FIFTY SHADES DARKER

~oOOo~

Aku berhasil bertahan selama 3 hari setelah berpisah dari Kim Jongin, dan sekarang hari pertamaku kerja. Ini bisa mengalihkan perhatianku. Waktu bergerak cepat tak jelas oleh banyaknya wajah baru, pekerjaan yang harus dikerjakan, dan Mr. Park Chanyeol.

Chanyeol... dia tersenyum padaku, mata cokelatnya berbinar, saat dia membungkuk di mejaku. "kerja yang sangat bagus, Sehun. Kupikir kita akan menjadi tim yang hebat."

Entah bagaimana, aku berhasil melengkungkan bibirku keatas, menyerupai senyuman. "Aku akan pulang jika anda tidak keberatan," bisikku.

"Tentu saja, ini sudah jam 5.30. Sampai bertemu besok."

"Selamat malam, Chanyeol."

"Selamat malam, Sehun."

Aku mengambil tas, memakai jaket dan menuju pintu. Diluar aku menghirup dalam-dalam udara sore kota Seattle. Aku menghirup napas panjang, tak langsung mengisi kekosongan dalam dadaku, kekosongan yang sudah ada sejak Sabtu pagi, rasa hampa ini sangat menyakitkan, mengingatkan rasa kehilanganku.

Aku berjalan menuju halte bus dengan menunduk, menatap kakiku dan merenungkan Wanda tercinta, Beetle lamaku ... atau Audi. Aku segera menutup pikiran itu. Tidak. Jangan berpikir tentang dia. Tentu saja, aku bisa membeli mobil, mobil baru yang bagus. Aku curiga Jongin itu terlalu dermawan dengan pembayarannya, dan pikiran itu meninggalkan rasa pahit dimulutku, tapi aku menolaknya dan mencoba untuk menjaga pikiranku yang mati rasa dan mungkin juga kosong. Aku tak boleh memikirkan Jongin. Aku tak ingin menangis lagi, apalagi di jalan.

Apartemen kosong. Aku merindukan Baekhyun, dan aku membayangkan Baekhyun yang tengah berbaring di pantai Daecheon sambil minum koktail dingin.

Aku menyalakan televisi layar datar, jadi ada suara untuk mengisi keheningan dan memberikan suasana bahwa aku ditemani, tapi aku tak mendengar atau menontonnya. Aku duduk dan menatap kosong pada dinding. Aku mati rasa. Aku tak merasakan apa-apa selain rasa sakit. Berapa lama aku harus menahan rasa ini?

Bel pintu mengejutkanku dari kesedihan, dan jantungku berdebar-debar. Siapa itu? Aku menekan interkom.

"Pengiriman untuk Tuan Oh." Sebuah suara seperti bosan menjawab, dan rasa kecewa langsung pecah dalam diriku.

Dengan lesu aku menuruni tangga dan menemukan seorang pemuda mengunyah permen karetnya dengan berisik, membawa kotak karton yang besar, dan bersandar dipintu depan. Aku menandatangani paketnya dan membawa ke atas. Kotaknya sangat besar yang membuatku heran. Didalamnya terdapat dua lusin mawar putih dan sebuah kartu.

Selamat atas hari pertamamu di tempat kerja.

Aku harap berjalan dengan lancar.

Dan terima kasih untuk glidernya. Itu sangat mengesankan.

Dengan bangga aku meletakkan di atas mejaku.

Jongin

Aku terpaku menatap kartu yang diketik, lubang didadaku semakin membesar. Tak diragukan lagi, asistennya yang mengirim ini. Mungkin sedikit sekali campur tangan Jongin dengan urusan ini. Terlalu menyakitkan untuk dipikirkan. Aku melihat mawar itu-mereka sangat indah, dan aku tak sampai hati membuang ke tempat sampah. Dengan patuh, aku berjalan ke dapur untuk mencari sebuah vas.

Dan terbentuklah sebuah pola: bangun, kerja, menangis, tidur. Yah, sebenarnya yang terakhir aku hanya berusaha untuk tidur. Aku bahkan tak bisa melarikan diri darinya dalam mimpiku. Manik mata hitamnya yang membakar, rasa kehilangannya, rambutnya yang mengkilap dan terang, semua menghantuiku. Dan musik. . . begitu banyak musik - aku tak tahan untuk mendengar suara musik. Aku berhati-hati untuk menghindari semua jenis musik. Bahkan jingle iklan membuatku bergidik.

Aku tak bicara dengan siapapun, bahkan ibuku atau Tuan Choi. Aku tak punya kemampuan untuk mengobrol sekarang. Tidak, aku tak ingin satupun. Aku jadi negara kepulauan sendiri. Sebuah daratan yang rusak akibat dilanda perang di mana tak ada tumbuhan dan cakrawalanya suram.

Ya, itulah aku. Aku hanya bisa berinteraksi secara profesional ditempat kerja, tapi itu saja. jika aku bicara dengan Ibuku, aku tahu, aku akan hancur lebih jauh lagi - dan aku tak punya apapun yang tersisa untuk dihancurkan. Aku merasa kesulitan untuk makan. Saat makan siang hari Rabu, aku bisa minum secangkir yoghurt, dan itulah pertama kali yang kumakan sejak Jumat kemarin. Aku bertahan dengan toleransi yang baru kutemukan untuk minum kopi latte dan Diet Coke. Ini merupakan kafein yang bisa mengisi perutku, tapi itu membuatku gelisah.

Dengan sengaja Chanyeol mulai mendekatiku, menggangguku, menanyakan hal-hal pribadiku. Apa yang dia inginkan? Aku berusaha bersikap sopan, tapi aku harus tetap menjaga jarak. Aku duduk dan mulai memilah tumpukan surat yang ditujukan padanya, dan aku senang bisa mengalihkan perhatian dengan pekerjaan sepele ini.

E-mail-ku berbunyi, dan aku cepat-cepat memeriksa untuk melihat itu dari siapa. Ya ampun. Sebuah e-mail dari Jongin.

Oh jangan, jangan di sini. . . jangan di tempat kerja.

Dari:Kim Jongin
Perihal: Besok
Tanggal: 8 Juni 2011 14:05
Untuk: Oh Sehun
Dear Sehun
Maaf mengganggu di tempat kerjamu. Aku berharap tidak apa-apa. Apa kau sudah menerima bunga dariku?
Aku ingat bahwa besok pembukaan galeri temanmu, dan aku yakin kau belum sempat membeli mobil, dan itu adalah perjalanan yang jauh. Aku merasa sangat senang untuk bisa mengantarmu - jika kau mau. Kabari aku.
Kim Jongin
CEO, Kim Enterprises Holdings Inc.

Air mata berlinang di mataku. Buru-buru aku meninggalkan mejaku dan segera ke toilet untuk melarikan diri ke salah satu kamar kecilnya. Pamerannya Kris. Ya ampun. Aku sudah lupa semua tentang itu, dan aku berjanji padanya aku akan datang.

