Minggu setelah ujian akhir sekolah adalah masa damai dan tentram untuk semua orang. Seharusnya begitu. Setidaknya Halilintar berharap seperti itu. Akan tetapi setelah melihat empat bocah cilik yang harus ia dan dua saudaranya urus, sepertinya penderitaan mereka baru saja dimulai..
.
.
~•~
.
.
BoBoiBoy © Monsta
.
Humor, Family
.
Alternative Universe, Typo, Out of Character, etc.
.
Sepupu? (Mereka setan kecil!) by LintarCarnation
.
.
~•~
.
.
"Siapa, sih, orang gila yang nekat menelpon ke telpon rumah di pagi hari buta seperti ini?!" dengan gerutuan dan hentakan kaki sebal pada tangga kayu melingkar Taufan mengacak-acak rambutnya kesal sembari mendatangi telpon rumah yang terus saja bernyanyi nyaring.
Bola mata hazel itu menatap jam yang ada di ruang tengah sebelum kembali menatap galak telpon sembari mencak-mencak, "Seriously, ini baru jam empat pagi dan aku harus mengangkat telpon di saat kakak dan adik kembarku tersayang masih bergulung di dalam selimut mereka yang hangat." iya, Taufan yang sedang emosi memang sarkas.
Taufan menghela napas berusaha tenang. Oke, kalau ini telpon dari Gopal yang iseng, Taufan pastikan pemuda berdarah India itu merasakan pukulannya.
"Halo, selamat pagi. Boboiboy Taufan di sini, siapa di sana?"
.
.
~•~
.
.
"Lintar, oi, Lintar! Bangun woi, dasar kebo!"
Harapan akan melewati pagi hari dengan tenang dan damai seketika lenyap dari pikiran Halilintar saat suara sang adik pertama merasuki indera pendengarannya. Dengan jengkel, ia melempar selimut yang menutupi tubuhnya sebelum mendorong jauh kedua tangan sang adik biadab yang masih menampar-nampar pipinya.
"Berisik kau, Uban! Kau mau kubunuh?" Deathglare andalannya terarah lurus pada sang adik, namun deathglare andalannya—yang sanggup membuat Gopal dan hampir seluruh orang gentar ketika melihatnya—tampaknya sama sekali tak mempan untuk menakuti Taufan yang memang bebalnya tak tertolong.
Taufan berdecak sebelum menampar paha Halilintar dengan kesal, "YAK! Kau ini! Sudah kubilang namaku Taufan, Lintah Darat! Boboiboy Taufan!"
Halilintar memutar bola matanya bosan, "Terserah," celetuknya pendek sebelum mulai merengangkan tubuhnya, "jadi? Perkara apa kau membangunkanku di pagi hari seperti babon mengamuk di kebun binatang?"
Meskipun Hali tau otak Taufan hanya setengah—bahkan mungkin tak sampai (Hali mengatakannya dalam hati), tapi dia tau Taufan tak akan mengganggunya di pagi hari tanpa alasan.
Baik Taufan maupun Gempa sudah hapal di luar kepala jika ia bukanlah morning person.
"Matilah kita, Lintar. Mati!" Taufan berseru panik sembari mengguncang kedua bahu Halilintar yang kembali mendelik tajam.
"Oi, oi, oi, bicara yang jelas, Ubanan!"
"Bibi barusan menelpon ke telpon rumah," Taufan menggigiti kukunya dengan panik, "matilah kita Lintar, kita bertiga akan mati!"
Halilintar menarik sebelah tangan Taufan yang bebas mendekat padanya, lalu dengan watadosnya ia memukul 'sayang' puncak kepala sang adik pertama.
"ANJRIT, SAKIT LINTAH!"
"Kalian berdua ribut kenapa sih? Masih pagi sudah heboh," seseorang memasuki kamar Halilintar dengan tampang heran melihat kedua kakak kembarnya yang setiap saat pasti bikin rusuh.
"GEMGEEM~!"
"Tche, jangan tanya padaku Gempa. Tanya itu pada si Idiot ini." tunjuk Halilintar pada adik pertamanya.
Gempa menghela napas, "Jadi? Bisa jelaskan padaku, Taufan, ada apa ini?"
"Matilah kita, GemGem! Matilah!"
"Berhentilah mengulang kalimat itu, Babon!"
"Karena kita memang akan mati, Lintar!" Taufan berseru frustrasi sembari mengacak rambutnya, "seminggu ... Jaga seminggu—argh, tidak!"
"Taufan! Cerita yang jelas!"
"Bibi akan menitipkan Blaze-Ice, serta Thorn-Solar di sini seminggu!"
Hening.
Di saat Gempa masih tampak berpikir dan mencoba mencerna ucapan panik dari Taufan, Halilintar terlihat seperti tersentak, sebelum dengan cepat ia bangun dari tempat tidur, bergegas mengambil koper dan mengemas barang-barangnya.
