Stranger

Author : Senashin0817

Pair : Haehyuk

Genre : Romance, Action

Rating : T+

Summary : "Aku memang bertaruh untuk mendapatkanmu." "Kau yakin? Aku bukan sembarang kalau main main-main."
Semua sudah bermula. Dialah yang harus bertanggung jawab. Baiklah.. kita mulai sekarang, aku memang bukan orang jangan salahkan aku jika aku berubah jadi pengkhianatmu.

Warning :

GS, Action, Sedikit errr, typo bertebaran,

.

.

.

.

CHAPTER 1
(Let Me Know Him)

New Zealand, 24 oktober 2014
At 00.00 AM

Aku berlari menuju sebuah pilar tinggi di tengah gedung luas ini. Ketiga lelaki itu belum juga berhenti menembaki. Sial! Kalau begini aku kalah jumlah.
"Check.. roger, kau disana?" aku mendengus kesal. Rasanya ingin membunuh lelaki di pusat sana. Tombol merah menyala dari saku blazer yang kukenakan. Yosh! Charge earphoneku sudah penuh!
"Roger, aku memang disini, kenapa?" lelaki itu menghela nafas panjang. Ia pikir disaat seperti ini masih sempat menghela nafas?! Bodoh sekali! "Bala bantuan gagal datang, sepertinya mereka sudah mengetahui rencana kita, tepat mereka menghalang bantuan di area D." Tiba-tiba kurasa seseorang menepuk bahuku. Saat melihat kebelakang, ternyata ada Lelaki itu berpindah tempat berjongkok tepat disebelahku
"Need my help, baby?" nada sok seksinya membuatku ingin muntah. Kutodong pistol kedepan keningnya tapi tangan kanan lelaki itu merebut pistol itu dariku. "Kau tidak pantas berbuat kasar seperti ini, biar aku saja." Ia berbalik dan bangkit berlari ke pilar seberang. Terdengar suara tembakan beruntun mengarah pada lelaki itu. Meski baku tembak sudah terjadi sejak tadi tapi belum ada perkembangan sama sekali.

From : Andrea

Girl, I'm so sorry… something wrong with communication tools. You think It's sabotation? Please hurry to reply.

Sial, kenapa semua rencana jadi separah ini? Padahal kemarin saat rencana hendak dijalankan semua sudah ditata dengan rapi. Kupikir ini ulah seseorang menyabotase alat komunikasi pusat. Dan itu pasti orang dalam. Suara gema pistol memenuhi seluruh gedung, peluru sudah menembus berbagai barang yang ada di sana.
"Wiiliam!" teriakku setengah berbisik, "Ya? May I help you, baby?" lelaki itu tersenyum menatapku lembut. Aku benci tatapan itu
"Bisa kau mengalihkan perhatian mereka? Aku harus ke dermaga segera! Barangnya ada disana." William mengacungkan ibu jarinya padaku dan seketika bangkit dan berlari keluar mengalihkan perhatian. Aku berusaha mengendap ke dalam suatu lorong, GPS menunjukkan lokasi yang telah andrea kirim sebelum aku berangkat kemari. Tiba-tiba seluruh lampu yang menerangi lorong dimatikan dan seketika membuatku merasa buta sesaat.

DOR DOR DOR

Suara tembakan sudah terdengar semakin dekat. Aku harus bergegas atau tertangkap! Tiba-tiba rasanya sesak dan lelah menghampiriku ditengah-tengah pelarianku. William, oke. Aku sangat membutuhkannya. Langkah kakiku semakin melambat bersamaan deru nafasku kian memburu. Oh tidak, aku sudah tidak sanggup berlari lagi. Apa ini akan menjadi akhir dari perjalanan hidupku.

