Shuren Redrum

Proudly Present

Save You, Save Me

Naruto © Masashi Kishimoto

Warn(s):

BOY'S LOVE

OOC

TYPO(s)

PWP (Maybe)

NOT EYD

Bold and Italic are Flashback

Pairing : SasuNaru

No Flame, DLDR, RnR

Rate M

=Normal pov=

"Hhh….hmp….akh…. ayah…"

"Naruto…"

Sepasang tubuh telanjang sedang bergulat panas di dalam Jacuzzi kosong yang berada ditengah-tengan kamar mandi bernuansa elegan milik keluarga Uchiha. Tubuh telanjang si pirang tampak sedang menghempaskan diri ke tubuh si raven yang sedang menyanggah tak tenang di Jacuzzinya. Jacuzzi berwarna cream dengan bintik hitam itu menjadi saksi bisu atas persetubuhan tak wajar sepasang ayah-anak…kandung.

"Hmp…a…aku mau keluargh…" ucap si pirang kesusahan karena ia merasa perutnya sudah melilit dan kepalanya serasa akan meletus.

"Keluarkan, Naruto. Ayah juga akan keluar." Ucap sang ayah cepat saat ia merasakan kejantanannya yang dihimpit erat oleh rectum sang anak. "Hngh…" erang sang ayah saat ia tahu anaknya akan segera mencapai klimaks. Ia mengocok kejantanan anaknya semakin cepat dan, crot, sperma sang anak tersemprot kebadan sang ayah. "Luar biasa.." desis sang ayah saat melihat sperma anaknya yang berwarna putih dan kental dan lengket.

"Aku lelah…" bisik sang anak, Naruto, saat ia sudah meletakkan kepalanya dibahu sang ayah.

"Kita bersihkan badanmu, ok?" tawar sang ayah, Sasuke Uchiha, sambil mengangkat tubuh Naruto, melepaskan kejantanannya dari rectum sang anak. "Kemari." Sasuke mengulurkan tangannya untuk menyambut sang anak yag benar-benar tampak kelelahan.

Naruto keluar dari jacuzzinya dengan masih memegang tangan sang ayah. Keduanya berdiri dibawah shower. Sasuke menyabuni badan Naruto bak seorang anak kecil yang belum bisa mandi sendiri.

Setelah selesai dengan ritual membersihkan diri, Sasuke menidurkan Naruto di ranjang king sizenya. Yups, Sasuke dan naruto memang tak tidur bersama. Setelah melihat Naruto memejamkan mata, Sasuke kembali ke kamar mandi, menyelesaikan permainannya sendiri. Merasa sudah lega, Sasuke membersihkan diri kemudian mengistirahatkan dirinya disamping kiri Naruto. Ia memejamkan matanya setelah tadi sempat mendesah panjang.

"Hm…apa yang kau lakukan, Naruto?" tanya Sasuke kaget saat Naruto tiba-tiba duduk di perutnya.

"Ayah…"

=Naruto pov=

Setelah ayah membersihkan seluruh tubuhku, ayah menyuruhku untuk tidur. Betul, aku sudah sangat lelah. Ayah pulang telat malam ini. Setelah aku memejamkan mata, aku mendengar langkah kaki ayah berjalan menuju kamar mandi, sepertinya menyelesaikan klimaksnya. Iya, dia tak pernah mengeluarkan sperma didalamku. Aku tahu ia sayang padaku.

Sayang?

Hah, aku jadi ingat perkataan beberapa ibu-ibu yang bergosip dipasar beberapa hari yang lalu.

=Normal pov=

"Aku dengar, Sasuke sedang dekat dengan seorang gadis." Ucap si ibu A dengan membawa keranjang belanjanya, tampak keranjang itu sudah penuh.

"Bagus kalau itu terjadi. Sudah lama ia sendiri. Anaknya juga sudah besar. Sepertinya ia akan mengerti jika ayahnya ingin menikah lagi." Tambah si B dengan kerajang yang juga sudah penuh.

Entah sadar atau tidak, ibu-ibu tak tahu jika Naruto berada tak jauh dari mereka.

"Aku akan sangat bahagia jika Sasuke menikah lagi."

"Sama. Aku merasa kasihan ia sendiri selama ini."

=Naruto pov=

Apa ayah akan menikah lagi? Lalu aku? Lalu hubungan kami selama ini?

Aku sadar ayah sudah berada disampingku. Ia mendesah kecil. Aku tak tahu apa maksudnya.

Aku memutuskan untuk menatap ayahku yang sudah memejamkan matanya, entahlah apakah dia sudah tidur atau belum. Aku bangkit dari tidurku kemudian duduk di perutnya.

"Hm…apa yang kau lakukan, Naruto?" tanya ayah sedikit tersentak.

"Ayah…" panggilku dengan nada berat. Aku menatpanya nanar, ia membalas tatapanku, aku mengalihkan tatapanku kesembarang arah. Haruskah aku bertanya tentang omongan ibu-ibu penggosip itu? "Hm…aku…" aku meremas piyama ayahku saat aku tak bisa mengeluarkan satu kalimatpun. Tatapanku juga masih ku buang kesembarang arah. 'Jika ayah akan menikah lagi, itu berarti aku yang tak bisa memuaskan ayah selama ini?' batinku akhirnya. Yah, betul, kan? Jika ayah menikah, pasti ia sudah tak puas denganku.

=Normal pov=

Setelah berperang dengan pikirannya sendiri, akhirnya Naruto memberanikan diri untuk menatap onyx teduh sang ayah.

"Ayah…" panggil Naruto lagi sambil menggesekkan kejantanannya kekenjantanan sang ayah yang sama-sama sudah memakai celana. "Hmph…" Naruto mengerang saat merasakan sensasi menggelitik di kejantanannya.

"Naruto," panggil Sasuke tenang. Ia sama sekali tak teransang dengan kelakuan sang anak kepadanya. Setelah Naruto berhenti menggerakkan pinggulnya, Sasuke mengelus wajah sang anak lembut. "Ayah pulang larut malam ini dan sudah membuatmu kelelahan," ucap Sasuke dangen senyum tulusnya seakan mengerti keinginan sang anak. "Kau harus beristirahat. Wajahmu juga tampak pucat dan suhu tubuhmu sedikit panas." Lanjutnya saat tadi sempat merasakan panas badan sang anak. Memang tak tampak jelas wajah Naruto pucat atau tidak didalam ruangan yang sedikit remang, tapi Sasuke bisa melihatnya. Ia peduli.

Sasuke dapat melihat raut kecewa terpampang jelas di wajah Naruto. Sasuke berusaha tersenyum untuk menenangkan sang anak. Ia menjulurkan tangannya untuk menangkup wajah sang anak namun sayang, Nnaruto sudah terlebih dahulu bangkit dari tubuh sang ayah. Ia kembali berbaring, memunggunginya, sang ayah. Hatinya remuk karena penolakan sang ayah.

'Jadi, benar, ayah sudah tak mengingankanku lagi.' Batinnya dengan dada yang naik turun.

"Ayah mencintaimu, Naruto." bisik Sasuke saat sudah memeluk sang anak. Ia mengecup singkat surai pirang Naruto.

Naruto melepaskan pelukan sang ayah. Ia sedang tak ingin di tenangkan saat ini. Sasuke merasa tak enak dengan Naruto. Siapa yang tak ingin bercinta sepanjang malam? Sedang capekpun, Sasuke pasti akan meladeni Naruto, namun dengan wajah pucat dan suhu badan sang anak yang sepertinya akan terserang demam, Sasuke membuang jauh-jauh sifat egoisnya.

Sasuke mendesah pelan saat tahu Naruto sedang merajuk saat ini. Akhirnya, tanpa ingin mengganggu Naruto, Sasuke pun tidur.

Pagi

Kediaman Uchiha.

"Naruto sudah berangkat sekolah?" tanya Sasuke pada pelayannya saat pagi ini ia sama sekali tak melihat Naruto. Bahkan, Sasuke ingat, Naruto tak tidur bersamanya semalam.

"Iya, Tuan. Tuan muda berangkat pagi-pagi sekali." Jawab sang pelayan.

"Hm," tanggap Sasuke sambil memasukan potongan roti dengan selai tomat ke mulutnya. "Apa dia sempat sarapan?" tanya Sasuke pelan saat roti sedang memenuhi mulutnya.

"Tuan muda tadi sudah membawa bekal. Dan, tadi Tuan muda juga berpesan jika ia akan pulang telat malam ini." tambah sang pelayan.

"Hn."

KHS

"Matamu tampak bengkak. Kau menangis? Atau "bekerja"?" tanya pemuda bertato segitiga dikedua sisi pipinya, Kiba, saat ia menatap Naruto yang sedang berkonsentrasi pada penjelasan guru.

"Aku menangis dan bekerja." Sahut Naruto sambil menatap Kiba dengan cengiran khasnya.

"Fufufu, kau nakal, naruto." kekeh Kiba pelan sambil menutup mulutnya.

Pelajaran pagi di KHS berjalan dengan lancar seperti hari-hari biasanya. Hidup yang monoton, itu kata Kiba.

"Hey, sepertinya aku baru tersadar," ucap Kiba saat kelas sudah selesai, istirahat. "Wajahmu tampak pucat hari ini. Kau sakit?" tanya Kiba khawatir kemudian meletakkan punggung tangannya kekening Naruto. "Yeiy, kau sakit, Idiot."

