Chapter 1 : History(ies)

Ichigo's P.O.V

Ichigo Hitofuri. Nama itu sudah diberikan oleh Awataguchi Yoshimitsu yang telah menciptakan ku. Seperti pedang lainnya, aku sudah berkali-kali diserahkan oleh orang lain sebagai tuanku. Mungkin beberapa sejarah yang tidak terlalu aku ingat dikarenakan aku pernah terbakar di Kerajaan Osaka pada tahun 1615. Bukan hanya diriku saja, kedua adikku juga terbakar di sana.

Tidak ada seorang pun yang tidak terpukul karena kehilangan orang yang mereka cintai. Begitu pun aku yang kehilangan dua adikku dalam satu waktu yang sama. Mungkin hal ini juga salah satu penyebab hilangnya sebagian ingatan aku. Bahkan aku juga hampir lupa nama orang yang menciptakan aku jika tuanku saat initidak menyebutkannya.

Setelah selamat dari amukan api di Osaka, aku ditempa kembali dan dipertemukan dengan Tokugawa Mochinaga sebagai tuan baru ku. Walaupun ia mempunyai marga yang sama dengan pemilikku sebelumnya, aku masih tidak bisa lepas dengan tuanku yang dulu. Waktu yang sudah dihabiskan bersama, apalagi bersama adik-adikku, membuatku sudah merasa nyaman dengan pemilikku sebelumnya.

Beruntung bahwa ada adikku lainnya ada di sana. Ia menarik-narik tanganku dengan semangat ketika kedua mata cokelatnya melihat sosok yang ia kenal. Di saat itu juga aku tidak lupa mengucapkan rasa syukur karena Awataguchi telah membuat banyak pedang sehingga masih ada adik-adikku yang lainnya (walaupun tuan mereka berbeda denganku). Setidaknya kehadiran adikku yang lainnya dapat membuatku tersenyum kembali.

Adikku, Hirano Toushirou, mengajakku ke suatu tempat dimana ia akan memperkenalkanku dengan pedang-pedang lainnya. Rumah Mochinaga-dono terlalu luas sehingga kami memerlukan banyak menit untuk menuju tempat tujuan Hirano. Setelah sampai di halaman belakang, kedua mata emasku menangkap sosok roh pedang bersurai hijau sedang duduk santai sembari menikmati teh ocha buatan Hirano. Ketika sosok itu menyadari keberadaanku, aku bisa melihat wajah cantiknya yang tersenyum ramah kepada ku. Apakah dunia sedang bercanda atau sosok itu memang sudah dibuat begitu indah oleh orang yang menciptakannya? Entahlah, aku hanya bisa bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk melihat pemandangan indah pada saat itu juga.

"Oya? Ichigo Hitofuri kan? Namaku Uguisumaru. Salam kenal." Suaranya yang lembut berhasil menghiasi musim semi di zaman itu. Aku meletakkan tangan kanan ke dadaku, menunjukkan rasa hormat kepadanya. "Nama saya Ichigo Hitofuri. Dengan segala hormat, saya berterima kasih kepada Anda yang sudah menjaga adik saya selama ini."

"Tidak perlu formal. Aku tipe bebas dan santai." Katanya setelah mendengar perkenalanku kepadanya.

"Maaf, sifat bawaan dari pemilik saya sebelumnya."

Keadaan pun menjadi sunyi kembali. Hirano memasang raut wajah sedih ketika diriku menjelaskan penilaian Uguisumaru-dono terhadapku. Sosok pria indah di hadapanku juga tidak bisa berkata satu kata pun. Di tengah kesunyian itu, kami hanya bisa mendengar suara Uguisumaru yang sedang meminum teh nya.

"Maaf dengan berita duka yang kau alami." Akhirnya Uguisumaru-dono berbicara. Raut wajahnya berubah menjadi lebih datar.

"Tidak apa-apa. Saya juga salah, Uguisumaru-dono." Ia pun tersenyum kembali, lega dengan reaksi dariku yang tidak terlalu berlebihan untuk mengingat masa lalu yang suram itu.

"Ah! Aku lupa!" Seruan Hirano membuat dua pasang mata menuju kepada pedang kecil itu.

"Uguisumaru-sama, apakah Anda melihat Tsurumaru-sama?"