"You feels someone get mistake?" kutolehkan wajahku perlahan, lelaki itu masih saja sanggup mengejarku. Kakinya saja sudah berlumur darah terkena peluru tembakanku tadi. Langkahku mundur perlahan tanpa mau melepas pandangan dari lelaki itu. Sama saja aku lengah jika melepas pendangan barang sedetikpun.
"Why? Kau takut? Apa kau takut pada kematian? Sudah puas hidup bukan?" aku melihat ke kanan. Tidak, lorong yang berujung jembatan ini terlalu tinggi jika aku melompat. Pandanganku kembali ke lelaki yang berjarak tak lebih dari 5 meter dariku. Ini terlalu dekat, bahkan aku baru sadar bahwa pistolku terjatuh tadi. Tangan kananku terus berusaha meraba celana jeans yang kukenakan. Ini gawat, senjataku sudah tak bersisa barang satupun. Kulihat tangan lelaki itu mengacungkan pistolnya tepat ke arahku. Jari telunjuknya mulai menekan pelatuk perlahan. Seperti kejadian film yang diperlambat, aku menutup mata menyisakan do'a dan harapan jika ini memang terakhir untukku.

DOR

Suara pistol menggema memekik diriku dari alam bawah sadarku. Kubuka mataku perlahan, dekapan seseorang mengahangat dari dingin. Kemeja biru laut yang ia kenakan terasa sangat familiar. Aku tak melihat wajah siapa itu dengan jelas. Mungkin karena air mata sudah menumpuk di kelopak mataku. Bukan karena aku terharu, tapi warna merah sudah melumuri kemejanya. Lubang yang kuyakini hasil tembakan tepat menembus dada kirinya. Perlahan tubuh itu meluruh dan bertumpu pada tubuhku yang tak jauh lebih besar darinya
"William!" aku memukul wajahnya kasar berharap ia tidak menutup mata. Suara sirine polisi tak juga mengalihkan pendanganku. Semua terasa hanya ada satu titik fokus. Wajah William yang tersungging senyum lebar. Betapa bodohnya lelaki ini justru tersenyum lebar.
"Kau baik-baik saja bukan? Larilah lurus kesana, jangan menoleh… ini demi keluarga dan misi kita, ku mohon… aku akan baik-baik saja, pergilah.." ia berkata lirih dan hampir tak kudengar. Ini menyakitkan, Betapa bodohnya aku mau meninggalkan seseorang yang merawatku sekian lama dalam keadaan seperti ini.
"Aku.. aku.. hiks… aku…" isakan mulai mengganggu pengucapanku. Sial! Jangan terisak sekarang, tapi lagi-lagi isakan , muncul bersama rasa basah paa wajahku. Lagi-lagi ia tersenyum, tangan kanannya mengusap wajahku menghapus air mata yang membasahi wajahku
"Larilah… ini memang sudah tanggung jawabku melindungimu, pergilah… jangan biarkan pengorbananku sia-sia, polisi akan datang.. kau tidak boleh tertangkap." Ia mendorong bahuku pelan. Aku berfikir sejenak, ia benar ini semua belum akhir perjuangan kami. Perlahan ku rebahkan punggung William yang tadinya ku topang ke lantai yang dingin. Aku mencoba bangkit meski kakiku sudah gemetaran hebat.
"Ikutlah kapal yang akan berangkat, hiduplah bahagia." Aku berbalik segera dan berlari kencang. Aku tidak menoleh sama sekali atau pertahanan yang ku buat akan hancur. Bukan berarti aku tidak sedih, bahkan aku masih sangat yakin mataku sembab dan wajahku memerah karena terlalu banyak menangis dan berlari. Tekadku sudah bulat, menyelesaikan misi besar ini dan kembli menjadi masyarakat seperti umumnya.

Langkah kakiku semakin cepat saat mataku menangkap pemandangan kapal pesiar besar yang sudah hendak berangkat. Tidak! Aku tidak boleh tertinggal, aku bersiap mempercepat langkahku. Ini jalan satu-satunya

Melompat

Ujung jembatan sudah dekat, mataku terfokus pada pintu yang sedikit lebih rendah dari jembatan. Pintunya belum tertutup dan ini kesempatan terakhirku. Kaki kiriku kujadikan tumpuan untuk lompatanku. Mataku tertutup berdo'a semoga ini berhasil. Dan tak lama aku merasa tubuhku membentur sesuatu yang terasa seperti lantai. Sepertinya aku berhasil dan seketika semua menjadi gelap…

