Seorang pemuda menatap poster sederhana berukuran A5 yang tertempel rapi pada tembok di hadapannya. Tidak potret seseorang di sana—hanya poin-poin dengan kalimat pendek, serta nama dan nomor telepon pada bagian bawahnya. Sebuah poster lowongan kerja part-time—sebagai pengasuh anak.
a 2017 NARUTO x Diamond no Ace crossover fanfiction
.
KAIROSCLEROSIS
© Andromeda no Rei
.
Standard Disclaimer Applied
.
drama, family, romance, friendship, R15+
Alternate Universe
Alternate Reality
.
.
.
"Lho, Sasuke-niisan?"
Uchiha Sasuke menoleh ketika mendengar suara yang tidak asing memanggilnya. Seorang gadis bertubuh gemuk dengan kulit eksotis dan bola mata emas. Sasuke kenal abg ini, Akimichi Chouchou, teman dekat adik sepupunya, Uchiha Sarada. Sasuke melirik papan nama di atas pintu kaca tempat Chouchou baru saja keluar. Kedai yakiniku. Benar juga, Sasuke baru ingat kalau ia sedang beridiri di sebelah kedai sederhana milik keluarga Chouchou.
"Sedang apa di sini?" Chouchou mendekati Sasuke yang tak bereaksi dan kembali menatap poster kecil di hadapannya.
"Hanya kebetulan lewat," jawab Sasuke sekenanya. Ia tampak berpikir keras.
Choucou mengikuti arah pandang sepupu sahabatnya itu. "Oh, lagi cari lowongan kerja sambilan, ya? Poster itu bibi Sakura yang tempel."
"Kau kenal?" Sasuke menoleh cepat.
"Un! Temannya papa!" jawab Chouchou ceria—ia merasa luar biasa senang telah berhasil menarik perhatian pemuda tampan itu. "Baru seminggu yang lalu ditempel. Tapi ini, umm… bibi Sakura sedang mencari pengasuh untuk anaknya, lho. Memangnya nggak pa-pa?"
Sasuke menautkan alisnya. Ia memang masih ragu.
Sebenarnya ia sekedar ingin mencari suasana baru. Bulan April lalu, ia baru saja resmi melepas status murid SMA dan menyandang status sebagai mahasiswa baru di Universitas Konoha. Berbagai klub menawarkan bermacam kegiatan menarik padanya. Sebagai alumni klub basket di sekolahnya, seharusnya mudah saja bagi Sasuke untuk menerima tawaran langsung dari kapten tim basket di kampusnya. Sayangnya, ia sedang tidak ingin mengikuti kegiatan ekstra apa pun di kampusnya. Ia ingin mencoba satu hal yang sudah banyak dilakukan teman-temannya sejak SMA, namun belum pernah dilakukannya.
Kerja sambilan.
Ia hanya sedang bosan—sangat bosan. Jadi ia ingin menantang dirinya yang kakaknya bilang antisosial ini untuk bersosialisasi dengan orang-orang di luar lingkar pertemanan maupun keluarganya. Karena itu sejak awal bulan Mei ini ia terus mencari pekerjaan apa yang cocok untuk orang sepertinya—yah, apa pun yang tidak terlalu perlu banyak berurusan dengan orang lain. Jelas kasir minimarket atau pelayan café langsung di-blacklist-nya—sehingga pada akhirnya ia membuat batasan agar sesuai dengan mood-nya. Huh, apanya yang menantang diri sendiri, keluhnya.
Tapi—pengasuh anak?
Sasuke menimang-nimang, mengasuh anak seharusnya mudah saja. Lagipula jumlah orang yang akan berurusan dengannya nanti akan terbatas pada keluarga inti si anak.
Hmm, tidak buruk.
"Kau pernah bertemu anak yang dimaksud di sini?" Sasuke berusaha mengorek informasi dari Chouchou. Ia beruntung, setidaknya bisa mendapat gambaran seperti apa pekerjaannya nanti dan bagaimana mengatasinya. Ia tidak terbiasa berurusan dengan anak kecil, dan sejujurnya saja—tidak tertarik. Tapi perkerjaan ini tampak mudah baginya.
"Hmm… kalau yang dimaksud Haruichi, terakhir aku bertemu dengannya waktu dia masih bayi, sih."