"Kau menjawab pertanyaanmu sendiri dan kau bilang aku idiot? Kau yang idiot, Kiba." Jengkel Naruto sambil memakan bekalnya.

"Dan aku yakin, kau pasti berangkat pagi-pagi sekali." Ucap Kiba saat melihat bekal yang Naruto bawa.

"Diamlah, idiot. Aku sedang makan." Ucap Naruto sambil mengunyah makanannya.

"Ck."

Malam

Kediaman Uchiha

"Apa Naruto sudah pulang?" tanya Sasuke sambil melepaskan jas dan melonggarkan dasinya.

"Sudah, Tuan. Ada dikamarnya." Jawab sang pelayan sambil memungut jas Sasuke yang berada di sofa.

"Apa sudah makan?" tanya Sasuke yang kini sedang melipat lengan jasnya.

"Tuan muda sudah berada dikamarnya sejak pulang sekolah. Sekitar sejak dua jam yang lalu." Jawab sang pelayan.

Sasuke melirik sang pelayan tajam kemudian melangkah cepat ke lantai dua, menuju kamar Naruto.

"Naruto!" panggil Sasuke sambil mengetuk pintu kamar anaknya. "Naruto!" panggil sang ayah lagi.

"Iya." Jawab Naruto serak namun masih terdengar oleh Sasuke.

"Buka pintunya!" murka Sasuke. Bagaimana tidak, sudah dua jam pulang dan pelayan sama sekali tak melihatnya keluar kamar. Dan , apakah Naruto sudah makan disekolah atau tidak?

Klek!

"Kenapa?" tanya Naruto malas dari balik pintu yang belum terbuka penuh.

"Kau.." baru akan mengomeli Naruto, Sasuke dibuat terkejut dengan penampilang sang anak.

Wajah pucat, kantung mata yang memerah, sepasang safir yang ditemani warna merah, mata sayu, rambut acakan, badan limbung.

"Ayo, ke rumah sakit!" dengan cepat Sasuke menggendong Naruto menuju mobil. Meskipun sudah hampir berkepala empat, Sasuke masih memiliki kekuatan untuk menggendong sang anak.

"Aku benci ayah." Lirih Naruto digendongan sang ayah berhasil menghentikan langkah kaki Sasuke yang sekarang sudah berada tepat dimuka pintu depan kediaman Uchiha.

Sasuke bisa merasakan badan Naruto yang sedikit bergetar.

"Kenapa kau bicara seperti itu?" tanya Sasuke pelan tak percaya. Jujur saja, lututnya terasa melumer saat mendengar perkataan itu keluar dari mulut Naruto.

Tak ada jawaban dari Naruto, ia masih setia memeluk leher sang ayah.

"Jangan berbicara seperti itu." Ucap Sasuke pelan namun tegas.

Masih tak ada jawaban dari Naruto. Sasuke memutuskan untuk membawa Naruto kembali ke kamarnya, mengobatinya dengan obat seadanya.

Sasuke mendesah pelan saat melihat Naruto sudah tertidur dangan kain kompres yang berada dikeningnya. Merawat anak yang sedang sakit ternyata tak mudah. Beberapa pelayan juga dibuat kalang-kabut saat tahu tuan muda mereka tak dibawa ke rumah sakit.

Sasuke mengusap lembut kepala Naruto.

Saat ini sudah sangat larut dan dia sama sekali tak beranjak dari tempat tidur Naruto padahal para pelayan sudah menawarkan diri untuk menjaga tuan muda mereka.

"Ayah…" panggil Naruto serak. Ia merasa sang ayah sedang mengusap kepalanya, itu sebabnya ia terbangun.

"Tidurlah." Titah lembut sang ayah yang masih mengusap lembut kepala Naruto.

"Tidur disini." Pinta Naruto pada Sasuke. Sasuke hanya mengangguk dan tersenyum. "Tidurlah, ayah." Pinta Naruto.

Sasuke bangkit dari duduknya, menutup pintu dan mematikan lampu kamar.

"kau sudah mendingan?" tanya Sasuke yang sudah berbaring disebalah kiri Naruto.

"Hm hm." Jawab Naruto dengan anggukan.

"Tidurlah. Cepat sembuh." Dan setelah itu Naruto memejamkan matanya untuk tertidur lagi.

Sasuke mengakat kain kompres yang ada dikepala Naruto dan meletakan punggung tangannya.

'Sudah mendingan.' Batin Sasuke kemudian melatakkan kain kompres itu di dalam baskom yang berada di bawah tempat tidur Naruto.

Mendesah pelan, Sasuke memejamkan matanya.

Ia teringat akan masa lalu, masa dimana ia bersama Ino, masa dimana ia bisa menjadi seperti sekarang ini; bersama Naruto, anaknya sendiri.

Ia teringat kembali saat Ino meninggal karena kecelakaan mobil dan Naruto ikut bersamanya. Ia merasa sedih dan beruntung disaat bersamaan. Sedih karena kehilangan istrinya dan beruntung karena putra satu-satunya selamat. saat itu usia Naruto baru tujuh tahun. Satu-satunya kenangan bernyawa yang Ino tinggalkan. Memiliki rambut sama pirang dan hyperaktif.

Dan ia ingat bagaimana bisa menjadi seperti sekarang ini. saat itu, beberapa bulan setelah Ino meninggal, Sasuke benar-benar baru merasakan dampak kehilangan yang sangat luar biasa dihidupnya. Iya, Sasuke selalu sibuk namun ia tahu Ino sangat peduli dan pengertian padanya. Ia butuh itu sangat itu.

Sasuke mabuk-mabukan dimini bar dirumahnya. Beberapa pelayan sudah memintanya untuk berhenti namun Sasuke sama sekali menghiraukan perkataan pelayannya. Hingga akhirnya Naruto datang dengan mendekap boneka rubahnya, berjalan takut-takut kearah sang ayah yang sudah mabuk.

"Ayah, kumohon hentikan." Ucap naruto gemetaran. Ini adalah idenya sendiri saat melihat tak ada satu perkataanpun dari pelayan yang Sasuke dengar.

Sasuke meletakkan gelasnya diatas meja kemudian berjalan sempoyongan kearah Naruto. Walau badannya kecil, Naruto berusaha menahan badan sang ayah. Para pelayan yang melihat itu tak tinggal diam. Mereka memapah sang Tuan menuju kamar. Bersyukur Naruto dapat menghetikan sang ayah.

Setelah melihat tuan mereka tertidur, para pelayan keluar dari kamar Sasuke, meninggalkan Naruto disana.

Naruto berjalan menuju tempat tidur sang ayah dengan masih mendekat boneka rubahnya. Ia meletakkan boneka rubahnya diatas tempat tidur kemudian menaiki ranjang yang lumayan tinggi untuk ukurannya.

"Naruto…" panggil Sasuke sepertinya mengigau. "Ino.."

Naruto duduk diperut sang ayah sambil menatap tajam sang ayah yang sudah memejamkan matanya. Bawa alcohol membuat Naruto mengernyit.

Tiba-tiba ia teringat dengan apa yang ia lihat beberapa tahun yang lalu.

Naruto mengepalkan kedua tangan di kemeja putih Sasuke. Ia meneguk ludah detik selanjutnya. Naruto membuka perlahan kancing baju piyamanya dengan tatapan yang masih memaku sang ayah. Nafas Naruto sedikti memburu.

"Ayah…" panggil Naruto sambil membuka mata sang ayah dengan jari-jarinya.

"Hn…" Sasuke terpaksa membuka matanya yang sudah berat.

Naruto bergerak maju, memperlihatkan putingnya didepan sang ayah.

Sasuke yang saat itu benar-benar sudah mabuk dan "gila" hanya bisa meneguk ludah. Puting merah muda terpampang pasrah tepat dua senti meter dari onyxnya.

"Hmph…" Naruto mendesah tertahan sang ayah menjilat putingnya. Badannya bergetar hebat dengan bibir yang ia gigit.

Dan beberapa menit setelahnya, dua badan saling menyatu.

Entahlah bagaimana ini bisa terjadi. Sasuke sudah hilang kendali.

Ia menatap Naruto yang berada dibawahnya. Seperti Ino, seperti Naruto. Ia gila.

"Ayah…" panggil Naruto berhasil membuat Sasuke tersentak.

"Hn?"

"Aku lapar." Kata Naruto.

Sasuke mentap jam yang sudah menunjukan pukul dua pagi.

"Akan ayah ambilkan bubur. Tunggu disini." Dan setelah itu, Sasuke beranjak menuju dapur, memanas kembali bubur yang sudah dibuat oleh pelayan tadi malam, kemudian kembali lagi ke kamar Naruto.

Sasuke menyuapi Naruto dengan pelan. Ia bersyukur nafsu makan Naruto sudah kembali. Ia yakin, pasti sejak siang Naruto tak makan.

"Syukurlah, suhu badanmu juga sudah menurun." Ucap Sasuke saat tadi ia sempat merasakan suhu badan Naruto.

"Ayah, apakah boleh jika kita.."

"Besok, ok," potong Sasuke cepat mengerti arah pembicaraan sang anak. "Saat kau sudah sembuh." Tambahnya kemudian mengacak surai pirang Naruto.

