Disclaimer: Eyeshield21 belongs to Riichiro Inagaki and Yusuke Murata
Title: Shadow And Smokes
Sub-title: The Empty Room
Warning: Adult theme and mature contents
.
Fic ini adalah fic terjemahan dari Shadow And Smokes by MangKulas, dengan berbagai penyesuaian dan improvisasi.
.
Bertahun-tahun Hiruma terus menghantui Mamori.
Awalnya, hal itu tidaklah terlalu buruk. Pada suatu malam, Mamori menangis terisak, sesak sampai akhirnya tertidur. Dan—entah bagaimana menjelaskannya—ia tahu kalau tangisan tanpa henti itulah yang merupakan permulaan dari segalanya. Esok paginya, saat gadis itu sedang mengawang-awang antara sadar dan tidak sadar, Mamori Anezaki berani bersumpah kalau ia dapat merasakan tangan Hiruma sedang melingkari bahunya.
Mamori sungguh merasakan lelaki yang dicintainya itu sedang memeluknya dari belakang. Buktinya, Mamori dapat mencium aroma mint napas Hiruma yang menggelitik tengkuknya. Saat itu, secara refleks Mamori berbalik dan bergumam, "Aku rindu padamu." Tapi, tentu saja, setelahnya ia akan tersentak bangun dan mendapati ruang kosong di sisi lain tempat tidurnya.
Tanpa pernah gagal, hal itu pun terus terjadi setiap hari. Mamori tahu, kalau seharusnya hal tidak wajar tersebut membuatnya kesal dan jauh lebih sedih. Namun kenyataannya, hati Mamori malah berubah cerah setiap kali merasakan kehangatan tubuh seseorang yang sebenarnya tidak ada.
Tidak diragukan lagi, Mami Anezaki pasti akan berpikir kalau putrinya sudah gila. Tapi kalau ilusi itu bisa membuat Mamori merasa lebih baik, maka wanita yang masih cantik di usia senjanya itu tidak akan mempertanyakan hal tersebut lebih jauh. Mungkin itulah cara malaikat kecilnya mengatasi ketidakhadiran kekasihnya.
Selanjutnya, Mamori mulai mengalami ilusi yang sama—tidak hanya pada pagi hari. Namun siang, sore, bahkan malam. Sepanjang hari Mamori bisa merasakan kehadiran lelaki itu. Setiap kali ia sedang mencuci piring, ia dapat merasakan tatapan kristal hijau cemerlang menusuk punggungnya. Namun begitu ia berbalik—berharap menemukan figur tinggi kurus sedang bersandar di pintu dapur—tak ada siapapun di sana.
Atau, ketika ia sedang menjemur kain seprainya, ia akan melihat sepasang sepatu hitam di bawah linen putih itu. Mamori pun bergegas ke sisi lain, ke balik kain basah yang masih berbau sabun tersebut. Tapi yang ia temukan di sana hanyalah dirinya, matahari, dan angin.
Lalu kemudian, bayangan-bayangan lain pun bermunculan. Seperti wangi permen karet bercampur dengan aroma bubuk mesiu. Bagaimana hal aneh tersebut bisa terjadi—lagi? Mamori ingat, hal itu juga pernah ia alami setengah tahun lalu. Saat itu Suzuna berkunjung ke apartemen mungil miliknya, mereka sedang merencanakan untuk menonton film bersama dan tiba-tiba saja … aroma khas Hiruma menerpa hidungnya.
"Suzuna-chan, apa kau mencium bau itu?" kata Mamori memotong celotehan sang mantan cheerleader Devil Bats.
Suzuna mengerutkan kening, "Apa?"
"Seperti bau senjata api."
Suzuna tertawa. "Hahaha …. Mamo-nee ada-ada saja. Jangan memikirkan hal yang aneh-aneh~!"
"Tidak, bau itu benar-benar ada," Mamori bersikeras. Ia pun bangkit dan berjalan ke kamar tidurnya, "dan aku bisa mencium bau permen karet juga."
Suzuna berdiri. "Mamo-nee, bagaimana kalau kita menonton film—"
Mamori keluar dari kamarnya, melewati Suzuna tanpa menghiraukan kata-kata gadis itu. "Mungkin bau itu berasal dari dapur …."
"Mamo-nee …. Aku tidak mencium bau apa-apa …." ucap Suzuna.
Mamori berdiri bingung di tengah ruangan. "Suzuna-chan, maafkan aku tapi … menontonnya lain kali saja. Ya?"
"Eh? Oh … oke." Suzuna terlihat agak kecewa tapi ia menegaskan, "Baiklah. Lain kali saja …."
