DON'T READ IF U DON'T LIKE BOYxBOY
Fandom : DRRR!
Pair : MY BELOVED OTP ONOKAMI—maksud saya Shizaya!
Rate : M gore-ng
Inspirited by : udah dicekokin Game Online League of Legends jadi gini nih #ga ada hubungannya woy!# ada sih—dikit XD yang banyak tuh yah, tujuh dosa dari vocaloid, sisanya dari otak saya.. silahkan menikmati kegajean yang entah kesekian kalinya .. (NA: maaf untuk yang PM, yang menyuport saya.. saya ga bisa balas karena modem aha saya memblokir page ffn dan saya terpaksa mengupload ff saya lewat HP, sekalipun pagenya PCmode, saya ga bisa balas PM kalian. T.T maaf! dan terimakasih! 3)
WARNING!: Sedikit OOC, AU, dan typo
(Sengaja upload ulang karena spacenya kurang sempurna _ mohon maaf dengan ketidka nyamanan ini)
Derap langkah kaki menggema di dalam ruangan yang elegan namun sedikit remang. Hanya dihiasi oleh batu-batu kristal yang bersinar kemerahan menempel pada dinding ruangan, dan di pusat ruangan tergantung batu kristal cukup besar yang memancarkan warna putih. Jauh di bawah kristal putih itu terdapat meja panjang hitam kelam berkilat ditemani beberapa kursi dengan warna senada. Langkah kaki yang menggema itu terhenti sejenak di dekat meja panjang.
"Ah, sudah datang semuanya?" pertanyaan retoris dari makhluk yang baru saja mendekati meja tersebut. Selendang hitam-merah yang ia kenakan sangat serasi dengan jas hitam berbuntut yang menyelimuti kemeja putihnya. Tidak kalah suramnya dengan celana dan sepatu yang dikenakan, hitam kelam.
"Kerja bagus, kalian yang masih tersisa. Kalian yang berasal dari tubuhku,"
Seulas senyum cresent tergambar diwajahnya yang pucat. Jemari lentiknya menyentuh meja yang dingin itu. Bunyi ketukan yang dibuat dari kuku-kukunya yang panjang dan juga hitam. Ia memang tidak sendiri dalam ruangan ini. Ada empat lainnya yang duduk diatas kursi yang disediakan.
"Dullahan sang kegelapan. Simon yang kuat. Shinra si pintar, dan Anri sang penyiksa,"
Absennya sambil melirik mereka satu persatu. "Sayangnya Mairu dan Kururi yang nafsu itu sudah 'menyatu' dengan Shinra. Dan Kida yang tamak juga Mikado suka bohong itu sudah 'menyatu' dengan Anri. Aku salut dengan kalian berdua,"
Mereka tentu bukan manusia. Mereka adalah makhluk yang hidup bukan di bumi, juga di akhirat tempat surga-neraka menanti umat manusia. Mereka hidup diantara itu. Dunia kematian tercipta, dunia yang gelap dan dipenuhi iblis yang siap mengganggu manusia.
"Terima kasih Izaya-sama," ucap Shinra dan Anri bergantian. Namun sang pemilik mereka hanya memandang dengan tatapan penuh arti.
"Aku bosan, tidak ada 'permainan' baru?" ia menutup matanya sambil memalingkan wajahnya.
Mereka adalah bagian dari makhluk yang bernama Izaya itu. Dia adalah salah satu dari beberapa dewa iblis yang 'melahirkan' beberapa sifatnya untuk menggoda manusia. Ada tujuh sifat yang ia lahirkan untuk dijadikan iblis yang menggoda manusia.
Kegelapan, setiap manusia mempunyai kegelapan dalam hatinya. Jika kegelapan itu semakin meluas, tentu manusia akan tertekan dan banyak kemungkinan akan terjadi. Kekuatan atau kekerasan, yang kuat akan memakan yang lemah begitu bunyi hukum rimba. Manusia yang kuat dan merasa berkuasa pasti akan merasa hebat dan berhak menindas siapapun.
Kepintaran atau kelicikan. Sifat alamiah iblis, manusia juga pasti memilikinya walau tidak semua. Nafsu atau hasrat, berbagai macam nafsu tercipta dari keinginan manusia. Tugas paling mudah bagi para iblis untuk menggoda manusia. Penyiksaan atau saling bunuh, sebenarnya ini adalah cabang dari nafsu, namun iblis juga suka saling membunuh dan memakan sesama agar lebih kuat.
Ketamakan, sifat alamiah manusia dan iblis. Salah satu tugas termudah juga untuk menggoda manusia. Kebohongan, termasuk tugas mudah yang diemban iblis. Kebohongan pasti terjadi, tidak dapat ditahan lagi oleh para manusia.
Dari tujuh sifat yang dimilikinya, ia bagi dan 'melahirkan' iblis baru yang mengemban tugasnya sesuai sifat yang terbagi. Tapi sifat alamiah iblis yang membunuh satu sama lain agar lebih kuat tidak dapat dipungkiri. Sekalipun iblis itu ciptaan dari dewa iblis, jika ia kuat, maka ia akan membunuh yang menciptakannya.
Dan saling membunuh tidak sembarang dilakukan, salah satu dari iblis itu harus ada yang menantangnya. Jika menang, yang kalah akan berubah menjadi api dan masuk kedalam tubuh iblis yang menang. Kekuatan atau sifat iblis yang kalah akan dimiliki oleh iblis yang menang. Kalau iblis tidak menantang musuhnya, melainkan langsung membunuhnya. Yang membunuhnya-lah yang akan mati.
"Aku benar-benar bosan~! Kalian lakukanlah sesuatu untuk menghiburku!" pekiknya sambil tersenyum licik. Iris merah darahnya tidak lagi ia sembunyikan. Hening, tidak ada yang menjawab. Semuanya terlalu takut akan pemiliknya, dan Izaya tahu persis apa yang mereka pikirkan—karena mereka bagian dari dirinya.