"Jangan lakukan itu. Aku bukan anak kecil." Kata Naruto tak suka saat Sasuke selalu saja memperlakukannya seperti seorang bocah.

"Oh, bukan anak kecil?" beo Sasuke sambil mengankat sebelah alisnya. "Kau lebih kekanak-kanakan dari bocah SD, Dobe." Sarkartis Sasuke kemudian beranjak dari tempat tidur Naruto, mengembalikan piring bubur.

"Ck."

Pagi

Kediaman Uchiha

"Tak usah sekolah dulu." Tawar Sasuke yang sedang berdiri menyanggah dikusen pintu kamar Naruto saat melihat Naruto sedang bersiap-siap akan berangkat ke sekolah.

"Aku sudah baikan, ayah. Tak perlu khawatir." Balas Naruto yang masih sibuk memasang baju seragam dan memasang dasinya.

"Ayah akan mengantar dan menjemputmu hari ini." ucap Sasuke lagi kemudian beranjak dari kamar Naruto menuju lantai dasar, sarapan.

Tak ada pembicaraan yang berat saat sedang sarapan. Para pelayan juga tampak menanyai keadaan Naruto dan tentu saja Naruto menjawab dengan cengiran dan jempolnya.

Skip time

Malam kediaman Uchiha

"Ayah…" panggil Naruto saat yakin ayahnya baru tiba dari kantor. Saat ini sudah lumayan larut.

"Kau belum tidur, Naruto?" tanya Sasuke sedikit kaget saat sang anak tidur dikamarnya. "Ini sudah larut." Tambahnya kemudian menyalakan lampu kamar. Ia melepaskan jasnya, kemeja, dan ikat pinggangnya kemudian berjalan menuju kamar mandi.

Beberapa menit kemudian, Sasuke keluar dengan piyamanya.

"Lebih baik tidur, Naruto." kata Sasuke pelan dan lelah.

"Besok kami libur." Kata Naruto sambil menatap ayahnya yang sedang berjalan menuju saklar lampu, mematikan lampu, kemudian berjalan menuju tempat tidur.

"Libur?" tanya Sasuke yangs udah berbaring disamping kiri Naruto, menarik selimutnya.

"Hm," angguk Naruto. "Ada rapat guru. Ayah, boleh aku ikut ayah ke kantor besok?" tanya Naurto dengan raut wajah memohon.

"Baiklah. Tapi kita harus segera tidur." Pinta balik sang ayah.

"Aku tidak bisa tidur." Kata Naruto kemudian bangkit dari tidurnya, berjalan keluar kamar dengan Sasuke berada dibelakangnya. Ia hanya ingin memastikan saja. "Aku akan menonton."

"Jangan terlalu larut, Naruto. Kau baru saja sembuh." Nasihat Sasuke dengan nada yang benar-benar sudah kelewat lelah. Ia menyusul Naruto yang sudah duduk duluan disofa.

Naruto menyalakan tv, mencari-cari chanel yang akan ia tonton, dan berhenti di chanel berita jepang.

"…berita mengejutkan membuat gempar penduduk konoha atas kematian Hinata Hyuuga." Kalimat sang reporter wanita membuat Sasuke yang sudah hampir tertidur, membuka kembali matanya saat mendengar nama Hinata Hyuuga disebutkan ditv. "Diduga korban dibunuh dua hari yang lalu. Keluarga korban sendiri baru tahu berita pembunuhan ini. Dari keterangan yang kami peroleh dari keluarga korban, korban memang sudah tak pulang selama dua hari ini. Dan keluarga korban tak menaruh curiga sama sekali mengingat pekerjaan korban yang benar-benar sibuk." Lanjut sang reporter.

Naruto melirik sang ayah yang tertarik mendengar berita tersebut, mengeraskan sedikit volume tv. Naruto kenal dengan Hinata Hyuuga, sedikit, karena ia mengenal siapa kakak dari wanita tersebut.

"Wanita berumur 29 tahun yang menjadi korban pembunuhan ini dikenal sangat periang dilingkungannya. Polisi sama sekali belum menemukan motif pelaku pembunuhan. Tak ada yang mencurigakan. Perlu diketahu juga jika lokasi penemuan mayat tak berada jauh dari kediaman korban. Tak ada jejak sedikitpun dari sang pembunuh. Sungguh licin dan bersih. Saat ini polisi masih menggali tempat yang diduga sebagai tempat dimana pelaku mengubur bagian kaki korban. Sudah ada beberapa potongan tubuh korban yang ditemukan. Malam ini polisi masih sibuk menyisir sekitar lokasi kejadian, mencari bukti, dan bertanya kepada saksi yang terakhir melihat korban."

"Hinata Hyuuga?"

"Adik paman Neji, kah?" tanya Naruto. Sasuke hanya mengangguk.

'Terakhir aku melihatnya saat ia berkunjung ke kantorku dan..'

"Hmph…'Su…'Sukehh…hmph…." Desah hinata keenakkan dipangkuan Sasuke yang sedang menyerang g-spotnya.

Sasuke tampak menyeringai saat melihat wajah Hinata yang sudah memerah. Payudaranya bergerak turun-naik saat ia menghempaskan pinggulnya kekejantanan Sasuke. Sasuke meremas gemas pantat kenyal Hinata dan menjilat puting merah jambu yang sudah menegang milik Hinata.

"…mengerikan sekali. Dimutilasi pula." Sasuke kembali ke realita saat Naruto tak berhenti mengoceh. Sepertinya ia sama sekali tak mendengar perkataan Naruto.

"Lebih baik kita tidur. Kita akan benar-benar terlambat besok." Ucap Sauske kemudian beranjak dari sofa.

Naruto mematikan tv, kemudian menyusul Sasuke.

Pagi

Sharingan Corp.

"Wah, tuan muda Uchiha ikut ke kantor juga, ya.." sapa seorang pegawai saat melihat Naruto memasuki gedung.

"Hehehe, iya." Jawab Naruto dengan cengirannya.

"Kyaaa, selalu tampan seperti biasa." Teriak gila beberapa pegawai wanita saat melihat cengiran Naruto. sungguh, 15 tahun sudah pasti membuat aura kedewasaan Naruto menguar, ya, hanya pada waktunya saja mengingat ia sangat kenak-kanakkan di depan sang ayah dan keluarganya.

"Paman Inuzuka." Sapa Naruto saat bertemu dengan ayah dari sahabatnya.

"Wah, Naruto," sapa ayah Kiba tanpa embel-embel tuan muda. Mereka memang sudah akrab, Naruto sering menginap dirumahnya dan Naruto sendiri yang meminta agar tak memanggilnya dengan embel-embel tuan. "Kau ikut ke kantor ternyata. Kau tahu, Kiba sedang seperti kebo sekarang." Ucap sambil berbisik berhasil membuat Naruto tertawa pecah, keduanya tertawa pecah.

"Selamat pagi." Sapa Sasuke pada bawahannya yang sedang tertawa bersama sang anak.

"Hm, se..selamat pagi Tuan." Sapa sang bawahan sedikit … gagap.

"Ayo, Naruto," ajak Sasuke kemudian melanjutkan langkahnya menuju ruangannya. "Kau akan menjadi OB ayah hari ini." tambah Sasuke mengingat hari ini OB khususnya tidak bisa masuk kerja karena istrinya melahirkan.

"Hm," Naruto memanyunkan bibirnya saat mendengar ia akan menjadi OB dadakan sang ayah. "Baiklah, permisi, paman." Pamit Naruto kemudian berjalan santai dengan kedua tangan yang menyagah dibelakang kepalanya, mengejar langkah Sasuke.

Safir Naruto menangkap sang ayah yang sedang menunggu lift menuju lantai teratas sharingan corp.. Naruto berdiri disamping sang ayah masih dengan tangan yang menyanggah dibelakang kepalanya.

"Kemana sifat kanak-kanakmu itu? Menguap kemana saja?" tanya Sasuke datar tanpa menatap Naruto.

"Ah, ayah. Aku jadi serba salah." Naruto memanyunkan bibirnya, cemberut. Tampang coolnya sudah hilang entah kemana karena pertanyaan sang ayah tadi.

"Kasihan sekali Neji. Aku dengar sebelum meninggal, Hinata sempat berkata kepada Neji kalau mereka akan membuat kue bersama." Ucap seorang pegawai wanita yang sedang berjalan menuju lift dimana Sasuke dan Naruto sedang menunggu disana.

"Aku harap pelakunya dihukum mati, di penggal!" tambah pegawai wanita disampingnya.

"Itupun kalau pelakunya tertangkap. Kau tak dengar berita? Pelaku melakukan pembunuhan dengan bersih. Aku jadi takut." Ucap sang pegawai wanita yang pertama, bergindik ngeri. "Pagi, Tuan." Sapa sang pegawai saat mereka telah berdiri bersama Sasuke dan Naruto.

"Pagi, tuan." Sapa pegawai wanita yang satunya.

Sasuke hanya mengangguk.

Sret.

Pintu lift terbuka. Menghela nafas lega karena lift kosong. Sasuke dan Naruto melangkahkan kakinya masuk ke lift.

"Kalian boleh bergabung. Keatas, kan?" tawar dan tanya Sasuke sambil masih menahan tombol lift.

"Hm, iya. Terima kasih, Tuan." Kedua pegawai itu membungkuk tanda terima kasih. Jarang-jarang mereka bisa se-lift dengan sang Tuan Uchiha.