Setelah kejadian itu, pada banyak hari-hari Mamori berikutnya , bau yang sama masih terus bermain-main dengan penciumannya. Bahkan sampai pakaiannya pun jadi berbau seperti itu—seperti Hiruma. Yang lebih mengejutkan, kini bukan hanya Mamori yang bisa menciumnya.
Kala Sena, Suzuna, dan Monta mengunjunginya suatu malam, mereka bertanya kalau-kalau Mamori memiliki senjata api. Sebab hidung ketiganya pun dihampiri oleh bau khas yang selalu mereka cium saat masih dibawah komando Hiruma, dulu. Kemudian, sesuatu yang lain lagi kembali terjadi. Pada tiga bulan setelah kunjungan Sena, Suzuna, dan Monta.
Saat itu, salah satu malam dimana bulan tidak menampakkan dirinya. Kamar tidur Mamori jauh lebih gelap dibandingkan kelamnya malam. Gadis itu berbaring di tempat tidurnya; kedua kakinya merapat dan tangan mungilnya berada di antara kakinya. Belakangan ini ia terus memikirkan Hiruma; jari-jari panjangnya, telapak tangannya, bibir dan lidahnya. Hal itu menyebabkan ketegangan pada bagian bawah tubuhnya yang saat ini sedang bergulung ketat.
Sang mantan manajer tim Saikyoudai Wizard membayangkan tubuh Hiruma membungkus tubuhnya sendiri. Merasakan tekanan bahu lebar sang kapten atas dirinya. Kulitnya yang selalu terasa panas melekat pada kulit telanjangnya. Otot-otot di bawahnya menekan lembah Mamori. Sedang otot-otot lainnya menyapu keras lekuk-lekuk tubuh manusia berparas malaikat itu.
"Hei, Manajer Sialan …. Apa yang terjadi dengan anggota komite disiplin yang selalu sopan dan teladan?"
"Tutup mulutmu, Hiruma-kun," bisik Mamori tanpa berpikir. Lalu kemudian, gadis itu tersentak ketika ia merasakan lidah Hiruma menjilat sisi wajahnya. Mamori menyadari dorongan keras di bagian bawah tubuhnya, sementara sepasang tangan menahan kedua lekukan di sisi tubuh sempurna itu. "Kau tidak di sini. Ini hanya imajinasiku saja," desahnya berusaha menolak.
"Kekekekeke …."
Dan kemudian, ada bibir tipis yang menyelimuti bibir mungil Mamori. Meskipun ragu akan dirinya sendiri, Mamori mengangkat tangannya untuk kemudian menyentuh sesuatu; wajah yang solid. Wajah runcing itu. Telinga lancip itu. Juga anting-anting yang melengkapinya.
Mamori mengharapkan adanya setitik saja cahaya. Karena anting-anting perak itu akan berkilau dengan indahnya setiap kali ia bercinta dengan Hiruma. Hal itu sungguh menggerakkannya; membuatnya gila. Mamori tidak tahan, tapi yang bisa ia lakukan hanyalah mencoba diam. Walaupun pada akhirnya ia selalu gagal dan mengerang tak terkendali.
Cairan hangat membasahi celana dalamnya saat Mamori mengenang momen tersebut. Mamori pun mendesah lega, puas akan fantasinya. Tapi tak lama berselang, gadis itu hampir saja melompat keluar dari kulitnya sendiri begitu merasakan jemari lentik yang familiar meluncur ke balik kain celana dalamnya. Pekikan kecil pun keluar dari tenggorokan Mamori. "A—apa yang kau lakukan, Hiruma-kun?"
"Ini adalah fantasimu. Ingat? Tidak ada lagi pertanyaan, Manajer Sialan …."
Sesuatu yang mengaku fantasi itu kemudian membalikkan tubuh Mamori. Kini gadis berambut merah kecoklatan itu bertumpu pada lutut dan kedua tangannya. Celana dalamnya yang sudah basah diturunkan perlahan oleh jari-jari kurus milik seseorang dibelakangnya. Dan Mamori dapat mendengar dengan jelas suara ritsleting yang diturunkan. Lalu, sesuatu yang hangat dan keras terapit di antara kedua belahan bokongnya, merasuki porosnya.
Tubuh Mamori Anezaki bergetar hebat. Hasratnya yang tidak tertahankan membuat napasnya lebih cepat. Selanjutnya, gadis itu pun menjerit ketika merasakan sesuatu yang hangat itu memenuhi bagian bawah tubuhnya.
"Aku selalu menyukai bagian yang panas ini, Manajer Sialan. Bagian dalam dirimu ini …."
Bisakah suara dari ilusi itu terdengar begitu menggoda? Pikiran tersebut melayang di kepala Mamori begitu ia merasakan gerakan pinggul Hiruma. Lelaki itu melesak ke dalam dirinya. Menyebabkan erangan panjang meluncur keluar dari bibirnya. Hiruma pun bergerak lebih cepat dan lebih cepat. Kumparan menyenangkan di selangkangannya sudah tak tertahankan kini.