"Bayi?!" Sasuke menaikkan nada bicaranya tanpa sadar.
"Ahaha, tapi itu sudah beberapa tahun yang lalu," lanjut Chouchou berusaha menenangkan Sasuke. "Jadi mungkin sekarang dia sudah umur lima tahun."
Sasuke menghela napas—sedikit lega. Lima tahun, berarti masih TK—dan anak TK biasanya sudah bisa mengerti peraturan-peraturan sederhana.
Lagi-lagi Sasuke menghela napas, dan kali ini tersenyum tanpa ia sadari. Oke, ini pasti mudah, pikirnya percaya diri.
Chouchou memperhatikan Sasuke yang mengetik sesuatu pada ponselnya. "Sasuke-niisan serius nih?" ujarnya tak percaya. Anggukan kecil dari Sasuke membuat gadis tiga belas tahun itu geleng-geleng takjub. Ia sungguh tak menyangka. Pasalnya, pemuda ganteng di depannya ini memiliki karakter yang mirip sekali dengan si Sarada: kaku, cuek, dan irit kata. Bagaimana mau mengasuh anak kecil?
Wanita yang dipanggil bibi Sakura oleh Chouchou ini pasti orang yang sibuk sehingga membutuhkan pengasuh untuk anaknya. Itu, atau—sekedar wanita kaya yang gemar berfoya-foya dan enggan mengurus anak. Mau yang mana pun Sasuke tak peduli. Lagipula ia hanya akan banyak berurusan dengan si bocah.
Haruno Sakura. Sasuke memberi nama pada nomor telepon yang baru saja disimpannya. Hanya tertera nama 'Haruno' di poster itu, tapi Chouchou menyebutnya bibi Sakura. Ia pasti teman dekat ayah Chouchou, jadi mungkin usianya masih awal tiga puluhan. Sekitar 32 atau 33 tahun? Terserah.
Sasuke mampir ke kedai yakiniku keluarga Chouchou untuk makan malam, hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih juga. Gadis berambut coklat panjang itu memekik girang dan segera mengirim chat pada Sarada, memberitahu bahwa ia sedang menemani sepupu gadis berkacamata itu makan malam di kedainya.
'Idih, gitu aja senang. Dia itu homo, tau.'
—itulah balasan chat dari Sarada yang ditunjukkan Chouchou pada Sasuke.
Pemuda berusia delapan belas tahun itu mendengus sebal dan kembali melahap potongan dagingnya yang telah matang.
Keesokan harinya setelah selesai dengan kuliah jam pertama, Sasuke menghubungi nomor yang baru disimpannya kemarin. Semalaman ia berlatih menggunakan bahasa formal, juga berusaha menyisipkan nada ramah pada intonasinya.
Sasuke harus mendapatkan pekerjaan ini. Lalu ia akan tunjukkan pada kakaknya, Itachi, bahwa ia bukan orang yang antisosial, bahwa ia tidak alergi pada orang asing.
Terdengar bunyi tuut tuut pelan yang familiar bagi telinga Sasuke, namun entah kenapa—nada itu membuatnya sedikit grogi. Ia belum pernah menelepon orang asing sebelumnya.
Suara yang menyambutnya di seberang sana sangat bening namun terkesan tegas.
Sasuke menelan ludah. "Maaf, apa aku sedang berbicara dengan Haruno-san?" —pilihan katamu, Sasuke! jeritnya dalam hati.
"Ya."
Sasuke menghela napas panjang sebelum mengutarakan maksud dan tujuannya menelepon wanita itu. Di luar dugaan, Sakura justru terdengar sangat ramah dan ceria setelahnya. Wanita itu bahkan mengajaknya bertemu hari itu juga.
"Pukul 4 sore ini di Hokagebucks distrik Tsudzuki bagaimana?"
Sasuke tampak mengira-ngira. Satu-satunya Hokagebucks yang ada di distrik Tsudzuki itu cuma di sebelah rumah sakit besar perfektur Hi. "Yang di sebelah RSU Konoha itu?"
"Benar, tepat di sebelahnya. Apakah terlalu jauh?"
"Tidak, tidak apa-apa. Hanya dua puluh menit dengan subway."
"Baiklah kalau begitu."