Seoul, 5th November 2013
02.46 KST

Mataku terbuka perlahan, kepalaku terasa nyeri berdenyut-denyut dan aku merasa tubuhku sedikit remuk. Tibat-iba seseorng sudah berjongkok disebelahku. Ia menatapku khawatir meski ia sendiri yang harus dikhawatirkan, aku yakin ini masih malam. Seorang gadis berpakaian minim di tengah malam bulan November? Pakaianku tidak terlalu tertutup memang, tapi dingin tetap terasa menusuk tulang, apalagi yang gadis itu rasakan?
"Ini dimana?" gadis itu menghela nafas menatapku bingung,
"Tentu di seoul, kau bodoh? Orang korea bukan? Masih bertanya ini dimana, wajahmu memang sedikit berbeda, tapi melihat logatmu kau pasti dari daerah daegu, logat satoorimu cukup kental, ya?" gadis itu bangkit dan tiba-tiba melempar sebuah coat berwarna ungu ke atas pangkuanku. Tatapanku berubah biingung, gadis itu bodoh atau apa? Dia yang harusnya memakai ini bukan aku. Setidaknya masih ada blazerku yang sedikit meredam dingin masuk dan membuatku merasa dingin.
"Kau saja, kau hanya berpakaian..errr… minim?" gadis itu merebut jaketnya kembali kasar, kalau sejak tadi tidak mau kenapa harus meminjamkan?
"Siapa namamu, berapa umurmu, kenapa kau tidur di pinggir jalan?" Tanyanya beruntun, gadis ini begitu penasaran terhadapku, padahal aku baru bertemu dengannya beberapa menit yang lalu
"apa kau mabuk, dimana rumahmu?" lanjutnya bertanya semakin tidak masuk akal. Aku menggeleng dan mencoba mengingat kejadian apa yang kualami. Tanganku meraih ponsel yang sejak kemarin ada di saku blazerku.

From : andrea

Mission success, keep health and don't forget t us ^^ William still okay. Ah.. u can thrw this phone. Cause u'll easily be tracked. Gd luck baby, we luv u!
Enjoy ur new life.

Nafasku berubah lega, setidaknya William baik-baik saja,dan aku tidak akan membuang ponselku, tapi..

KREK

Aku membanting ponselku dan menginjaknya dengan sepatuku. Gadis di sebelahku mendelik kesal melihatku menginjak ponselku sendiri
"Kau tahu? Itu ponsel harga mahal! Kenapa bodoh malah kau injak!" serunya menatap sayang pada ponselku yang sudah tak berbentuk. Aku mengangkat bahu dan melangkah lebih dulu meninggalkannya. Tapi langkahku terhenti teringat tidak tahu kemana tujuanku. Aku berbalik dan menatap ketus gadis tadi, ia masih berdiri disana diam menatapku
"Apa kau punya rumah? Bolehkah…." Gadis tadi mendengus dan menghampiriku, tangannya terangkat dan menyentil kasar keningku. "Auuchh…" ringisku mengelus keningku sendiri, kuyakin akan ada tanda merah disana.
"Anak kecil kabur dari rumah ya? Baiklah… boleh saja, khajja!" gadis itu merangkulku dan menyeretku ke berjalan bersamanya dan kuyakin kami akan segera sampai di rumahnya
"Ah iya, namaku Park nana, kau siapa?" selanya sembari berjalan merangkulku "emm.. namaku.. Jung Se ra." Gadis itu mengeratkan rangkulannya membuatku sesak. Langkahnya berubah terburu seakan ada monster sedang mengejarnya di belakang "Kita harus cepat! Kau pasti belum makan, ini sudah pukul 4 pagi, kita bisa sarapan bersama!" serunya senang semakin semangat, aku tidak mngerti kenapa gadis ini begitu semangat padahal aku orang asing aneh yang barusaja ia temukan, well.. kata yang sempurna ditemukan

.

.

