BSD © Asagiri Kafuka & Harukawa Sango
Aku tidak mengambil keuntungan apapun kecuali kesenangan jiwa semata (?)
Dazai Osamu, Nakahara Chuuya
.
0o0o0o0
The most cruel thing we ever did
0o0o0o0
.
Angin dari arah laut yang datang menerpa Chuuya begitu sampai sana terasa sejuk. Tempat ini memang pantas menjadi tempat untuk peristirahatan terakhir, karena selain pemandangannya indah, angin yang berhembus kencang di sini seolah mampu membawa semua beban dan penyesalan para mayat pergi jauh dan membiarkan mereka yang terbaring di dalam sana untuk istirahat dengan tenang.
Tiba-tiba saja Chuuya cemburu dengan para mayat itu.
Tapi sayang datangnya ia ke sini bukan karena ingin mengubur diri bersama mayat-mayat itu, bukan karena ingin mati lebih cepat—tidak-tidak, Chuuya masih ingin hidup lebih lama lagi. Masih ada terlalu banyak hal yang ingin ia lakukan di dunia ini, misalnya; menyeret pulang kekasihnya yang tidur siang di makam mantan.
Satu makam yang letaknya di pojok, di bawah sebuah pohon besar, pemandangan laut dari sana adalah yang terindah ketimbang sisi yang lain, di sana Dazai Osamu sedang bersandar pada salah satu nisan batu.
"Oh, kau menemukanku." Katanya pada Chuuya yang baru datang dan sengaja hanya berdiri di depan makam, tidak mencoba untuk mendekati Dazai.
"Tentu saja." Setelah membiarkan Dazai berdiri dan membersihkan sisa rumput yang ditiduri, Chuuya memberikan setumpuk kertas yang menemaninya datang ke tempat itu. "Kau janji siang ini akan membantu aku menyelesaikan semua itu."
"Hm, aku ingat janjiku."
Kemudian dalam diam Chuuya melangkah di belakang, mengikuti arah mana yang diambil Dazai untuk keluar dari komplek pemakaman yang belakangan ini sering di kunjunginya. Sesaat Chuuya menoleh, melihat ke arah makam salah satu temannya dulu di pojok sana, sesaat yang kemudian memberi rasa sakit mengabadi dalam diri Chuuya.
Ini bukan kali pertamanya menjemput Dazai dari tempat itu, bukan kali pertama Chuuya memergoki dirinya sebagai tokoh pengganti untuk seseorang yang sudah terbaring di dalam sana di mata Dazai. Tapi untuk alasan yang tidak jelas, sampai saat ini Chuuya masih tidak ingin melepaskan Dazai, masih tetap ingin terikat dengan Dazai.
Bukan masalah kalau cintanya bertepuk sebelah tangan, bukan masalah jika Dazai masih belum melupakan orang itu, bukan masalah selama Dazai bisa berada di sisinya dan membiarkan Chuuya menjadi satu-satunya yang terdekat. Pikiran seperti itu yang selalu Chuuya pribadi tanamkan pada dirinya. Entah sampai kapan, yang jelas itu satu-satunya cara agar dirinya sanggup terus mempertahankan Dazai.
"Kita ke perpustakaan?" Dazai menoleh dan berhenti menunggu Chuuya menyamakan langkah mereka. "Atau mau sambil makan siang?"
"Kau masih ada kelas siang ini?" Dazai menggeleng. "Kalau begitu langsung kembali ke apartemen saja."
"Baiklah."
Satu tangan Chuuya diraih, dalam diamnya Dazai membiarkan mereka untuk berjalan dengan tangan bergandengan. Dalam diamnya Chuuya berharap semoga perjalanan pulang kali ini memakan waktu lebih lama dari biasanya.
0o0o0o0o0
Mungkin Chuuya pantas disebut masokis karena membiarkan macam-macam ungkapan bodoh dan hinaan dari orang-orang di sekitarnya terus mengalir, mungkin juga ia adalah masokis karena membiarkan Dazai terus memanfaatkan cintanya hanya untuk rasa nyaman bersama dengan seseorang, atau mungkin Chuuya pantas disebut masokis karena ia sendiri yang membiarkan semua hal tadi terjadi.
