepah dibuang, bukan juga mainan karet yang tak putus jika diplintir. Menyuruh istrinya datang untuk melihat sang suami bersenang-senang dengan selingkuhan sampai membuahkan anak pula. Apa Naruto memang berniat membuatnya gantung diri sebelum sidang skripsi begitu?!

Hinata tidak ikhlas dimadu apalagi dicerai! Kalau ada yang tidak sejalan, komunikasikan. Bukan malah cari pelarian ke wanita lain.

"Naruto-kun."

Naruto yang tengah bercengkrama dibuat kaget dengan penampilan istrinya yang berwajah berantakan. Lelehan air mata nampak membekas di pipi merahnya, belum lagi suara isak tangis yang berusaha ditahan namun malah terdengar menyayat.

"Hi-hinata, kenapa kau? Ada yang menyakitimu? Kau digoda lelaki cabul?" Naruto panik, takut-takut terjadi sesuatu yang membahayakan keselamatan istrinya. Bukannya mereda, tangis Hinata semakin pecah. Pintar sekali Naruto bersandiwara pura-pura khawatir. Sudah ketangkap basah main mata masih saja keterusan memainkan perasaannya.

Tangan putih mengusap kasar air mata di pipinya sendiri, Hinata mencoba kuat meski terjadi tekanan jiwa. Tenggorokannya tercekat, tersendat-sendat dalam berbicara. "Katakan, Naruto-kun . . . hiks jika aku salah aku minta maaf. Kadang aku memang egois -hikss- suka memaksa Naruto-kun ini itu," Tubuh Hinata menjauh dari rengkuhan Naruto.

"Jika Naruto-kun ingin sesuatu yang tak bisa kuberi tolong bicarakan baik-baik, aku tidak akan mengerti jika tidak diberi pengertian." Kening Naruto bertaut keheranan, bahasa Hinata sulit dia pahami ditambah tatapan menukik dari semua mata tengah memandang ke arahnya. Tatapan penghakiman seolah ia seorang terdakwa kasus pelecehan.

"Bila akhirnya yang Naruto-kun pilih bukan diriku, aku bisa apa -hikss-. Tapi, tetap saja sakit mengetahui Naruto-kun bisa berbahagia tanpa diriku. Ya benar, aku tidak menarik sampai-sampai kau memacari sosok sedap dipandang -hikss-"

Se-selingkuh? Siapa yang selingkuh? Naruto bertanya-tanya dalam hati. Hinata tidak sedang menuduhnya selingkuh bukan? Jika iya, Naruto ingin tertawa. Gemas melihat istrinya ini sesunggukan menuduhnya macam-macam. "Sayang," Naruto mencoba memanggil namun tidak direspon. Dirinya diperlakukan seperti penyakitan sampai Hinata enggan dipegang-pegang. Naruto jadi ingin menghukum si manis seharian tanpa pakaian.

Mana mungkin Naruto menyelingkuhi istri orang lain bilamana dirinya sudah punya istri sendiri yang bisa membuatnya ketagihan beronde-ronde main tindih-tindihan. Bukan berarti Naruto penjahat kelamin, dia hanya punya cinta kasih yang sebegini besarnya. So chease.

"Tidak Naruto-kun, jangan panggil sayang jika sebentar lagi aku dicampakkan. Naruto-kun pasti sudah ingin men-hikss-ceraikanku kan." Hinata enggan menatap sosok tinggi besar suaminya, tidak ikhlas jika hal itu benar terjadi. Hinata sudah punya bayang masa depan, tapi belum sempat terealisasikan kenapa sudah dihancurkan.

"Kupikir kau hanya ingin membuat anak denganku. Padahal aku mulai berubah pikiran, akan sangat membahagiakan jika bisa mengandung benih Naruto-kun. Ta-tapi –" Dengan sedikit kaku Hinata melihat sosok wanita di balik tubuh suaminya. Iris zamrud bak batu emerald dengan kontur wajah ala putri bangsawan itu membuat kepala Hinata diserang migren dadakan.

Tuhan! Ia kalah modal. Batin Hinata semakin menangisi dirinya sendiri.