"Haaah, susah payah aku menciptakan kalian. Dengan tetesan darahku, dan juga sihir yang menyiksaku, aku rela menciptakan kalian untuk yang kesekian kalinya. Tapi, sekarang adalah yang terburuk. Kalian tahu kenapa?"
Tidak ada yang menjawab, mereka tahu persis kekuatan dan kengerian dari pemiliknya. "Karena kalian tidak bisa berevolusi lebih dari ini! Terlebih kau, Dullahan,"
Iblis kegelapan yang berbentuk menyerupai seorang wanita tanpa kepala dengan pakaian serba hitam itu sedikit bergetar.
"Kau yang paling sedikit mengalahkan anak buah dari musuh bebuyutanku, Namie. Kenapa?"
"Maafkan saya," suaranya tidak terucap—karena ia tidak punya kepala tentunya, melainkan langsung terdengar dalam kepala seperti telepati.
"Sayang sekali. Shinra, maukah kau menghukumnya?" sekali lagi senyum liciknya menghiasi wajah pucatnya. Shinra membuka matanya lebar-lebar seakan terkejut. "Ke-kenapa—" kalimat Shinra tidak tersampaikan dengan sempurna.
"Kau mau menolak? Karena kau suka padanya?" tebakan jitu dari pemiliknya. "Harus kuakui, baru kali ini ciptaanku saling menyukai. Jadi kalian berevolusi seperti itu? Memalukan!" selanjutnya Izaya tertawa sambil memeluk Dullahan dari belakang, memposisikan seakan kepalanya yang tidak ada itu diisi oleh kepala Izaya.
"Kalau kau tidak membunuhnya, aku yang akan membunuhnya, selanjutnya kau,"
Shinra menunduk. Menarik nafasnya dalam-dalam. "B-baiklah," Izaya membalas dengan terkekeh. Shinra beranjak dari kursinya menuju Dullahan.
"Tidak ada pertarungan? Hei, 'permainan' akan lebih menarik jika kalian saling mempertahankan kehidupan kalian," sahut Izaya dan langsung menjentikan jarinya.
Seketika itu ruangan berubah menjadi kosong, dan yang lain berdiri dekat dinding ruangan—kecuali Shinra dan Dullahan. "Kuberi kau senjata," Izaya membuka telapak tangannya dengan santai. Dengan sihir ia ciptakan pedang, lalu melemparkannya ke arah Shinra. Shinra menangkapnya dengan ragu, terlebih Izaya sudah memperingatinya agar menantang Dullahan.
"Aku…. Aku menantangmu, Dullahan. Aku akan membunuhmu," Shinra mengucapkan dengan pelan dan ragu. "Kau tidak memanggilnya dengan sebutan Celty?" pekik Izaya di ujung sana. Wajah Shinra sedikit merah karena menahan malu.
"Jangan segan, Shinra-kun. Tidak apa, kita akan bertemu lagi suatu saat,"
.
.
.
Pertarungan memang tidak bertahan lama, terlihat Shinra berhasil menusuk tubuh Dullahan hingga tembus. Warna cairan yang keluar bukanlah merah darah seperti yang manusia keluarkan, melainkan merah pekat dan gelap. Cairan itu tidak bertahan lama, akan segera menghilang dengan jasadnya—berubah menjadi api dan masuk ke dalam tubuh Shinra.
Izaya yang menonton pertarungan singkat tadi tentu tidak puas, dia tidak tersenyum maupun kesal. Hanya menghampiri Shinra dan menghapus air matanya.
"Membosankan. Apa aku mellihat iblis menangis? Iblis ciptaanku menangis?"
"Hmph, kau ciptaanku yang lemah ternyata," lanjut pemilik mata crimson itu. Dengan tangan kosongnya ia tusuk menembus dada Shinra. Iblis berkacamata dan bersurai hitam itu terkejut akan perlakuan 'Master'-nya.
"Ukh—maaf, Izaya-sama," dengan satu tarikan, lengannya sudah keluar dari dadanya. Shinra masih sempat berlutut dan tersenyum.
"Izaya-sama! Kau tidak menantang Shinra!" sahut Simon panik di ujung ruangan.
"Hmph!" hanya itu yang Izaya balas sambil menyungging bibirnya. Tubuh Shinra berubah menjadi api dan kembali pada pemiliknya. "Ba-bagaimana bisa?!"
"Aku tidak heran kalau kau tidak memperhatikan kata-kataku sebelumnya, Simon. Tapi, Shinra tahu betul karena ia memang cerdas,"
"Kalau kau tidak membunuhnya, aku yang akan membunuhnya, selanjutnya kau. Itu yang dikatakan Izaya-sama," ujar Anri pelan.
"Lihat! Bahkan dia lebih memperhatikanku, Simon! Kau tahu apa arti dari kata-kataku itu?" Izaya menghampiri mereka berdua dengan santai. "I-itu berarti…." Simon gugup, langkah kaki yang terdengar nyaring di telinganya itu membuatnya sedikit takut.
"Kurasa aku tidak perlu mendengar jawabanmu, Simon. Kau merasa senang saat aku membunuh Shinra tiba-tiba. Kau berpikir bahwa aku yang akan mati, dan hatimu merasa senang. Kau memang bertubuh besar dan sangat kuat. Tidak heran kau paling banyak membunuh dibanding yang lain. Tapi, rasa senangmu itu cukup menggangguku sebenarnya. Kau mengerti, Simon?"
Langkah terakhir, Izaya berdiri tepat di depan Simon. "Kau pikir, kau bisa mengalahkanku, ya?" Izaya tersenyum senang, dan senyumannya justru membuat Simon kesal. Tangan yang kuat itu dengan cepat menyentuh kepala Izaya.
"Kalau iya, memangnya kenapa?" Simon tidak peduli lagi, ia membuang rasa takutnya.
Apa yang Simon lihat sekarang justru Izaya sudah tidak ada dalam genggamannya. "Kau ingin menepuk kepalaku? Tapi, yang tadi itu sakit, lho!" Izaya sudah berada di belakang tubuh besar Simon.