Sial, Jongin benar, Naik apa aku ke sana? Aku memegang erat dahiku. Mengapa Kris tidak menelepon? Coba memikirkan itu - mengapa tak ada seorangpun yang menelepon? Aku begitu pelupa, aku tak menyadari bahwa ponselku tidak berbunyi.

Sial! Aku seperti orang idiot! Nomorku masih ada di handphone. Sialan. Jongin pasti sudah menerima panggilan teleponku kecuali dia sudah membuang ponsel-ku.

Bagaimana Jongin tahu alamat email-ku? Dia saja tahu ukuran sepatuku, alamat e-mail ini pasti tidak begitu masalah untuk mendapatkannya. Bisakah aku bertemu dengannya lagi? Bisakah aku menanggung ini? Apa aku ingin melihatnya?

Aku memejamkan mata dan memiringkan kepalaku kembali karena kesedihan dan kerinduan yang menusukku. Tentu saja aku menginginkannya. Mungkin, mungkin aku bisa mengatakan padanya bahwa aku sudah berubah pikiran. . . Tidak, tidak, tidak. Aku tak bisa bersama seseorang yang memperoleh kesenangan dengan menyakitiku, seseorang yang tak bisa mencintaiku. Kenangan menyiksa tiba-tiba masuk pikiranku - gliding, pegangan tangan, ciuman, di bak mandi, kelembutannya, humornya, dan kegelapannya, geramannya, tatapan seksinya. Aku merindukan Jongin. Sudah lima hari, lima hari penuh penderitaan terasa seperti sangat lama.

Aku memeluk tubuhku sendiri, memeluk diriku erat-erat, menahan diriku bersama-sama. Aku merindukannya. Aku benar-benar merindukan Jongin... Aku mencintainya. Sangat sederhana. Aku menangis sampai tertidur di malam hari, berharap aku tidak meninggalkannya, berharap dia bisa berubah, berharap bahwa kami bersama-sama. Berapa lama perasaan yang luar biasa mengerikan ini berakhir? Aku merasa seperti di neraka.

Oh Sehun, kau sedang berada di tempat kerja!

Aku harus kuat, tapi aku ingin pergi ke pemerannya Kris, dan dalam hati, sifat masokis di dalam diriku ingin melihat Jongin. Mengambil napas dalam-dalam, aku kembali ke mejaku.

Dari: Oh Sehun
Perihal: Besok
Tanggal: 8 Juni 2011 14:25
Untuk: Kim Jongin
Hai Jongin,
Terima kasih untuk bunganya, bunganya sangat indah.
Ya, aku sangat senang menerima tawaranmu.
Terima kasih.
Oh Sehun
Asisten Park Chanyeol, Commissioning Editor, SIP

Memeriksa telepon, aku melihat bahwa masih dialihkan ditempatku. Chanyeol sedang rapat, jadi aku segera menghubungi Kris.

"Hai, Kris. Ini Sehun."

"Halo, orang asing." Nada suaranya begitu hangat dan ramah hampir mendorongku menangis lagi.

"Aku tak bisa bicara lama. Besok jam berapa aku harus ada disana untuk pameranmu?"

"Kau masih mau datang?" Kris terdengar bersemangat.

"Ya, tentu saja." Aku tersenyum, senyum tulus pertamaku dalam lima hari saat aku membayangkan senyumnya yang lebar.

"Tujuh lewat tiga puluh."

"Sampai ketemu lagi. Selamat tinggal, Kris."

"Bye, Sehun."

Dari: Kim Jongin
Perihal: Besok
Tanggal: 8 Juni 2011 14:27
Untuk: Oh Sehun
Dear Sehun,
Jam berapa aku harus menjemputmu?
Kim Jongin
CEO, Kim Enterprises Holdings Inc

Dari: Oh Sehun
Perihal: Besok
Tanggal: 8 Juni 2011 14:32
Untuk: Kim Jongin
Acara Kris dimulai pukul 7:30.
Menurutmu baiknya jam berapa?
Oh Sehun
Asisten Park Chanyeol, Commissioning Editor, SIP

Dari: Kim Jongin
Perihal: Besok
Tanggal: 8 Juni 2011 14:34
Untuk: Oh Sehun
Dear Sehun,
Portland agak jauh. Aku akan menjemputmu jam 5.45. Aku tak sabar bertemu denganmu lagi.
Kim Jongin
CEO Kim Enterprises Holdings Inc

Dari: Oh Sehun
Perihal: Besok
Tanggal: 8 Juni 2011 14:38
Untuk: Kim Jongin
Sampai ketemu lagi.
Oh Sehun.
Asisten Park Chanyeol, Commissioning Editor, SIP

Oh. Aku akan bertemu lagi dengan Jongin, dan untuk pertama kalinya setelah lima hari ini, sebagian semangatku terangkat dan aku membiarkan diriku ingin tahu bagaimana Jongin sekarang.

Apakah dia merindukanku? Mungkin tidak seperti aku merindukannya. Apakah dia sudah menemukan seorang submisif baru dari mana pun mereka berasal? Pikiran itu sangat menyakitkan, aku segera menghentikannya.

Aku melihat tumpukan surat, aku perlu memilahnya untuk Chanyeol dan menangani itu untuk mencoba mendorong keluar bayangan Jongin dari pikiranku sekali lagi.

~oOOo~

Malam ini di tempat tidur, aku berguling ke kanan-kiri, mencoba untuk tidur. Ini pertama kalinya aku tidur tidak menangis. Dalam benakku, aku membayangkan wajah Jongin terakhir kali aku melihatnya saat aku meninggalkan apartemennya. Ekspresinya yang tersiksa menghantuiku.

Aku ingat bahwa Jongin tak ingin aku pergi, sangat aneh. Mengapa aku harus tinggal ketika masalahnya sudah mencapai kebuntuan? Kami masing-masing berputar-putar dengan masalah kita sendiri - ketakutanku terhadap hukuman, rasa takutnya. . . apa? Cinta?

Berbaring miring, aku memeluk bantalku, penuh dengan kesedihan. Jongin pikir dia tak layak untuk dicintai. Mengapa Jongin merasa begitu? Apa ada hubungannya dengan cara pengasuhannya? Ibu kandungnya, pelacur yang pecandu itu? Pikiran itu menggangguku sampai dini hari hingga akhirnya aku ketiduran, gelisah karena kelelahan.

~oOOo~

Hari yang menjemukan dan sangat menjemukan dan Chanyeol hari ini terasa sangat tidak biasa, penuh perhatian. Aku curiga apa penyebabnya adalah kemeja Baekhyun dan sepatu bot warna hitam punyaku telah kuambil dari lemarinya yang sedang aku pakai saat ini, tapi aku tidak ambil pusing dengan pemikiran itu. Aku memutuskan akan belanja pakaian saat gaji pertamaku keluar.

Kemeja yang kupakai tampak lebih longgar, tapi aku pura-pura tidak memperhatikan. Akhirnya, tepat jam lima lewat tiga puluh, dan aku mengambil jaket dan tas, mencoba untuk meredam kegelisahanku.

