summary
Ditinggal kakaknya kerja ke luar kota membuat Christa harus pindah ke kosan dekat sekolah. Di sana dia punya teman baru sih... tapi yang ini galak banget. Jadi gimana dong?
.
.
Hai, namaku Christa Renz.
Saat ini aku berada di bangku kelas sebelas Sina Maria High School yang berada di kota Trost. Banyak yang terbiasa memanggilku langsung dengan nama kecil. Christ atau Christa, contohnya. Untungnya julukanku tidak dibuat macam-macam seperti jaman aku masih SMP. Soalnya dulu aku sering dipanggil si Kecil sih.
Oke, abaikan hal tadi dan kembali ke permasalahan utama. Selamat menikmati ceritaku...
.
.
.
CHRISTA'S PROBLEMS
Shingekyo by Isayama Hajime
AU—Alternate Universe
Pieree Present...
(Jean Kirstein—Christa Renz)
.
.
one of ...
-hari pertama-
.
.
Kala matahari baru menampakkan dirinya dari ufuk timur, Christa masih tertidur di kasur kamar pribadinya yang simpel. Dari segala tata letak perabotan, suhu AC yang menyala serta tingkat keempukan bantal dan guling, menurut Christa pribadi, itulah tempat ternyaman di dunia.
Meski belasan tahun telah terlewat, ruangan ini masih tetap terjaga dan rapi. Yah, walau kadang yang berperan banyak untuk menjaga kebersihan kamar adalah Kakak yang bernama Reiner Renz. Christa—selaku anak bungsu yang paling kecil—hanya bisa memberantaki dan mengotori seisi kamar hihi.
Perlahan, Christa yang sekarang masih tertidur memutar tubuh ke samping. Mencari posisi yang enak untuk tiduran. Tapi sepertinya perutnya barusan meniban sesuatu yang berbentuk kotak. Christa membuka salah satu kelopak matanya dan mencoba menyingkirkan benda—yang ternyata adalah ponsel—tersebut. Namun belum sempat dia membangkitkan tubuh, tenaganya sudah kembali habis dan ia kembali terlelap.
Ah, untuk apa juga bangun pagi-pagi hanya karena itu?—pikirnya. Ini kan hari Sabtu...
.
.
chris-ta—s—pro-blems—pi-e-ree
.
.
Reiner yang berada di dapur sedang disibukkan oleh kegiatan masak-memasaknya. Ia sedang buru-buru. Bos kerjanya bisa marah kalau sampai jam sepuluh nanti ia tidak ada di kantor.
Tapi ketika ia baru saja menaruh telur mata sapi di piring dan sadar bahwa ini sudah jam setengah delapan, ia terbelalak dan segera berteriak kencang.
"Christaa! Ayo bangun!"
Selama beberapa detik ia terdiam dan tak ada jawaban, pria berusia dua puluh lima tahun itu mendatangi kamar sang adik—tak lupa dengan celemek dan juga spatula yang masih digenggamannya.
"Hei, Christ, bangun dong."
Si Mungil yang masih di kasur tetap tak bergerak. Mengeluarkan lenguhan atau gumaman pun tidak. Pria bersurai pirang itu segera menggoyangkan bahu Christa dan mengulangi kalimat-kalimat yang sebelumnya ia teriakan.
Adiknya yang masih berusia tujuh belas tahun ini memang paling susah kalau disuruh bangun pagi. Persis seperti anak TK.
Di panggilan kelima akhirnya Christa membuka kelopak mata dengan susah payah.
"Kenapa, Kak?" Ia menyipit heran. "Hari libur kok akunya disuruh bangun sepagi ini?"
Reiner mengusap wajahnya, lelah. "Kau lupa ya kalau Kakak mau pindah kerja ke daerah Shiganshina?"
"Ingat kok. Makanya Kakak juga memindahkanku ke kosan dekat sekolah, kan?" Bersama gumaman parau, Christa mencoba membuat posisinya menjadi terduduk. Tangannya mengusap mata. "Aku sudah mengemasi barang sejak kemarin. Lalu apa yang bisa kulakukan sekarang?"