Suara gumaman dari Uguisumaru-dono dapat kudengar. Sepertinya aku bisa menduga kalau ia tidak tahu keberadaan roh pedang yang sedang Hirano cari.

"Tidak tahu. Bangau itu memang susah dicari." Jeda, ia menghabiskan minumnya terlebih dahulu. "Cari saja di sekitar sini."

"Ahh. Tsurumaru-sama selalu saja suka begini." Keluh Hirano dengan ekspresi wajah cemberut seperti anak kecil. Hahaha, dia memang anak kecil. Tampilannya dikarenakan oleh ukuran pedang yang telah dibuat oleh penempa nya.

Tanganku ditarik kembali oleh pedang kecil itu. Ia membawa diriku ke halaman dan mencari pedang bernama Tsurumaru itu. Aku pernah mendengar nama itu sekali. Konon, pedang yang diciptakan oleh Gojou Kuninaga itu selalu membawa musibah kepada tiap pemiliknya. Akan tetapi, ada juga yang bilang bahwa pedang itu adalah pedang yang kuat dan hampir melebihi pedang-pedang harta kerajaan lainnya.

Kami masih mencari keberadaan pedang itu. Cukup memakan waktu yang lama untuk menemukan sosok itu. Aku sedikit khawatir terhadap Hirano yang sudah lelah mencari pedang bernama Tsurumaru Kuninaga itu.

"Sepertinya Tsurumaru Kuninaga sedang tidak berada di sini, Hirano. Mungkin lebih baik kau istirahat dulu." Ucapku kepadanya. Tapi sang lawan bicara hanya menggeleng kepala dan berkata "tidak, Ichi-nii! Kau pasti akan menyukai dirinya. Dia adalah pedang terindah yang dimiliki oleh Tokugawa-sama."

"Benarkah?" Tanyaku penasaran. Hirano menjawab dengan anggukan.

"Tapi tingkahnya selalu saja membuat kami kesal. Dia seperti anak kecil yang suka bermain-main di saat waktu yang tidak tepat." Kukira malah sebaliknya. Pedang itu terkenal dengan kekuatannya yang tidak wajar alias di atas rata-rata. Konon, pedang tersebut pernah berguru dengan pedang tempaan keluarga Sanjou. Siapa yang tidak kenal dengan keluarga elite itu. Aku juga pernah mendengar kalau salah satu pedang buatan Sanjou juga mempunyai gelar Tenka Goken alias lima pedang terkuat dan indah di Jepang.

Rasa penasaran ku semakin bertambah ketika dugaan awal terhadap pedang itu berbeda dengan realitas yang dijelaskan oleh Hirano barusan. Pada akhirnya, Aku membantu Hirano dalam pencarian pedang terkenal itu. Aku pun berpisah dengan Hirano dan berpencar agar lebih mudah untuk menemukannya.

Aku mencari di semak-semak, bahkan di selokan yang berada di bawah rumah Mochinaga-dono. Kata Hirano, pedang itu selalu bersembunyi di tempat yang tidak kita duga. Sepertinya pedang itu ahli dalam bermain petak umpet.

Semua tempat yang tidak biasa sudah aku telusuri. Terkecuali satu tempat yang mungkin belum aku periksa. Tempat itu adalah pohon sakura yang paling besar di halaman milik Mochinaga-dono. Aku pun menuju ke sana dan berharap bisa bertemu dengannya.

"WAA!"

Jantungku berdegup kencang ketika ada seseorang mengejutkanku. Orang tersebut menggantungkan kakinya di ranting pohon sehingga badannya bisa menggantung ke bawah dan wajahnya berpas-pasan menghadap ke aku. Kecepatan jantung yang semakin liar ketika aku melihat kedua manik emas yang lebih terang dibandingkan punyaku, kulit wajah yang putih bagaikan salju, bulu mata putih yang lentik berhasil menghiasi kedua manik emasnya, dan senyumannya yang bersinar. Entah aku yang sedang halusinasi atau bukan, aku dapat melihat bulu bangau berwarna putih beterbangan di sekitarnya.

Adik-adikku yang terbakar di Osaka sering bercerita tentang bidadari kepadaku. Sudah pasti aku tidak percaya dengan hal tersebut. Namun, kehadiran sosok di hadapanku membuat diriku percaya keberadaannya.

"Oya? Kau bukan Hirano?" Aku menjawab dengan menggelengkan kepala, tidak bisa berucap dan kehabisan kata-kata karena sudah kugunakan di dalam pikiranku.