Aku menatap sekeliling rumah nana. Sedikit aneh memang karena isi rumah itu hanya terdiri dari 3 ruangan saja, yaitu kamar, ruang tengah, dan dapur. Kenapa gadis aneh itu betah tinggal di tempat yang sumpek dan kecil. Tapi setidaknya rumah ini masih layak tinggal dan tidak seburuk bayanganku sebelum kemari. Kami melewatkan sarapan sedikit ramai, lebih tepatnya gadis ini yang mengoceh sejak tadi
"Jadi berapa umurmu? Kenapa berniat kabur di tengah malam?" aku hanya melahap makanku tanpa menghiraukannya. Kupikir ia akan jengah menanyaiku dengan banyak pertanyaan, tapi aku salah besar karena gadis itu justru setia menunggu jawabanku.
"16 atau 17?" jawabku ragu, aku sendiri lupa kapan aku lahir dan apa itu penting sekarang? Bagiku tanggal lahir, kapan dan dimana aku dilahirkan bukan hal penting. Tiba-tiba gadis itu membuka ransel berwarna biru yang sejak tadi ia bawa saat hendak pulang. Sepertinya ransel itu familiar dimataku. Selembar kertas berhasil gadis itu keluarkan dari dalam ransel,
"Jadi kau baru lulus sekolah atas tingkat pertama? Kau cukup pandai rupanya, biasanya pada umur 16 baru masuk tingkat pertama sekolah menengah atas." Gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya pelan ditengah-tengah kegiatannya membaca kertas tadi. Mencurigakan, jangan-jangan..
"Ya! Darimana kau temukan ransel itu?!" gadis itu mendelik kesal menatapku, tangan kanannya kembali menyentil keningku keras "auuchh…" rintihku, tapi gadis itu tidak menghiraukannya sama sekali
"Jangan gunakan banmal! Tidak sopan, itu milikmu dan aku menemukannya disebelah tubuhmu yang tergeletak di pinggir jalan, harusnya berterima kasih, kuanggap itu sebagai hutang!" putusnya asal. Giliranku menatapkan kesal, kuambil ranselku kasar dan melihat apa isinya. Disana hanya ada beberapa map berisi data diriku dan beberapa snack kecil. "Jadi kau mau lanjut sekolah? Kupikir pagi ini aku tidak berkegiatan, kalau kau tidak lelah aku bisa mengantarmu mencari sekolah dekat sini." Aku menggeleng dan kembali duduk di kursi tadi kemudian memakan makanan yang nana masak. Ia cukup lihai dalam urusan dapur dan makanan.
"Ani, aku tidak ingin sekolah, kau bilang kau bekerja bukan? Bisakah aku ikut bekerja disana? Aku malas bersekolah." Tanyaku asal, "Kau gila? Kau sudah lihat bagaimana aku dan pastinya kau sudah menebak dimana aku bekerja, tidak bisa! Kau harus sekolah, kau bisa hutang padaku dulu dan kau lunasi ketika kau sudah benar-benar bekerja, tentunya pekerjaan yang baik." Nana bangkit dari kursinya dan membereskan mangkuk dan gelas. Sikapnya berubah drastis, apa ia marah padaku. Sebenarnya aku juga tahu yang dikatakan nana masuk akal dan lebih baik daripada ide bodohku tadi.
"Nana, aku berubah pikiran." Nana menoleh padaku meski tangannya masih sibuk menggosok mangkuk kotor yang sedang ia cuci
"Apa?" "Kupikir aku bisa hutang kau dulu, tapi bolehkah aku ikut denganmu bekerja malam ini? Aku bosan jika di rumah sendiri, masalah sekolah kita bisa mencarinya besok." Nana tersenyum lebar mendengar jawabanku. Aku sendiri ragu jika harus bersekolah, sudah lama aku tidak menyentuh gedung yang berisi banyak orang dan berbagai teman ada disana. Bahkan aku sendiri tidak ingat siapa temanku yang terakhir. Kehidupanku sangatlah rumit dan tidak bisa dijelaskan apalagi digambarkan. Mungkin jika aku kembali sekolah seperti saran nana, aku bisa mengembalikan masa mudaku yang hampir terlewatkan.

.

.

.

.

