Kise-san, panggilmu saat itu.
Aku masih ingat permulaan hari yang dingin di musim semi. Kabut pun masih menyelubungi kota. Di waktu yang tak masuk akal itu, kau menelpon, mengajak bertemu. Di taman kota yang sangat dekat dengan rumahku. Aku berlari terengah-engah karena permintaanmu yang tidak biasa.
Kau berdiri sendiri di bawah daun-daun hijau pohon ginko kesukaanmu. Dengan bibir merah di balik syal hitammu yang panjang dan lembut, kau langsung mengutarakan niat tanpa menungguku mengatur nafas lebih dulu. Biarpun mengatakan hal seperti itu, tatapanmu tetap tidak berubah.
Dingin.
Kosong.
Kau bilang:
ayo, putus.
xxx
.
.
Permulaan yang Baru
Rozen91
Kuroko no Basket © Fujimaki Tadatoshi
Memory 1: Pertemuan Musim
.
.
xxx
Satu tahun setelah Winter Cup. Aku masih ingat hari itu. Menyongsong tahun ketigaku di SMA Kaijou; bersama para gadis yang terus melengket di waktu istirahat, bersama masa depanku sebagai seorang pemain basket gemilang di mata para pencari bakat. Tapi, tentu saja, diwanti-wanti berapa kali pun mengenai ketenaran di masa depanku nanti atau apalah, aku tidak akan melepaskan impianku untuk menjadi seorang pilot.
Aku, perlakuanku pada semua gadis yang datang padaku selalu sama. Aku tidak mengistimewakan satu orang pun. Bahkan Momoicchi sekalipun—walaupun sebenarnya aku bisa saja suka dia jika Aominecchi belum melingkarkan lengan di bahu gadis pink itu. Waktu itu, tak ada satupun gadis yang bisa membuatku merasakan perasaan luar biasa yang muncul ketika aku melihat Kurokocchi atau saat memikirkannya.
Hatiku hanya terpaku pada Kurokocchi. Pemuda biru dengan wajah datar yang terus terbayang dipikiranku. Belum ada yang bisa menghapus eksistensinya di dalam angan-anganku.
Hingga gadis itu melewati jalan yang sama denganku. Tak sengaja aku melihatnya. Menyadari satu hal yang begitu dominan darinya. Kesendiriannya. Ketidakpeduliannya.
Kurokocchi, bisikku tanpa sadar.
Tanganku bergerak cepat, menarik lengan gadis itu. Dia terkejut. Rambut hitamnya yang panjang bergoyang mengikuti gerakan badannya. Sepasang permata kelabu balik menatapku. Dia merasa terganggu dengan sikap spontanku.
Aku salah tingkah.
Ah, maaf. Kukira temanku, kataku sambil tersenyum simpul. Sebisa mungkin menarik hatinya—hatimu— agar memaafkanku, karena hal itu berhasil pada semua gadis yang kutemui. Tapi, dia—kau— tidak terkesan. Kedua kelopak matamu merendah. Tatapanmu tajam dan tidak senang. Lalu, wajahmu berpaling. Kau pergi meninggalkanku tanpa sepatah katapun.
Aku terpaku.
Entah apa yang kupikirkan. Kau sama sekali tidak mirip Kuroko Tetsuya.
Brrr! Brrr!
Handphone-ku berdering. Momoicchi menelponku, mengabarkan reuni Kiseki no Sedai yang jarang dilaksanakan mengingat jarak kediaman Murasakicchi dan Akashicchi yang cukup jauh. Serta jadwal masing-masing anggota yang kini, sejak memasuki tahun ketiga, terbilang padat. Perasaanku bergejolak. Memikirkan kemungkinan bertemu lagi dengan Kurokocchi. Senyumku mengembang tanpa bisa kutahan.
Aku tak sabar untuk bertemu Kurokocchi!
Musim semi tahun ini mungkin datang untukku.
Reuni kali ini diadakan di kafe pilihan Akashi—tak ada yang berani mengusulkan tempat lain. Aku memakai pakaian kasual terbaik yang membuatku lebih tampan dan fresh—setidaknya itu yang tampak di cermin. Aku tiba lebih dulu dari yang lain. Mataku mencari-cari tempat yang pas, walaupun sebenarnya aku yakin Akashicchi pasti sudah mereservasi tempat yang diinginkannya.
Seorang pelayan melihatku. Ia lantas bergegas menyambutku, seolah sudah menunggu kedatanganku. Benar saja. Ia mengantarku ke meja yang sudah ditandai sebagai meja yang telah dipesan.