Memang, sudah bukan rahasia lagi kalau Dazai bersama dengannya hanya karena tawaran dari Chuuya beberapa bulan setelah orang itu pergi.
Masih jelas dalam ingatan Chuuya bagaimana ekspresi wajah Dazai siang saat Chuuya mendatanginnya di kantin, bersikap sok akrab dan mengungkapkan perasaannya. "Nah, apa kau mau menjadi kekasihku?"
"Hah?" hanya itu yang menjadi jawaban Dazai sebelum akhirnya Chuuya mendudukan dirinya.
"Aku menyukaimu, dan setelah aku bertanya pada teman-temanku katanya kau sedang tidak memiliki kekasih, makanya aku datang. Kau mau?"
"Tapi aku—"
"Oh, aku tahu. Tentang Oda, kan? Aku sudah dengar banyak cerita kalian dan aku rasa aku bisa memahami kondisimu saat ini." Waktu itu yang ada dalam pikiran Chuuya hanya bagaimana caranya untuk membuat Dazai mau menjadi kekasihnya—membuat Dazai menjadi miliknya. Cerita-cerita kawannya yang mengatakan Dazai tidak akan jatuh cinta pada Chuuya, atau seberapa terpukulnya Dazai saat kematian Oda, sama sekali tidak ia pikirkan. "Aku hanya ingin bersama denganmu, dan kau juga membutuhkan seseorang saat ini, kan? Kita bisa saling melengkapi."
Untuk beberapa detik ada jeda kosong, Dazai dan Chuuya sama-sama tidak menyentuh makanan yang ada di piring mereka. Tentu saja Dazai sibuk dengan pikiran-pikirannya, dan Chuuya sibuk dengan segala macam doa yang ia panjatkan pada Dewa, berharap Dazai akan menerima tawarannya.
Syukurnya, Dazai mengiyakan tawaran itu. "Baiklah."
"Kau serius?"
Anggukan ringan Dazai waktu itu adalah hal terbaik yang bisa Chuuya syukuri. "Omong-omong, kau Nakahara-kun, kan?"
"Ah, ya. Aku hampir lupa. Perkenalkan, aku Nakahara Chuuya teman satu jurusan Oda. Mulai sekarang kau cukup panggil aku Chuuya, seperti yang lainnya."
"Hm, aku Dazai. Dazai Osamu."
"Aku tahu."
Dan sekarang, setelah dua tahun berlalu hampir tidak ada banyak perubahan dalam hubungannya dengan Dazai.
Walau sudah tinggal satu apartemen, Chuuya masih berperan sebagai tokoh pengganti yang berusaha mati-matian menutupi kekosongan dalam hidup Dazai setelah kepergian Oda. Chuuya masih harus berjuang lebih untuk membuat Dazai benar-benar jatuh cinta pada dirinya.
0o0o0o0o0
Langit di luar sudah berubah gelap ketika Chuuya sadar, selembar selimut yang menutupinya sampai pundak jatuh saat ia bergeser dari posisinya tidur di atas meja. Tumpukan kertas tugas yang siang tadi dilimpahkan pada Dazai sudah tertata rapih di depannya, setelah di cek semua tugas di sana sudah selesai dengan sempurna, besok Chuuya hanya tinggal mengumpulkannya saja.
Tapi Dazai tidak ada di sana.
Dan Chuuya tahu betul kemana kekasihnya pergi malam itu.
Tidak ada niat untuk mencari, tidak ada niat untuk menyusul lagi ke tempat yang sama, malam ini Chuuya memilih untuk memasak, makan malam sendiri dan melanjutkan tidurnya sendiri pula. Kalau sudah dingin di luar sana nanti juga Dazai akan pulang, kalau sudah puas mengobati rindunya juga nanti Dazai akan kembali pada Chuuya.