"Hm, Tuan," panggil seorang pegawai wanita itu kepada Sasuke. Sasuke menoleh, "Hm, tentang kematian saudara Neji, bukannya beberapa jam sebelum kematian Hinata,"

"ya, aku tahu." Jawab Sasuke dingin.

Sang pegawai langsung membungkam mulutnya, merasa jika pembicaraannya dilanjutkan, keadaan akan terasa sangat aneh.

Sret

Pintu lift terbuka tanda mereka telah sampai dilantai paling atas.

"Terima kasih, Tuan. Kami permisi."

"Hn."

Sasuke dan Naruto melangkahkan kaki mereka menuju ruangan pribadi Sasuke. Sasuke membuka pintu ruangan dengan perlahan, mempersilahkan Naruto masuk terlebih dahulu kemudian mengunci pintu.

"Hn?" Naruto terkejut saat Sasuke tiba-tiba menarik tangannya. "Aya..hmph…" Sasuke melumat bibir Naruto penuh nafsu. Entah setan apa yang merasukinya sekarang.

=Sasuke pov=

Aku tahu wanita-wanita itu terus memperhatikan Naruto dan aku tahu pasti Naruto tak menyadari itu. Dia terlalu naïf. Aku tak suka itu. Aku marah namun…aku tak bisa melakukannya.

Saat sudah keluar dari lift, tanpa membalas panjang lebar pamitan dari pegawaiku, aku langsung melangkahkan kakiku menuju ruangan pribadiku.

Aku membuka pintu dengan perlahan, menyuruh Naruto untuk masuk duluan, kemudian aku mengunci pintu tersebut. Kutarik tangan Naruto yang berdiri tak jauh dari gapaianku.

"Aya…hmph…"

Tanpa panjang lebar, aku langsung memungut bibirnya.

"Hmph…hm…hh…" kuperdalam lumatanku sambil membawa langkahnya menuju sofa. Kubaringkan ia disana dengan lumatan yang sengaja tak kuhentikan. Ia juga menikmati itu. Aku menyeringai dalam lumatanku. Dia sungguh mengerti aku.

Kugerakan tanganku kearah dadanya, kuelus putingnya yang masih tertutup oleh hoody yang ia gunakan. Kuelus, kutekan, kucubit, mencoba merayunya.

"Hm…ayah…hah…shhh…" desah dan desisnya saat aku melepaskan lumatanku. Bibir ceri yang basah dan terbuka-tertutup membuatku dengan susah payah menelan ludahku. "Ayah.." panggil Naruto sambil menatapku teduh. Ia menggenggam tanganku kemudian menuntunnya menuju kejantanannya yang sudah sedikit menegang.

"Kau nakal, Naruto." ucapku dengan seringaian.

Aku membungkukkan badanku. Menatap celana Naruto yang sudah mengembung. Aku cium gembungan celananya itu, menekan wajahku, dan menghirup aroma yang membuat nafsuku meledak.

"Hngh!" Naruto menggeliat tak nyaman di sofa dan menjambak rambutku. Kutahu ia menyukai itu. "Ah…shhh hah…hngh…" aku masih terus menggodanya. Ia tak akan tahan jika ku goda. "Ayah, kumohon…" see, betul kataku.

Aku tersenyum lembut kemudian mengecup bibirnya singkat. Aku kembali membungkukkan badanku didepan kejantanannya. Ku buka kancing celananya dengan perlahan, disusul oleh dalamannya. Kejantanan mungil yang selalu berhasil membuatku tersenyum mengejek. Aku memandang Naruto yang tengah duduk tak nyaman di sofa karena sepertinya ia malu. Kukocok kejantanannya pelan. Memperlihatkan kepala kejantanannya yang seperti jamur. Merah. Mungil. Sangat enak untuk diemut.

"Hngh…" erangnya dengan dada yang naik turun.

Kujilat kepala kejantanannya dengan perlahan, sangat pelan, menggodanya lagi.

"Hngh! Ah…hah…hmph…" desahnya sambil menghentakkan kepalanya kebalakang karena keenakan.

"kau suka?" tanyaku kemudian menjilat singkat kepala kejantanannya.

"hm…" angguknya mantap.

Mendengar jawaban polos dari Naruto, aku langsung memasukkan kejantanannya kedalam mulutku. Kutusukan kepala kejantanannya ke tongsilku dan itu berhasil membuatnya kembali menggeliat.

(Adegan "anu" gue skip aja :v . Mau protes? mending kalian mengkhayal sendiri XP *dihajar*)

=Normal pov=

Setelah selesai dengan kegiatan mereka, Sasuke dan Naruto memutuskan untuk membersihkan diri di kamar mandi yang memang tersedia diruangan pribadinya. Tak sampai 20 menit, keduanya sudah kembali rapi dan segar.

Ring ring…

Telepon genggam Sasuke berdering.

"Neji?"

"Maaf aku tak bisa masuk hari ini." ucap Neji dari seberang sana.

"Ah, tidak apa-apa, tidak apa-apa. Aku turut berduka, Neji. Setelah selesai dikantor, aku akan langsung kesana." Ucap Sauske panjang lebar.

"Terima kasih, sasuke." Dan setelah itu hubungan telepon keduanya terputus.

"Ayah akan ke rumah Hyuuga?" tanya Naruto sambil menatap jendela kaca yang berada diruangan besar tersebut. Pemandangan jalan raya dan gedung-gedung besar yang tampak dari sana.

"Iya. Kau tahu sendiri, ayah dan paman Neji sudah seperti saudara. Begitu pula Hinata." Jelasnya.

"Hn."

"Kau mau ikut?" tanya Sasuke sambil menyusul Naruto yang terlihat sedang menikmati pemandangan kota.

"Hn."

"Jawabanmu?" tanya Sasuke bingung. Iya, dia tahu, Naruto juga menurunkan sifatnya walau tak terlalu dominan.

"Iya, ayah, iya." Jawab Naruto kemudian memanyunkan bibirnya sebel dangan sang ayah.

"Hn, setidaknya ayah yakin kalau kau anak ayah." Ucap Sasuke sambil mengacak rambut Naruto penuh sayang.

"Hn."

Malam

Kediaman Hyuuga

"Neji, kau turut berduka ci.."

"Dia bahkan berkata padaku jika kami akan membuat kue bersama." Potong Neji dengan tangis yang kembali pecah. "Dia bahkan sudah menyiapkan seluruh bahannya. Aku bersumpah akan membunuh orang yang sudah melakukan itu kepada Hinata." Lanjutnya penuh emosi.

"Sabar, Neji. Polisi pasti tak akan diam." Ucap Sasuke berusaha sebisa mungkin menenangkan sahabatnya itu.

"Paman," panggil Naruto. Neji menatap Naruto sambil mengusap air matanya. "Aku bawakan ini untuk paman." Ujar Naruto sambil memberikan setangkai mawar merah kepada Neji. "Aku dan ayah singgah sebentar di toko bunga. Aku harap paman suka. Aku tak tahu apa yang harus diberikan kepada orang yang sedang berduka." Tambahnya sambil menunduk takut-takut Neji tak menyukai bunga mawar pemberiannya.

"Terima kasih, Naruto." ujar Neji kemudian mengendus bunga mawar tersebut. "Apa ayahmu memberitahumu jika mawar merah adalah bunga kesukaanku?" tanya Neji yang sudah mulai tenang.

"Hn hn," Naruto menggeleng. "Aku hanya menduga saja. Aku juga menyukai warna merah." Ucap Naruto kemudian tersenuym.

"NTrima kasih, ya, Naruto."

Beberapa menit mereka berbincang tentang hal-hal ringan, sebisa mungkin tak menyinggung nama Hinata atau hal yang menyangkut Hinata, seperti sekolah Naruto. mereka bertiga tampak akrab. Merasa obrolan mereka sangat banyak hingga membuat kerongkongan kering, Sasuke akhrinya menyuruh Naruto untuk mengambilkan minuman untuk mereka.

Saat akan mengambil minuman, Naruto melihat Kiba, begitu pula sebaliknya.

"Mau kemana?" tanya Kiba.

"Mengambil minuman." Jawab Naruto kemduain melanjutkan tugas yang diberikan oleh sang ayah.

"Ini." tawar Naruto. Kedua pria itu mengambil masing-masing gelas yang sudah Naruto ulurkan kepada mereka.

"Tuan, ada kiriman karangan lagi. Kali ini tak ada namanya." Lapor seorang security kepada Neji. Neji mengangguk kemudian pamit kepada Sasuke dan Naruto.

Neji berjalan pelan melewati kerabat yang melayat kekediaman utama Hyuuga.

Deg!

Satu degupan keras jantung Neji, membuatnya terjatuh kelantai dengan hebatnya.

"Tuan!"

"Neji!"

Para kerabat langsung berboyong menggotong badan Neji.

"Neji!" penggil seorang pria sambil menepuk pipi Neji. "Bangun, hey!"

"Ada apa?"

"kenapa dia?"

"Apa yang terjadi?"

Pria yang menepuk pipi Neji tadi meletakkan tangannya ke urat nadi dileher Neji. Mata sang pria terus menatap dada Neji yang tak bergerak sama sekali. Dugaannya semakin diperkuat saat ia merasa tak ada denyut di urat nadi Neji.