"Kau memang kuat, karena itu aku sengaja menciptakan tubuhmu sangat besar sehingga tidak bisa bergerak lebih cepat dariku,"
Rasa nyeri yang tidak tertahan berasal dari dada Simon membuatnya mengerang dan jatuh. "Benar-benar, ciptaanku kali ini benar-benar yang terburuk. Mungkin ini juga salahku, saat kuciptakan kalian aku benar-benar tidak niat maupun bersungguh-sungguh,"
"Karena itu aku bosan dengan kalian,"
Izaya menatap Anri yang tenang tidak berekspresi. "Izaya-sama memang hebat seperti biasanya. Bermain dengan kata-kata adalah keahlian Izaya-sama," Anri menunduk hormat.
"Hee~ kau tahu? Kalimat mana yang kupakai untuk menantangnya?"
"Kau pikir, kau bisa mengalahkanku, ya? Itu yang Izaya-sama gunakan,"
Izaya menepuk tangannya dengan keras, menunjukkan rasa bangga terhadap satu-satunya ciptaannya yang tersisa.
"Sasuga! Sekalipun aku menggunakannya padamu, apakah kau akan mengetahuinya, Anri?"
Sejenak Anri tidak menjawab, justru ia mengeluarkan pedang dari telapak tangannya. "Kau sudah melakukannya, Izaya-sama,"
"Bagus sekali, kau terbilang cukup cepat untuk menyadarinya. Hanya permainan kata yang sederhana, tapi kau bisa menebaknya. Aku semakin membencimu,"
.
.
.
"Lagi-lagi seperti ini, pada akhirnya ciptaanku kuhancurkan sendiri," jari jemarinya meremas rambut lembut yang sangat lurus itu, rambut gadis yang baru saja ia bunuh. Perlahan ia lepaskan dan jatuh membentur lantai yang dipenuhi merah gelap. Suara tulang leher yang membentur lantai itu begitu keras, lalu kepala yang sudah lepas dari tubuhnya itu menggelinding sedikit. Izaya segera meninggalkan ruangan itu setelah 'berantakan' ini tidak tersisa.
"Aku harus mencari 'mainan' baru,"
Matahari sudah menyembunyikan dirinya di ufuk barat. Meninggalkan sedikit cahaya yang perlahan memudar, menandakan hari akan berganti gelap. Namun, anak-anak masih saja bermain di lapangan yang luas itu.
"Aaaah! Kalah lagi! Aku tidak terima! Kita lakukan pertandingan ulang sekali lagi!" seorang anak kecil protes sambil membawa bola. "Hah? Ini hampir malam, bodoh! Aku mau pulang!" sahut kapten regu yang memiliki kemenangan telak itu.
"Kau takut kalah kali ini, hah!?" tantang bocah tadi. "Hei, benar kata kapten! Besok lagi saja kita bertanding!" sahut anak-anak yang lainnya.
"Tch! Besok aku akan mengalahkanmu, Heiwajima Shizuo!" bocah itu menunjuk kapten yang pertama kali menolak pertandingan ulang. "Huh, coba saja kalau bisa!" umpatnya lalu beranjak pulang mengikuti yang lainnya.
"Sampai jumpa besok, bye!" beberapa anak yang menemani Shizuo berjalan pulang sudah tiba saatnya untuk berselisih jalan. Shizuo berhenti sejenak di depan vending machine yang menjual minuman-minuman isotonik maupun air biasa.
"Haah, melelahkan sekali," keluhnya sambil memasukkan koin dan memilih minuman untuk dirinya.
"Segarnya!" Shizuo menegak sampai habis minuman kaleng isotoniknya. "Ah, gawat! Aku bisa dimarahi kalau pulang sampai jam segini!" kaki kecilnya berlari secepat yang ia bisa agar mempersingkat waktunya menuju rumah. Saat ia berlari di jalanan yang minim pencahayaan, ia menabrak sesuatu yang menghalangi jalannya.
"Ukh—apa yang—" ia menengok apa yang menghalanginya. Walau minim pencahayaan, Shizuo sadar ia telah menabrak seseorang—orang dewasa. Orang itu cukup tinggi, karena Shizuo masih berumur sepuluh tahun. Saat Shizuo hendak minta maaf, ia terkejut saat menatap mata orang dewasa itu. Iris berwarna merah darah, itu yang paling mencolok. Seperti melihat mata kucing dalam kegelapan.
Shizuo tidak takut, tapi dia tidak bisa mengutarakan satu katapun. "Hmmm," setelah orang dewasa itu berdehem, ia melanjutkan jalannya menyeberangi jalan sempit ini menuju jalan tikus di depannya. Shizuo masih diam berdiri, menatap pria yang baru saja ia tabrak dengan tidak sengaja. Matanya tertuju pada jaket yang pria itu kenakan, jaket hitam dihiasi bulu berwarna krem lembut.
Setelah pria itu menghilang dari pandangannya, Shizuo sadar ia belum meminta maaf. "Ah! Aku akan dimarahi habis-habisan!" mengingat langit sudah benar-benar gelap, Shizuo berlari lagi lebih cepat dari sebelumnya.
.
.
.
.
.
.
"Aku pulang! Ibu, aku ingin pergi bertanding sepak bola dengan temanku sore ini," Shizuo baru saja melepas sepatunya dan menghampiri ibunya di dapur.
"Lagi? Baiklah, asal jangan pulang sampai malam seperti kemarin, ya?" Shizuo mengangguk mantap dan menyiapkan baju olah raganya.
.
.
.
"Maaf aku sedikit terlambat! Eh—mereka belum datang juga?" Shizuo mengatur nafasnya setelah ia berlari dari rumahnya menuju lapangan. "Belum, apa mereka menipu kita?"
"Atau mereka takut kalah lagi?" anak-anak yang lain sedang asyik meributkan kenapa tim lawan belum juga datang. Tapi, mata Shizuo tertuju pada orang yang duduk di bangku panjang di pinggir lapangan. Jaraknya sedikit jauh dari tempatnya berdiri, entah kenapa Shizuo yakin pernah bertemu dengan orang itu.