Hal seperti ini sudah biasa terjadi, Chuuya sendiri sejak awal sudah paham ini adalah resiko yang harus diterima olehnya setelah menjadi kekasih dari orang yang masih belum berhasil melepas kepergian sang mantan.
Bodoh memang, tapi biar saja. Untuk kesekian kalinya Chuuya akan menjadi bodoh dengan berpura-pura menutup mata dengan kebiasaan Dazai.
0o0o0o0o0
Pagi itu saat Chuuya terbangun, Dazai ada di samping, tidur memunggungi dirinya.
Jam di sisi lain menunjukan angka tujuh, sudah saatnya ia bangun dan meninggalkan tempat tidur. Banyak hal yang harus ia siapkan sebelum berangkat kuliah, tapi tidak ada niat untuk membangunkan Dazai dan meminta bantuan untuk sekedar meringankan persiapannya.
Chuuya tidak ingat kapan Dazai pulang semalam. Mungkin lewat dari tengah malam, dan dilihat dari mantel yang terakhir kali Dazai kenanakan, Chuuya bersyukur semalam dia tidak mendatangi pemakaman itu. Akan sangat menyakitkan melihat kekasihnya sesegukan ketika mabuk di makam orang.
Ia sadar, setelah dua tahun bersama dengan Dazai setidaknya ia bisa meramalkan sedikit apa yang akan terjadi dalam hubungan merekan ke depannya; Dazai akan terus seperti itu, terus mencintai dan merindukan Oda, seperti sekarang. Yang tidak bisa ia tebak justru dirinya sendiri, mungkin ia akan terus mencintai Dazai, tapi tetap bersama dengan Dazai atau tidak nantinya itu masih misteri. Chuuya terlalu takut menebak sampai seberapa lama hatinya sanggup menahan semua perasaan sakit ini, dan terus bertindak bodoh.
Jujur saja, semua hal yang ia pertahankan sampai saat ini tidaklah mudah, jujur saja, Chuuya ingin Dazai lebih memperhatikannya, lebih menghargai keberadaaannya dan menghabiskan waktu mereka bersama, berdua. Tapi menuntut hal seperti itu jadi sangat sulit ketika di hadapkan dengan fakta bahwa Chuuya masih memerankan posisi Oda. Dalam pikiran dan hati Dazai tidak ada namanya, yang ada hanya nama Oda.
Perih, tapi egonya terus memaksa ia bertahan, terus berharap suatu saat nanti Dazai akan benar-benar menganggap keberadaan Chuuya di sisinya, bukan sebagai ganti Oda.
Ia tahu, semua ini, semua rasa sakit yang ia rasakan saat ini adalah buah dari kecerobohannya waktu itu. Mengabaikan peringatan teman-temannya dan tetap berjalan mendekati Dazai, memanfaatkan kesendirian Dazai hanya untuk memuaskan keinginannya untuk bersama dengan Dazai, dan bersikap sok tegar menahan semua rasa sakit dalam dirinya tanpa pernah membiarkan seseorang untuk mendengar seberapa melelahkannya menjadi pengganti. Semua adalah kesalahan Chuuya sendiri.
"Kau sudah mau berangkat?" Dazai muncul di pintu dapur, perban di lehernya terlihat sedikit kendur, tapi pagi ini Chuuya menahan diri untuk tidak mendekat dan membenahi perban itu. Sedikit, dengan sikap ini Chuuya ingin memberi tahu Dazai bahwa dirinya cemburu pada makam Oda.
Tangannya bergerak cepat, membenahi meja makan, sarapan untuk Dazai sudah tersedia di sana, kertas memo kosong yang niatnya akan ia tulis dikembalikan pada tempat semula saat Dazai mendekat padanya. "Aku harus mengumpulkan tugas-tugasku pagi ini. Maaf, pagi ini aku tidak bisa menemanimu sar—"
Kalimat Chuuya berhenti sebelum mencapai tanda baca selanjutnya, dipaksa berhenti karena Dazai yang tiba-tiba meraih tengkuknya, memberikan satu kecupan ringan di dahinya, kemudian mengusap kepalanya ringan.