Disilah aku saat ini. Duduk di depan meja bartender yang sedang mencampurkan minumannya dengan berbagai macam minuman beralkohol. Semenjak kami sampai disini nana melenggang pergi meninggalkanku dan hanya menyuruhku untuk duduk manis di kursi ini. Suara dentuman musik memenuhi ruangan sedikit mengusikku. Mataku kembali menyisir seisi club tempat nana bekerja, tak sengaja aku melihat nana sedang menari dengan seorang lelaki jangkung disebelahnya. Keduanya menari dengan sedikit er… skinship? Aku menatap jijik keduanya, tapi bagaimanapun nana juga orang baik kupikir. Tak lama dari belakang lelaki itu memeluk pinggang nana dan menarik tengkuk gadis itu lembut dan akhirnya keduanya tenggelam dalam ciuman panas. Kualihkan pandanganku kembali ke bartender yang kini sudah berada didepanku sedang mengelapi gelas-gelas bening berbagai ukuran dan bentuk.
"Kau minum alcohol?" tanya ahjusshi yang menjadi bartender padaku. Kujawab anggukan karena sebelum disini, biasanya aku diajak minum oleh William, ataupun andrea sekedar menghangatkan tubuh. "Jenis apa? Wine? Soju? Tequila? Vodka?" aku menggeleng, bahkan aku tidak menahu namanya. Aku hanya pernah minum sekali meski ikut andrea dan William berulang kali.
"Aku tidak tahu namanya aku hanya minum sekali." Ahjusshi itu tersenyum "Kau masih lugu juga ternyata, kau kesini dengan nana bukan? Aku sahabat nana, panggil saja Roy." Ia mengulurkan tangannya dan kuterima ramah. Jika teman nana kupikir ahjusshi ini juga baik meski ia bekerja di club sebagai bartender. 3 lelaki masuk ke dalam club dan menghampiri meja bartender kemudian mengambil duduk disebelahku. Roy ahjusshi meninggalkanku dan melayani mereka.
"Kalian datang cukup awal hari ini." Ujar roy ahjusshi terdengar olehku "Kami sudah selesai, kebetulan bosan datang kesini deh." Jawab lelaki berambut coklat muda yang duduk tepat disebelahku.
"Kalian tidak sekolah besok?" ketiganya mengagguk bersamaan sebagai jawab. Mereka juga masih sekolah? Berani sekali main ke club seperti ini. "Siapa gadis ini, putrimu?" roy ahjusshi tertawa keras mendengar penuturan lelaki yang duduk ditengah ketiganya
"Bukan yesung-sshi, dia datang bersama gadis yang disana." Roy ahjusshi menunjuk nana yang masih sibuk dengan lelaki jangkung tadi. Lelaki yang bernama yesung itu turun dari kursinya dan berdiri di belakangku, kemudian memutar kursiku dan membuatku kini menghadap langsung padanya
"Kau adik nana ternyata, Sangat menggemaskan." Lelaki itu tersenyum padaku dan mencubit pipiku. Reflek aku menendang tulang keringnya dan mendorongnya kasar. Aku kembali memutar kursiku menghadap meja bartender. Terdengar suara rintihan lelaki itu meski ia sedikit tertawa, padahal tidak ada hal lucu yang bisa ditertawakan. Aku melirik kedua lelaki yang duduk dengan yesung tadi. Satunya yang berambut coklat memang sempat bicara. Tapi yang duduk paling ujung tidak membuka suaranya sama sekali. Benar-benar terlihat lebih beretika dibanding dua lelaki ini.
Tak lama nana kembali dan menghampiriku, kemudian meminum sisa minuman yang belum kuhabiskan
"Kau bosan? Aku akan pulang lebih awal hari ini karena besok kita punya jadwal." Aku menghela nafas dan mengangguk. Kupikir ketiga lelaki tadi sudah tidak ada disana, pantas saja suara berisik mereka sudah tidak terdengar sejak beberapa menit yang lalu. Nana menepuk bahuku dan member isyarat agar mengikuti langkahnya, aku hanya bisa menurut. Aku melompat turun dari kursi meja bar yang lebih tinggi dan kakiku sendiri. Nana memasuki sebuah ruangan dengan pintu berbahan kayu yang terletak di sebelah meja bar