Matanya memfokuskan pada jaket berbulu yang orang itu kenakan, Shizuo perlahan mendekatinya. Dan saat Shizuo dan orang itu semakin dekat, Shizuo memberanikan dirinya. "Anu…." Orang itu membuka tudung yang menutupi kepalanya, memperlihatkan wajahnya yang terbilang pucat dan matanya yang sangat kontras dengan warna kulitnya.
"Ah! Paman yang tidak sengaja kutabrak tadi malam?" Shizuo memperkecil jarak antara mereka, dan pria itu terkekeh sebentar. "Paman? Apa aku terlihat setua itu?" pertanyaan yang membuat Shizuo merasa bersalah telah memanggilnya Paman.
"Ah, tidak. Etto, maaf untuk yang kemarin. Aku tidak melihat Kakak waktu itu,"
"Ya, kau memang tidak sengaja. Tapi, aku iya," mendengar perkataan dari pria itu, Shizuo memasang ekspresi bingung.
"Siapa namamu?" pria itu tersenyum ramah—dan penuh arti. "Heiwajima Shizuo," Shizuo melihat pria itu menjulurkan tangannya, mengajaknya bersalaman. "Aku Izaya,"
Butuh beberapa detik agar Shizuo mau membalas uluran tangan itu. 'Orang yang aneh,' itu yang terukir dalam kepala Shizuo. Tak lama mereka bersalaman, pria yang bernama Izaya menatap serius Shizuo. "Oh, iya. Soal tim yang menjadi lawanmu, mereka tidak akan datang. Jadi, percuma saja kalian menunggu di sini,"
"Eh? Kenapa Izaya-san bisa tahu?" Shizuo sebenarnya tidak percaya. "Kau akan tahu sebentar lagi," sebuah senyuman yang terlihat lembut itu membuat Shizuo bertambah heran.
"Shizuo-kun!" sebuah suara dari temannya yang kini menepuk pundak Shizuo, menganggetkan si pemilik nama.
Melihat temannya memasang ekspresi heran dan takut, Shizuo hendak bertanya namun temannya-lah yang memulai terlebih dahulu. "Kau ini kenapa!? Sedang apa kau berdiam diri terus di sini!?" Shizuo tak kalah herannya. "Itu yang seharusnya kukatakan—"
"Kau sudah sejam berdiri di sini, tahu? Kami kira kau sedang melihat keadaan sekitar apakah tim lawan sudah datang apa belum. Ternyata kau hanya diam tidak bergerak hampir satu jam!"
"Ha? Tunggu, satu jam? Aku tidak diam, aku sedang mengobrol dengan Izaya-san—" saat Shizuo melihat bangku yang ia tunjuk, tidak ada siapa-siapa yang mendudukinya.
"Kau berhalusinasi? Sejak awal tidak ada siapa-siapa yang duduk di sana, Shizuo! Ayo kita pulang!"
"Tunggu—pulang?" Shizuo semakin heran apa yang sebenarnya terjadi.
"Tim lawan tidak datang, baru saja salah satu dari anggota tim lawan datang dan membatalkan pertandingan,"
Sebenarnya yang membuat Shizuo benar-benar dilanda kebingungan adalah, 'Lalu dengan siapa aku berbicara tadi? Hantu? Tidak mungkin, aku tidak bisa melihat mereka. Ah, sudahlah, aku tidak peduli,'
Walau dia berkata tidak peduli, tetap saja penasaran menyelimutinya. Mereka sudah berjabat tangan, memperkenalkan masing-masing dan sudah bertemu lebih dari satu kali. Sampai-sampai membuat Shizuo tidak bisa tidur. "Siapa dia? Penyihir?" gumamnya.
Saat Shizuo ingin memejamkan matanya, telinganya seperti menangkap suatu suara teriakan di depan rumahnya. Awalnya dia tidak terlalu peduli, namun setelah suara teriakan tadi, suara yang lain muncul. Shizuo yang menempati kamar di lantai dua dan jendelanya menghadap jalanan, sering mendapat gangguan. Namun tidak semencekam malam ini.
Jari kecilnya perlahan menyibak kain yang menutup jendela kamarnya. Kaca yang begitu bening, tidak jadi penghalang pengelihatannya. Shizuo melihat ada tiga orang di pinggir jalan yang gerak-geriknya mencurigakan. Dua orang terbaring, dan hanya satu orang yang kini melihat Shizuo yang mengintip dari jendelanya.
Shizuo pada awalnya kaget karena orang yang berdiri itu pasti telah membunuh dua orang yang terbaring di sana. Tapi setelah Shizuo melihat ciri-cirinya, Shizuo yakin orang itu adalah Izaya-san.
Walau tidak terlalu disinari lampu jalan, dan jaraknya yang cukup jauh juga, Shizuo baru kali ini mudah mengenali orang. "I…. Izaya-san?" gumamnya. Setelah ia menggosok kedua matanya, tidak ada apa-apa.
"Eh? Halusinasi?" Shizuo hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Akhir-akhir ini terlalu banyak kejadian janggal," keluhnya lalu kembali berbaring di atas kasurnya yang empuk.
.
.
.
Setelah memutar gagang pintu yang berukir itu, ia mengeluarkan dan mengepakkan sayap hitamnya. Membuka lebar-lebar pintu itu dan melangkah keluar. Langit yang selalu gelap, tidak menjadi halangan para iblis sebenarnya. Justru mereka sangat menyukai kegelapan. Beberapa iblis menatap Izaya yang tengah berjalan santai itu.
Saat berjalan lebih jauh lagi, selendang hitam-merahnya ditarik hingga meninggalkan sang pemilik. Izaya menengok ke belakang dengan santai, melihat selendangnya yang diambil seenaknya oleh iblis rendahan.
"Heh-heh," iblis itu terkekeh dengan wajahnya yang tidak indah. Sedetik kemudian iblis-iblis lain berkumpul didekat mereka berdua.