"Tidak apa-apa." Katanya setelah duduk di salah satu sisi meja. Dengan santainya dia meraih piring sarapan yang sudah Chuuya sisihkan. "Siang nanti bisa temani aku sebentar?"
"Hah? ..ah, ya, kemana?" irama jantung Chuuya rancu, detaknya luar biasa menggebu. Serangan tidak terduga tadi cukup untuk membuat Chuuya kehilangan sedikit dari rohnya pagi ini. Dazai membuatnya kehilangan indra perasa yang ada di kaki—rasanya seperti tidak sedang berpijak pada lantai, Chuuya tahu kakinya sedikit melemah.
"Sebentar saja, setelah itu kita makan siang bersama."
"Baiklah, setelah kelasmu selesai temui aku di ruang penelitian Mori-sensei."
Sambil menahan perasaan tidak keruan yang tiba-tiba saja membeludak memenuh isi dadanya ia bergegas meraih tumpukan kertas yang kemarin Dazai selesaikan untuknya, kemudian berjalan cepat untuk segera keluar dari apartemennya.
Jika harus dijelaskan apa yang terjadi dengan dirinya, Chuuya akan membuat sebuah perumpaan; seperti ada badai yang merusak seisi desa yang sebelumnya terus ditutupi awan, tapi setelah badai itu pergi, awan yang menutup desa juga ikut pergi. Kurang lebih seperti itu.
Dazai merusak segalanya dan memberikan secercah cahaya pada dirinya pagi itu. Hanya saja, mungkin karena terbiasa menahan rasa sakit, cahaya tadi tidak benar-benar memberikan Chuuya rasa syukur, kebalikannya Chuuya justru takut pada secercah cahaya yang Dazai berikan padanya. Bisa jadi cahaya itu yang akan menjadi alasan dirinya semakin tersakiti lebih dari sebelumnya.
Chuuya selalu mengingat baik-baik petuah yang mengatakan, semakin tinggi mimpi seseorang maka akan semakin keras pula dirinya terbanting ketika jatuh. Jadi perlakuan manis yang Dazai berikan padanya pagi ini jadi seperti tombak bermata dua yang memberinya rasa bahagia dan rasa sakit dalam waktu yang sama.
"Haaaah, Dewa, dia jahat sekali."
0o0o0o0o0
"Chuuya!" Chuuya menoleh, seorang wanita cantik dengan hiasan kupu-kupu di rambutnya mendekat. Wanita itu masih mengenakan jas putih, sama seperti yang ia kenakan. "Kau mau ke ruang Mori-sensei?"
Chuuya mengangguk. "Aku ikut. Ada beberapa data yang ingin aku minta."
Ada jeda beberapa waktu sampai akhirnya wanita yang berjalan di sampingnya itu kembali bersuara. "Kau masih berhubungan dengan Dazai?"
Chuuya mengangguk mengiyakan. Wanita di sampingnya ini adalah teman satu penelitian Oda dulu. Orang yang paling tahu bagaimana Dazai dan Oda dulu. Orang yang paling menentang Chuuya untuk mendekati Dazai, bukan karena persahabatannya dengan Oda, tapi karena dia tidak ingin Chuuya menderita—setidaknya itu yang pernah ia katakan pada Chuuya.
"Hm, aku pikir kau akan menyerah setelah beberapa bulan jalan dengannya, ternyata kau tangguh juga ya." Sedikit menyakitkan, tapi itu adalah pujian terbaik yang bisa Chuuya dapat dari sahabat mantan kekasih Dazai. "Oh, apa kau tahu?"
"Apa?"
"Hari ini peringatan hari kematian Oda." Langkah Chuuya terhenti, setelah dua langkah lebih dulu, Yosano, wanita yang berjalan di sampingnya tadi ikut berhenti. "Kau tidak tahu?"