Aku akan bertemu dengannya!

"Apa kau punya kencan malam ini?" Tanya Chanyeol saat berjalan melewati mejaku dalam perjalanan keluar.

"Ya. Tidak. Tidak juga."

Chanyeol memiringkan alisnya padaku, terlihat jelas sangat berminat. "Pacar?"

Mukaku memerah. "Tidak, hanya teman. Mantan pacar."

"Mungkin besok kau mau datang untuk minum sepulang kerja. Kau memiliki minggu pertama yang hebat,Sehun. Kita harus merayakannya." Chanyeol tersenyum dengan emosi yang tak kukenal terlihat di wajahnya, membuatku gelisah. Menempatkan tangan di sakunya, dia keluar melalui pintu ganda.

Aku mengerutkan kening mundur di belakangnya. Minum dengan bos, apa itu ide yang bagus? Aku menggelengkan kepala. Aku punya malam yang harus aku lewati dengan Kim Jongin dulu. Bagaimana aku akan melakukan ini?

Aku bergegas ke kamar kecil untuk merapikan lagi disaat menit-menit terakhir. Di cermin besar yang menempel dinding, aku menarik napas panjang, mengamati wajahku dengan teliti. Seperti biasa mukaku pucat, lingkaran hitam mengelilingi mataku yang terlalu besar. Aku terlihat kurus, menyeramkan.

Astaga, Aku berharap aku tahu bagaimana menutupi kacaunya mukaku saat ini dan mencubit pipiku, berharap membawa sedikit warna merah. Merapikan rambutku agar terlihat rapi, aku menarik napas panjang. Aku harus bisa melakukan ini. Dengan gugup aku berjalan melalui lobi dengan tersenyum dan melambaikan tangan pada Claire di meja resepsionis. Aku pikir dia dan aku bisa menjadi teman. Chanyeol sedang bicara dengan Elizabeth saat aku menuju pintu. Tersenyum lebar, Chanyeol bergegas membukakan pintu untukku.

"Silakan, Sehun," bisik Chanyeol.

"Terima kasih." Aku tersenyum, merasa malu.

Di tepi jalan, Taylor sedang menunggu. Dia membuka pintu belakang mobil. Aku melirik ragu-ragu pada Chanyeol yang mengikutiku keluar. Dia memandang ke Audi SUV dengan kaget.

Aku berbalik dan naik ke belakang, dan disana duduk – Kim Jongin - mengenakan setelan abu-abunya, tanpa dasi, kemeja putih dengan kerah terbuka. Manik mata hitamnya bercahaya. Mulutku kering. Dia terlihat sangat tampan kecuali dia cemberut padaku. Oh tidak!

"Kapan terakhir kali kau makan?" Bentak Jongin saat Taylor menutup pintu belakang.

Sialan.

"Halo, Jongin. Ya, senang bertemu denganmu juga."

"Aku tak ingin mendengar mulut pintarmu sekarang. Jawab aku." Mata Jongin menyala.

Sialan.

"Mm. . . Aku minum yogurt saat makan siang. Oh - dan pisang."

"Kapan terakhir kali kau makan dengan layak?" Tanya Jongin dengan masam.

Taylor masuk dan duduk di kursi pengemudi, menyalakan mesin mobil, dan mengemudikan menuju jalan raya. Aku melirik ke atas dan Chanyeol melambai padaku, meskipun tak tahu apa dia bisa melihatku melalui kaca gelap. Aku balas melambai.

"Siapa itu?" Bentak Jongin.

"Bosku." Aku mengintip ke arah pria tampan disampingku, dan mulutnya ditekan menjadi garis keras.

"Nah? Makan terakhirmu?"

"Jongin, sebenarnya ini bukan urusanmu," bisikku, merasa sangat berani.

"Apa pun yang kau lakukan itu jadi urusanku. Katakan padaku."

Tidak, itu bukan urusanmu. Aku merintih karena frustrasi, memutar mataku keatas, dan Jongin menyipitkan matanya.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku ingin tertawa. Aku berusaha keras untuk menahan tawaku. Wajah Jongin melembutkan melihatku berjuang menjaga wajahku tetap lurus, dan aku melihat jejak senyum dibibirnya yang terukir sangat indah.

"Yah?", Ia bertanya, suaranya lebih lembut.

"Pasta alla vongole, Jumat lalu," bisikku.

Jongin menutup matanya, wajahnya seperti marah dan mungkin juga menyesal. "Aku paham," katanya, suaranya tanpa ekspresi.

"Kau terlihat seperti kehilangan lima pound, mungkin lebih sejak saat itu. Tolong makan, Sehun," tegur Jongin.

Aku menatap jari yang tersimpul dipangkuanku. Mengapa Jongin selalu membuatku merasa seperti seorang anak kecil yang bersalah?

Jongin bergeser dan menghadap aku. "Apa kabar?" Tanya Jongin,nadanya tetap lembut.

Yah, aku benar-benar sial. . .

Aku menelan ludah. "Jika aku menjawab baik-baik saja, aku bohong."

Jongin menarik napas dengan tajam. "Aku juga," bisiknya, meraih dan menggenggam tanganku. "Aku merindukanmu," tambah Jongin.

Oh tidak. Sentuhan kulit terhadap kulit. "Jongin, aku-"

"Sehun, kumohon. Kita harus bicara."

Aku akan menangis. Tidak.

"Jongin, aku. . . kumohon. . . Aku sudah begitu banyak menangis," bisikku, berusaha untuk mengendalikan emosiku supaya stabil.

"Oh, sayang, tidak." Jongin menarik tanganku, dan tahu-tahu aku sudah berada diatas pangkuannya.

Jongin memelukku erat, dan mencium rambut. "Aku sangat merindukanmu, Sehun," Jongin mengambil nafas.

Aku ingin keluar dari pelukannya, untuk menjaga jarak tertentu, tapi tangannya memelukku sangat erat menekan kedadanya. Aku meleleh. Oh, disinilah tempat yang kuinginkan.

Aku menyandarkan kepala padanya, dan Jongin mencium rambutku, berulang kali. Rasanya seperti pulang ke rumah. Wangi pelembut bajunya, sabun mandi, dan bau favoritku - Jongin.

Untuk sesaat, aku membiarkan khayalanku bahwa semua akan menjadi baik-baik saja, dan itu menenangkan jiwaku yang rusak. Beberapa menit kemudian Taylor memberhentikan mobilnya di pinggir jalan, meskipun kami masih di dalam kota.

"Ayo"- Jongin bergeserku dari pangkuannya, "kita turun di sini."

Apa?

"Helipad-di atas gedung ini." Jongin memberi penjelasan sambil melirik gedung itu. Tentu saja. Charlie Tango.

Taylor membuka pintu dan aku bergeser dan keluar. Dia memberiku senyuman hangat, seperti senyum seorang paman yang membuatku merasa aman. Aku membalas senyumnya.