"Neji meninggal." Pernyataannya membuat gempar kerumunan termasuk Sasuke dan Naruto yang memang sudah berada disana sejak tadi.

Dan malam itu menjadi duka kedua bagi keluarga Hyuuga.

Diduga Neji meninggal karena serangan jantung. Aneh memang, keluarga Hyuuga tak memiliki riwayat penyakit jantung sama sekali.

Polisi langsung tiba di lokasi kejadian dengan beberapa petugas medis.

Merasa sepertinya keluarga Hyuuga membutuhkan waktu sendiri, beberapa kerabat mulai pulang begitu pula Sasuke dan Naruto.

"Apa yang terjadi, ayah?" tanya Naruto gemetaran saat mereka berada didalam mobil. Sasuke menyetir dengan pelan takut-takut kepanikannya akan mencelakakan keduanya.

Bagaimana tidak, ia sungguh terpukul dan terkejut.

"Aku…aku..aku takut, ayah." Ucap Naruto lagi.

Sasuke menggenggam tangan Naruto dengan tangannya yang bebas, mencoba menyalurkan rasa nyaman kepadanya. Ia tahu Naruto sudah cukup umur untuk mengerti, namun ia takut ini akan berpengaruh buruk pada perkembangan psikologisnya.

Ring ring

"Hn?" sahut Naruto saat tadi gerakannya secepat kilat untuk menyambar telepon genggam Sasuke yang berada di dashboard/? (idk).

"Sasuke, kami sudah melakukan penyelidikan atas kematian Neji yang tiba-tiba," kata seorang wanita dari seberang telepon. "Apa kau masih disana?" tanya wanita itu.

"Hn." Tanggap Naruto. Sasuke yang melihat itu hanya memasang was-was. Ia tak tahu siapa yang menelepon. Bagaiamana kalau itu dari perusahaan? Dan penting?

"Baiklah, baiklah. Kau selalu dingin. Diranjang juga begitu," ucap si wanita berhasil membuat badan Naruto menegang hanya untuk beberapa detik. "Hm, begini, dari hasil yang kami peroleh, kami mene, tut tut tut…"

"Hn?" Naruto menjauhkan telepon genggam sang ayah dan menatapnya penuh tanda tanya. 'Kenapa tiba-tiba mati?' batin naruto.

"Siapa, Naruto?" tanya Sasuke yang masih menyetir.

"Karin." Jawab Naruto singkat.

"Dia bicara apa?" tanya Sasuke lagi.

"Tentang kematian paman Neji. Siapa Karin, ayah?" tanya Naruto.

Ring ring

"Berikan pada ayah." Perintah Sasuke sambil mengulurkan tangannya dan masih berfokus pada jalanan. Naruto menyerahkan telepon genggam sang ayah dengan memanyunkan bibirnya. "Ya, Karin." Sapa Sasuke.

Setelah ayahnya asyik berbicara di telepon, Naruto membuang tatapan kearah jendela mobil, malas menatap sang ayah. Tak sampai lima menit, teleponpun dimatikan.

"Karin adalah teman ayah dan Neji sewaktu kuliah dulu. Dia seorang dokter." Sasuke menjawab pertanyaan Naruto tadi.

"Aku tak pernah mendengar namanya." Kata Naruto acuh yang masih membuang muka keluar mobil.

"Dia baru pindah ke Jepang beberapa bulan yang lalu. Dia mendapat tugas untuk menyelidiki kematian Neji." Jelasnya.

"Hn."

Tak berapa lama, akhirnya sepasang ayah-anak itu tiba dirumah. Sasuke merasa lega dapat sampai cepat ke rumah karena selepas berbicara dengan Karin tadi, keadaan didalam mobil tiba-tiba aneh.

"Langsung tidur, ya, Naruto."

"Hn."

'Kenapa dia?' batin Sasuke sambil menatap punggung Naruto yang sedang menaiki anak tangga. "Ada apa?" tanya Sasuke saat melihat langkah Naruto terhenti dan mendapati tatapan aneh dari sang anak.

"Ayah, ada barangku yang hilang." Terdengar nada kalut disana. "Hn." Naruto memeriksa seluruh sakunya. "Tidak ada, ayah."

Sasuke menyusul Naruto yang masih berada di tangga.

"Apa yang hilang?" tanya Sasuke.

"Liontin." Jawab Naruto dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Bagaiaman bisa hilang?" tanya Sasuke.

"Saat kita akan ke rumah paman Neji, liontinku kulepaskan. Dan.. hilang ayah." Wajah Naruto sudah memerah hendak menangis. Sasuke tahu jika ada satu liontin yang sangat Naruto jaga yaitu liontin pemberian sang ibu.

"Baiklah. Akan ayah carikan." Kata Sasuke setelah sebelumnya mendesah. "Kau tidur, ok? Ayah akan cari malam ini. Apa tertinggal dikantor ya? Mungkin sakumu ada yang bolong?"

"Aku tak tahu, ayah." Ucap Naruto dengan nada bergetar.

"Sudah, jangan menangis. Ayah akan ke kantor malam ini dan mencarinya, ok. sudah, tidur. Jangan lupa bersihkan dirimu." Dan setelah memberi perintah demikian, Sasukepun segera bergegas ke kantor mencari liontin Naruto.

Naruto melangkahkan kakinya menuju kamar.

Skip time

"Hn, sudah tidur. Anak ceroboh." Ucap Sauske pelan saat melihat Naruto sudah tidur terlelap dikamarnya dengan pintu yang sedikit terbuka.

Saat sudah yakin jika liontin sang anak terjatuh di kantor, sasukepun langsung menancap gas. Sebenarnya ia sudah sangat lelah. Namun apa boleh buat, baginya liontin itu juga sangat penting. Tak sampai setengah jam, ia sudah berada di kantor. Ia bergegas menuju lantai atas. Ada beberapa pegawai yang masih lembur.

Setelah tiba diruangannya, Sasukepun mulai mencari dimana liontin Naruto berada. Ia mencari dibawah meja, dibawa sofa, diatas sofa, kamar mandi, dan hasilnya nihil. Tak ada apa-apa disana. Sasukepun memutuskan untuk kembali ke rumah. Ia ingin mencari di kediaman Hyuuga, namun, sepertinya itu agak susah mengingat situasi dan kondisi.

Setelah memasukan mobil ke garasi, Sasukepun mempercepat langkahnya menuju rumah. Langkahnya terhenti saat melihat benda hijau mengkilap diatas rerumputan.

"Hah…disini kau ternyata." Ujar Sasuke lega. Ia merasa konyol saat tahu liontin itu ternyata jatuh di halaman rumah dan bukannya dikantor. Ia tersenyum mengejeki dirinya sendiri.

Sasuke meletakkan liontin itu diatas meja, disamping tempat tidur Naruto. Ia mengecup singkat surai Naruto kemudian kembali ke kamarnya.

Pagi

Kediamana Uchiha

Hari ini hari minggu, Sasuke memtuskan untuk menghabiskan waktunya dirumah bersama sang anak. Namun sayang, Naruto sama sekali belum bangun. Jadi, ia memutuskan untuk menunda sarapannya dengan menonton tv terlebih dahulu.

"…kematian yang diduga terjadi semalam. Dari hasil wawancara dengan kepala polisi konoha, kepala polisi tersebut menyatakan jika pelakunya adalah pelaku yang sama atas kematian Hinata Hyuuga. Sampai pagi ini, polisi masih mengolah lokasi kejadian dan masih belum menemukan bukti dan motif pelaku." Ujar seorang reporter pria. "Dari hasil otopsi yang dilakukan tadi subuh, jasad korban dikenali sebagai Karin Uzumaki, seorang dokter muda Jepang lulusan luar negeri."

"Pagi ayah." Sapa Naruto sambil memeluk sang ayah dari belakang dan memebrikan ciuman dipipi sang ayah.

"Pagi, Naruto."

"Itu…" kata Naruto bergetar saat melihat potongan-potongan tubuh yang termutilasi didalam tv. Sasuke mengikuti arah pandang Naruto dan langsung mematikan tv.

"Kemari…" pinta Sasuke sambil menepuk sofa, meminta Naruto untuk duduk disampingnya. "Tidak apa-apa. Jangan takut." Tenang Sasuke. "Hn, mau jalan-jalan?" tawar Sasuke. Naruto hanya menggeleng tanpa menoleh sang ayah. 'Apa dia masih terpukul karena kejadian semalam?' batin sasuke mengingat kematian Neji yang tiba-tiba. "Ayo sarapan." Sasuke menggenggam tangan Naruto kemudian menuntunnya ke meja makan.

Meraka sarapan dengan tenang dengan beberapa pelayan yang berdiri disekitar meja makan. Sasuke dapat melihat jika gerakan Naruto tampak kaku dan gemetar.

"Ayah dengar sekolah kalian akan mengadakan festival. Kenapa ayah tak tahu, ya?" Sauske mencoba membuka perbincangan. Ia suka dengan suasana tenang dimeja makan, namun jika suasana menjadi kaku dan mencekam seperti sekarang, akan terasa aneh baginya. "Bukannya ayah juga salah satu pendonasi disekolahmu?" tanya Sauske dengan nada yang dibuat-buat.

Naruto menolehnya, kemudian kembali menunduk menikmati sarapannya. Ok, gurauannya menjadi terasa aneh dan tak lucu sama sekali.