Chuuya menggeleng. Chuuya tidak pernah perduli dengan hal seperti itu sebelumnya, bahkan ia berusaha untuk tidak pernah mengetahui apa-apa tentang Oda, karena akan sangat menyakitkan jika ia sadar Dazai sedang memperingati sesuatu tentang Oda di tanggal-tanggal tertentu.
Tapi berkat wanita ini Chuuya bisa menebak tempat apa yang akan ia datangi bersama Dazai siang nanti. Berkat wanita ini otaknya langsung bekerja keras menerjemahkan semua hal yang sudah Dazai lakukan dan semua perlakuan Dazai padanya.
Dadanya sakit, tiba-tiba saja napasnya memendek, dan lebih dari itu, Chuuya mulai mual. Rasanya semua sarapan yang tadi pagi masuk ke dalam perutnya memberontak ingin dikeluarkan paksa melalui jalur yang sama seperti saat masuk tadi. Pikirannya mulai kacau, ingatan tentang kecupan Dazai tadi pagi jadi lebih menyakitkan dari pada saat ia mendapatkannya.
"Dewa, dia sungguh sangat ... jahat." Hatinya mengeluh.
"Hei, kau baik-baik saja?" Yosano meraih tangannya, ada kilat kekhawatiran yang tersampaikan dari tatapan mata wanita itu. "Mau aku antar ke ruang kesehatan?"
"Tidak perlu, nanti di ruang Mori-sensei aku bisa istirahat."
Chuuya membenci ini. Ia benci hari ini, ia benci pada dirinya sendiri yang mengeluh dan meratapi rasa sakit hatinya hanya karena satu hari peringatan. Chuuya benci mengetahui fakta bahwa kecupan tadi pagi adalah bentuk pelarian dari rasa kehilangan Dazai pada sosok Oda. Ia benci mengetahui jika dirinya tidak pernah benar-benar mendapat kebaikan Dazai, tidak pernah sekalipun, karena setelah ia pikir ulang semua perlakuan manis Dazai padanya hanya bentuk pelarian Dazai saja. Mungkin Dazai merindukan Oda dan menjadikan Chuuya sarana pelapias rindu itu.
Bodohnya, baru saat ini Chuuya sadar, bahwa ia sendiri yang menawarkan kontrak menyakitkan ini, untuk bersama sebagai pengganti Oda pada Dazai. Padahal dulu yang ada dalam pikirannya tidak seperti itu, dulu Chuuya pernah berpikir untuk sedikit demi sedikit membuat Dazai menyadari keberadaannya. Chuuya pikir perlakuan manis Dazai selama ini adalah bentuk dari kesadaran Dazai akan dirinya, tapi ternyata ia salah besar.
Usahanya sia-sia. Cintanya masih belum bisa menyadarkan Dazai, jangankan untuk menyadarkan, Chuuya bahkan ragu kalau perasaannya pernah menyentuh sedikit saja sisi dari hati Dazai.
"Nah, Yosano-san."
"Hm, apa?"
"Boleh aku minta sedikit bantuanmu?"
"Bantuan apa?"
"Aku pikir sudah saatnya aku berhenti main rumah-rumahan dengan Dazai. Beberapa tahun ini semua usahaku ternyata sia-sia, aku terlalu naif. Aku pikir aku bisa membuat Dazai melupakan Oda tapi ternyata tidak. Apa—"
"Tunggu dulu. Kau benar baik-baik saja? Kenapa tiba-tiba berpikir seperti itu?"
Sekuat tenaga Chuuya menarik senyum di wajahnya. Berharap bukan wajah aneh yang dilihat oleh Yosano. "Aku baik-baik saja. Maaf jika tiba-tiba, tapi aku rasa kau satu-satunya orang yang akan Dazai percaya omongannya saat ini, jadi aku akan titipkan pesanku padamu."
"Pesan?"
"Iya. Siang nanti Dazai mungkin akan mengajakku ke makan Oda."
"Untuk apa?"