"Hali—"
"—kalian handle mereka berempat. Aku ada urusan seminggu. Bye." tanpa basa-basi pemuda dengan topi bersulam petir merah itu menarik kopernya ke arah pintu kamar.
"…" Gempa mengerjap sekali, lalu menatap si kembaran kedua—yang ternyata balas menatapnya—sebelum melotot ganas pada punggung Halilintar yang hampir mencapai gagang pintu.
"APA?!"
.
.
~•~
.
.
"Eits, kau pikir kau bisa kabur dari tanggung jawab bersama ini, H-A-L-I-L-I-N-T-A-R?"
Halilintar memberontak, mencoba menepis sebelah tangan milik Gempa yang keukeh menahan kerah baju bagian belakangnya, tanpa peduli nada penuh teror dari Taufan saat mengeja namanya perhuruf.
"Lepas! Lepaskan aku, Gempa Bumi!"
"Hoo, kenapa aku harus melepaskanmu, Lilin?"
"Jangan panggil aku dengan nada geli menjijikkan seperti itu!"
Taufan terkekeh, lalu berusaha menahan tawanya saat sang kakak menatap galak padanya, "Kau yang mulai cari perkara, sih,"
"Aku? Mencari perkara? Heh, kalian berdua lah yang mencari masalah denganku, Angin Taufan, Gempa Bumi!"
Gempa berdecak, "Kami? Sadar diri dong, yang mau lari dari tanggung jawab bertiga itu siapa! Kok kami berdua yang disalahin?" delikan sebal tak ketinggalan dilayangkan pada sang biang onar yang bertingkah sok innocent.
"Kalian pikir, aku mau, melewatkan masa libur panjangku dengan mengurus empat anak setan?" Halilintar berujar santai sembari memutar kedua bola matanya sebal.
Taufan dan Gempa melotot ganas, "Dan kau pikir kami berdua bakal mau, gitu, ngurusin dua pasang bocah kembar sinting itu?!"
"Ya ... itu derita kalian. Lagian kalian berdua mirip dengan empat bocah itu, takkan sulit untuk kalian mengurusnya."
"Mirip? Mirip apanya?!"
"Sama-sama troublemaker," celetuk Halilintar tak acuh.
"Enak aja!" masing-masing satu pukulan penuh cinta mendarat di punggung Halilintar—yang kalau tak sigap menjaga keseimbangan bisa saja jatuh dengan tidak elite-nya.
"WOEEEE, KALIAN BERDUA INI TIDAK BISA APA, HORMAT SEDIKIT SAMA YANG LEBIH TUA?!" suara bak petir menyambar keluar dari sang kembaran pertama disertai dengan tatapan mematikan. Jika saja tatapan bisa membunuh, dipastikan Taufan dan Gempa sudah mati di detik yang sama.
"Kau dan Taufan cuma tiga menit, denganku juga cuma jarak tujuh menit. Tak usah terlalu menganggap dirimu tua,"
"Kecuali kau memang mau dihormati layaknya kakek-kakek lansia," sambung Taufan jahil sebelum memucat menatap jam, "uh—oh."
"Kau kenapa, Fan?"
"Kesambet kali."
"Yee, aku tanya ke Taufan, bukan padamu, Lilin~"
"GAH, Shut up, Earthquake!"
Gempa hanya mengangkat bahunya sebelum turut menatap jam dinding, "wah, sudah waktunya sarapan, ya. Lebih baik aku siapkan sarapan dulu,"
"Lin, Gem, kita bertiga benar-benar harus saling bahu membahu dalam seminggu ke depan." Taufan berujar serius dengan wajah pucat.
Halilintar menatap heran, "Tumben pikiranmu waras,"
"Lintar, aku serius. Kalau bibi benar-benar on time seperti biasa, berarti kedamaian kita bertiga hanya tinggal beberapa sa—"
Ting tong.
Wajah ketiga saudara kembar tersebut langsung pucat, seputih kertas.
"Assalamu'alaikum! Nak Hali, Nak Taufan, Nak Gempa, bibi datang!"
'Sial, kenapa aku harus berada di situasi mengerikan seperti ini?' ketiganya membatin kompak sebelum berjalan dengan tubuh tegang—tampak enggan—menuju pintu.
.
.
~•~
Bersambung.
~•~
.
.
Apa yang aku tulis, apa yang aku tulis ini aaaaaaaaaaaa—
Gaje, gaje, gaje gila, kan?! /pundung
Yeah, ini dia. Fiksi yang aku kembangkan dari ff absurd dan pendek waktu itu.
Ini, ini ...
Lemme cry please— *sembunyi di bawah kasur*
Yah—sampai jumpa, di chapter satu ... (yang entah munculnya kapan)
Bengkulu, Senin, 29 April 2019.