"Ada perlu apa denganku?" Tanya Izaya sangat santai sambil tersenyum ramah. Iblis rendahan itu memamerkan giginya yang runcing. "Kami semua menantangmu! Kalau kau bisa merebut kembali kain jelek ini dengan—"
Izaya memotong dengan cepat. "Hanya merebut? Aku bisa melakukannya lebih!" ia tertawa sarkastik. Iblis rendahan itu menggeram kesal karena merasa diremehkan. "Baiklah! Kalau kau bisa mengalahkan kami semua, kau bisa mendapatkan kembali kain jelek ini!"
"Hmmm, hanya lima puluh iblis rendahan? Lagi pula kain itu setidaknya lebih mahal dari pada nyawa kalian," ejek Izaya.
"Si-sial, jangan remehkan kami, dasar kau dewa—" iblis lain yang meneriaki Izaya itu tidak dapat meneruskan kalimatnya. Karena kepalanya sudah tidak ada pada tempatnya.
.
"Haaah, sudah kubilang, bukan? Lagi pula kalian memang pantas diremehkan!" Izaya tertawa di atas genangan darah iblis. 'Indahnya darah, walau tidak bertahan lama. Tidak seperti darah manusia,'
"Bahkan aku bosan bermain di dalam dunia ini. Ah! Benar juga! Sebaiknya aku pergi ke dunia manusia, kebetulan aku 'lapar' dan 'haus'. Dan, mungkin saja aku bisa menemukan 'mainan' yang baru," Izaya bergumam, lalu melukai kulit ibu jarinya. Meneteskan beberapa tetes darah di atas telapak tangan yang satunya, begitu kontras dengan warna kulitnya.
Ia genggam darahnya sendiri, sambil berbisik. Lalu ia ulurkan tangannya ke depan dan membuka genggaman tangannya seolah menggapai sesuatu. Tak lama pintu menuju dunia manusia perlahan muncul dan terbuka. Angin hangat menyambut Izaya yang hendak melewati pintu itu.
"Senja di bumi, ya?" gumamnya sambil menginjak tanah di atas bumi. Pintu di belakangnya menghilang dengan cepat.
"Tidak banyak berubah ketika terakhir kali aku kemari," Izaya terbilang sering mengunjungi bumi hanya untuk mencari 'makan' untuk dirinya.
"Saatnya mencari 'cemilan' lalu mencari 'mainan'," makanan untuk iblis adalah nyawa manusia yang terhasut oleh godaan iblis. Iblis mempunyai kemampuan umum, bisa membaca hati manusia. Karena itu, mudah bagi iblis untuk merasuki manusia dan membisikan serta menghasut agar melakukan hal buruk.
Izaya mengepakkan sayap kelelawarnya, terbang melintas di antara gedung-gedung tinggi. Sambil mendengar keluhan dan perkataan dari isi hati orang, Izaya mencari manusia yang mudah dirasuki.
'Kenapa tidak kucoba saja untuk meninggalkan dunia ini?'
Seuntaian kata dari hati seseorang menariknya. Seorang gadis yang sedang berdiri di belakang pagar pembatas gedung. "Ketemu~!" Izaya dengan cepat mendekati gadis manis itu, rambutnya yang kecoklatan dan dikuncir dua itu menambah kesan imut dari penampilannya.
Izaya paham apa yang terjadi pada gadis itu. Keluarganya tetap baik-baik saja walau foto-foto ayahnya yang selingkuh itu diketahui oleh ibunya. "Manusia memang selalu menarik," Izaya terkekeh sedikit dan mencoba menghasut gadis itu.
"Kalau begitu jangan ragu, ini kesempatanmu agar kalu menghilang dari dunia ini. Biar orang tuamu tahu apa yang kau rasakan," hasutnya.
Begitulah para iblis mengerjakan tugasnya. Setelah manusia terhasut dan mati, iblis berhak memakan jiwa manusia itu. Jika iblis mencoba mencuri jiwa manusia tanpa menghasutnya, seperti mati disaat sakit atau tanpa terhasut iblis, para malaikat akan mengejarnya dan memburu iblis itu.
Jemari lentiknya menyentuh darah yang hangat, darah yang baru saja mengalir dari sumbernya. Lidahnya menyapu jemarinya yang dilumuri darah itu. "Lezat," gumamnya. Iris merah itu memandang tubuh gadis yang sudah membentur tanah. Nyawanya sudah ia telan, darahnya ia nikmati.
.
Langit semakin redup, matahari semakin menenggelamkan dirinya. Izaya diam-diam menyukai momen ini, di mana gelap akan hadir. Ia melihat refleksi langit di atas air yang ia pijak. Tentu, refleksi dirinya tidak ada, dia bukan makhluk dari dunia yang sekarang dikunjunginya.
Telinganya yang runcing mendengar teriakkan kecil dari lapangan didekat sungai ini. Ia juga mendengar suara-suara isi hati dari anak kecil di sana.
'Sial! Aku tidak boleh kalaaaah!'
'AH! Gawat! Dia akan menciptakan gol lagi!'
'Tendangannya begitu kuat!'
Izaya memutuskan untuk melihat anak-anak yang sedang bermain itu dari atas. Dia melihat bocah yang baru saja mencetak gol itu. Rambutnya yang hitam kecoklatan basah karena keringat, membuatnya semakin terlihat natural. Dia tertawa riang bersama teman-temannya.
"Aaaah! Kalah lagi! Aku tidak terima! Kita lakukan pertandingan ulang sekali lagi!" seorang anak kecil yang tersulut amarah karena kalah itu berteriak.
"Hah? Ini hampir malam, bodoh! Aku mau pulang!" mata crimson Izaya tertuju pada anak yang memberikan kemenangan telak itu. Izaya menatap lekat dan membaca pikirannya.