"Ku-kutunggu di pengadilan!" Putus Hinata berlari meninggalkan tempat. Sudah cukup garam yang ditebar, hatinya sudah lepuh sampai menunggu waktu hingga siap diamputasi saja.

Suasana menjadi hening. Adegan 'say to break' nyatanya bukan cuma bisa dinikmati di acara televisi saja. Kali ini real, tanpa settingan atau obat tetes mata. Naruto menghela napas, kesalahpahaman bisa membuat orang jadi buta arah gelap pikiran. "Sakura, kupikir kita harus menunda acara makan siang bersama."

Wanita bernama Sakura itu tersenyum maklum, ingin tertawa melihat wajah tertekan Naruto. "Itu tadi istrimu? Aish, masih muda sekali." Goda Sakura. "Pantas kau tak rela untuk mengenalkannya, jangan suka mengurungnya di kamar terus." Tawa Sakura tidak didengar Naruto, pria itu sudah lebih dulu melesat ke arah mobil jaguar biru yang diparkir di depan restoran.

Selepas Naruto pergi, masuk seorang pria dewasa yang tak kalah rupawannya. Rambut hitam dengan poni turun memanjang menambah kesan kharismatik. Dua onix berpendar lembut, melihat anak kecil perpaduan dirinya dan wanita yang ia cintai memanggilnya papa.

"Kau terlambat Sasuke, seharusnya kau datang lebih cepat agar kita bisa makan bersama sekalian berbincang dengan istri manis Naruto."

.

.

.

Selalu, tempat dimana Hinata akan menyendiri sewaktu ada permasalahan adalah bergelung di bawah selimut kasur. Naruto masuk tanpa suara, ia bersyukur membawa kunci cadangan hingga tidak perlu mendobrak pintu untuk masuk ke dalam. Suara isak tangis masih mengalun meski samar. Tidak mau berlarut-larut dalam kebisuan apalagi pertengkaran, Naruto lantas ikut menyelinap. Masuk ke dalam selimut.

"Kenapa ke sini." Suara kesal terdengar mengusir. "Pergi sana hush!" Merajuk, Hinata memberontak dari kepitan Naruto. "Pria hidung belang, belum puas dapat service tiap malam sampai jelalatan mencari perempuan lain." Amukan Hinata berubah menjadi pukulan membabi buta.

Siapa bilang ia wanita lemah yang cuma bisa menangis setelah sang suami ketahuan main serong. Sedikit-sedikit Hinata juga bisa ilmu bela diri meski hanya gerakan kuda-kuda yang dihafal. Sedangkan Naruto berusaha sabar, menangkis jambakan atau sikutan Hinata-nya.

Sekali ada kesempatan pria tampan itu langsung balik menindih tubuh yang lebih mungil. Dua tangan kecil dicengkram ke atas kepala, kaki Hinata ia ditindih dengan lutut. Dahinya sengaja ia benturkan pelan ke kening Hinata.

"Marahnya sudahan, kalau sedang PMS jangan sampai membawa korban –tatap aku Hinata." Suara datar Naruto bukan candaan, dengan gerakan patah-patah Hinata menatap lurus ke depan. Tepat pada dua pantulan kornea sebiru samudera. "Hinata salah paham, tidak ada perselingkuhan atau penggandaan cinta. Cukup dua kursi, kalau pun tambah itu kursi buat calon buah hati." Kedua mata basah dikecup bergantian. Sudut-sudut pelipis sampai dagu juga tak luput dari cumbuan.

"Jika yang kau pinta adalah pengertian, aku akan memberikannya sebanyak rintik hujan. Minta kesabaran seluas amazon pun kuberikan seluas daratan benua. Namun, jika yang Hinata ajukan adalah perceraian , lebih baik kubuat kau tidak bisa berjalan sebulan. Biar lekas beranak-pinak."