"Hm, bagaimana kalau hari ini kita ke pemandian air panas?" tanya Sasuke yang sudah selesai dengan sarapannya. Naruto hanya menggeleng. 'Fine, ini buruk." Batin Sasuke sedikit panic.

Beberapa pelayan yang melihat gelagat aneh tuan muda mereka hanya bisa memandang lirih.

"Aku sudah selesai." Kata Naruto datar.

"Baiklah, kalau begitu kita berendam dirumah saja." Usul Sauske lagi kemduian menggandeng tangan Naruto. "Siapkan air hangat dikamar mandiku." Perintah Sasuke pada salah satu pelayan. Pelyan tersebut mengangguk. Sasuke membawa Naruto ke kamarnya. Keduanya berbaring dengan Sasuke memeluk erat Naruto. "Tidak apa-apa, Naruto. Ayah ada bersamamu. Setelah berendam, kita ke mall, ya. Ayah ingin membelikan sesuatu untukmu." Rayu Sasuke. Jujur saja, mana dia tahu ia akan membeli apa untuk anaknya, namun ia tak ingin terus-terusan melihat Naruto murung sejak semalam.

"Tuan, air hangatnya sudah siap." Ucap sang pelayan kemudian meninggalkan kamar Sasuke.

"Ayo." Sauske mengiring langkah Naruto ke kamar mandi.

Ia membuka piyama sang anak kemudian mengecup singkat pusar sang anak. Setelah itu, ia membuka piyamanya juga. Kedua tubuh ayah-anak itu sama-sama sudah telanjang. Sasuke menuntun Naruto untuk masuk ke Jacuzzi, berendam disana.

Lama keduanya terdiam dengan Sasuke yang sibuk mengusap wajah Naruto.

"Ayah," panggil Naruto setelah keduanya sudah sangat lama diam. "Aku ingin ke pemakaman." Pinta Naruto.

"Baiklah." Sasuke tersenyum lembut kepada Naruto.

Setelah hampir 20 menit berendam, keduanya memutuskan untuk beranjak dari Jacuzzi.

.

Mengenakan jas yang rapi, Sasuke dna Naruto berangkat menuju pemakaman. Jangan salah, Ino adalah seorang polisi. Jadi, wajar saja jika Sasuke dan Naruto mengenakan jas. Ingin terlihat rapi tentunya.

Berkendara kurang lebih 1 jam, akhirnya mereka tiba dipemakaman keluarga Uchiha.

Menghembuskan nafasnya dengan tenang, Naruto berjalan menghadap batu nisan sang ibu.

"Hai, ibu, selamat pagi." Sapa Naruto. "hehe, hari ini aku tiba-tiba rindu padamu, bu." Ujar Naruto dengan cengiran khasnya. Sasuke tahu jika itu palsu dan ia sempat merasa sedih juga saat mendengar jika Naruto merindukan ibunya. Tentu saja ia rindu, sudah delapan tahun ia hidup tanpa seorang ibu. "Ayah tak menyapa, ibu?"

"Hn, selamat pagi, Ino." Sapa Sasuke.

"Ibu, aku ingin mengatakan sesuatu padamu." Naruto berjalan semakin mendekati batu nisan. "Aku sudah membunuh mereka, bu." Ucap Naruto datar.

Mendengar perkataan Naruto tadi membuat Sasuke sedikit terkejut. Ia bingung dengan apa yang Naruto bicarakan.

"Aku…aku merasa puas mereka mati," lanjut Naruto kemudian menatap Sasuke sambil tersenyum janggal. "Aku harap tak akan ada lagi yang mendekati ayah, bu." Tambahnya.

Sasuke melangkahkan kakinya mendekati Naruto.

"Apa maksudmu, Naruto?!" bentak Sasuke kemudian menggenggam erat lengan Naruto. "Apa maksud perkataanmu? Siapa yang membunuh?"

"Aku. Aku yang sudah membunuh mereka, ayah." Jawab Naruto santai sambil melepaskan genggaman erat Sasuke pada lenagnnya.

"Mereka.."

"Yah, hinata, neji, dan Karin." Potong Naruto yang lagi-lagi dengan nada santainya. Kini ia memberikan sedikit seringaian pada Sasuke yang menampakan wajah terkejutnya. "Sudahlah ayah. Mereka sudah mati… seperti ibu."

"Kau membunuh mereka? Kenapa?" Sasuke masih berusaha untuk tak mempercayai pengakuan sang anak. Ia hanya tak habis pikir kenapa ini terjadi.

Raut wajah Naruto tiba-tiba berubah menjadi sedih. Melihat itu, Sasuke jadi bingung.

"Apa ayah mencintaiku?" tanya Naurto dengan wajah yang tertunduk. "Apa ayah yakin selama ini ayah setia padaku?" tanyanya lagi yang sekarang sudah menegakkan kepalanya. Ia berjalan mendekati sang ayah.

Sasuke hanya terdiam mendapati pertanyaan dari Naruto.

Sresh!

Dan hujanpun turun membasahi bumi, membashi Sauske dan Naruto, membashi kenyataan yang belum bisa Sasuke terima, seolah-olah ini hanya naskah drama.

"AKU MELIHATNYA, BERENGSEK!" teriak Naruto kemudian. Sasuke sempat tersentak mendengar teriak Naruto yang berada didepannya. "Aku melihat…" lirihnya kemudian. Ia tersenyum kearah Sasuke dengan air mata yang juga sudah membasahi wajahnya menemani air hujan yang sudah duluan membasahi wajahnya. "Jika selama ini kau berpura-pura mencintaiku karena kasihan padaku, lebih baik kau tak perlu peduli padaku selama ini. Ini menyakitiku." Lanjutnya.

Sasuke terdiam mendengar perkataan Naruto. Ia masih belum mengerti maksud pembicaraan anaknya. Apa lagi saat Naruto berkata berpura-pura. Untuk apa ia berpura-pura mencintai Naruto? Ia sungguh benar-benar mencintai anaknya itu walaupun ia tahu itu terlarang.

"Aku tak tahu sudah berapa kali kau melakukan itu dengan Hinata. Dan apa kau pikir dengan membunuhnya akan membuatku tenang?" tanya Naruto. Sasuke meneguk ludahnya. Ia mencoba menggapai wajah sang anak namun sayang, Naruto langsung menepis pergerakan Sasuke. "Aku melihatnya, ayah. Sakit sekali." Lirihnya. "Aku pikir, ayah hanya akan mencintaiku. Apa aku terlalu egois?" tanya Naruto sambil mengelus wajah pucat sang ayah. "Aku kedingan. Ayo pulang." Ajaknya kemudian melangkahkan kakinya menuju mobil sementara Sasuke masih mematung didepan nisan sang istri.

Sasuke mencoba mencerna setiap perkataan Naruto. Ia takut menerima kenyataan yang akan menegelamkannya ke dasar bumi, kemudian menyiksanya dengan udara yang seadanya.

'Apa Naruto membunuh mereka? Apa benar?' batinnya masih menolak semua kenyataan. 'Tidak mungkin. Naruto bukan pembunuh.' Yakinnya.

"Ayah." Panggil Naruto yang sudah berada disamping mobil.

Sasuke melangkahkan kakinya yang sudah gemetaran, karena dingin dan karena perkataan Naruto tadi.

Keduanya terdiam selama perjalanan menuju rumah. Hujan masih setia menemani meraka berdua.

"Aku membunuh Hinata saat.."

"Cukup, Naruto!" ujar Sasuke datar.

"Aku menyuruh seseorang meracuni paman Neji." Seringainya tak mempedulikan sang ayah yang sudah mengeraskan wajahnya. "Saat kita melayat." Tambahnya. "Mungkin Karin sudah mengatakan kepada ayah jika racun yang membunuh Neji adalah racun dari senyawa-senyawa alami. Yah, dirumah kita banyak. Dirumah tetangga pun pasti ada." Jelasnya kemudian melipatkan kakinya. "Tak lama setelah itu, aku membunuh Karin."

"Kau mengatakan hal itu seperti itu mudah saja, Naruto!"

"Saat ayah mencari liontinku, aku membunuhnya. Seperti apa permainan ranjang kalian ayah?" tanya Naruto selanjutnya. "Panaskah? Dinginkah?"

"Hentikan, Naruto." ucap Sasuke dengan nada pelan, ia terlalu lelah. Ia sedang menyetir saat ini. Konsentrasi sedikit saja hilang, nyawa taruhannya.

"Hentikan apa?" tanya Naruto dengan polosnya.

"Hentikan omong kosongmu!" bentak Sasuke kemudian mengerem mendadak mobilnya. Bersyukur jalan sangat sepi. "Ayah tak mempercayai semua perkataanmu." Ucap Sasuke lembut kemudian mengusap wajah Naruto. "Kau bukan pembunuh, nak. Tanganmu tak mungkin sekotor itu." Tambahnya.

"Aku bisa saja mengatakan kepada nenek jika ayah bermain api." Ancam Naruto. "Nenek pasti akan sangat kecewa kepada ayah."

"Kau bukan pembunuh." Ucap Sasuke tegas. "Dan semua ini tak ada sangkut pautnya denganmu, dengan kita."