Aku duduk dan memandang lurus ke depan.
Di meja seberang, kau mengangkat wajahmu dan memandang lurus ke depan.
Aku terkejut bagai tersengat listrik.
Tatapan itu mengingatkanku pada Kuroko Tetsuya.
Sorot matamu berubah. Kau membuang wajah dan bergegas pergi. Rambut hitam yang menjuntai berayun di punggungmu. Aku terhenyak, refleks ingin mengejarmu. Menjelaskan kesalahpahamanmu. Bahwa aku tidak tengah membuntutimu atau apa. Tapi, kemudian aku berubah pikiran.
Apa yang kupikirkan? Aku sama sekali tak punya urusan denganmu. Aku bahkan tidak mengenalmu. Lagipula, aku sudah minta maaf, 'kan?
Aku menghela nafas seraya mengacak-acak rambutku, tiba-tiba merasa kesal entah pada siapa.
"Ada apa, Kise-kun?"
Aku nyaris meloncat dari kursiku. Tepat di sampingku, telah duduk Kuroko Tetsuya. Yang memandangku dengan kedua bola mata biru langitnya yang indah. Tanpa bisa dicegah aku menerjang memeluknya.
Aku berhasil?
Tentu saja, tidak. Kurokocchi sudah sangat terampil dalam menghindar. Gerakannya semakin gesit, dengan lihai melengos dan duduk di kursi terjauh yang tak mungkin kugapai tanpa berdiri. Aku tak sempat. Anggota lain Kiseki no Sedai sudah tiba.
Dengan setengah hati, kutahan keinginkanku untuk memeluknya. Reuni kali itu benar-benar membuatku tersiksa sepanjang waktu. Aku tetap tak bisa berdekatan dengan Kurokochhi ataupun berdua dengannya. Padahal, kesibukan selama ini tak pernah mengizinkanku untuk bertemu dengannya. Aku menelan kerinduan di dalam hatiku.
Aneh.
Malam itu, aku bermimpi tentang seorang gadis—kau—, padahal yang kuinginkan hanyalah Kuroko Tetsuya. Aku kesal. Aku bingung. Frustasi.
Aku tidak punya pilihan lain.
Esoknya aku mengejarmu dan memaksamu untuk berkenalan denganku. Aku tidak bisa mengendalikan pikiranku dan bayang-bayang Kuroko Tetsuya di benakku. Saat itu, aku tidak bisa melihatmu dengan jelas.
Kau adalah gadis yang pendiam. Tidak punya teman. Penyendiri. Selalu duduk di ujung belakang kelas. Selama 2 tahun ini aku tidak sadar bahwa kita selalu sekelas. Jantungku berdebar-debar kencang. Kuroko Tetsuya semakin jelas kelihatan.
Izumi Kira, jawabmu pada akhirnya. Aku tersenyum lebar.
Kise Ryouta.
Aku tahu, sahutmu tidak tertarik.
Bibirku mengulas senyum senang. Kau tidak membalasnya. Wajahmu berpaling seolah dengan jelas mengatakan bahwa kau tidak ingin diganggu olehku. Tapi, bukankah saat itu aku mengejarmu?
Kau tidak luluh, tapi aku tidak menyerah. Darahku berdesir. Inilah yang selalu membuat adrenalinku berpacu. Inilah yang kuinginkan. Biarpun aku tidak bisa meraih Kuroko Tetsuya, tapi aku yakin, aku bisa meraihmu.
Kemudian, di hari itu aku mengatakan apa yang kuinginkan.
Tatapanmu tidak berubah.
Dingin.
Kosong.
Mungkin sebenarnya kau berniat mencari tahu. Mungkin karena itu, kau bersedia menerima pernyataanku dengan satu kata singkat:
Boleh.
Angan-anganku melayang tinggi. Ribuan kelopak bunga sakura terbang mengikuti jalan sang angin. Menghujani dirimu dan aku. Aku sangat senang. Senyumku lebar dan ceria. Tapi, aku tidak melihat raut wajahmu.
Di hari itu, pertemuan musim semi dan musim panas, aneh.
Entah kenapa...
Aku tidak bisa melihatmu dengan jelas.
Hanya warna biru langit yang memenuhi pandanganku.
Di hari pertemuan dua musim itu, aku tidak melihat warna hitam dan kelabu yang membentuk dirimu. Hingga aku tersadar dan tiba-tiba melihatnya. Aku terperanjat. Kekhawatiran menyergapku begitu saja. Aku tidak mengenalmu.
Sama sekali tidak mengenalmu, Izumi Kira.
_bersambung_