"Aku harus mengembalikan sapu tanganmu."

"Aku ingin anda menyimpannya, Tuan Oh."

Mukaku memerah saat Jongin mengitari mobil mendekatiku dan menggenggam tanganku. Dia tampak bingung melihat Taylor yang menatap tanpa ekspresi padanya, tak mengungkapkan apapun.

"Jam sembilan?" Kata Jongin padanya.

"Ya, Sir."

Jongin mengangguk, ia berpaling dan menuntunku menuju pintu ganda masuk lobi yang megah. Aku merasa sangat senang Jongin menggenggamku. Aku merasa tarikan yang sangat akrab - aku seperti Icarus ditarik menuju matahari. Aku sudah terbakar, namun di sinilah aku sekali lagi. Sampai di lift, dia menekan tombol. Aku mengintip ke arahnya, dan Jongin tersenyum kecil penuh teka-teki.

Saat pintu terbuka, Jongin melepaskan tanganku dan menyuruhku masuk. Pintu menutup dan aku mengambil risiko mengintip kearahnya. Jongin melirik ke arahku, manik mata hitamnya menyala, dan kami seperti berada di udara, tarikan listrik itu. Sangat jelas. Aku hampir bisa merasakan itu, berdenyut di antara kita, menarik kita bersama.

"Oh," aku terkesiap sesaat aku merasa senang dengan intensitas daya tarik primif yang mendalam.

"Aku juga merasakan," kata Jongin, matanya berkabut dan intens. Gairah gelap menyatu dan melampaui pangkal pahaku. Jongin meremas tanganku dan ibu jarinya mengelus buku-buku jariku, dan semua ototku mengepal erat, nikmat, didalam diriku.

Ya ampun. Bagaimana Jongin masih bisa melakukan ini padaku?

"Kumohon jangan menggigit bibirmu, Sehun," bisik Jongin.

Aku menatapnya, melepaskan bibirku. Aku menginginkan Jongin. Disini, sekarang, di dalam lift. Bagaimana mungkin?

"Kau tahu apa pengaruhnya terhadapku," bisik Jongin.

Oh, aku masih mempengaruhinya. Dewa batinku langsung menari-nari setelah dia merajuk selama lima hari.

Tiba-tiba pintu terbuka, menghapus mantra diantara kita, dan kami berada di atap. Anginnya kencang, dan meskipun aku memakai jaket hitam, aku masih merasa kedinginan. Jongin memeluk bahuku, menarikku ke sisinya, dan kami bergegas menyeberang dimana Charlie Tango parkir tepat di tengah helipad dengan baling-baling yang berputar perlahan-lahan.

Seorang pria tinggi, pirang, dengan rahangnya persegi dengan setelan gelap melompat keluar dan merunduk, berjalan ke arah kami. Berjabat tangan dengan Jongin, ia berteriak bersaing dengan suara baling-baling.

"Siap berangkat, Sir. Dia milikmu sepenuhnya!"

"Semua pemeriksaan sudah dilakukan?"

"Ya, Sir."

"Kamu akan membawa kembali sekitar jam delapan lewat tiga puluh?"

"Ya, Sir."

"Taylor menunggumu di depan."

"Terima kasih, Mr. Kim. Semoga aman selama penerbangan ke Portland. Tuan." Dia memberi hormat padaku.

Tanpa melepaskan aku, Jongin mengangguk, menunduk kebawah, dan membawaku ke pintu helikopter. Begitu didalam ia mengaitkan dengan kuat harnessku, dengan mudah mengetatkan talinya. Jongin menatapku penuh arti dan memberikan senyum rahasia.

"Ini akan membuatmu tak bisa bergerak," bisik Jongin. "Aku harus mengatakan, aku menyukai kau memakai harness ini. Jangan menyentuh apa pun."

Mukaku semakin merah padam, dan ia menjalankan jari telunjuknya menuruni pipiku sebelum menyerahkan headsetnya padaku.

Aku juga ingin menyentuhmu, tapi kau tak mengijinkanku. Aku cemberut padanya.

Selain itu, Jongin menarik tali erat-erat, aku hampir tak bisa bergerak. Jongin duduk dikursinya dan mengikat dirinya sendiri, kemudian dia mulai menjalankan semua prosedur preflight-nya. Jongin begitu kompeten. Sangat memikat. Saat ini Jongin tengah memakai headset-nya dan membalik sebuah saklar dan kecepatan baling-baling bertambah cepat, memekakkan telingaku.

Berbalik, Jongin menatap ke arahku. "Siap, sayang?" Suaranya menggema melalui headset.

"Ya."

Jongin menyeringai dengan senyum kekanak-kanakan. Wow - aku tak melihat senyum itu begitu lama.

"Sea-Tac tower, disini Charlie Tango - Tango Echo Hotel bebas silahkan takeoff ke Portland melewati PDX. Harap konfirmasi, ganti."

Terdengar jawaban dari pengendali lalu lintas udara, memberikan instruksi.

"Roger, tower, Charlie Tango siap, ganti dan keluar." Jongin membalik dua saklar, menggenggam stick, dan helikopter perlahan-lahan naik dengan mulus menembus langit pada sore hari. Seattle semakin menjauhi kami, dan ada begitu banyak yang bisa dilihat.

"Kita sudah pernah mengejar fajar Sehun, dan sekarang senja," suaranya terdengar melalui headset.

Aku menoleh menganga ke arah Jongin terkejut. Apa artinya ini? Bagaimana mungkin Jongin bisa berbica hal-hal yang menjurus romantis? Dan kini Jongin tersenyum, bahkan aku sendiri tidak bisa menahan senyum malu-malu untuk membalasnya.

"Selain matahari di sore hari, masih ada lagi yang bisa dilihat pada saat ini," kata Jongin.

Terakhir kali kami terbang ke Seattle itu pada waktu sudah gelap, tapi saat ini sore, pemandangannya sangat menakjubkan, secara harfiah tiada taranya. Kami naik diantara gedung-gedung tinggi, naik lagi semakin tinggi.

"Escala ada disana." Jongin menunjuk ke arah gedung. "Boeing disana, dan kau hanya bisa melihat tempatnya seperti jarum."

Aku menjulurkan kepalaku. "Aku belum pernah kesana."

"Aku akan mengajakmu kesana - kita bisa makan disana."

Apa?

"Jongin, kita sudah putus."

"Aku tahu. Aku masih bisa mengajakmu kesana dan memberimu makan." Jongin melotot padaku.

Aku menggeleng dan memerah sebelum melakukan pendekatan yang tidak begitu konfrontasif. "Sangat indah di atas sini, terima kasih."

"Mengagumkan, bukan?"

"Mengagumkan bahwa kau bisa melakukan ini."

"Sanjungan darimu, Tuan Oh? Rupanya aku seorang pria yang punya banyak bakat."

"Aku sepenuhnya menyadari itu, Mr. Kim."