Sosok indah itu beranjak turun. Ia pun menjulurkan tangannya ke arahku, mencoba berkenalan denganku. "Yo, Namaku Tsurumaru Kuninaga. Kau pasti Ichigo Hitofuri, bukan?"

Aku hanya bisa terpukau dengan tangan mulusnya yang panjang itu. Aku merasa sedikit tidak percaya kalau dia adalah sosok Tsurumaru Kuninaga yang dikenal kuat itu. Menurutku, ia terlalu rapuh untuk dibilang kuat seperti cerita masyarakat Jepang. Ia juga terlalu indah seehingga aku tidak dapat melihat unsur kesialan di sana.

Seperti perkenalan ku kepada Uguisumaru-dono, tanganku aku taruh di depan dadaku. "Maaf telah lancang kepada Anda. Nama saya Ichigo Hitofuri. Terima kasih sudah menjaga adik saya selama ini."

Ekspresinya terlihat terkesima ketika aku memperkenalkan diri kepadanya. Ia pun berkata, "sesuai bajumu ya. Kau seperti pangeran yang ada di dongeng anak-anak." Sebenarnya pakaianku ini lebih terlihat seperti tentara dibandingkan seorang pangeran. Aku selalu menggunakan seragam berwarna hitam dan ditambah perangkat lainnya yang terlihat seperti tentara dengan pangkat yang tinggi.

"Anda juga." Ucapku kepadanya.

"Apanya? Aku cuman menggunakan yukata putih sederhana." Tanya Tsurumaru-dono dengan ekspresi wajah keheranan.

"Seperti putri kerajaan." Oh sial. Aku mengucapkannya secara tidak sadar. Aku menutup mulutku dengan cepat. Dia pasti akan marah. Tidak mungkin seorang pria akan senang ketika ia disamakan dengan sosok putri. Sialnya, Tsurumaru Kuninaga adalah roh pedang yang sudah pasti memiliki jenis kelamin laki-laki seperti roh pedang lainnya.

"Hahahahaha.." suara tawa yang merdu mencoba menari di pendengaranku. Angin musim semi pun menghiasi tawa indah tersebut. Sekarang, aku bisa melihat sang malaikat tersenyum ke arahku.

"Terima kasih, Ichigo Hitofuri." Dadaku terasa hangat ketika suara surga itu terdengar. Berterima kasihlah kepada angin musim semi yang bertiup mengenai kelopak sakura yang ada di sana. Aku perlu ada saksi mata untuk menyaksikan kejadian ini. Kejadian dimana aku mengerti apa arti cinta sesungguhnya.

.

.

.

.

Satu bulan berlau cepat.

Mochinaga-dono sedang tidak ditugaskan untuk bertarung sehingga kami tetap berada di kediamannya. Aku juga jarang untuk mengikuti perang karena aku terbiasa dijadikan sebagai harta karun mereka. Walaupun begitu, aku tetap berlatih sendiri agar diriku tidak tumpul. Aku melakukannya agar tuanku tidak kecewa terhadapku. Nama Yoshimitsu yang masih tersemat dalam diriku tetap hidup.

Aku memang tidak termasuk lima pedang terkuat di Jepang. Akan tetapi, kekuatanku tetap diagungkan oleh samurai-samurai terkenal. Walaupun mereka tidak dapat melihat fisik rohku, mereka masih bisa merasakan keberadaanku.

Pada saat seperti ini, aku berlatih dengan ketiga pedang lainnya. Kebetulan hari ini giliran aku dan Tsurumaru-dono berlatih bersama. Sesuai yang dikatakan oleh masyarakat Jepang, Tsurumaru memiliki kekuatan yang hampir setara dengan pedang kuat milik keluarga Sanjou. Aku hampir terkecoh dengan feint nya. Kecepatannya dalam menyerang begitu luar biasa. Kami selalu seri ketika aku berduel dengannya.

Sebenarnya ada sesuatu yang mengganjal ketika ia bergerak. Akan tetapi, aku tidak bisa menanyakan hal seperti itu kepadanya. Tiap pedang punya rahasia tersendiri untuk menjadi lebih kuat dibandingkan lainnya.