Suara Sakura di seberang sana tampak buru-buru mengakhiri sambungan teleponnya setelah kesepakatan mereka. Apakah dia sesibuk itu?
.
.
Sasuke merapikan gulungan lengan kemeja abu-abunya setelah meletakkan cangkir latte-nya. Ia sengaja datang lebih cepat tiga puluh menit sebelum waktunya. Ia tak ingin terlihat tidak serius dengan datang terlambat.
Duduk di dekat jendela dan menghadap langsung ke arah pintu utama, Sasuke tak henti memperhatikan setiap orang yang masuk ruangan sejuk beraroma kopi itu.
Bukan yang ini.
Bukan yang itu.
Haruno Sakura ini lama sekali. Sasuke mulai menggerutu dalam hati, padahal waktu masih menunjukkan pukul empat lewat lima menit.
Tak lama, pintu terbuka dengan sedikit kasar, menampilkan sosok wanita yang tampak mencari-cari sesuatu—mengabaikan ucapan salam 'irasshaimase!' hangat dari seorang barista di balik counter.
Wanita itu akhirnya bertemu pandang dengan Sasuke dan seketika tersenyum. Sasuke hanya mengangguk kecil dan berusaha tersenyum—kikuk. Ah, mungkin ini Haruno Sakura. Wanita itu mengenakan blouse merah maroon dan celana selutut berwarna gading. Tubuhnya dibalut jas putih dengan pulpen di saku atasnya. Rambutnya yang merah muda pendek sebahu tampak rapi dengan bandana merahnya.
Oh, seorang dokter ternyata.
Pantas saja ngajak ketemuan dekat rumah sakit.
"Uchiha Sasuke?" wanita itu menyapa setelah sampai di depan meja Sasuke. Pemuda itu segera berdiri dan membungkuk hormat.
"Yoroshiku onegai shimasu, Haruno-san."
Sakura tertawa pelan seraya duduk di depan Sasuke. "Santai saja! Yoroshiku ne!" balasnya. "Aku tidak menyangka orang pertama yang mendaftar adalah laki-laki—masih muda lagi."
Sasuke tersenyum kikuk. "Hanya kebetulan," ujarnya pelan. Ia tak tahu harus merespon seperti apa. Kemudian diamatinya wanita itu sekali lagi. Ternyata dahinya cukup lebar—tidak terlalu kentara karena poni menyamping yang sedikit menutupinya. Sepasang matanya bulat dan berbulu lentik, dengan iris berwarna viridian cerah. Kulitnya putih bersih dan ada sedikit keringat di pelipisnya.
Dokter yang cantik.
Suara Sakura membuat Sasuke mengembalikan atensinya untuk menatap langsung lawan bicaranya. Sakura mengeluarkan ponsel dari saku jas putihnya dan menyodorkannya pada Sasuke.
Foto dua orang anak kecil dengan warna rambut yang sama dengan Sakura.
Tunggu, ini anak laki-laki apa perempuan?
"Yang lebih tua itu Ryousuke, tujuh tahun," ujar Sakura seakan membaca pikiran Sasuke. "Si kecil itu Haruichi, masih TK."
Sasuke masih memegang ponsel putih Sakura sambil memperhatikan ibu dua anak itu menjelaskan tentang apa-apa yang akan ia kerjakan selama menjadi pengasuh anak-anaknya. Sasuke tidak banyak bertanya atau pun tampak keberatan dengan deskripsi yang dijabarkan Sakura. Ia merasa dapat menyanggupi seluruh pekerjaannya nanti. Ia hanya perlu membagi waktunya dengan baik dan mengakrabkan diri dengan kedua bocah itu.
Ini benar-benar akan mudah. Kepercayaan diri Sasuke semakin tinggi semakin ia memikirkannya.
Pertemuan mereka di Hokagebucks sore itu ditutup dengan ajakan Sakura untuk mengenalkan Sasuke kepada anak-anaknya secara langsung setelah shift-nya di rumah sakit selesai.
.
.
"Biasanya sepulang sekolah Ryou-chan akan langsung ke tempat Haruichi dan sama-sama menungguku menjemput mereka di sana."