Naruto itu lulusan jurusan ekonomi. Dari dulu yang dipelajari berpusat pada ilmu kalkulus, perhitungan laba-rugi sampai kebijakan fiskal-moneter. Namun, semenjak ada Hinata di hidupnya ia seperti dijebloskan pada tatanan ketidak-bakuan. Tidak melulu suatu hal dapat dinominalkan. Perasaannya secara kontemporer dijungkat-jungkit, kadang pahit kadang legit.

Namun Naruto tahu, sampai kapanpun tidak akan berhenti mencintai Uzumaki Hinata. Terserah ingin dibilang cinta buta atau cinta gila, nyatanya memang Hinata yang sanggup membuatnya tergila-gila.

Terakhir bibir merah dikecup lama, lidahnya masuk menyesaki rongga kecil mulut Hinata. Dua menit Hinata masih bertahan, namun untuk selanjutnya ia mulai kehabisan napas. "Ceritakan, kenapa bisa kau menuduhku pria hidung belang, hum."

Rupanya sisa-sisa ciuman kenikmatan masih menyesatkan Hinata, pandangannya sampai sayu kepayahan. "Habisnya, sewaktu bimbimbingan Naruto-kun marah padaku. Aku jadi kepikiran, Naruto-kun akan bosan menghadapi diriku."

"Kenapa bisa sampai bosan? Memangnya Hinata pikir pernikahan ini main-main? Aku tidak sebejat itu untuk bermain janji di hadapan Tuhan."

Pernikahan di awal musim semi terlintas di ingatan Naruto. Pestanya tidak semeriah artis papan atas sampai diliput infotainment. Pernikahan mereka dibalut dalam kesederhanaan dalam suasana begitu khidmat. Tidak banyak yang diundang, hanya keluarga dan kerabat dekat. Namun, itu tidak masalah. Di bawah guyuran bunga sakura mereka saling mengikrarkan diri satu sam lain, mereka menautkan tangan enggan dipisah. Rasa kebahagiaan meletup tidak sabar menyosong kehidupan berumah tangga.

Komitmen sehidup semati akan dipegang Naruto apapun yang terjadi.

"Lantas, siapa wanita itu? Beberapa kali kulihat dia cukup dekat dengan dirimu." Hinata mencairkan sedikit kekesalannya, kali ini rasa penasarannya yang mendominasi.

"Oh, Sakura maksudmu." Naruto mengucapkan nama seorang wanita tanpa ragu, dan Hinata memelas menahan rasa kecewa. "Jangan salah sangka." Buru-buru Naruto mencubit hidung mancung kekasih seumur hidupnya. "Dia sudah kuanggap saudariku sendiri. Lagi pula ia juga sudah punya suami dan anak."

"Eh? Ja-jadi anak kecil tadi bukan anakmu?" Hinata menengadah menatap lugu wajah Naruto.

Tawa Naruto meledak. Sepintar apapun istrinya namun jika cemburu kadang seperti remaja kebanyakan asupan drama. "Memangnya sejak kapan rambutku berubah jadi hitam? Kalau pun anakku, jelas akan mewarisi rambut blonde atau biru gelap seperti Hinata." Dikatai seperti itu memunculkan rasa malu-malu. Hinata ingin mencium suaminya, hitung-hitung sebagai rasa bersalah setelah menuduh menodai ikatan cinta mereka.

"Tadi aku ingin mengenalkan Hinata pada temanku. Tapi, kau keburu cemburu buta lalu pergi. Aku bahkan belum makan." Hidung Naruto membauhi wangi tubuh istrinya terutama di bagian leher, ceruk leher Hinata yang paling kuat menguarkan aroma lavender. Hinata kegelian oleh kecupan basah Naruto.

"Naruto-kun ingin makan apa, akan aku masakan."

"Ingin makan Hinata, boleh kan?"

Oh, ajakan bercinta.

"Lagi pula, tadi aku mendengar seseorang berkata ingin mengandung anakku." Seringai nakal Naruto menghias di bibir, kedua tangannya mencari kesempatan melucuti pakaian Hinata. Sekali tarik sudah mempretel baju beserta bra. Gelap mata, Naruto mengendus tiap jengkal kulit putih yang terpampang.