Sampai kemudian, tiada lagi kata ataupun keributan dalam kegelapan itu. Yang ada hanyalah suara dua tubuh yang ringan menampar satu sama lain juga napas tak teratur keduanya. Lagi-lagi, cairan hangat mengaliri paha Mamori. Gadis itu menggeram parau sementara sosok dibelakangnya memeluknya erat. Membuat punggung sang mantan anggota komite disiplin menempel ketat pada dada telanjang sang komandan dari Neraka.
Seluruh tubuh Mamori luluh. Ia melemah sambil menikmati sisa-sisa kenikmatan yang diberikan kekasihnya—ilusi kekasihnya. Saat terakhir sebelum ia memejamkan matanya dan menyerah pada alam mimpi, ia masih bisa merasakan beban tubuh Hiruma, bibirnya yang menekan kulit bahunya, juga helai-helai rambut halusnya yang basah oleh keringat.
Ketika Mamori terbangun keesokan harinya, ia langsung bangkit duduk dan memeriksa bagian bawah gaun malamnya. Ternyata gadis itu masih mengenakan celana dalam. Menemukan hal tersebut, Mamori pun kembali berbaring dan menghela napas panjang. Dia berkata pada dirinya sendiri, "Yang tadi malam itu sungguh adalah mimpi yang luar biasa."
"Apa yang kau lakukan, bermalas-malasan di sana, Manajer Sialan? Bukankah hari ini kau masih ada kelas?"
Mamori terdiam. Air mata pun mulai membasahi wajahnya, bahkan ketika ia menggelengkan kepalanya.
"Jangan terlalu memikirkan hal itu, Manajer Sialan. Kau akan kehilangan nafsu makanmu."
Angin menerpa dan mengangkat helai-helai rambut Mamori. Namun bagi gadis itu, belaian angin pun terasa seperti sentuhan jari-jari panjang Hiruma yang bermain dengan rambutnya.
Mamori Anezaki menghela napas panjang sebelum akhirnya menuruti nasihat Hiruma. Pemilik mata biru pucat itu pun berdiri dan beranjak ke kamar mandi. Saat ia mengangkat sikat giginya dan hendak melapisinya dengan pasta gigi, ia mendongak hanya untuk terpaku kemudian. Tangannya berhenti di tengah perjalannya menuju mulut.
Di cermin, Mamori dapat melihat pantulan Hiruma. Laki-laki itu bersandar di kusen pintu kamar mandi. Mata tajamnya mengerling ke arah Mamori. Dia mengenakan kemeja dan celana hitam. Tangannya ia masukan ke saku celana panjangnya.
Mamori mulai memalingkan wajahnya untuk melihat seseorang yang ia pikir ada di belakangnya. Namun baru saja kepalanya bergerak sedikit, gadis itu berhenti tiba-tiba. Ia pun kembali menghadap cermin dan mulai menggosok gigi dengan hati-hati—masih tetap menatap bayangan Hiruma.
Saat Mamori berkumur, Hiruma mengeluarkan permen karet dari sakunya dan membuka bungkusnya. Mamori meletakkan kembali sikat giginya ke dalam cangkir begitu Hiruma memasukkan permen karet ke dalam mulutnya. Tetapi karena perhatian Mamori tersita sepenuhnya oleh Hiruma, ia tidak dapat memperhatikan cangkirnya sampai-sampai benda itu terjatuh ke lantai dengan suara keras.
Releks, Mamori memekik dan melihat lantai tempat cangkirnya terjatuh. Tapi tidak sampai satu detik kemudian, Mamori mendongakkan kepalanya lagi dan … Hiruma sudah lenyap dari cermin. Mamori berbalik. Cangkir masih berguling-guling di dekat kakinya. Dan ruangan itu … kosong.
Tapi tidak. Mamori tersenyum. Baginya, ruangan itu tidaklah kosong.
.
.
Ada suatu hari dimana Mami Anezaki menelepon putrinya dan mengomeli gadis itu.
"Kenapa kau tidak menghubungi ibu, Mamori-chan? Ibu kan bisa mengurusmu …."
"Hai juga, Bu," Mamori berkata, tertawa, "jangan khawatir. Aku baik-baik saja sekarang."
"Kalau kemarin Sena tidak memberitahu ibu, ibu pasti tidak akan pernah tahu tentang hal itu."
"Ya, Sena mendapatiku tepat pada hari terakhir aku flu."
Mami mulai mengatakan sesuatu sebelum tiba-tiba berhenti.
"Apa?" tanya Mamori.