Jongin menoleh dan menyeringai ke arahku, untuk pertama kali dalam lima hari, aku menjadi sedikit santai padanya. Mungkin ini tak akan begitu buruk.

"Bagaimana pekerjaan barumu?"

"Baik, terima kasih. Sangat menarik."

"Bosmu seperti apa?"

"Oh, dia baik."

Bagaimana aku bisa memberitahu Jongin bahwa Chanyeol membuatku tak nyaman?

Jongin menoleh dan menatapku. "Ada yang salah?" Tanya Jongin.

"Selain dari yang sudah aku jelaskan, tidak ada."

"Yang sudah jelas?"

"Oh, Jongin, kadang-kadang kau benar-benar sangat bodoh."

"Bodoh? Aku? Aku tak yakin akan menghargai pendapatmu, Tuan Oh."

"Nah, jadi jangan."

Bibir Jongin berkedut tersenyum. "Aku merindukan mulut cerdasmu."

Aku terkesiap dan aku ingin berteriak, Aku merindukanmu-semuanya-bukan hanya mulutmu! Tapi aku tetap diam dan menatap keluar kaca depan Charlie Tango saat kami terus menuju selatan.

Senja sebelah kanan kami, matahari semakin rendah di atas cakrawala – besar berwarna oranye menyala terang - dan aku seperti Icarus lagi, terbang begitu dekat. Senja mengikuti kami dari Seattle, seperti batu opal berwarna merah jambu, dan aquamarine terapung-apung terhampar di langit seperti inilah Alam Semesta. Senja yang cerah, dan lampu-lampu di Portland terlihat berkelip, menyambut kita saat Jongin menurunkan helikopternya menuju helipad. Kami berada di atas gedung dengan bata merah yang aneh di Portland, yang pernah kami tinggalkan kurang lebih tiga minggu yang lalu. Astaga, sepertinya bukan waktu yang lama. Namun aku merasa seperti sudah mengenal Jongin seumur hidup.

Jongin sudah menurunkan Charlie Tango, membalik berbagai saklar hingga baling-baling berhenti, dan akhirnya dari headset aku hanya mendengar suara napasku sendiri. Hmm. Sekilas mengingatkan aku tentang pengalaman Thomas Tallis. Mukaku langsung pucat. Jadi seharusnya aku jangan lagi punya keinginan pergi ke sana. Jongin melepaskan harnessnya dan mencondongkan tubuhnya untuk melepaskan punyaku.

"Apa perjalanannya menyenangkan, Tuan Oh?", Jongin bertanya, suaranya lembut, manik mata hitamnya terlihat bersinar.

"Ya, terima kasih, Mr. Kim," jawabku dengan sopan.

"Baik, mari kita melihat galeri laki-laki itu." Jongin menggenggam tanganku saat aku keluar dari Charlie Tango.

Seorang pria berambut putih berjenggot berjalan mendekati kami, sambil tersenyum lebar, dan aku mengenalnya pada saat terakhir kali kami di sini.

"Joe." Jongin tersenyum dan melepaskan tanganku untuk menjabat tangan Joe dengan hangat. "Tolong jaga dia untuk Stephan. Dia akan memakainya sekitar jam delapan atau sembilan."

"Dengan senang hati, Mr. Kim. Tuan Oh," katanya, mengangguk ke arahku. "Mobil anda sudah menunggu lantai bawah, Sir. Oh, dan liftnya sedang rusak; Anda harus menggunakan tangga."

"Terima kasih, Joe." Jongin meraih tanganku, dan kami menuju ke tangga darurat.

"Untung ini hanya tiga lantai, kau memakai sepatu murahan yang bisa membuat kakimu lecet," Jongin bergumam padaku menyatakan ketidaksetujuannya. Tidak bercanda.

"Apa kau tak suka sepatu bot?"

"Aku sangat suka itu, Sehun." Tatapannya gelap dan aku pikir Jongin mungkin mengatakan sesuatu yang lain, tapi ia menghentikannya. "Ayo. Kita akan turun pelan-pelan. Aku tak ingin kau jatuh dan lehermu patah."

Kami duduk dalam keheningan saat sopir kami mengendarai menuju galeri. Aku kembali merasa sangat gelisah, dan aku menyadari bahwa kami sedang dirundung masalah saat berada di Charlie Tango. Jongin tampak tenang dan merenung. . . agak gelisah malah; suasana hati kami yang sebelumnya lebih ringan telah hilang. Ada begitu banyak yang ingin aku katakan, tapi perjalanan ini terlalu pendek. Jongin merenung menatap keluar jendela.

"Kris hanya seorang teman," gumamku.

Jongin menoleh dan menatapku, matanya gelap dan berhati-hati, tidak menjawab apa-apa. Mulutnya - oh, mulutnya sangat mengganggu, dan tanpa diminta. Aku teringat mulutnya sudah pernah menyentuh seluruh tubuhku. Kulitku memanas.

Jongin bergeser dikursinya dan mengerutkan kening. "Mata yang cantik terlihat terlalu besar di wajahmu, Sehun. Aku mohon berjanjilah padaku kau akan makan."

"Ya, Jongin, aku akan makan," aku menjawab spontan, seperti sebuah kata yang sudah basi.

"Aku serius."

"Apa kau peduli sekarang?" Aku tak bisa menyimpan kebencian keluar dari suaraku. Jujur, kelalaian pria ini yang sudah menempatkanku seperti di dalam neraka selama beberapa hari terakhir. Tidak, itu salah. Aku telah menempatkan diriku sendiri dalam neraka. Tidak. Itu Jongin. Aku menggeleng, bingung.

"Aku tidak ingin bertengkar denganmu, Sehun. Aku ingin kau kembali, dan aku ingin kau sehat, " kata Jongin lembut.

Apa? Apa artinya itu?

"Tapi tak ada yang berubah." Kau masih fifty shades.

"Nanti kita akan bicara dalam perjalanan pulang. Kita sudah sampai." Mobil itu berhenti di depan galeri, dan Jongin keluar, meninggalkan aku terdiam. Dia membuka pintu mobil untukku, dan aku merangkak keluar.

"Mengapa kau melakukan itu?" Suaraku lebih keras dari yang kuharapkan.

"Lakukan apa?" Jongin terkejut.

"Mengatakan sesuatu seperti itu kemudian berhenti."

"Sehun, kita sudah sampai. Dimana kau ingin kesini. Ayo kita masuk dulu setelah itu kita bisa bicara. Aku tak ingin membuat keributan di jalan."

Aku memerah dan melirik sekeliling. Jongin benar. Ini terlalu umum. Aku menekan bibirku bersama-sama saat dia melotot ke arahku.

"Oke," gumamku cemberut. Mengambil tanganku, Jongin membawaku masuk ke dalam gedung.

Kami berada dalam gudang yang sudah direnovasi –dinding bata, lantai kayu warna gelap, langit-langit warna putih, dan pipa dicat putih. Tempatnya luas dan modern, beberapa orang sudah berada di dalam galeri, minum anggur dan mengagumi karya Kris. Untuk sesaat, masalahku langsung mencair saat aku paham bahwa Kris telah mewujudkan mimpinya. Bagus sekali, Kris!