Sama-sama terangsang, Hinata tidak mau ketinggalan untuk menelanjangi kemeja suaminya. Pikiran polosnya ternoda, tidak lagi suci melainkan siap untuk dikotori. Kabut gairah mengambil alih setiap saraf sensorik. Tak ada lagi beban –hanya keinginanan untuk saling memuaskan pasangan. "Roti sobek." Spontan Hinata bergumam pelan ketika kemeja Naruto telah dibuang sembarangan.

Abs hasil rutin latihan gym dua kali seminggu tersekat-sekat berjumlah enam kotak.

"Tertarik?" Tantang Naruto. Pura-pura acuh, Hinata mengalihkan pandangan padahal tangannya mengelus rambut halus di hamparan dada bidang. Namun tidak lama-lama, dusta namanya jika tidak mengakui pahatan sempurna tubuh kokoh Naruto sebagai tubuh paling ia gilai.

Hinata tidak ingin disebut mesum, tapi –

Suaminya ini memang keterlaluan jantan. Sudah berbadan kekar bermuka ganteng pula, wanita mana yang sampai tidak jantungan coba.

Tanpa membuang waktu Naruto langsung menyerang bibir merah kenyal di depannya. Menyesap sambil memagut. Salivanya sampai teruntai di sudut bibir Hinata. "Buka mulutmu, Hinata."

"Nghh. . ." Disorientasi, Hinata pasrah lidahnya diajak saling membelit. Mengecap rasa saliva yang tertinggal. Kedua payudaranya tidak luput dari sasaran, Naruto bernapsu meremas sesekali mempelintir puncak merahnya. Tubuh Hinata menggelepar, mengejan hingga terasa basah di bawah selangkangan.

"Lagi, lakukan lagi. Ahhnn. . ." Dada dibusungkan, Hinata ingin mulut suaminya ikut bermain –bergantian menghisap dua titik menonjol di dada. Melecehkan sampai dirinya sendiri meringis ngilu kala gigi depan Naruto terlalu keras menggigitnya.

"Basah," Komentar Naruto mengamati kain segitiga di permukaan lubang genital lengket oleh cairan bening. Tiada kesulitan, celana dalam istrinya mulus digelincir melewati pinggul. Aroma manis langsung tercium, memabukkan sampai Naruto merasakan akan keluar duluan.

Hinata tidak ingin hanya dibuat mendesah. Ia juga ingin mendengarnya dari Naruto. Mata bening bewarna ungu pucat mengerling genit, hampir saja ia menggapai celana Naruto jika saja suaminya ini tidak menahannya. "Nakal sekali, eoh."

"Tidak adil." Wanita itu memberengut kesal campur nakal . "Lepas semuanya Naruto-kun." Pintanya memelas membesarkan bola mata. "Biarkan aku menyapa punyamu. Mengelusnya pelan-pelan, boleh kan?" Kata-kata Hinata tak terkira binalnya. Kakinya mengangkan melingkari pinggang berkulit tan.

Pinggulnya digerakkan maju mundur menaiki batang keras yang masih terbungkus calana katun.

"Tsk, sejak kapan Hinata begitu tidak sabar ingin kumasuki? Sshhh. . ." Sialan, istrinya mencuri kesempatan mengurut kejantanannya menggunakan jempol kaki. Sensasinya membuat darah berkumpul tepat di nadi alat kopulasi, seketika Naruto merasa sempit dan sakit. "Sudah, sayang. Jangan lagi mempermainkannya, dia liar kalau sudah mengamuk." Bisik rendah Naruto mengecupi telinga Hinata.

"Biar saja. Kan sudah kubilang aku ingin Naruto-kun sama telan –Akkhh A-apa yang." Kalimat Hinata menggantung di ujung pita suara. Badanya dibalik, mukanya menciumi bantal sedangkan bokongnya ditampar sampai bergetar kenyal. "Ti-tidak tidak. Aku tidak suka posisi ini." Kakinya dilebarkan paksa, Hinata bersikukuh mengatup namun langsung lemas ketika tulang punggungnya dijadikan kanvas gigitan besrta hisapan.