"…. Anak yang menarik," Izaya tersenyum sumringah. Seakan ia telah menemukan sesuatu yang menarik. Izaya mengetahui dengan cepat seluk beluk kehidupan anak itu. Heiwajima Shizuo, yang mempunyai adik yang sangat pendiam dan terkadang mereka bertengkar karena masalah kecil.
Shizuo disegani oleh temannya di sekolah, popular dan disayangi guru juga. Walau masih kecil, ia tidak takut apapun dan mampu memimpin. 'Menarik. Bagaimana kalau kuhancurkan saja hidupmu yang seperti itu, Shizu-chan?'
Iblis sangat suka menggoda, merusak, dan merubah hidup manusia.
Izaya menunggu Shizuo melewati jalan menuju rumahnya. Dengan kekuatannya, Izaya membuat lampu jalan disekitarnya padam dan ada yang meredup. Selendangnya ia tarik sampai bahunya, kakinya ia langkahkan maju sampai ditempat tergelap dalam jalan itu. Di saat itu juga pakaian yang Izaya pakai berubah.
Pakaian sederhana, celana panjang dan sepatu pantofel. Kaos V-neck senada dengan celana dan sepatunya—hitam, dan jaket hitam dihiasi bulu-bulu lembut pada ujung-ujungnya. Ia sentuh bulu-bulu berwarna krem lembut itu. "Tidak buruk," ia menilai penampilannya sendiri. ia sengaja merubah penampilannya agar bisa dilihat oleh targetnya—benar-benar seperti manusia.
Tidak ada lagi kuku panjang nan hitam, telinga runcing, dan gigi taring yang benar-benar tajam. Dengan wujud manusia ini, Izaya menyimpan kekuatannya dalam cincinnya yang masing-masing memeluk jemari telunjuknya.
Suara langkah kaki terburu-buru membuat Izaya tersenyum lebar. 'Gawat! Aku bisa dimarahi! Aku harus cepat!' suara yang Izaya kenal walau baru ketemu sekali. Ia sengaja menyembunyikan dirinya dalam gelap. Menunggu di mana Shizuo akan berlari menabraknya. Semua sudah terencana. Shizuo telah menabraknya, di saat itu Izaya menaruh sihirnya. Hanya Shizuo yang bisa melihatnya dalam wujud apapun.
.
Esok datang, Izaya juga sudah memasang penghalang pada tim yang akan menjadi lawan Shizuo. Dengan sengaja Izaya menarik perhatian Shizuo, dan sihirnya berjalan lancar. Teman-temannya tidak bisa melihat Izaya. Dan saat salah satu dari temannya Shizuo mendekat dan menepuk pundak Shizuo, Izaya berubah dan terbang dengan cepat. Ia sengaja melakukannya agar Shizuo merasa janggal.
'Tidak hanya hidupmu yang akan kuhancurkan, ragamu akan 'kumainkan', Shizu-chan!'
Tidak hanya itu ulah dari sang dewa iblis ini. Malamnya, Izaya sengaja menghasut orang yang terlanjur mabuk alkohol itu menggoda wanita yang lewat. Tepat persis di depan rumah Shizuo, lelaki yang mabuk itu menggoda wanita yang lewat. Wanita itu menolak dan hendak lari, Izaya dengan sengaja melakukan sedikit sihirnya agar wanita itu jatuh. Tentu, lelaki yang mabuk itu menangkapnya dan hampir memperkosanya.
Izaya justru menghasut wanita itu agar mengambil gunting yang ia bawa di dalam tas kecilnya. Membisikan bahwa wanita itu harus menusuk lelaki yang mabuk agar bisa lepas dari tangannya. Wanita itu panik, dan menurut apa yang iblis itu bisikan. Wanita itu tanpa ragu menusuk leher lelaki yang mabuk, yang menindih tubuhnya.
Karena kepanikannya-lah, wanita itu justru berteriak dan kesusahan untuk menyingkirkan tubuh yang mengejang menanti kematiannya. Ia takut akan darah, dan apa yang telah ia lakukan. Izaya hanya tersenyum puas di samping mereka, menikmati pertunjukan yang ia rancang. Saat wanita itu sedikit lagi berhasil menyingkirkan tubuh lelaki itu, sekali lagi Izaya menggunakan sihirnya.
Lelaki yang sekarat, dan akan mencium kematiannya sedetik lagi itu tiba-tiba bergerak. Tangannya mengambil gunting yang tertancap pada lehernya dan sekuat tenaga menancapkan balik pada dada bagian kanan wanita itu. Tanpa ragu, Izaya menggerakan tubuh yang benar-benar sekarat mendekat padanya. Bagai boneka yang digerakan oleh masternya.
Lalu menggigit luka di leher lelaki itu, menghisap sedikit cairan kehidupan dan menelan jiwanya dengan cara memperlebar luka di lehernya. Wanita yang terbaring di dekat kaki Izaya itu masih hidup, setidaknya untuk saat ini. Bibirnya gemetar, ia ingin teriak namun rasa sakitnya membuyarkan semuanya. Saat Izaya mendekatinya dan mencabut gunting itu dengan tangan kosong pun wanita itu hanya memekik pelan.
Gunting itu melayang lembut dan mendarat di atas tangan Izaya, lalu menggenggamnya dan menjilat darah yang menyelimuti pisau gunting itu. "Terima kasih atas makanannya," gumamnya sambil melayangkan gunting itu lalu jatuh menancap tepat dijantung wanita itu.
"Kau makanan penutupku," Izaya berlutut dan menyentuh bibir wanita itu yang sudah memucat. Baginya, nyawa lebih nikmat saat dimakan bersama darah. Tapi, untuk wanita itu ia cukup menarik jiwanya keluar dari mulutnya dan memakannya.
"Cukup seperti ini saja, manusia tidak akan percaya jika dewa iblis yang melakukannya. Iya, 'kan, Shizuo?" Izaya berdiri dan menatap jendela Shizuo dengan tirai yang terbuka sedikit. Menatap mata anak itu dan melakukan sihir sekali lagi. Sihir fatamorgana di mata Shizuo.
.
.
.
