Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto

Kami tidak mendapatkan keuntungan materiil apapun dari pembuatan fanfiksi ini.

Warning : AU, multipair, multigenre, miss typo(s)

.

.

.

Aroma

Hime Hoshina and Xenoa Fahrer

Alexandika

.

.

.

Prolog

Esperanza

.

.

.

Salem, sebuah kota yang terlupakan dari Massachusetts, New England.

Tempat waktu terabaikan, hingga beberapa abad terasa hanya bagaikan beberapa jam. Gedung-gedung tua dengan tanaman rambat menjalar di dindingnya adalah pemandangan biasa, menjamur di seluruh kota seolah ingin menegaskan keberadaannya. Pusat kotanya tak pernah sepi oleh para turis penasaran yang memburu sejarah kelam tiga abad yang lalu, berparade dengan topi kerucut hitam dan sapu di tangan, meniru gambaran penyihir paling mirip di buku cerita anak-anak yang mereka baca—meski mereka yang digantung di sana tentulah tak berpenampilan sama.

Sedikit menjauh dari hiruk pikuk di pusat kota, di daerah yang jarang tersentuh hal-hal berbau penyihir yang menjadi ikon kota tersebut, sebuah bangunan kecil dengan dinding bata merah berdiri. Terhimpit oleh sebuah toko kelontong dan toko peralatan memancing, nyaris tertutup oleh tanaman coral vine yang memenuhi dindingnya. Dari batanya yang sudah tua, diperkirakan bangunan itu sudah berada di sana selama satu atau dua abad terakhir. Namun, dekorasinya yang berkesan modern mengingatkan akan waktu yang terus bergulir. Di atas pintunya yang dicat dengan warna cokelat gelap, sebuah papan nama dari kayu tergantung.

Esperanza.

Terpahat rapi dengan font klasik yang meliuk-liuk bagaikan sulur tanaman. Di sisi kiri bawahnya, terukir gambar secangkir kopi yang mengepulkan uap.

Lonceng bergemerincing pelan saat pintu kafe terbuka. Seorang pria dengan masker hitam menutupi separuh wajahnya keluar dari kafe tersebut. Menggotong papan kayu bertuliskan berbagai jenis kopi yang disediakan. Matanya menyipit melihat matahari yang mulai meninggi di sisi timur, satu tangannya terangkat menutupi wajahnya, menghalau silau.

Jalanan di depan kedai kopi tersebut mulai ramai. Celoteh dan tawa riang anak-anak yang berlomba pergi ke sekolah mengalahkan kicauan bersemangat burung-burung dalam sangkar, beradu dengan suara roda yang menggilas kerikil yang terhempas di jalanan dan wanita-wanita yang hendak belanja. Tak ada satu pun kepala yang menoleh memandang kafe yang berdiri diam di tepi jalan ataupun pria yang tengah berdiri di mukanya, menikmati suasana pagi Kota Salem yang selalu ramai.

Pria itu mengatur papan kayunya secepat mungkin, menepuk debu yang menempel di apron berwarna hitam yang digunakannya. Memandang kedai kopinya dengan tatapan puas sebelum melangkah masuk dan menutup pintu—gemerincing bel kembali terdengar.

Satu pagi lagi, satu hari lagi dengan rutinitas yang sama.

Sang Master bertanya-tanya, kiranya siapakah pelanggannya yang akan datang hari ini?

…TBC…

A/N:

Terima kasih sudah membaca prolog kisah ini. Kami berdua sangat senang, akhirnya setelah 3 bulan tertunda proyek ini bisa dimulai.

Kisah ini berisikan banyak pasangan, tidak hanya dalam ikatan percintaan namun juga persahabatan dan hubungan lainnya. Tiap chapter akan menceritakan kisah yang berbeda dengan setting yang sama, di Kedai Kopi Esperanza.

Semoga kalian bisa menikmatinya ^^

Salam,
Hime Hoshina dan Xenoa Fahrer