"Foreplay, please." Hinata ingin diperlakukan penuh cinta meski tidak memungkiri jika jantungnya lebih terpacu ketika Naruto memainkan tubuhnya lebih beringas. Hot kinkys.

"Ini hukuman sayang. Unprotect sex, sejak dulu sangat ingin kulakukan. Rasanya aku bersemangat sekali." Ziper celana ditarik turun. Sontak penis tegaknya mengacung siap disodokkan. Kepala merah dengan lubang kecil di puncaknya semakin banyak mengeluarkan cairan sebening putih telur. "Coba rasakan punyaku tanpa diselubungi lateks."

Menggoda, Naruto sengaja memainkan kejantanannya di pintu masuk liang merah muda. Seolah ingin menyapa saling berkenalan. Meski sudah tiada halangan, namun masih saja kewanitaan istrinya tidak mudah dilalui. Dipaksa masuk, Naruto yang bakal merasa didorong keluar.

Fuck! Gigi Naruto saling bergemelatuk merasakan ujung kepala kepunyaannya diremat dan dihisap sebegitu hebat. Dia ingin bermain gentle tapi lubang mungil itu bagaikan godaan untuk melepas sisi buasnya.

Hinata menggigit bibir bawahnya kuat. Kedua tangannya terlipat di depan saling mencari pegangan. "Ouchh. . . Sa-sakit." Aduhnya semakin menenggelamkan kepala ke dalam bantal. "Hentikan, Naru- Ahnn." Pinggulnya terasa diangkat lebih tinggi, payudara yang menggantung bergoyang ke kanan ke kiri . Hinata benci posisi dimana ia tidak bisa melihat wajah suaminya –dia tidak mau ditunggangi dari arah belakang.

"Tahan sayang. Punyamu masih ketat, perlu sedikit kupaksa untuk menerimaku." Erang Naruto berusaha menyatukan tubuh mereka. "Fo-foreplay!" Pinta Hinata lagi namun tidak dituruti.

Mata Hinata terpejam, pinggulnya melengkung ke atas bersamaan dengan masuknya daging berotot tebal menyesaki bagian terdalam tubuhnya. Tentu rasanya sakit, pelumasnya belum mencukupi. Tapi siapa peduli, bagian Naruto sudah setengah masuk. Satu dorongan sudah tertelan sampai ujung pangkal. Saling menabrakan kulit sampa berbunyi-

Sleb

"Ahhnnnn…" Erangan campur desahan panjang Hinata disambut geraman Naruto. Napas mereka bersahutan, kenikmatan dunia surgawi nampak semakin berada di genggaman. Naruto memberi jeda, membiarkan pasangannya menyesuaikan dengan ukuran miliknya. "Maaf sakit, ya." Meski dalam keadaan terangsang hebat, Naruto tetap memberikan kelembutan.

Mulutnya menyusuri bahu dan punggung Hinata. Menciptakan ruam-ruam merah dengan hisapan bibir. Tanggannya kembali bekerja, membelai serta meremas dada montok yang masih menggantung. Kadang pula mencubit atau menjepit dua puting sampai berubah warna.

Memang bukan yang pertama, namun pengalaman penetrasi tanpa pelindung karet adalah hal baru bagi mereka berdua. Rasanya bebas –saling mengenali sisi dalam masing-masing. Sedikit menyisakan rasa perih di bagian bawahnya, Hinata mulai tidak nyaman jika benda besar yang bersarang di dalamnya tidak bergerak.

Naluria, pinggulnya bergerak maju mundur sendirian. "Ber-bergerak, sayang." Suara serak Hinata mendayu penuh pesona ingin dipuaskan. Hati Naruto membuncah penuh euforia menyambut ajakan untuk mendaki puncak keintiman.

Giliran Naruto yang memegang kendali. Pinggang sampai pinggulnya digoyang sembarang arah asal bisa meloloskan desah tak berkesudahan. "So tight, jangan ketatkan lubangmu. Kau bisa membuatku langsung ejakulasi." Miliknya terasa diperas oleh kumpulan otot dari dalam.