"Selamat pagi, Ibu," ucapnya dengan malas sambil menggosok matanya yang terpejam. "Ah! Pagi, Shizuo-kun, sebaiknya kau jangan bermain dulu hari ini. Dan jangan pulang terlalu sore—apa lagi malam, mengerti?" perintah Ibunya.
Alis Shizuo hampir menyatu begitu mendengarnya. "Kenapa?" ia penasaran kenapa Ibunya sangat serius memerintahkannya seperti itu.
"Di depan jalan sana terjadi pembunuhan, kira-kira terjadi tengah malam tadi," seuntaian kalimat yang mampu membuka mata Shizuo yang tadi terkantuk sekarang melebar. "Ap—pembunuhan?" Shizuo memastikan.
"Seorang pria dan wanita, mereka tampaknya saling bunuh. Katanya pria itu mabuk dan menyerang wanita itu, dan sepertinya wanita itu panik dan hampir membunuh pria itu. Banyak yang bilang mereka berkelahi. Tapi, hanya satu beda tajam yang ada disekitar mereka, sebuah gunting. Jika benar mereka berkelahi, tapi tidak ada ribut-ribut tadi malam—apa kau mendengar sesuatu, Shizuo-kun?"
Shizuo tertegun mendengar cerita dari Ibunya itu. 'Tadi malam bukan mimpi?' Shizuo tenggelam dalam lamunannya, memikirkan; apa benar Izaya-san pelakunya? Kenapa ia lakukan itu? Dia bukan hantu gentayangan, 'kan? Tidak mungkin hantu bisa membunuh manusia? Lagi pula aku tidak percaya adanya hantu!
"Shizuo-kun?" tepukan hangat dari Ibunya membuyarkan lamunannya. "A-ah, tidak, aku tidak mendengar apa-apa!"Shizuo memilih berbohong. Dan itu membuat Izaya tersenyum di luar sana, telinga dan pikirannya kini terfokus pada pikiran bocah berumur sepuluh tahun itu.
"Hmph, kau ceritakan sekalipun tidak akan ada yang percaya," Izaya terkekeh pelan.
Sehari penuh Shizuo diam terduduk di atas kasurnya yang empuk. Matanya menatap keluar jendela, menatap garis polisi dan garis kapur di mana posisi dua mayat sebelumnya terbaring di sana. "Sebenarnya apa yang terjadi?" ia bergumam dan iris coklatnya menerawang.
"Shizuo-kun! Makan malam sudah siap!" sahut Ibunya dari bawah sana, Shizuo dengan malas turun dari kasurnya dan melangkahkan kaki kecilnya menuju ruang makan.
"Pembunuhan yang terjadi saat tengah malam itu masih diselidiki lebih lanjut. Masih banyak kejanggalan yang terjadi di tempat kejadian. Dan hasil otopsi mayat pria terdapat dua lubang seperti digigit sesuatu. Berikut komentar dari dokter yang mengotopsi mayat tersebut,"
Konsentrasi Shizuo tertuju pada televisi yang menyiarkan berita pembunuhan dekat rumahnya itu. Ia mengabaikan makanan dan pembicaraan orang tuanya.
"Di lehernya terdapat gigitan seperti gigitan binatang. Tidak mungkin wanita itu yang menggigitnya, di sekitar tempat kejadian juga tidak ada jejak anjing maupun binatang lainnya. Begitu pula rumah yang dekat dengan tempat kejadian tidak ada yang mempunyai anjing,"
Entah kenapa Shizuo berkeringat dingin. "Kakak, ada apa?" suara adiknya membuyarkan imajinasinya.
"Tidak, tidak ada apa-apa," Shizuo bergegas menghabiskan makanannya dan kembali ke kamar.
"Gigitan? Apa Izaya-san benar-benar melakukannya? Tapi aku yakin tadi malam hanyalah mimpi,"
Mata Shizuo tidak mau diam, ia menatap satu persatu petugas yang berjaga dan menyelidiki tempat itu. Lalu matanya kembali menuju garis kapur putih itu, membayangkan Izaya berdiri di sana.
"Bukan, bukan mimpi, ya?" ujarnya sambil menyentuh kaca jendelanya.
"Tentu saja bukan!" sebuah suara menyahut. Mata Shizuo menangkap bayangan seseorang di kacanya, seakan bayangan itu ada di belakangnya. Saat ia menatap ke belakang, tidak ada siapa-siapa.
"Suara itu…." Shizuo gusar. Matanya kembali menatap kaca yang masih ia sentuh. Masih ada bayangan seseorang di sana, Shizuo mendekatkan wajahnya dan memicingkan matanya. Bayangan itu kini merubah bayangan Shizuo. Wajah Shizuo digantikan oleh seseorang.
"Eh!?" Shizuo bertambah terkejut saat telapak tangannya merasa terdorong—sebuah telapak tangan yang lain mendorong telapak tangannya, keluar dari kaca jendelanya.
Telapak tangan yang pucat, besar dan memiliki kuku panjang nan hitam. Telapak tangan itu keluar dari kaca yang disentuh Shizuo sebelumnya. Ketika Shizuo hendak menarik tangannya menjauh dari benda aneh itu, justru telapak tangan asing itu yang menggenggam erat tangan Shizuo.
"Huwaa!?" Shizuo memekik kaget dan kesakitan.
Tidak hanya tangan yang muncul dari kaca, mata coklatnya menangkap kepala yang menyembul dari bayangannya sendiri—bayangan Shizuo. Sedetik kemudian seluruh tubuh keluar dari kaca itu, mendorong tubuh mungil Shizuo dan menguncinya dengan mudah. Shizuo seperti mengalami kejadian yang ada di film horror.
Namun, Shizuo tidak takut sama sekali. Ia hanya merasa kaget dan heran. "Siapa kau!?" sentaknya. Makhluk yang baru saja keluar dari kaca itu mendongak, menunjukkan wajahnya.
"Kita bertemu lagi, Shizu-chan!" nada riangnya membuat Shizuo bertambah heran.