"Tentu saja mandi." Reiner melipat kedua tangannya di dada. "Kakak harus ke tempat bos untuk persiapan pindah kantor. Kita sudah tidak bisa lama-lama di rumah."
"Ah, iya, ya..." Gadis bertubuh ala anak SMP itu beranjak dari ranjang. "Aku makan dulu..."
Christa baru ingat rencananya di Sabtu ini bersama Reiner Renz, kakak sulungnya. Berhubung ia akan kerja di luar kota—bersama grup kantornya—Reiner sengaja mengirim Christa ke kosan. Jadi rumah mereka yang luas ini bisa disewakan ke keluarga lain yang sudah lama menginginkannya.
Dan kalau ditanya 'di mana kedua orangtua mereka?' maka jawabannya adalah: sudah meninggal karena kecelakaan. Mereka berdua yatim piatu. Bedanya mereka sudah bisa menyanggupi kebutuhan untuk hidup—berkat kakaknya yang telah bekerja sejak usia muda.
.
.
chris-ta—s—pro-blems—pi-e-ree
.
.
Tepat di jam sembilan, Christa dan Reiner telah sampai ke calon kosan yang akan ditempati si Bungsu. Rumah kecil nan sederhana yang unik, ornamen dan furniture yang ada di dalamnya pun bagus dan indah. Entahlah, Christa sampai bingung harus berkomentar apa—dia sangat menyukai rumah itu.
"Waah! Kereen~!" Christa berseru senang. "Kak Reiner, di mana kamarku? Aku mau beres-beres!" Dia—yang pagi ini mengenakan dress santai berwarna biru pastel—mulai berlari kegirangan ke sana-ke mari. Tangannya terus menarik koper.
Reiner menghela nafas lega. Syukurlah adiknya suka.
"Christ, pelankan suara langkahmu. Jangan terlalu berisik. Yang tinggal di sini bukan cuma kamu saja." Ingatnya, lalu ia menunjuk sebuah pintu yang bernomor 5. Tepat di tengah kamar nomor 4 dan toilet khusus lelaki.
Untuk sekedar informasi, kosan ini mempunyai delapan ruangan. enam untuk kamar yang disewakan, serta dua untuk toilet—satu cowok dan satu cewek. Selebihnya ada ruang tengah, dapur dan ruang cuci (di bagian belakang) yang bisa digunakan bersama-sama.
"Kata yang punya kosan, ada lima kamar yang udah terisi—termasuk kamarmu. Setiap kamar berpenghuni satu orang, jadi total semuanya dua perempuan dan tiga lelaki." Reiner menjelaskan sambil menyusul adiknya yang telah masuk ke kamar. Ternyata Christa sedang sibuk meloncati kasur barunya yang jauh lebih empuk dibandingkan kamarnya yang kemarin.
Reiner cuma geleng-geleng kepala.
"Sini, Kakak mau bicara sebentar. Duduk dulu di sampingku." Katanya sambil duduk di tepi ranjang. Christa yang masih riang itu menempati space di sebelahnya.
"Apa, Kak?"
"Kakak tidak bisa menemanimu lama-lama di sini. Mau kerja." Katanya sambil memeluk keluarga semata wayangnya. "Baik-baik ya di kosan. Kakak cuma bisa datang kira-kira sebulan sekali."
"Iya, tenang saja." Christa mengangguk dan balas memeluk Reiner. "Aku akan merindukanmu."
"Aku juga." Katanya. Lalu ia berdiri. "Nah, kalau begitu, segeralah rapikan kamar. Nanti kalau sudah selesai, kau antarkan kue-kue ini ke kamar tetangga. Setidaknya kue ini bisa membantumu berkenalan dan berteman dengan mereka semua." Reiner menaruh sebuah kantung plastik berisi beberapa kotak brownies cokelat. "Jangan kau makan sendiri."
Christa menggembungkan pipi. Reiner terkekeh dan mengusap pelan kepalanya. "Uang untuk kebutuhan akan kutransfer ke rekeningmu tiap tanggal 10. Jangan sungkan minta jika kekurangan uang."
"Okee."