"Aku tidak tahu alasannya. Tapi setelah keluar dari pemakaman itu aku akan berpisah dengannya. Aku tidak memiliki keberanian untuk mengatakan secara langsung, aku pikir aku tidak akan mampu. Jadi tolong katakan padanya; terima kasih sudah memberiku kesempatan untuk bersama, dan maaf jika aku hanya menjadi penjara baru baginya."
"Lalu setelah itu, kau mau kemana?"
"Untuk semetara waktu aku akan menghilang. Dazai pasti akan mencariku jika aku tidak kembali ke apartemen beberapa hari, saat itu, tolong kau katakan pesanku untuknya. Kebetulan semua tugasku sudah selesai, aku bisa mengambil liburan musim panas lebih awal." Chuuya meraih pergelangan tangan kecil yang bergatung lemas di kedua sisi Yosano. Ia pegang erat pergelangan tangan itu sambil menahan senyum terbaiknya, "Aku mohon, bantu aku."
Tidak ada jawaban. Sepasang mata dengan iris kecokelatan yang menatap iba padanya itu terus bergerak ragu, tapi pemiliknya mungkin tidak bisa mengabaikan eratnya pegangan Chuuya pada pergelengan tangannya. "Ba-baiklah." Katanya sebelum menunduk pasrah.
0o0o0o0o0
Tebakan Chuuya benar. Langkah kaki Dazai yang membimbing perjalanan mereka siang itu benar-benar membawa mereka pada salah satu batu nisan yang paling ia kenali bentuknya. Nama Oda terurir jelas di sana, tanggal kematiannya juga, dan Chuuya baru sadar ini pertama kalinya ia melihat tanggal lahir dan tanggal kematian Oda yang ikut terukir di batu nisan itu. Padahal ini bukan kali pertama Chuuya berhadapan dengan batu nisan itu.
Letaknya yang berada paling ujung, dan tepat di bawah sebuah pohon besar benar-benar menguntungkan. Saat angin dari arah laut bertiup ke arah mereka, daun-daun di pohon itu bergerak riang, bayangan yang ada di bawahnya jadi seperti pertunjukan lampu disko di bawah sinar matahari.
Dalam diam Chuuya memperhatikan Dazai yang berdiri di sampingnya. Tidak ada hal lain yang Dazai lakukan selain berdiri manatap batu nisan di hadapan mereka. Chuuya yakin dalam hatinya Dazai sedang melaporkan macam-macam hal pada Oda, mengeluh karena rindu dan menangis karena kehilangan.
Chuuya tidak ingin ikut melaporkan apapun pada Oda. Terlalu menyakitkan untuk mengatakan bahwa Dazai masih belum bisa melupakan sosok Oda padahal Chuuya sudah bertahan cukup lama berada di samping Dazai. Mengakui kekalahan pada batu nisan rasanya jauh lebih berat dari pada orang yang masih hidup, setidaknya bagi Chuuya seperti itulah yang ia rasakan. Chuuya bukan kalah oleh Oda, lebih tepatnya keberadaan Chuuya kalah dengan semua kenangan yang Oda tinggalkan pada Dazai.
Setelah waktu yang cukup panjang, Dazai meraih tangannya. Menggandeng tangan itu dalam diam. Rasa mual yang tadi ia rasakan kembali datang, lebih parah dari sebelumnya, kali ini Chuuya seperti terpaksa menelan lagi muntahannya.
Semakin jelas sudah arti keberadaan Chuuya bagi Dazai saat ini. Memang kalau dipikir selain jahat Dazai cukup pintar memanfaatkan sekitarnya. Keberadaan Chuuya saat ini sama seperti boneka yang dipaksa mengisi kekosongan akibat rindu mendalam pada seseorang, kalau saja pikiran Chuuya selalu terang dan berisi hal-hal positif, mungkin saat ini Chuuya akan berpikir jika Dazai sedang memamerkan dirinya pada Oda, menunjukan bahwa Dazai masih sanggup melanjutkan hidup bersama dengan Chuuya. Sayang saja isi kepala Chuuya sekarang sudah terlalu berantakan, hatinya sudah terlalu sakit, sampai-sampai hanya alasan menyakitkan saja yang bisa ia benarkan saat ini.