"Kau tidak mengajakku ke ruangan bekerjamu, bukan?" nana tertawa geli mendengar pertanyaanku, ia tetap melanjutkan langkahnya untuk masuk ke dalam ruangan itu
"Ini ruang pegawai, masuklah.. aku akan berganti pakaian dan mengambil ransel, atau kau mau bersama roy saja?" aku mengangguk dan ikut masuk kedalam ruangan tadi. Interior berkayu sedikit nyaman ditempati, sangat berbalik banding dengan nuansa bar diluar sana. Tenang dan nyaman mengisi nuansa berkayu yang menyelimuti ruangan ini. Tahu begitu aku memilih menunggu disini sekedar tidur atau duduk santai.
"Ayo kita pulang! Ini sudah lewat tengah malam!" nana meraih tangan kananku dan berjalan lebih dulu keluar ruangan ini.

~~~ STRANGER ~~~

Eunhyuk menghela nafas panjang menatap pemandangan gedung tinggi tiga lantai yang hanya berjarak beberapa meter darinya. Lapangan hijau ini terlalu lebar untuk dibilang sebuah lapangan. Yang membuat eunhyuk menghela nafas bukan pemandangan sekolah ini. Tapi ini sekolah swasta mewah, dan nana begitu pandai menumpuk hutang yang ia tangguhkan. Ia selalu beralasan bahwa hanya ada sekolah ini yang dekat dengan rumah nana. Baiklah, semua sudah terlanjur maka ia harus menikmati semuanya. Ini akan menjadi lembaran untuk hidup barumu…. Jung Se ra.
"Nama saya Yoon eunhyuk, salam kenal..mari berteman baik." Eunhyuk menyunggingkan senyumnya. Beberapa gadis mengacuhkan keberadaan eunhyuk yang berdiri di depan kelas memperkenalkan dirinya. Hanya mungkin beberapa siswa yang melihat dirinya memperkenalkan dirinya, tapi sisanya jangan ditanya. Mereka sibuk sendiri dan tidak menganggap keberadaan eunhyuk.
"Hei anak baru! Bangku ini kosong, duduklah disitu!" eunhyuk melihat seorang lelaki berambut lurus panjang berwarna coklat muda. Tangan kanan lelaki itu mengenggam sebuah apel yang sudah digigit menunjuk sebuah bangku kosong yang berada tepat disebelahnya. Eunhyuk memutuskan mengambil duduk di bangku yang berada disebelah lelaki tadi. Ia meletakkan ranselnya santai dan mengenakan earphone sekedar mendengarkan lagu dari mp3 player yang ia bawa setiap saat. Beberapa saat eunhyuk teringat kalau ia tidak memiliki ponsel untuk saat ini, mungkin ia harus menabung atau sekedar berhutang pada nana lagi untuk membeli ponsel baru. Meski ia tidak mengenal siapapun untuk dihubungi, setidaknya untuk jaman sekarang ini gadget sangat diperlukan bukan?
Saat eunhyuk hendak membuka buku favoritnya, lelaki disebelahnya melepas earphone yang bersemat di telinga kiri eunhyuk dan memasangkannya pada telinganya sendiri
"Lagu inggris, aku sedikit tidak mengerti.. aku Lee donghae, kau Lee Hyukjae bukan?" eunhyuk memutar bola matanya malas dan menerima uluran tangan lelaki yang bernama donghae itu.
"Lee Hyukjae, panggil saja eunhyuk." Lelaki itu mengangguk paham dan menarik jabatan tangannya dengan eunhyuk begitupula gadis itu. Beberapa saat keduanya kembali diam, sebelum donghae kembali membuka percakapan
"Pindahan darimana?" eunhyuk menoleh bingung pada donghae, ia melepas earphonenya dan bertanya kembali
"Kau tadi bilang apa?" donghae tersenyum dan mengulang pertanyaannya.
"Aku dari… paris, iya paris." Kali ini donghae berhenti bertanya dan hanya berdehem merespon jawaban eunhyuk. Setidaknya lelaki itu tidak membuka suara hingga guru jam pertama datang.