"Ahhh. Kau kuat juga, Ichigo Hitofuri." Ucapnya memuji seraya menikmati angin sejuk dari halaman belakang. Setelah meladeni sifat keras kepala kami, akhirnya kami dikalahkan oleh stamina yang merengek untuk istirahat. Hasilnya pun tetap seri, seperti biasa.

"Ichigo saja, Tsurumaru-dono."Ucapku mengingatkan dirinya untuk tidak memanggil dengan nama lengkapku. Sudah hampir satu bulan aku bersama dia sehingga aku ingin dia lebih akrab denganku.

Aku mencari posisi duduk agar aku bisa bersampingan dengannya. "Anda juga kuat. Saya masih tidak menyangka."

"Hee.. Kau meremehkanku?" Tanyanya dengan nada bergurau.

Aku menjawabnya dengan geleng kepala. "Tidak. Saya masih tidak rela wajah cantik Anda terkena noda merah kebencian."

"Rayuanmu melebihi om-om mesum ya."

"Bu-bukan.. itu.."

"Hahaha. Aku bercanda! Mungkin sifatmu inilah menurun ke Hirano yang kaku dan selalu menggunakan bahasa formal."

Aku tersenyum dan merasa lega ketika Tsurumaru-dono tidak merasa takut dengan ucapanku yang selalu seperti merayu dirinya. Bagaimana lagi, lebih dari seribu kata rayuan yang ingin aku deskripsikan tentang dirinya.

"Saya hanya mengajarkan adik-adik saya untuk berperilaku sopan dan berkata dengan bahasa yang baik." Jelasku yang terdengar seperti bangga dengan penilaian Tsurumaru-dono terhadapku.

"Hee.. Kepribadian Tokugawa Ieyasu memang menyatu denganmu ya."

Aku hanya mengangguk sembari tersenyum ke arahnya. Sudah lama aku tidak mengingat Ieyasu-dono. Tidak seperti awal kami bertemu, aku merasa tidak ada kesedihan lagi di dalam hatiku.

Atau mungkin.. sosok di hadapanku inilah yang mengisi kekosongan hatiku. Ketika menyadari hal itu, pipiku merasa lebih hangat.

Aku mencoba melirik ke arahnya. Ah, rupanya dia masih melihatku. Apakah ia sadar kalau aku sedang tersipu?

"Bagaimana dengan Anda, Tsurumaru-dono? Apakah tuan Anda sebelumnya suka mengejutkan orang lain?"

Sunyi menyerang kami secara tiba-tiba. Tidak seperti biasanya kalau Tsurumaru terdiam seperti ini. Semua pedang yang ada di sini sudah tahu tentang keseharian Tsurumaru yang terlalu berisik di tiap detiknya.

Apakah ia tidak ingin mengingat tuannya yang dulu? Aku jadi merasa bersalah. Ditambah ekspresi terdiam namun sorotan matanya menjadi lebih sendu. Aku merasakan cahaya kedua manik emas itu semakin redup. Aku tidak ingin membiarkan hal itu terjadi.

"Maaf sudah bertanya hal yang tidak ingin Anda dengar, Tsurumaru-dono."

Setelah mendengar ucapan maaf dariku, sepasang tangan menyentuh pinggangku dan mencoba menggelitik diriku. Tawa besar terdengar dariku. "Tsu-Tsurumaru-dono.. tolong hentikan.. hahahaha,"

Tsurumaru-dono pun ikut tertawa. Akhirnya aku masih bisa mendengar suara merdu itu lagi. Sama seperti suara yang aku dengar ketika pertama kali aku bertemu dengannya.

"Bagaimana? Kau terkejut, kan?" Tanya ia dengan semangat.

"Iya. Anda selalu berhasil membuat kejutan, Tsurumaru Kuninaga-dono." Jawabku seraya menghapus jejak air mataku.

"Hei! Jangan memanggil nama panjangku kalau sudah akrab begini. Kau juga marah kan ketika aku memanggilmu dengan nama lengkap?" Ucap Tsurumaru seraya memasang raut wajah kesal.

"Maaf, maaf. Saya tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi." Setelah itu hening sejenak. Kami memandang satu sama lain. Suara tawa yang ditahan oleh Tsurumaru-dono membuatku tertawa lagi. Pemuda bersurai putih itu pun ikut tertawa. Kami menyadari perbuatan kami yang seolah-olah seperti orang bodoh yang suka melemparkan canda di tiap waktu.