"Selamat malam dan selamat datang di acara Kris Wu." Seorang wanita muda mengenakan gaun hitam dengan rambut sangat pendek warna cokelat, lipstik merah terang, dan anting-antingnya besar menyambut kami. Dia memandangku sebentar, lalu menatap Jongin jauh lebih lama, kemudian berubah kembali memandangku, berkedip dengan muka memerah. Keningku berkerut. Jongin milikku-atau pernah jadi milikku. Aku berusaha keras untuk tidak cemberut padanya. Saat matanya kembali fokus, ia berkedip lagi.

"Oh, ternyata kau, Sehun. Kami ingin kau juga mengambil semua ini." Sambil menyeringai, dia memberiku brosur dan mengarahkan aku ke sebuah meja yang dipenuhi dengan minuman dan makanan ringan.

Bagaimana dia tahu namaku?

"Kau kenal dia?" Jongin mengerutkan kening. Aku menggeleng, sama-sama bingung.

Jongin mengangkat bahu, bingung. "Apa yang ingin kamu minum?"

"Aku ingin segelas anggur putih, terima kasih."

Alis Jongin mengkerut, tapi ia tidak komentar dan berjalan menuju bar.

"Sehun!" Kris datang melewati kerumunan orang-orang.

Ya ampun! Kris mengenakan jas. Dia terlihat tampan dan tersenyum padaku. Kris memelukku dengan keras. Dan semua itu bisa aku lakukan, jangan sampai menangis. Temanku, satu-satunya temanku disaat Baekhyun sedang pergi. Air mata menggenang dimataku.

"Sehun, aku sangat senang kau bisa datang," bisik Kris di telingaku, kemudian berhenti sebentar dan tiba-tiba melepas pelukannya, menatapku sambil tetap memegang bahuku.

"Apa?"

"Hei, apa kamu baik-baik saja? Kau terlihat baik,tapi aneh. Dios mio, apa kau kehilangan berat badanmu?"

Aku berkedip menahan tangisku. "Kris, aku baik-baik saja. Aku sangat senang bertemu denganmu."

Sial-bukan hanya Jongin yang mengatakan begitu.

"Selamat atas pameranmu." Suaraku agak ragu-ragu saat aku melihat kepeduliannya terukir diwajahnya yang familiar itu, tapi aku harus bisa menahan diriku.

"Naik apa kau bisa sampai ke sini?" Tanya Kris.

"Jongin mengantarku," kataku, tiba-tiba gelisah.

"Oh." wajah Kris langsung berubah dan dia melepasku. "Dimana dia?" Ekspresinya menjadi gelap.

"Disana, sedang mengambil minuman." Aku mengangguk ke arah Jongin dan melihat dia berbasa-basi dengan seseorang yang sedang mengantri.

Jongin menatapku saat aku melihatnya dan mata kami langsung saling mengunci. Dan dalam waktu yang singkat, aku merasa lumpuh, menatap pria tampan, seperti mustahil menatap padaku dengan beberapa emosi tak bisa diduga. Tatapannya panas, membakar ke dalam diriku, dan kami tersesat sejenak menatap satu sama lain.

Astaga. . . Pria tampan ini menginginkan aku kembali, dan jauh dilubuk hatiku, kebahagian yang manis perlahan mengembang seperti keagungan dini hari.

"Sehun!" Kris mengalihkan perhatianku, dan aku diseret kembali ke sini, sekarang. "Aku sangat senang kau datang - dengar, aku harus memperingatkanmu ..."

Tiba-tiba, nona Rambut Sangat Pendek dan Lipstik Merah menghentikan omongan Kris. "Kris, wartawan dari Portland Printz sudah disini ingin bertemu denganmu. Ayo." Dia memberiku senyum dengan sopan.

"Bagaimana kerennya ini Sehun? Popularitas." Kris menyeringai, dan aku tidak bisa untuk tidak tersenyum kembali - Kris begitu bahagia.

"Sampai nanti, Sehun." Kris mencium pipiku, dan aku menonton dia berjalan menemui fotografer, seorang wanita muda tinggi semampai.

Foto Kris dipajang dimana-mana, bermacam-macam gambar, dicetak ke kanvas besar. Ada dua macam, hitam putih dan berwarna. Berbagai macam pemandangan yang indah. Salah satunya diambil dekat danau di Vancouver, waktu senja dan awan berwarna pink terpantul diatas air yang tenang. Sejenak, aku terbawa oleh ketenangan dan kedamaian itu. Ini benar-benar menakjubkan. Jongin bergabung denganku, dan aku menarik napas dalam-dalam dan menelan ludah, mencoba untuk memulihkan keseimbanganku. Dia memberiku segelas anggur putih.

"Apa ini seperti lukisan?" Suaraku terdengar lebih normal. Pandangan Jongin mendadak menatap aneh saat melihatku.

"Anggur."

"Bukan. Event seperti ini jarang ada. Laki-laki itu cukup berbakat, ya kan?"

Jongin sedang mengagumi foto danau.

"Kau pikir kenapa aku memintanya untuk mengambil fotomu?" Aku tak dapat menahan rasa bangga dalam nada suaraku. Matanya melihat tanpa ekspresi dari foto itu berpindah kearahku.

"Kim Jongin?" Fotografer dari Portland Printz mendekati Jongin. "Bisakah saya mengambil foto anda, Sir?"

"Tentu." Jongin menyembunyikan cemberutnya. Aku berusaha menjauh, tapi ia meraih tanganku dan menarikku ke sisinya.

Fotografer tak bisa menyembunyikan kekagetannya saat melihat kami berdua. "Mr. Kim, terima kasih." Dia mengambil dua kali jepretan.

"Tuan. . . " Tanyanya.

"Oh Sehun," aku menjawab.

"Terima kasih, Tuan Sehun." Dia segera meninggalkan kami.

"Aku mencari fotomu berdua dengan kencanmu di Internet. Ternyata tak ada satupun. Itu sebabnya Baekhyun mengira kau gay. Dan yah ternyata memang seperti itu."

Mulut Jongin berkedut sambil tersenyum. "Itu menjelaskan pertanyaanmu yang sejujurnya tak pantas untuk ditanyakan. Aku bisex tapi tidak, aku tak pernah berkencan Sehun – aku melakukan itu hanya denganmu saja. Kau tahu itu." Mata Jongin membara terlihat tulus.

"Jadi kau tak pernah mengajak..." aku melirik sekeliling dengan gugup untuk memeriksa tak ada yang bisa mendengar kami... "sub-mu keluar?"

"Kadang-kadang. Bukan berkencan. Belanja, kau tahu." Jongin mengangkat bahu, tatapannya tetap tertuju padaku.

Oh, jadi hanya di Red Room of Pain dan apartemennya saja. Entah aku merasakan apa itu.