Sasuke sedikit terengah ketika mengimbangi jalan Sakura yang di luar dugaannya sangat cepat. Padahal wanita itu tampak sangat tenang. Apa cara jalannya memang selalu seperti orang terburu-buru begini? Sasuke heran, padahal sepupunya yang tomboy saja, Sarada, kalau berjalan tidak secepat ini.
Dieratkannya genggamannya pada plastik putih berisi bahan makanan yang baru saja Sakura beli di supermarket. Untuk makan malam, katanya—dan malam itu, Sasuke diajak ikut makan malam di rumah mereka.
"Tapi sejak Ryou-chan ikut kegiatan ekstrakulikuler bisbol di sekolahnya, dia baru akan datang dan menemani Haruichi ketika sudah sangat sore." Sakura melanjutkan ceritanya dengan nada sedih kali ini. "Karena itu Haruichi jadi sering murung, sedangkan aku tidak bisa mengubah jadwal dalam waktu dekat."
"Karena itu Harno-san mencari pengasuh paruh-waktu?" Sasuke berusaha memahami kondisi keluarga ini, siapa tahu bisa menjadi bekal ketika ia berhadapan dengan dua bersaudara itu nanti.
"Begitulah," desah Sakura seraya menarik napas panjang. "Harapannya agar bisa menemani Haruichi—anak itu mulai sering bosan berlama-lama di sekolah sejak Ryou-chan sering datang terlambat."
Sasuke mengangguk paham. Dilihat dari sudut mana pun, ia paham Sakura adalah tipe ibu pekerja keras. Wanita itu bahkan seolah tak pernah memperhatikan dirinya sendiri. Kantung matanya yang sedikit menghitam kini tampak jelas di bawah penerangan lampu-lampu trotoar yang mulai menyala.
Wanita ini tampak sangat kelelahan—dan mungkin sedikit stress memikirkan putra bungsunya. Duh, ke mana suaminya?
Sasuke memelankan langkahnya ketika Sakura membuka gerbang setinggi satu meter dan masuk ke area taman kanak-kanak yang telah sepi. Ia hanya mengekori Sakura dengan tenang, berusaha tidak terlihat terlalu mencolok.
Sakura memekik gembira ketika ada suara cempreng yang meneriakkan 'Kaa-chan!' padanya. Sasuke dapat melihat wanita itu berjongkok dan memeluk seorang bocah mungil berambut pendek dengan poni kelewat panjang yang menutupi kedua matanya. Bocah itu tergelak. Di belakangnya ada seorang anak laki-laki yang sedikit lebih tinggi dengan mata yang luar biasa sipit. Seluruh tubuhnya tampak kotor oleh debu dan tanah.
Ryousuke dan Haruichi. Sasuke menaikkan sebelah alisnya melihat betapa mungilnya tubuh kedua anak itu, sangat kontras dengan Sakura yang cenderung tinggi bahkan ketika tanpa high-heels-nya.
"Kaa-chan."
Sasuke baru akan kembali mengalihkan perhatiannya pada Sakura ketika didengarnya suara kalem yang ia yakini sebagai suara Ryousuke. Bocah itu menatap ke arahnya dengan alis bertautan.
"Hmm?"
"Dia siapa?" lanjut Ryousuke tanpa melepas pandangannya dari Sasuke.
Sakura baru akan menjawab ketika seorang guru laki-laki dengan celemek hijau berlogo TK Konoha menyapa dan menghampirinya. Wanita itu langsung menegakkan tubuh dan terlibat pembicaraan mengenai Haruichi dengannya—seketika melupakan keberadaan Sasuke yang jelas asing bagi anak-anaknya.
Sasuke berdiri kaku. Ia ingin mengatakan sesuatu—tapi apa? Ia bingung sendiri, padahal mestinya sapaan ramah dan senyum hangat sudah dikuasainya setelah semalaman berlatih.
"Hai," sapanya kikuk setelah agak lama terdiam.
Kedua anak laki-laki berambut merah muda di hadapannya tidak merespon apa-apa. Haruichi merapatkan tubuh pada kakaknya, memeluk lengan kirinya. Ryousuke masih tidak merespon dan terus menatap Sasuke dengan pandangan penuh selidik.
Saat itu juga Uchiha Sasuke merasa kepercayaan dirinya sedikit goyah.
.
.