"Siapa wanita berambut pink yang tidur dengan ayah bulan lalu?" tanya Naruto datar. Sasuke menjauhkan tangannya dari wajah Naruto. Ia menatap Naruto tak percaya. "Apa ayah akan menjadikanya sebagai ibuku? Tch, bahkan ibu saja aku bunuh karena mencintai ayah."

Plak!

"Hentikan, Naruto! Ayah akan memasukanku ke rumah sakit jiwa jika kau tak berhenti mengoceh!" ancam Sasuke. Sungguh sangat ingin ia segera tiba dirumah. Ia ingin berendam kemudian berteriak.

"Sakit." Lirih Naruto sambil mengelus pipinya yang sudah memerah karena tamparan Sauske. "Sakit." Dan kemudian air mata menetes. Ia merasa malu sekarang. Ia merasa gagal. Ia merasa tak ada harganya dimata pria yang sangat ia cintai.

Mendengar itu, Sasuke menoleh kearah Naruto yang sudah menangsi tertunduk. Ia merasa sangat menyesal.

"Naruto," panggil Sasuke sambil menyisir surai pirang Naruto. "Maafkan, ayah." Ucapnya tulus. "Jangan berkata seperti itu lagi."

"Ayah tak mempercayaiku." Isaknya yang masih tertunduk.

Tentu saja Sasuke tak akan percaya perkataan Naruto yang tadi.

"Siapa bersamamu?" tanya Sasuke.

"Aku sendiri." Jawab Naruto kemudian menatap Sasuke teduh.

"Ayah percaya padamu, Naruto." ucap sasuke. Entahlah apa Naruto mengerti perkataan Sasuke atau tidak. Sasuke percaya jika Naruto bisa menjaga diri. Tentu setelah ini, ia harus berhati-hati. Sedikit saja kesalahan, Naruto bisa berada dalam masalah. Tak ingin berlama didalam mobil, akhirnya Sasuke menginjak pedal gas.

Pikirannya melayang Dimana Naruto bertanya siapa wanita berambut pink yang pernah ia tiduri. Mungkin wanita itu adalah target pembunuhan selanjutnya.

"Naruto," panggil Sasuke yang masih tetap focus pada jalanan. "Ayah mau kau berhenti melakukan ini." pinta Sasuke pelan.

"Tergantung pada ayah sendiri." Jawab Naruto tenang.

Skip time

Malam

Kediaman Uchiha

"Apa kau yakin?" tanya seorang pria berambut nanas kepada sang raven.

"Hn." Jawab Sasuke singkat. "Tanyakan baik-baik padanya, Shikamaru." Tambahnya kemudian beranjak ke ruang kerjanya.

Shikamaru adalah seorang detektif keluarga Uchiha. Dia juga termasuk orang yang ikut mengurusi segala surat-menyurat keluarga besar tersebut.

Shikamaru melangkahkan kakinya menuju sebuah ruangan yang berada dibawah tangga menuju lantai dua.

Kriet…

Suara pintu kayu ruangan itu terbuka. Ia menangkap seseorang pemuda tengah duduk santai menikmati secangkir teh.

"Naruto?"

"Hn, oh, hai paman Shika." Sapa Naruto sambil meletakkan cangkirnya kemudian bangkit dari duduknya, membungkukkan badannya.

"Apa kabar?" tanya Shika berbasa-basi. "Bagaimana sekolahmu?"

"Baik. Semuanya lancar. Paman mau teh?" tawar Naruto yang sudah menuangkan teh ke cangkir kosong. "Kabar paman bagaimana? Sudah lama tak berkunjung."

"Mengurusi pekerjaan yang lain." Jawab Shikamaru sambil menerima cangkir teh yang Naruto sodorkan kepadanya. "Jadi," gantungnya untuk menyesap teh. "tentang kasus.."

"Ya. Aku sudah mengatakan kepada ayah." Potong Naruto kemudian mengambil cangkir tehnya. "Membunuh itu pekerjaan mudah, paman." Lanjutnya kemudian mengendus bau teh. "Bahkan seorang amatiran bisa melakukannya." Katanya.

Shikamaru hanya terdiam mendengar penuturan Naruto. Ia bahkan tak bisa percaya jika pemuda itu berbicara seolah-olah tak melakukan apa-apa. Ia duduk dengan tenang dikursinya.

"Hmm, takaran yang pas." Ujar Naruto setelah menyesapi tehnya. "Apa kau tahu, paman, tak hanya kopi yang harus ditakar dalam prosses pembuatannya, tapi teh juga demikian. Salah sedikit saja takarannya, maka akan menghancurkan seluruh hasil akhirnya."

Mendengar itu, Shikamaru hanya bisa meneguk ludahnya. Ia takut. Takut dengan cara Naruto berbicara. Tak seperti biasanya yang cenge-ngesan, kini ia berbicara dengan nada yang penuh arti. Akhirnya Shika baru bisa memutuskan, akan sangat baik jika Naruto tetap bersikap seperti anak-anak dari pada seperti sekarang ini; tenang namun berbahaya.

"Aku membunuh Hinata saat malam setelah aku dan ayah bercinta." Aku Naruto dan berhasil membuat Shikamaru terkejut bukan main.

'Bercinta?' batin Shikamaru.

"Aku membunuh Hinata Karena dia berani bercinta dengan ayahku." Lanjut Naruto. "Didepan mataku." Tambahnya. "Apa yang tak pernah aku lihat, paman? Sudah berapa wanita yang ayah tiduri selama ibu meninggal?" ucap Naruto dengan nada sedikit meninggi. Dadanya terlihat naik turun. "Aku membunuh Hinata saat ia baru saja pulang dari kedai. Suatu kebetulan yang sempurna sehingga membuatku tak perlu membunuhnya di apartmentnya." Lanjut Naruto yang sudah tenang. "Aku berjalan dibelakangnya dengan mengendap-endap." Naruto mulai menceritakan kejadian yang terjadi beberapa hari yang lalu. "Kau tahu, paman, aku bahkan masih menggunakan yukata." Kekeh Naruto. "Santai saja membunuh Hinata, seperti menginjak semut. Aku memelintir kepalanya. Dan krek. Tulang lehernya patah. Kuseret dia ke gedung yang baru akan dibangun didekat apartmennya. Bersyukur para pekerja meninggalkan peralatannya disana. Ada sekop, cangkul. Kumanfaatkan semua itu. Hal yang paling kusuka adalah saat ia kembali sadar setelah aku memetah lehernya. Bukankah seharunya ia mati saat kupelintir lehernya? Itu menjadi bagian mengasyikan ternyata. Aku mendengarnya menjerit saat aku mencangkul kakinya. Aku tancapkan sekop kearah perutnya. Sungguh. Luar biasa." Cerita Naruto berhasil membuat Shikamaru mual.

"Dan aku yang membunuh ibu."

Lagi, Shikamaru dibuat terkejut bukan main.

"Kenapa kau lakukan itu, Naruto!" teriak Shikamaru kemudian.

"Aku mencintai Sasuke. Tak ada seorangpun yang boleh menyentuhnya. Tak ada seorangpun." Jawab Naruto. "Beruntung aku terlahir dengan tampang bodohku namun memiliki otak secerdas Uchiha dan Yamanaka." Katanya lagi sambil melipat kakinya.

"Aku mencintai ayah, bu." Kata Naruto saat ia dan ibunya sedang berada didalam mobi.

"Hahaha, tentu saja Naruto. Ibu juga mencintai ayahmu. Ibu juga mencintaimu, nak." Ucap Ino.

"Aku ingin ibu menjauhi ayah." Ucap datar Naruto membuat ino sedikit melirik. Apa maksudnya, kira-kira seperti itu mimic wajah Ino saat itu. "Aku ingin ibu menjahi ayah. Aku ingin hidup bersama ayah."

"Menjauhi ayahmu? Kita bisa tinggal bersama, Naruto. dan ibu yakin ayahmu juga mencintaimu. Kau anaknya." Ucap Ino berusaha menenangkan pikirannya sendiri. Aneh rasanya mendengar bocah berusia tujuh tahun mengatakan hal itu.

"Aku menginginkan ayah seorang, bu!" teriak Naruto kemudian menerkam ibunya yang sedang menyetir.

Ino terkejut dan tak sengaja membanting stirnya keluar dari jalan, menabrak pembatas jalan, kemudian berguling ke jurang, terus hingga satu pohon besar menhentikan hempasan mobil ford ungu tersebut.

Mobil mewah tersebut hancur lebur.

Darah ada dimana-mana. Darah Ino dan Naruto.

"A..a…pah…yang…ka…kau..laku…kan, na..naruhh…?" tanya Ino kesusahan saat ia menyadari ada sebuah kayu tertancap di dadanya.

"Akuh…mencintai…a..ayah.." ucap Naruto yang terjepit diantara stir dan paha ibunya.

Shikamaru sempat tertegun mendengar cerita Naruto. Sungguh, tak ada satupun yang mencurigai sang anak. Tentu saja, saat itu Naruto masih sangat kecil. Dan…ia cerdas. Bisa berpura-pura kehilangan namun faktanya ia sangat bahagia atas kepergian sang ibu.

"Lalu, Neji." Ucap Shikamaru yang perlahan mulai percaya dengan perkataan Naruto.

"Aku menyuruh temanku meracuninya. Masih, kebetulan yang sempurna." Jawab Naruto.

"Siapa temanmu?"