"Hanya kau, Sehun," bisik Jongin.

Aku tersipu malu dan menunduk menatap pada jari-jariku. Dengan caranya sendiri, Jongin peduli padaku.

"Tampaknya temanmu seorang fotografer profesional, bukan amatir. Ayo kita lihat yang lainnya." Jongin mengulurkan tangannya padaku, dan aku menerimanya.

Kami berkeliling melihat hasil fotonya lagi, dan aku memperhatikan dua orang mengangguk ke arahku, tersenyum lebar seolah-olah mereka mengenalku. Pasti ini karena aku bersama Jongin, tapi seorang pemuda terang-terangan menatapku. Aneh. Kami berbalik melihat ke pojok, dan aku jadi tahu mengapa orang-orang memandangku dengan aneh. Tujuh potretku yang sangat besar tergantung di dinding. Aku menatap kosong fotoku, terpana, darah mengalir dari wajahku. Gambarku: cemberut, tertawa, mengerutkan dahi, serius, kegelian. Semua super close up, semua hitam-putih.

Sialan! Aku ingat beberapa kesempatan Kris bermain-main dengan kameranya pada saat ia sedang berkunjung dan kupikir saat aku bepergian dengan Kris dan asisten fotografer sebagai sopir, aku tak sadar dia mengambil fotoku. Aku melirik Jongin, yang sedang terpana memandang setiap fotoku secara bergantian.

"Sepertinya aku bukanlah satu-satunya," Jongin bergumam penuh teka-teki, mulutnya membentuk garis keras. Aku pikir dia marah. Oh tidak.

"Sebentar," kata Jongin, sejenak dia mengunciku dengan tatapan manik mata hitamnya yang cerah.

Jongin berbalik dan menuju meja resepsionis. Apa masalahnya sekarang? Aku mengawasi dengan terpesona saat ia berbicara penuh semangat dengan Miss Rambut Sangat Pendek dan Lipstik Merah. Jongin mengeluarkan dompetnya dan memberikan kartu kreditnya. Ya ampun. Dia membeli salah satunya.

"Hei. Kau yang merenung itu. Foto-foto yang luar biasa." Seorang pemuda dengan rambut pirang terang yang tampak kaget mengejutkanku. Aku merasa tangan di sikuku dan Jongin sudah kembali.

"Kau seorang pria yang beruntung." Pemuda itu menyeringai pada Jongin, yang membalasnya dengan tatapan dingin.

"Ya," Jongin bergumam dengan muram, saat ia menarikku ke sampingnya.

"Apa kau baru saja membeli salah satunya?"

"Salah satunya?" Jongin mendengus, tidak mengalihkan pandangannya dari foto-fotoku.

"Kau membeli lebih dari satu?"

Jongin memutar matanya. "Aku membeli semuanya, Sehun. Aku tak ingin beberapa orang asing memelototimu didalam rumah pribadi mereka."

Keinginan pertamaku adalah tertawa. "Kamu lebih suka itu kau sendiri?" Kataku menyindir.

Jongin melotot ke arahku, aku pikir dia terkejut oleh keberanianku, tapi dia berusaha menyembunyikan rasa gelinya.

"Terus terang, ya."

"Jorok," Aku menggigit bibir bawahku supaya tak tersenyum.

Mulut Jongin menganga, dan sekarang rasa gelinya tampak jelas. Dia mengusap dagunya sambil berpikir

"Aku tak bisa membantah atas penilaianmu, Sehun," Jongin menggeleng, dan matanya melembut dengan humor. "Aku akan membahasnya lebih jauh denganmu, tapi aku sudah menandatangani NDA."

Jongin mendesah, menatapku, dan matanya bertambah gelap. "Apa yang pantas aku melakukan dengan mulut cerdasmu," gumamnya.

Aku terkesiap, menyadari sepenuhnya apa yang dia maksudkan. "Kau sangat tidak sopan."

Aku mencoba untuk terdengar kaget dan berhasil. Apa Jongin tak memiliki batasan?

Jongin menyeringai padaku, geli, kemudian dia mengernyit. "Kau tampak sangat santai dalam foto itu,Sehun. Aku jarang melihatmu seperti itu."

Apa? Tunggu dulu! Perubahan subjek pembicaraan yang tidak relevan - Dari main-main menjadi serius. Mukaku memerah dan menatap jari-jariku. Jongin mengangkat kepalaku kembali, dan aku menghirup tajam pada jari-jarinya yang menyentuhku.

"Aku ingin sikap kau yang santai denganku," bisik Jongin.

Semua jejak humornya telah pergi. Dalam diriku menggeliat lagi dengan senang. Tapi bagaimana ini bisa terjadi? Kami sedang memiliki masalah.

"Kau harus berhenti mengintimidasiku jika kau menginginkan itu," bentakku.

"Kau harus belajar untuk berkomunikasi dan memberitahuku bagaimana perasaanmu," Jongin balas membentak, matanya menyala.

Aku menghela napas dalam-dalam. "Jongin, Kau menginginkan aku sebagai submisif. Disitulah letak masalahnya. Kau pernah mengirim e-mail padaku sekali–Mengenai definisi submisif." Aku berhenti sejenak, mencoba mengingat kata-katanya.

"Aku akan mengulangi sinonimnya, 'selalu tunduk, lentur, setuju, pasif, patuh, pasrah, sabar, penurut, jinak, lembut.' Aku tidak seharusnya menatapmu. Tidak boleh bicara denganmu kecuali kau memberiku izin untuk melakukannya. Apa yang kau harapkan?" desisku padanya.

Jongin berkedip, dan dahinya berkerut semakin dalam saat aku melanjutkan lagi.

"Sangat membingungkan saat bersamamu. Kau tidak ingin aku menentangmu, tapi kau suka 'mulut cerdas'-ku. Kau ingin ketaatan, kecuali jika kau tak suka, sehingga kau bisa menghukumku. Aku hanya tak tahu jalan mana yang aku pilih saat aku bersamamu."

Jongin menyipitkan matanya. "Pendapat yang bagus seperti biasa, Tuan Oh." Suaranya dingin. "Ayo, kita pergi makan."

"Kita berada disini hanya setengah jam."

"Kau sudah melihat fotonya, kau sudah bicara dengan laki-laki itu."

"Namanya Kris."

"Kau sudah berbicara dengan Kris- terakhir kali aku bertemu dengan pria itu saat kau berusaha menolaknya karena dia mencoba mendorong lidahnya masuk ke dalam mulutmu disaat kau sedang mabuk dan mual," Jongin menggertak.

"Dia tak pernah memukulku," aku meludahinya.

Jongin memandang marah padaku, amarahnya terpancar pada setiap pori-porinya. "Itu suatu penghinaan, Sehun," bisik Jongin mengancam.

Mukaku memerah, dan Jongin mengacak-acak rambutnya, tampangnya nyaris penuh kemarahan. Aku membalas dengan melototinya.