Sasuke menelan nasi kari di mulutnya dengan susah payah. Biasanya ia bisa dengan lahap makan nasi kari. Bukannya doyan, tapi memang tidak ada yang tidak suka kari—ya, 'kan? Apalagi kalau ditambah potongan tomat segar, sungguh menggiurkan bagi Sasuke. Tak terkecuali nasi kari yang tersaji di hadapannya kali ini. Memang tidak ada potongan tomat seperti yang biasa ibunya buat, tapi yang ini juga sangat enak. Sasuke mungkin akan minta tambah jika napsu makannya tidak berkurang seperti sekarang—
—ketika sepasang mata sipit menatap ke arahnya, lengkap dengan senyum misterius yang tampak luar biasa mencurigakan bagi Sasuke.
Haruno Ryousuke terus saja menatap Sasuke seperti itu sejak Sakura mengenalkannya pada mereka di perjalanan pulang.
"Namanya Uchiha Sasuke. Mulai sekarang, dia akan menjemput Haruichi tepat ketika jam pulang sekolah. Jadi Haruichi tidak perlu menunggu kaa-chan lagi dan bisa langsung bermain dengan Uchiha-kun."
Sasuke mengingat air muka Haruichi yang berseri-seri ketika mendengarnya. Jelas sekali si bungsu ini sangat antusias dengan kehadiran teman bermain di luar sekolah. Mungkin ia bisa juga mengajaknya menonton latihan bisbol Ryousuke di lapangan dekat jembatan kuil Nakano. Sasuke membuat catatan mental bahwa Haruichi sangat mengagumi dan menyayangi kakaknya itu.
Akan tetapi, reaksi yang berbeda dikeluarkan oleh si sulung Ryousuke. Bocah yang baru masuk SD itu hanya bergumam tak jelas—tidak tampak segembira Haruichi, tapi juga tak menunjukkan ketidaksukaan. Sasuke yakin Ryousuke adalah tipe kakak yang kalem, seperti Itachi.
"Kau memiliki tatanan rambut yang aneh."
Perempatan urat muncul di pelipis Sasuke.
"Ryou-chan," ujar Sakura dengan nada memperingatkan.
"Apa? Aku mengatakan yang sebenernya, kok," elak Ryousuke dengan tenang. "Bagian belakang kepalanya terlihat seperti ekor bebek. Iya 'kan, Haruichi?"
Haruichi yang duduk tepat di depan Sasuke sedikit menyerongkan tubuh untuk mendapat penglihatan lebih jelas pada kepala bagian belakang Sasuke. "Wah, benar! Seperti ekor bebek!" serunya yang disusul gelak tawa terpingkal bocah itu.
Senyum Ryousuke yang semakin lebar tak luput dari lirikan mata Sasuke. Haruichi mungkin menganggap kakaknya sedang melucu dengan objek yang juga lucu. Tapi Sasuke sadar Ryousuke sedang membulinya.
Sakura tersenyum tidak enak pada Sasuke. Mungkin sebenarnya wanita itu juga ingin tertawa, jadi Sasuke memakluminya. Saat itu juga, Sasuke memutuskan untuk tidak akan kalah pada lisan pedas seorang bocah tujuh tahun.
"Keren, 'kan?" Sasuke tersenyum, memamerkan bagian rambutnya yang mencuat pada Haruichi yang baru selesai tertawa. "Berkat ini, aku jadi populer di kampus."
"Hebaaatt!" seru Haruichi sambil bertepuk tangan. Sakura hanya tertawa melihat bagaimana Sasuke berusaha menangani anak sulungnya yang bermulut tajam itu.
Ryousuke masih tersenyum, namun Sasuke tak melewatkan kedutan kecil pada mata kiri anak itu. Tiba-tiba saja ia merasa bangga atas pencapaiannya. Mungkin terdengar remeh bagi orang lain, tapi Sasuke merasa luar biasa senang.
Genderang perang telah ditabuh.
Ia akan benar-benar menikmati baito pertamanya ini.
Sakura mengantar Sasuke sampai ke depan pagar kayu setinggi satu meter di halaman rumahnya. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam dan Sasuke tidak mau merepotkan keluarga kecil itu lebih lama lagi. Ryousuke masih asyik bermain video game di ruang tengah dan Haruichi tertidur di sebelahnya.