"I-Izaya-san!? Kenapa—apa-apaan ini!?" Shizuo mencoba memberontak, tapi tubuhnya sama sekali tidak dapat bergerak. Seperti ada yang mengikat seluruh tubuhnya.
Izaya menegakkan tubuhnya, ia menumpukan beratnya pada lututnya. Menatap mata Shizuo yang nanar, melirik tubuhnya yang sedikit bergerak tak berdaya di antara kakinya yang sedang berlutut itu.
"Hmmp, kau benar-benar menarik. Anak-anak normal lainnya pasti akan berteriak dan menangis—atau mengompol. Kau hanya berpikir apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana aku bisa bergerak bebas dan menjauh dariku, benar?"
Pikiran Shizuo terbaca, iris coklatnya tidak lagi terlihat bingung. "Kalau begitu apa maumu?" mendengar seperti ditantang, Izaya tersenyum lebar. Ia sangat senang melihat reaksi anak yang sedang terkunci di bawahnya itu. "Mauku? Sebelum itu,"
Izaya sengaja memotong kalimatnya sendiri. Ia menjentikkan jarinya, merubah lampu di ruangan ini menjadi redup, lalu melihatkan sebenarnya apa yang terjadi pada tubuh Shizuo. "Itulah mengapa tubuhmu tidak bisa bergerak," jelasnya sambil menunjuk ular-ular yang melilit Shizuo.
Shizuo hanya menunjukkan wajah kesalnya karena tidak bisa bergerak maupun menyingkirkan ular-ular yang melilit tubuhnya.
"Dan, seperti yang kau lihat. Wujudku sedikit berbeda saat kemarin kita bertemu. Ini adalah wujud asliku, hanya segelintir orang yang bisa melihatnya. Tapi, aku sengaja menaruh sihirku padamu agar bisa melihatku," jelasnya setengah-setengah.
"Kau penyihir?" Tanya Shizuo asal-asalan, ia seperti tidak peduli betul terhadap yang dialaminya ini.
"Bukan, aku lebih hebat dari itu," Izaya memancingnya, bermain tebak-tebakkan. "Jika kau bisa menebaknya, aku akan melepaskanmu,"
Shizuo terdiam sejenak, berpikir dan berpikir. 'Benar-benar anak kecil yang masih polos,' Izaya bergumam dalam hatinya.
"Kalau begitu, kau Vampir! Pasti! Dari pakaianmu yang seperti itu, benar, 'kan?" Shizuo bersemangat. "Ayo cepat lepaskan aku dasar makhuk aneh!" gerutunya.
"Sayang sekali, kau masih harus seperti ini, tebakanmu salah,"
Shizuo mengernyitkan dahinya. "Huuh! Kalau begitu apa!? Siluman? Monster? Hantu?" Shizuo menyebut semua yang ada dipikirannya. Izaya hanya terkekeh sambil menggeleng.
"Semua salah, menyerah?"
Shizuo ikut menggeleng. "Belum! Aku tidak akan meyerah sampai tebakanku benar dan lepas dari ular-ular ini!"
"Setelah benar dan lepas dari ular ini, kau mau apa?" Izaya berbalik bertanya.
"Mengusirmu," jawab Shizuo dengan wajah kesalnya. Membuat Izaya semakin tertarik.
"Kalau begitu, aku memberimu satu bantuan. Aku lebih hebat dari manusia, dan akan terus mengusik manusia,"
Shizuo merenung, memikirkan jawabannya. "Di mana ada bantuan, kesempatan semakin menipis. Aku hitung mundur. Tiga, dua…."
"Iblis!" Shizuo setengah berteriak. Izaya mentap mata sang anak kecil itu, begitu yakin.
"Yah, kali ini aku tidak bisa bohong," Izaya mengayunkan telunjuknya, seketika itu ular-ular yang melilit tubuh Shizuo menghilang.
"Dan sekarang aku mengusirmu—"
"Tidak secepat itu," Izaya menarik tubuh mungil itu, menarik ke dalam pelukannya.
"Akan kuberi hadiah karena kau berhasil menebak siapa aku," bisik sang iblis. Shizuo yang baru sadar ia berada dipelukan iblis, berusaha mendorongnya. Namun usahanya sia-sia. Shizuo merasa panas, terutama bagian lehernya.
Sakit dan panas, ia ingin berteriak namun tidak ada suara yang keluar. Iris coklatnya melirik apa yang sebenarnya terjadi. Surai hitam itu menutupi pemandangannya, Shizuo mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. 'Aku…. Izaya-san menggigitku?'
Shizuo merasa tubuhnya melemah. Seperti energinya perlahan berpindah, terhisap, dan menghilang di ujung rasa sakitnya. Matanya sayu, pandangannya semakin kabur. "Iza…."
Bibir mungilnya tidak lagi bisa mengucapkan kata-kata. Izaya menjilat luka yang ia beri pada leher mungil itu.
"Benar-benar manis," ujarnya sambil membaringkan tubuh mungil itu di atas kasur yang lembut. Tak lupa Izaya menyelimuti tubuh yang tak bergerak lagi itu. "Selamat menikmati tidurmu," Izaya tersenyum sambil mengusap ujung bibirnya yang kotor terkena darah.
-TBC-
Chap 1 selesaaai! Eiyaaa gajee gajeee ~ lupaka typo, EYD melenceng dikit dan absurdnya~ XD #dihajar
Yaah maaf gaya tulisanku lagi mengalami kegalauan, terutama pada jeda. Biasanya aku kalau yang memakau POV, dulu aku tulis. Namun, sekarang aku tidak menulisnya karena saya senang bikin pembaca bingung #EH #mintadigampar
Ehehe~ ga terlalu serius sih(?) tapi lagi suka tanpa embel-embel(?) POV gitu.. paling aku kasih ciri; jarak atau lirik (translate) yang kuselipkan aja..
Untuk chap satu ini full sudut pandang tiga.. kita lihat chap 2 bakal ada apa(?) apakah lemon? Atau samthing(?)? #dihajarlagi