Merasa tak ada hal yang perlu dikatakan lagi ke Christa, Reiner pamit untuk pergi.
.
.
chris-ta—s—pro-blems—pi-e-ree
.
.
Setelah berjam-jam membereskan beberapa perabotan sederhana (seperti baju, buku, alat mandi, dan lainnya) ke dalam kamar barunya, Christa membaringkan tubuh sejenak di atas kasur. Kedua kakinya yang tergantung bergoyang pelan.
"Hh, capek... mungkin mengantarkan kuenya nanti saja..."
Ia memandangi langit-langit kamar yang berwarna putih polos. Dininabobokan oleh suara detikan jam, perlahan-lahan kelopak mata Christa tertutup. Dan ketika pergerakan kakinya telah berhenti, ia tertidur pulas.
BLAM!
Suara bantingan pintu membuat Christa tersentak. Buru-buru ia terbangun dan mengerjap pelan. Baru ia sadari ini sudah jam tiga sore. Lama juga ia beristirahat—padahal ia kira hanya tiduran beberapa menit.
Namun setelah sepenuhnya sadar, ia berpikir dua kali. Kira-kira siapa ya yang menutup pintu sampai sekencang itu? Suaranya saja menembus pintu kamarnya yang tertutup rapat. Seperti orang ngamuk saja...
"Eh!" Namun kali ini ada sebuah ingatan masuk yang lebih mengejutkan. "Oh, iya! Aku belum mengantar kue!"
Dengan panik ia berdiri. Segeralah ia ambil empat kotak kue yang tersedia dan keluar kamar bersama tampang kucel.
Tok tok tok.
"Permisii..."
Pintu kamar di dalam kosan ini satu per satu dia hampiri. Saat dibuka, Christa memberikan kue ke semua pemilik kamar. Kamar nomor 1 dihuni oleh wanita karier berkacamata bernama Rico Brezenska (27). Di kamar nomor 2 ada Marco Bodt (20), mahasiswa berambut hitam yang gemar tersenyum lemah. Kamar nomor 3 diisi seorang kakek botak bernama Bot Pixis (78). Dan yang terakhir, saat Christa berada tepat di depan kamar nomor 4, ia berdehem pelan, ini destinasi terakhir yang harus ia kunjungi.
Tok tok tok.
Seperti apa yang dilakukan sebelumnya, mula-mula gadis kecil itu mengetuk pintu. Tapi setelah lima detik berselang, tetap tidak ada jawaban apa pun dari sana.
"Emm... permisi... aku orang baru." Christa mencoba berseru pelan dan kembali menunggu. Hening, ia kembali mengetuk pintu kamar yang lebih kencang.
Tok tok tok!
"Halo? Apa ada orang di dalam—?"
"PERGI SANA!"
Tiba-tiba saja ada sebuah teriakan yang menyerangnya. Suara itu terdengar dari dalam kamar nomor 4. Dari kebaritonannya, dapat ia tebak bahwa pemilik kamar itu adalah seorang laki-laki. Christa pun menelan ludah.
Kenapa orang ini... galak sekali?
Apa dia baru saja berbuat hal yang salah?
Cklek.
Mendadak Marco keluar dari kamarnya dengan menimang map tugas. Ia melihat Christa. "Hei, lebih baik dia jangan diganggu dulu." Ucapnya sambil mengusap tengkuk. "Dia Jean Kirstein. Orangnya baik, tapi begitulah kalau lagi tidak mood. Kau hampiri dia di lain waktu saja."
Christa terdiam sesaat, lalu ia mengangguk. Marco kemudian pergi keluar kosan, sedangkan mata biru Christa balik memandang lambang nomor 4 di bagian depan pintu.
"Namanya... Jean, ya?"
.
.
see you
.
.
my note
Yo, salam kenal. Aku pendatang baru di fandom Shingekyo. Aku suka Christa. Suka banget malah. Meski aku ErenMika lover di animanga, kayaknya untuk cerita aku lebih suka nulis pairing Christa x others. Contohnya Jean/Christa. Semoga kalian suka :)
.
.
warm regards,
Pieree...