"Apa kau … punya pacar?"
Mamori menaikkan alisnya bingung. "Tidak. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan dan kuliahku, Bu. Menjadi asisten dosen itu sungguh berat. Aku tidak punya banyak waktu luang."
"Oh."
"Kenapa?"
"Ti—tidak. Hanya … Sena pikir ada seseorang yang merawatmu. Katanya ia menemukan sup, air, dan obat-obatan di dekat tempat tidurmu, juga … kompres dingin yang menempel di dahimu."
"Tidak, Bu. Aku mengurus diriku sendiri. Hanya ada … aku. Ya, hanya aku."
"Ah, ya …. Tidakkah kau bertemu dengan laki-laki yang baik di kampusmu, Mamori-chan?"
Mamori mendengar suara tarikan pelatuk dan letusan balon permen karet. Ia tertawa renyah.
"Apa?" Mami bertanya kesal.
"Tidak, bukan apa-apa. Tolong, jangan mengkhawatirkan aku, Bu."
Mami mendesah. "Sayang, kau benar-benar harus pindah. Maksud ibu, sudah dua tahun berlalu dan kita masih tidak tahu di mana Hiruma berada. Ibu sangat menyukai Hiruma, tentu saja, tapi … kalau ibu tahu ia akan membuatmu sesedih ini—"
"Bu," Mamori menyela, "sudah kubilang, tidak usah khawatir …." Mamori menghela napas, "Aku masih memilikinya di hatiku. Dan ia akan tetap berada di sana untuk waktu yang sangat lama. Memang, banyak malam yang kuhabiskan dengan menangis, tapi bukan karena merindukannya, itu karena kuharap aku bisa berhenti memikirkannya dan—"
"Oh, begitukah, Manajer Sialan?"
Mamori mengabaikan suara itu. "—dan kurasa dengan menerima kalau aku masih mencintainya, akan terus dan selalu mencintainya, malah membuatku lebih baik, Bu. Aku sangat menghargai apa yang Ibu lakukan untukku, tapi … saat ini aku bahagia. Aku baik-baik saja dengan keadaanku sekarang. Mungkin suatu hari nanti aku akan siap untuk menerima kehadiran orang lain. Tapi tidak sekarang."
"Baiklah. Tapi sayang, ibu takut kalau kau akan terus menunggu dan menunggu. Dan sebelum kau menyadarinya, kau—"
Mamori tertawa. "Kupikir tidak akan sedramatis itu, Bu. Aku janji kalau aku tidak akan menjadi gadis delapan puluh tahun yang setiap hari duduk di bangku taman untuk menunggu suaminya pulang …."
Setelah beberapa saat, Mami tertawa juga. "Baik, baik. Ibu pikir ibu memang terdengar sedikit konyol. Kalau begitu, sampai jumpa minggu depan."
"Sampai jumpa."
Dan ketika Mamori meletakkan gagang telepon, ia melihat sesuatu di lantai. Bayangan lain di samping bayangannya sendiri. Asap tipis naik dari bayangan tersebut.
"Kau belum berhenti merokok?" tanyanya dalam ruangan kosong itu.
"Apa kau sendiri sudah menyerah soal creampuff?"
Mamori menjulurkan lidahnya, tapi kemudian merasa bodoh. Gadis beraroma manis itu menggeleng. Jika ibunya melihatnya seperti ini, maka Mamori tidak bisa meyakinkan ibunya untuk tidak mengkhawatirkan dirinya hanya dengan sebuah panggilan telepon.
.
.
Ada kalanya, bayangan itu—hantu Hiruma—menghilang untuk beberapa saat. Rasanya begitu natural. Seperti jika Hiruma sedang pergi ke supermarket atau lapangan atau lainnya.
Tapi Mamori juga berpikir kalau semua itu hanyalah mimpi di saat ia terjaga. Dari semua orang—kesampingkan kejadian saat Sena, Suzuna, dan Monta mencium bau bubuk mesiu—hanyalah Mamori yang bisa merasakan kehadiran Hiruma.
Hanya Mamori yang bisa melihat bayangan, refleksi, ataupun tubuh nyata Hiruma di malam hari. Tapi tidak apa-apa selama Mamori bisa meyakinkan dirinya sendiri kalau semua hal tidak wajar itu hanyalah akibat rasa rindunya yang begitu besar kepada Hiruma. Ya, semuanya pasti akan menghilang dan kembali normal seiring berjalannya waktu.
Ya, itulah yang dipikirkan Mamori. Tapi tidak sampai beberapa hari setelah ibunya menelepon, saat dimana Mamori menyadari kalau ia belum mendapatkan menstruasinya selama dua bulan terakhir.
.
End of chapter 1: The Empty Room
.