"Aku akan membawamu untuk makan sesuatu. Aku melihat kau telah kehilangan berat badanmu. Cari laki-laki itu, ucapkan selamat tinggal."

"Tolong, bisakah kita tinggal disini lebih lama?"

"Tidak. Pergi. Sekarang. Ucapkan selamat tinggal."

Aku memelototi Jongin, darahku mendidih. Mr. Gila Kontrol Brengsek. Marah lebih baik daripada menangis. Aku berbalik darinya dan melihat sekeliling untuk mencari Kris. Dia sedang berbicara dengan sekelompok cewek. Aku berjalan menghampirinya dan meninggalkan fifty.

Hanya karena Jongin mengantarku kesini, Aku harus melakukan apa yang Jongin katakan? Sialan Jongin pikir dia itu siapa?

Para wanita terlihat tengah antusias mendengarkan setiap kata Kris. Salah satunya tersentak saat aku mendekat, tak diragukan lagi mereka mengenaliku dari foto-fotoku.

"Kris."

"Sehun. Permisi sebentar." Kris menyeringai pada mereka dan memeluk bahuku, dan pada tingkat tertentu aku merasa geli- semua kepolosan Kris, membuat para wanita terkesan.

"Kau terlihat marah," katanya.

"Aku harus pergi," gumamku terlihat bodoh.

"Kau baru saja sampai disini."

"Aku tahu, tapi Jongin harus kembali. Dan foto-foto yang fantastis, Kris - kau sangat berbakat."

Kris berseri-seri. "Sangat senang bertemu denganmu."

Kris memelukku erat-erat, mengangkat dan memutarku jadi aku bisa melihat Jongin. Dia menatap marah, dan aku menyadari itu karena aku dalam pelukan Kris. Aku segera memindahkan tanganku ke leher Kris. Aku pikir Jongin sudah kadaluarsa. Tatapannya bertambah gelap cukup menakutkan, dan perlahan ia berjalan ke arah kami.

"Terima kasih atas pajangan tentang fotoku," gumamku.

"Sial. Maaf, Sehun. Aku seharusnya mengatakannya padamu. Apa kau menyukai foto-fotomu itu?"

"Mm. . . Aku tak tahu," jawabku jujur, sejenak keseimbanganku hilang oleh pertanyaannya.

"Yah, semuanya sudah terjual, seseorang menyukai foto-fotomu. Bagaimana keren kan? Kau seperti seorang model." Kris masih memelukku erat saat Jongin sudah sampai sambil menatap tajam ke arahku sekarang, untungnya Kris tidak melihat.

Kris melepaskan aku. "Jangan menjadi orang asing, Sehun. Oh, Mr. Kim, selamat malam."

"Mr. Wu, sangat mengesankan." Nada suara Jongin terdengar beku tapi sopan. "Maaf, tapi kami tak bisa tinggal lebih lama, kami harus kembali lagi ke Seattle. Sehun?"

Saat Jongin menekankan kata 'kami' dengan halus, Jongin meraih tanganku.

"Bye, Kris. Sekali lagi selamat ya." Aku memberinya ciuman cepat dipipinya, sebelum Jongin menyeretku keluar gedung.

Aku tahu Jongin diam dengan kemarahan yang mendidih, tapi aku juga. Jelas Jongin ingin cepat-cepat keluar kemudian berjalan ke kiri dan tiba-tiba menyeretku ke sebuah gang samping, mendorongku ke dinding. Dia meraih wajahku dengan kedua tangannya, memaksaku untuk menatap matanya yang penuh gairah.

Aku terkesiap. Jongin langsung menciumku dengan keras. Sebentar gigi kami saling beradu, lalu lidahnya masuk kedalam mulutku. Hasrat langsung meledak di seluruh tubuhku seperti peringatan 4 Juli, dan aku membalas ciumannya, menyesuaikan gairahnya, tanganku meremas rambutnya, menariknya, keras.

Jongin mengerang, suaranya pelan seksi yang keluar dari dalam tenggorokannya, dan tangannya bergerak ke bawah tubuhku ke bagian atas pahaku, jari-jarinya mencengkram keras diatas celanaku. Aku curahkan semua kegelisahan dan patah hati beberapa hari terakhir melalui ciuman kami, mengikat Jongin untukku, dan itu menyentuhku - disaat gairah yang menyilaukan - Jongin melakukan dan merasakan hal yang sama.

Jongin menghentikan ciuman, terengah-engah. Matanya berkilau penuh hasrat, membakar darahku yang sudah panas yang mengalir kencang dalam tubuhku. Mulutku terbuka karena aku mencoba mengambil udara untuk mengisi paru-paruku.

"Kau. Adalah. Milikku," Jongin mengeraman, menekankan setiap kata.

Jongin menjauh dariku dan membungkuk, tangannya diatas lutut seolah-olah dia sehabis lari maraton. "Ya Tuhan, Sehun."

Aku bersandar ke dinding, terengah-engah, mencoba untuk mengontrol reaksi liar dalam tubuhku, mencoba menemukan keseimbanganku lagi.

"Maaf," bisikku begitu napasku telah kembali.

"Sudah seharusnya. Aku tahu apa yang kau lakukan. Apa kau menginginkan dengan fotografer itu, Sehun? Jelas dia memiliki perasaan padamu."

Aku malu dan menggelengkan kepala. "Tidak Dia hanya seorang teman."

"Aku telah menghabiskan kehidupan dewasaku mencoba untuk menghindari emosi yang ekstrim. Namun kau . . kau membawa keluar perasaan yang ada dalam diriku yang benar-benar asing. Ini sangat..." Jongin mengernyit, menggantung kata-katanya. "...Mengganggu."

"Aku suka kontrol, Sehun, dan ada didekatmu ..." Jongin berdiri, tatapannya sangat intens - "Menguap."

Sambil melambaikan tangannya samar-samar, lalu mengacak-acak rambutnya dan mengambil napas dalam-dalam. Jongin meremas tanganku. "Ayo, kita perlu bicara, dan kau perlu makan."

~oOOo~

To. Be. Continued.

~oOOo~

Hallo~ ketemu lagi ya sama lanjutan Fifty Shades Of Kim Jongin. Hihi

Ada typo bertebaran gak? Gak yah? Mudah-mudahan gak. hehehe

Sebenernya kemaren aku udah post Prolognya. Tapi ffn pas lagi error jadi beberapa readers pada laporan ke aku kalo mereka minta maaf banget ga bisa review soalnya ffn error. But, no problem. Nih aku post kok chapter 1 nya. Hehe yang prolog aku hapus yaaa~

How? Cepet banget kan mereka ketemuan lagi, Cuma pisah 3 hari aja Jongin udah pengen banget ketemu Sehun lagi. Padahal mah ya kalo hubungan asli habis putus paling cepet 1 minggu ketemuan lagi. Itupun kalo masih sama-sama sayang *cough* *author Curcol* haha

Jadi gimana kelanjutan hubungan KaiHun?

Review please ~~