Donghae selesai mencatat, ia menyolek eunhyuk dengan ujung pulpen yang ia gunakan untuk menulis. Gadis itu menoleh bersamaan dengan colekannya yang kedua,
"apa?" tanya eunhyuk seadanya. Donghae mendesah bingung, bel istirahat sudah berbunyi sejak tadi tapi gadis ini tidak berminat sama sekali untuk keluar sejenak atau sekedar mengisi perutnya dengan ke kantin.
"Kau tidak mau ke kantin?" eunhyuk menggeleng dan kembali berkutat dengan catatannya yang tanggung hampir selesai. Kali ini donghae meletakkan pulpennya ke atas meja dan bangkit bangkunya. Lelaki itu berlari ke belakang memutari barisan bangku-bangku yang sebaris dengan bangkunya. Lelaki itu sudah berpindah tempat berdiri disisi meja eunhyuk
"Kalau kau kenyang, kau juga butuh refreshing, ikut aku!" donghae menarik lengan eunhyuk agar mengikutinya. Korban penarikan hanya pasrah kemana ia dibawa, langkahnya tertatih-tatih beriringan dengan langkah donghae yang menarik lengannya. Ia sesekali melihat sekitar dan berhasil mengangkap banyak pasang mata menatapnya bingung.
"Donghae, kupikir ini sedikit a-.." ucapan eunhyuk terhenti melihat ruang basket indoor yang menghipnotis penglihatannya. Kedua kaki kecil itu perlahan masuk ke dalam ruang indoor dengan lapangan dan beberapa bola basket yang tergeletak.
"apa maksudmu kau mengajakku kemari?" eunhyuk berbalik dan bertanya pada donghae yang masih betah berdiri di ambang pintu ruang olahraga. Lelaki itu tersenyum dan mengikuti langkah eunhyuk, ia mengambil sebuah bola basket yang tergeletak dan lantai.
"Kukenalkan dengan teman-temanku, mereka akan datang sebentar lagi." Eunhyuk mendengus sebal, meski begitu matanya tetap mengikuti pergerakan donghae yang berjalan melewatinya dan mulai mendribble bola berwana oranye tua itu dan bergerak lincah seakan sedang dalam pertandingan sungguhan. Eunhyuk berbalik dan melihat sedikit kemampuan lelaki teman sebangkunya itu bermain dengan bola itu. Eunhyuk sudah bosan menunggui donghae yang justru mengacuhkannya dan lebih fokus pada permainan basketnya. Gadis itu berbalik dan hendak pergi. Tapi seketika berhenti saat melihat beberapa lelaki berdiri diambang pintu dan diantaranya familiar di mata eunhyuk.
"Eh.. bukankah kau?!" eunhyuk menajamkan penglihatannya terhadap beberapa lelaki yang berjalan memasuki ruang olahraga santai.
"Ya benar! Kau adik nana kan?" salah satu lelaki menyentil kening eunhyuk yang hanya termanggu di tempat. Tidak, gadis itu tidak mungkin tenggelam dalam pesona aneh beberapa lelaki itu. Yang ia fikirkan hanya sekelebat ketidak percayaan

'What the Fuck?! Kenapa lelaki itu juga sekolah disini?!' rutuk eunhyuk dalam hati meratapi kesialannya di hari pertama Ia sekolah.

Eunhyuk tak juga bergeming beberapa saat. Tubuhnya tetap menghadap pintu ruangan sebentar, tak lama ia melanjutkan langkahnya dan keluar dari ruangan. Lagi-lagi ia berpaspasan dengan seorang lelaki, tidak banyak.. hanya seorang. Lelaki yang sangat eunhyuk hafal meski ia baru melihat lelaki itu sekali. Lelaki berambut coklat pendiam dengan wajah poker facenya yang bertemu eunhyuk sewaktu di bar tadi malam. Bukan bertemu sih, hanya sekedar saling melihat saja.
"Kyuhyun, cepatlah kemari!" Panggil seseorang dari dalam ruangan. Eunhyuk berbalik dan melihat lelaki tadi menoleh sebentar ke arah pintu ruang olahraga yang terbuka sebelum masuk kedalam ruangan itu

'Jadi namanya kyuhyun.'

TBC