"Nikmat, kau sungguh nikmat Hinata." Pujian itu membuat jantung Hinata berdetak di luar kendali, otomatis semakin mencengkram kuat milik suaminya. Alunan gerakan Naruto mulai tidak terkendali, bokong Hinata sampai terdesak ke depan tiap suaminya mendorong dengan hentakan keras –tepat sasaran mengenai titik kenikmatan. Masuk keluar sesuka hati, Naruto tahu dia akan datang sebentar lagi.

Kilat putih menjalar seperti aliran listik di setiap saraf sensorik. Tubuhnya mengejan, perut bagian bawahnya bergetar ingin klimaks. "Ohhh –eughnn." Hinata melengkuh, merefleksikan rasa kepuasan memperoleh orgasme pertama.

"Hi-hinata. . . Ssshnnn." Tidak lama Naruto menyusul, nikmatnya sampai membuat dirinya memeluk tubuh ramping Hinata erat. Gerakannya tidak melambat sedikitpun, justru semakin kuat menghentak lubang merah tanpa ampun. Dia ingin tubuh Hinata meresap baik-baik benihnya. Kemudian, gelombang panas menyembur seperti lahar gunung hasil ledakan. Mengucur deras menimbulkan sensai lengket dan hangat mengisi seluruh ruang sampai menetes membentuk aliran warna putih di sela persatuan.

Hinata langsung lunglai, otot tulangnya tidak mampu lagi menopang massa hingga ia tengkurap di atas kasur. "Ta-tadi adalah hal yang terhebat, Naruto-kun." Naruto masih memejamkan mata, tubuhnya yang menindih sudah ia pindahkan menyamping untuk bisa memeluk tubuh hangat istrinya.

"Terima kasih telah memilihku. terima kasih atas segala cinta yang Naruto-kun beri, aku sangat mencintaimu, my beloved husband." Sisa-sisa kekutan digunakan Hinata untuk menyampaikan terima kasihnya lalu menyandarkan kepala pada luas bidang dada Naruto. Tertidur dengan dengkuran halus.

Naruto terkekeh pelan. Dia membalasnya dengan mencium lembut kening Hinata. "Tidak perlu berterima kasih. Hinata hanya perlu tahu bahwa aku lebih mencintaimu. Jadi, jangan pernah berpikiran mengenai sebuah perpisahan." Diambang kesadaran Hinata merasa perutnya diusap sayang oleh Naruto sambil bergumam cepatlah tumbuh baby.

.

.

Suatu hubungan tidak akan lepas dari saling berseberangan pendapat, namun hal itu tidak lantas membangun retak perpisahan, justru sebaliknya. Diantara dua jalan yang berbeda pasti akan ada jembatan penghubung. Maka carilah, jika pun sulit untuk ditemukan maka ciptakan. Karena pernikahan tidak sekadar serah terima jabatan ataupun berganti status sosial. Ada sebuah pengorbanan, perjuangan dan pengertian dalam perjalanannya. Happy NaruHina Wedding.

.

.

.

RnR

Finally, kesampaian juga membuat fanfic NH rated M. Maaf jika kurang greget, vakum selama hampir enam bulan lebih dari menulis fanfic memang butuh perenggangan ekstra. Ngrajam batin dulu dengan baca semua cerita dari author-author lain untuk mendapatkan feel yang pas. Ambil yang baik buang yang jelek ya chin.

Akhir kata, semoga terhibur. Yuk mari kondangan ke acara nikahan NaruHina.

.

.

.

Omake

"Naruto-kun, Naruto-kun!" Panggilan setingkat teriakan membuat Naruto terkejut hampir menjatuhkan susu dalam genggamannya. Dari arah dapur ia tergopoh menuju kamar, takut Hinata kenapa-kenapa.

Sosok wanita mungil tengah sibuk mematut diri di depan kaca, dia berputar-putar mencoba menyortir mana baju yang pantas mana yang tidak –lebih tepatnya memilah mana yang masih dapat dipakai. Jika dulu tubuhnya masih kurus, Hinata tanpa kesulitan akan mengenakan pakaian jenis apapun. Namun, kini berbeda. Bulatan di tengah perut menyebabkan ia harus mengenakan kaos atau kemeja Naruto dibanding bajunya sendiri.