Dazai mengajaknya siang itu karena membutuhkan seseorang untuk tetap tegar dan tidak berakhir menyedihkan di depan makam Oda. Dazai mengajaknya siang itu karena dia butuh seseorang untuk dia gandeng saat meninggalkan makam Oda, boneka hidup yang akan membalas genggaman tangannya saat berjalan menjauhi makam Oda. Dazai mengajaknya siang itu karena Chuuya tidak memiliki alasan untuk menolak, semua ini adalah tugas Chuuya setelah menawarkan diri pada Dazai.
Tidak lebih. Tidak akan pernah.
"Kau mau makan siang apa?" angin siang itu membawa aroma awal musim panas. Angin sejuk yang menghapus sedikit panas karena terik matahari. Chuuya bersyukur siang ini ia bisa melihat senyum manis Dazai. Berkat angin tadi Dazai terlihat lebih menawan saat rambutnya bergerak tersapu, kardigan krem yang Dazai pakai hari ini adalah hadiah ulang tahun yang Chuuya berikan tahun lalu, dan yang paling ia syukuri adalah kesempatan untuk bergandengan tangan bersama sampai luar pemakaman.
"Maaf, aku rasa siang ini tidak bisa."
Ada sedikit reaksi kaget yang tersampaikan, "Kenapa?"
"Ah, itu, aku ... hari ini aku harus menemani Yosano-san menyiapkan bahan penelitian Mori-sensei." Dia kecewa, entah kenapa Chuuya senang melihat reaksi kekecewaan itu. Tapi keputusannya sudah bulat.
"Tidak bisa setelah kita makan siang?"
"Hm, maaf. Aku keluar denganmu ini sudah masuk ijin makan siangku." Sedikit lagi, sedikit lagi, Chuuya masih belum ingin pegangan tangannya dengan Dazai terlepas. Ia masih ingin bersama, sedikit lagi. "Lagi pula jam dua nanti kau ada kelas, kan?"
Pelan, dengan penuh penyesalan, Chuuya menarik tangannya dari Dazai. "Maaf." Katanya sekali lagi.
Seperti tadi pagi, Dazai menarik tengkuknya, mendaratkan satu kecupan di dahinya. Kali ini sedikit lebih lama, membuatnya bisa menghirup aroma Dazai sebentar. Kemudian usapan ringan di kepalanya menjadi tanda perpisahan terakhir sebelum Dazai berbalik arah.
"Jalan lupa makan siang." Katanya setelah sedikit menjauh. Chuuya hanya mengangguk, menatap punggung yang berjalan menjauh darinya selagi masih bisa.
"Selamat tinggal." Bersamaan dengan hebus angin, Chuuya harap Dazai mendengar salam perpisahannya itu.
0o0o0o0o0
.
14:20 29/04/2019
Saran dari aku (penulisnya) silahkan berhenti di sini dan jangan baca chapter selanjutnya. Bagian ini adalah yang terbaik dari cerita ini sendiri.
Jujur aja, aku post ini dengan konsep twoshoot karena aku cuma mau ceritanya sampai di sini, tapi aku sendiri terlanjur sudah nulis sampai di akhir chapter selanjutnya.
Tapi kalau kalian ngga puas, masih mau baca, penasaran sama apa yang terjadi selanjutnya, silahkan baca chapter duanya dan jangan salahkan aku kalau kalian kecewa sama akhirnya ya. Aku sudah memperingati.
Silahkan di bandingkan, akhir yang kaya gimana yang kalian suka. Aku akan sangat seneng baca pendapat kalian. Walau cuma baca sampai di akhir chapter ini sekalipun juga ngga masalah.
Oh ya, fanfik ini aku dedikasi untuk ulang tahun MY BABY CHUUYA.
Terima kasih untuk yang meninggalkan jejaknya.
Segitu aja dariku.
Bye~
