APH (c) Himaruya Hidekaz
Warning: ketidakjelasan alias gaje, bukan humor, dan gaje walau bukan humor.
Ruang yang sama. Putih, kosong, sepi seakan tak berpenghuni. Namun, ada satu sosok di sana, di sudut tempat tidur yang ia percaya sebagai benteng pertahanan terakhirnya.
Kau sebenarnya sudah tahu, kata-kata itu terus terngiang di benaknya, apapun yang kaulakukan hasilnya tetap akan sama.
Tidak, ia berontak, aku tidak mau menyerah. Tidak akan.
Kau sudah buta, terngiang lagi di ruang kosong jiwanya, ia tak akan berpaling padamu. Cintamu membuatmu buta, dan kau mulai kehilangan akal sehatmu. Gunakan pikiranmu—atau apapun yang masih tersisa dalammu—untuk berpikir. Ini kenyataanmu. Ia tidak akan berpaling padamu, titik.
Diam kau! ia meraung, ia akan—AKAN—berpaling padaku, ia akan melihatku, ia akan mencintaiku! Sampah-sampah yang kaulontarkan itu tak akan menggoyahkan pendirianku!
Belarus! lengkingan tinggi, hadapi kenyataan! Ia tidak mencintaimu! Kakak tersayangmu itu tidak mencintaimu! Ia tidak membutuhkanmu; tidak membutuhkan kita, Belarus!
"DIAM KAU!" Habis semua kesabaran; jeritannya menggema memenuhi kamarnya yang sepi. "MENGAPA KAU TAK MENGERTI? IA ADALAH HIDUPKU DAN AKU MENCINTAINYA SEPENUH JIWA-RAGA, DENGAN SEMUA YANG KUPUNYA! PERGI KAU! JANGAN GANGGU AKU!"
Kau tak bisa mengusirku, balas suara itu, karena aku adalah dirimu. Aku adalah kenyataanmu. Aku adalah hatimu.
"KAU BUKAN HATIKU! KAU TAK MENGERTI!"
AKU MENGERTI! Kau hanya lari dari kenyataan; MAU SAMPAI KAPAN KAU KABUR?
"BILA KAU TAK MENGERTI, AKU TAK BUTUH KAU!"
-x-
Salju itu dingin, tetapi hari ini tajamku lampaui dinginnya.
-x-
"Kakak," bisiknya lembut. Suara malaikatnya tertelan kesepian dalam antariksa kesadaran, tak sempat bergema, mati dibunuh diam. "Aku mencintaimu sepenuh hatiku—Ah! Aku lupa; aku sudah tak punya benda itu, tetapi aku tetap mencintaimu, dan kau juga mencintaiku, kan, Kak?"
Kikik tawanya menggema di ruang tidurnya bagai suara denting lonceng surga.