"Aku tak bisa memberitahu paman." Jawab Naruto sambil menyeringai tipis.

'Tidak boleh diremehkan?' pikir Shikamaru yang bahkan sekarang menganggap jika Naruto adalah seorang psikopat.

"Aku akan membunuh Sakura. Dan paman," potong Naruto dengan nada sedikit meninggi saat Shikamaru akan membuka mulut. "Katakan kepada ayah, lebih baik dia berhati-hati. Aku bisa buka mulut tentang semua ini." lanjut Naruto kemudian bangkit dari kursinya.

"Membunuh Sakura?" tanya Shikamaru tak percaya saat Naruto membongkar rencananya sendiri. "Segampang itu kau menyebutnya Naruto!?" emosi Shika mulai meninggi. Ia menahan tangan Naruto. keduanya saling membelakangi.

Shikamaru bahkan tak tahu seperti apa raut wajah Naruto sekarang.

Menyeringai.

"Hentikan, Naruto." pinta Shika lembut. Berharap masih ada rasa iba dan kemanusiaan didalam dirinya.

"Hanya ada Naruto dan Sasuke, paman." Kata Naruto kemudian menghempaskan tangannya dari genggaman Shikamaru. "Coba saja paman halangi aku." Tantang Naruto kemduain melangkahkan kakinya keluar ruangan.

Skip time

Festival akhir tahun KHS

"Apa kau sudah menyiapkan mereka?" bisik Sasuke pada Shika.

"Tentu." Jawab Shika sama berbisik. "Kau harus hati-hati, Sasuke." Dan setelah itu Shikapun pergi menuju suatu tempat.

Sasuke yang sudah berdiri didepan gedung KHS, menatap gedung besar itu dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Saat ini ia tengah menunggu Naruto.

"Ayah!" panggil Naruto saat baru tiba. Wajahnya tampak cerah seperti biasa, seperti tak pernah terjadi apa-apa. Sasuke hanya bisa meringis didalam hati mengetahui kenyataan yang ada, kenyataan jika anaknya terobsesi padanya. "Ayo, masuk. Acara pertamanya adalah teather." Ucap Naruto bersemangat sambil merangkul lengan sang ayah. Sasuke hanya mengikuti saja langkah sang anak.

"Yo, Naruto!" panggil Kiba dari kejauhan. "Paman." Sapa Kiba sambil membungkuk.

"Kiba, kau tak masuk?" tanya Naruto heran.

"Sebentar lagi." Jawab Kiba. "Aku harus mengambil Akamaru dulu. Ibu dan ayah akan pergi keluar kota." Ucap Kiba kemudian berpamitan kepada Naruto dan Sasuke.

"Ayo." Ajak Naruto karena sepertinya mereka akan terlambat.

Keduanya berjalan dikoridor yang sudah sepi. Sepi karena para siswa dan guru sudah berada di aula untuk acara pembuka.

Cukup tenang hingga membuat Naruto merasa sedikit tak nyaman. Ia terus memanyunkan bibirnya dan matanya terus melirik kiri-kanan.

'Apa yang akan kau lakukan, Naruto?' batin Sasuke yang menyadari betul jika perilaku Naruto sedikit aneh dimatanya.

Aula

Riuh gemuruh tepuk tangan siswa dan guru meramaikan aula yang sekarang sudah gelap. Sepertinya Sasuke dan Naruto datang tepat waktu. Teather akan dimulai sebentar lagi.

Keduanya menuju tempat duduk yang sudah disediakan oleh panitia mengingat Sasuke merupakan salah satu pendonor di KHS.

Srek!

Tirai dibuka, menampilkan beberapa orang berdiri diatas panggung dengan kostum old western fashion.

Mata Sasuke dibuat membulat saat ia melihat Sakura berada diatas panggung. Yah, betul, Sakura adalah guru di KHS. Naruto dapat melihat raut wajah keras Sasuke dari sampingnya dan ia hanya bisa menyeringai kecil. Jujur saja, Naruto tak terlalu kenal dengan Sakura.

"Ayah," panggil Naruto berhasil mengembalikan Sasuke kedunia nyatanya.

"Jangan lakukan hal bodoh, Naruto." Sasuke berharap.

"Aku tak melakukan apapun." Kata Naruto bingung dengan pembicaraan ayahnya.

Mendengar itu, Sauske mencoba menenangkan dirinya kembali.

"Apa ayah tahu, seperti apa rasanya melihat Sakura berdiri didepan sana dengan aku yang duduk disebelah ayah?" tanya Naruto pelan. "Apa ada rasa bersalah yang ayah rasakan?" tanya Naruto lagi.

Betul, dugaan Sasuke mulai benar. Sepertinya Naruto sudah merencanakan sesuatu kepada Sakura.

Teather sudah dimulai.

"Ayah mencintai aku atau dia?" tanya Naruto dengan pandangan yang tak lepas dari Sakura.

"Naruto, akan ada orang yang akan menangkapmu jika kau melakukan hal yang bodoh." Ancam Sasuke.

"Tch, kita sama-sama akan membusuk." Kata Naruto tenang. "Ayah jaga aku dari paman Shika, polisi, dan intel ayah, maka aku akan menjaga ayah dari nenek, publik." Naruto balik mengancam.

Sasuke berpikir sejenak. Apa yang harus ia lakukan?

Apa yang akan terjadi jika Tsunade mengetahui semua perbuatan Sasuke selama ini? Sungguh, Sasuke hanya mengharapkan perusahaan milik keluarga senju selama ini untuk menghidupinya dan Naruto.

"Biarkan ini berakhir selamanya." Terdengar oleh Sasuke suara Sakura menggema di aula saat ia menggenapi naskah terakhir teatherya. Dan setelah itu, badan Sakura terjatuh perlahan ke lantai.

"Jangan berani kau mengatakan itu." Ucap seorang laki-laki sambil mengangkat badan Sakura keatas pahanya. Berakting menangis seolah-olah sang belahan hati telah mati. "Bahkan matahari tak memiliki hak atasmu, bungaku." Kata laki-laki itu lagi sambil menengadah, mencoba mendalami perannya.

Tenang

Tenang

Prok

Prok

Prok

Tepuk tangan kembali menggema di aula.

Naruto bangkit dari duduknya.

"Mau kemana?" tanya Sasuke sambil menahan pergelangan tangan Naruto.

"Ayah yang pilih." Jawab Naruto kemudian kembali melanjutkan langkahnya dengan tenang saat terdengar teriakan dari atas panggung. Naruto menyeringai saat mendengar teriak itu. Ia menghiraukannya.

Beberapa jam kemudian

Kediaman Uchiha

"Sakura keracunan." Kata Shikamaru. "Racun yang sama digunakan oleh orang yang meracuni Neji." Tambah Shikamaru.

"Naruto.."

"Bukan." Potong Shikamaru kembali mengingat perkataan Naruto padanya beberapa hari yang lalu. "Temannya."

"Teman?" tanya Sasuke. Ia dibuat bingung bukan main.

Pertama, bagaimana bisa Naruto melakukan itu dengan sangat bersih?

Kedua, kemana Narutonya yang dulu?

Siapa teman naruto?

Siapa lagi psikopat berwajah malaikat berkeliaran diluar sana?

"Kita harus melaporkan ini, Sasuke." Kata Shikamaru tegas saat ia melihat Sasuke melangkahkan kakinya menuju mini bar. "Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi. Bisa saja Naruto melakukannya kepada orang lain untuk memuaskan rasa senangnya saja." Seperitnya Shikamru mulai parno dengan kejadian belakangan ini.

Sasuke berbalik menghadap Shikamaru yang sudah berdiri dari kursi. Ia menatap Shika dengan wajah letih. Baru kali ini Shikamaru melihat wajah Sasuke berubah jauh.

"Aku lelah, Shikamaru." Kata Sasuke kemudian kembali mendudukan dirinya. "Mengurung Naruto tak akan ada gunanya jika temannya berkeliaran diluar sana."

"Hm, dimana Naruto sekarang?" tanya Shikamaru yang sejah tadi tak mendengar suara Naruto.

"Sedang diperpustakaan sekolah."

"Kita akan menangkap Naruto. kemudian, kau pergilah keluar negeri."

"Itu bukan solusi, Shika."

"kau mencintai Naruto, bukan? Mencintainya sebagai seorang pria bukan seorang anak. Iya kan?" tanya Shika mulai meragukan Sasuke. Sasuke hanya menunduk dan mendesah pelan. "Bagaimana bisa kau melakukan itu kepada anakmu sendiri?" sekarang Shika sudah benar-benar kehilangan akal sehatnya. Sayangnya ia tak tahu ancaman yang sudah Naruto berikan kepada Sasuke. "Dan… kau meniduri banyak wanita, Sasuke! Aku merasa salah bekerja denganmu." Terdengar nada kecewa disana.

Tus!

"Cepat atau lambat ia akan membuat kita membusuk." Kata Naruto dengan tenang kemudian melemparkan pistolnya ke tong sampah dan duduk disamping ayahnya yang tampak begitu shock.

Disana, shika terbaring dengan kepala yang berlubang ditembusi oleh peluru panas yang Naruto lucuti tadi.

"Kita akan hidup bahagia, bukan?" tanya Naruto sambil bergelayut manja pada Sauske.

Fin

Bad ending :v

Ini salah satu dari salah banyak FF bad ending yang gue punya :v