"Ini buruk."

"Apanya yang buruk?" Susu hangat diletakkan Naruto di atas nakas. "Jangan terlalu lelah."

"Lihat ini," Hinata memamerkan dirinya tengah memakai pakaian yang tidak muat, sesak di bagian dada dan perut. "Kancingnya sampai copot. Padahal masih empat bulan, tapi aku sudah sebegini melarnya."

Lagi-lagi masalah berat badan. Toh, apa masalahnya. Perut buncit sewaktu hamil itu sudah biasa kenapa mesti dibawah serius. "Itu tandanya sehat kan. Calon baby dan ibunya tidak kekurangan nutrisi.Gendutmu itu seksi. Apalagi bagian dada." Untuk yang terakhir Naruto tidak mau mengatakannya. Cukup disimpan dalam relung hati, namun tak jarang difantasikan.

Sayangnya Hinata tidak sama sekali memperhatikan apapun ucapan Naruto selain kata 'gendut' di tengah kalimatnya. Dulu sebelum berbada dua, Hinata merasa tubuhnya kurus meski Naruto bilang montok. Kini malah terlihat mencolok kelebihan berat badan, sampai kalau berjalan seperti bola menggelinding.

"Jadi benar sangat gendut ya. Semua bajuku sampai tidak ada yang muat. Lalu aku harus memakai apa sewaktu wisuda besok? –ini semua salah Naruto-kun."

"Tuhan, salah apa lagi aku padamu sayang." Rasanya semua yang dilakukan Naruto tidak ada benarnya. Selama hampir empat bulan, terhitung dari awal kehamilan Hinata, Naruto sering dijadikan sasaran kekesalan atau sekadar kejahilan.

"Sudah kubilang bahwa aku ingin wisuda sebelum perut buncitku mencuat mencuri perhatian. Kenapa Naruto-kun malah mendaftarkan wisuda ku seminggu yang lalu? Momen wisuda itu momen sakral, seumur hidup sekali. Aku ingin berdandan cantik dan difoto bersamamu." Mood ibu hamil lebih kompleks dari pola random susunan kubik. Selalu berubah dan tak menentu.

Mau tidak mau Naruto harus pintar bertutur kata. Naruto dituntut untuk lebih perasa, namun ada satu waktu dimana ia akan bersikap sebagai seorang calon ayah yang mengkhawatirkan keadaan istri beserta calon buah hati. "Masih untung skripsimu kululuskan tepat waktu. Apa mau ujian skripsi sehabis lahiran? Aku sih tidak masalah."

Hinata cemberut, mencubit pinggang Naruto tidak terima. "Jahat sekali."

"Ini demi Hinata dan baby juga. Pikirkan kondisimu jika kau wisuda di trimester pertama. Muntah sewaktu kau dipanggil untuk pengukuhan bukanlah hal yang Hinata inginkan kan. Lagipula Hinata tidak perlu memusingkan perihal pakaian untuk besok. Baju toga akan menutupi kehamilanmu." Naruto mendekap Hinata dari belakang, mencium kepalanya penuh sayang sedangkan tangannya mengelus penuh kehati-hatian luaran abdomen sang calon ibu tempat bayi mereka meringkuk.

"Aku akan menjadi suami paling bahagia bisa berfoto dengan istriku yang tengah hamil. Kupastikan baby juga ikutan bangga bisa ikut merayakan kelulusan ibunya." Ucapan Naruto selalu bisa menentramkan batin Hinata. Sungguh manis sampai membuatnya jatuh cinta berkali-kali.

Wanita mengandung itu tersenyum malu-malu sampai kelopak matanya menyipit akibat tenggelam oleh dua pipi chuby yang semakin hari semakin bulat.

"Tapi, seksi ku hilang Naruto-kun."

"Tidak masalah, masih bisa membuatku ereksi kok."

Hinata mendengus, melempar tatapan malas pada suaminya. "Pikiranmu kondisikan, Naruto-kun.

END