Tapi ada sesuatu yang mengganjal hati Sasuke. Kenapa kepala keluarga ini belum juga muncul? Ngomong-ngomong, sejak menginjakkan kaki di rumah sederhana itu, Sasuke tak satu pun menemukan foto Tuan Haruno di deretan pigura yang terpajang. Hanya ada foto bersama mereka bertiga, juga beberapa foto Ryousuke dan Haruichi ketika balita. Apa Sakura orang tua tunggal?
Sebenarnya Sasuke ingin bertanya. Tapi ia juga tak ingin melewati batas dalam mengorek privasi orang lain.
"Maaf, ya, Uchiha-kun—kami hanya bisa menyuguhimu dengan menu sederhana seperti kari," ujar Sakura sembari membuka pagar.
"Tidak apa-apa, aku suka nasi karinya." Sasuke yang seharusnya merasa tidak enak. Ajakan makan malam begini benar-benar di luar ekspektasinya. Ia jadi lebih hemat.
Sakura menggaruk sebelah pipinya. "Aku tidak terlalu jago memasak. Sedangkan anak-anak suka makanan yang bervariasi," imbuhnya. "Sebelum bercerai, biasanya suamiku yang akan memasak makan malam—dan aku hanya membantu. Tapi, sekarang…"
Ah, begitu. Terjawab sudah pertanyaan Sasuke tentang absennya sosok ayah dalam keluarga ini.
"Jadi, aku ingin minta tolong…" lanjut Sakura. "Jika tiba-tiba aku ada lembur, masaklah makan malam untuk anak-anak. Sebisa Uchiha-kun saja. Aku akan selalu menyediakan bahan-bahan yang lengkap di kulkas."
Sasuke tersenyum masam. Ia sendiri juga tidak jago memasak. "Aku akan berusaha," ujarnya kemudian.
"Terima kasih…"
.
.
.
Sasuke menghempaskan tubuhnya ke kasur di kamarnya. Ia lelah—dan sedikit merasa… ajaib. Ia ingat berangkat kuliah dengan perasaan monoton seperti biasanya pagi tadi. Lalu ia mendapatkan pekerjaan sambilannya yang pertama. Ia menemani seorang ibu muda berbelanja di supermarket, bertemu dua bocah yang akan diurusnya, lalu makan malam bersama orang-orang yang sama sekali belum pernah dikenalnya.
Ia capek terus-terusan tersenyum seperti tadi. Kalau sampai Itachi, kakaknya, serta Sarada dan Shisui, sepupunya, tahu akan hal ini—ia pasti diledek habis-habisan.
Meski begitu, ada debaran yang membuatnya merasa tidak sabaran, antusias.
Sakura mengatakan Sasuke boleh berhenti kapan pun yang ia mau, karena wanita itu masih belum dapat memastikan kapan ia bisa mendapatkan jadwal shift yang baru. Tapi Sasuke sama sekali tidak memikirkan hal itu. Paling tidak, ia ingin mencoba melaksanakannya dulu.
Atau setidaknya, biarkan ia memenangkan peratarungan ini dulu.
"Idih—lihat, dia senyum-senyum sendiri seperti orang kerasukan."
"Pasti sedang membayangkan adegan-adegan di film porno."
Dua suara yang sangat dikenali Sasuke membuat pemuda itu melirik sinis ke arah pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Di sana ada dua orang sepupu gilanya, Sarada dan Shisui. Sedang apa mereka di rumahnya malam-malam begini?
Sasuke segera bangkit dari pembaringannya, berjalan santai, dan menutup pintu kamarnya dengan sangat keras.
.
.
to be continued…
Author's Note
Kairosclerosis : the moment when you realize you're happy.
(aru)baito : kerja sambilan / nyambi.
Alternate reality di sini, Uchiha Sarada jadi sepupu Sasuke, Kominato bersaudara jadi anak-anaknya Sakura. Pas banget 'kan warna rambutnya samaan? Haha!
Lalu siapa mantan suami Sakura dan kenapa mereka bercerai? Akan dijelaskan di chapter berikutnya yaa ;) clue-nya adalah: karakter di Daiya no A! Siapa hayoo~
Rencananya cuma bakal jadi threeshot aja kok. Doakan, ya!
Salam,
~rei~