Di saat itu juga aku baru menyadari ada sesuatu yang berat berada di atas pangkuanku. Ketika kedua mata emasku melihat sekumpulan helai rambut berwarna putih, wajahku bertambah panas. Tsurumaru-dono yang kelelahan karena tertawa sedang tidur di pangkuanku.

Apakah aku pernah mendengar istilah cuci mata? Atau apakah yang ini disebut cuci mata ketika kau melihat sosok bidadari yang jatuh dari surga ke pangkuanku?

Sudahlah. Yang penting kedua mataku segar kembali setelah melakukan latihan bersama dengannya.

Tangan mulus miliknya mendarat ke permukaan wajahku. Di saat itu juga aku merasakan detik tidak ingin bergerak demi menjadi saksi kami. Emas bertemu emas, senyuman bertemu senyuman, kebahagiaan bertemu kebahagiaan. Apakah perasaan akan bertemu dengan kondisi yang sama seperti mereka?

"EHEM!" Dan detik kembali berjalan seperti biasa ketika suara batuk Hirano terdengar. Disusul dengan kehadiran Uguisumaru-dono yang tersenyum lembut seperti biasanya.

"Hirano. Jangan mengganggu masa muda mereka." Ucap pemuda surai hijau seraya mengusap kepala Hirano. Yang diingat tetap setia memasang wajah kesalnya. Pedang kecil berambut bob cokelat tua itu masih mengembungkan pipi nya.

"Penampilan kita saja yang terlihat muda, Uguisumaru-sama. Semua pedang di sini sudah berumur hampir satu abad. Ditambah Tsurumaru-sama dan Anda lebih tua daripada Ichi-nii." Penjelasan dari Hirano membuat diriku sedikit terkejut. Penampilan Tsurumaru-dono yang seperti ini tidak memungkinkan kalau ia lebih tua dari ku. Jika Uguisumaru-dono memang berumur lebih tua dariku, sepertinya tidak perlu dipertanyakan lagi. Duduk bersantai sambil meminum teh memanglah hobi orang tua.

"Jangan memasang wajah horor seperti itu." Tsurumaru mengarahkan wajahku ke bawah, menckba menarik atensiku kembali kepadanya.

"Maaf bila saya telah berperilaku tidak sopan terhadap Anda."

"Minta maaf lagi? Kau tidak ada salah apapun, Ichigo. Adik-adikku juga selalu menganggapku anak kecil." Jelas Tsurumaru.

"Gojou Kuninaga membuat pedang lebih dari satu?" Tanya ku penasaran.

"Bukan seperti itu. Aku menganggap mereka seperti saudaraku sendiri. Kami pernah bersama ketika aku menjadi pedang Istri dari Date Masamune. Lain kali aku akan memperkenalkan mereka kepadamu jika takdir mempertemukan kita dengan mereka."

Aku melirik ke arah Hirano dan Uguisumaru-dono yang masih melihat kami. Kedua mataku tertuju kepada pakaian perang mereka. Tidak seperti biasanya yang selalu menggunakan pakaian santai seperti kami yang hanya menggunakan yukata.

"Ada apa gerangan?" Tanyaku kepada mereka.

"Apanya, Ichigo?"

"Pakaian kalian tidak seperti biasanya." Jawabku kepada Uguisumaru-dono.

Ekspresi Uguisumaru-dono berubah menjadi serius. Sepertinya aku tidak perlu menanyakan hal ini kepadanya. Aku dapat menebak alasan mereka menggunakan pakaian perang mereka.

"Tokugawa Mochinaga-sama dipanggil untuk turun ke medan perang. Kita harus bersiap sebagai pedang terbaik yang beliau miliki."

Sudah kuduga. Sepertinya aku akan berbuat dosa kembali demi tuanku. Sebagai roh pedang yang tercipta oleh cinta dari sang penempa dan pemiliknya, kami akan melakukannya demi mereka.

"...Tsurumaru," Aku bisa melihat kedua mata hijau muda milik menatap tajam ke arah pedang ciptaan Gojou Kuninaga yang masih tidur di pangkuanku. Sangat tajam hingga Tsurumaru-dono tidak berani memandangnya balik.

"Sadayasu sudah mati. Ingat itu." Ucap Uguisumaru-dono mengingatkan. Aku hanya mendengar gumaman setelah Uguisumaru-dono mengingatkannya.

Sadayasu? Siapa dia?

Dadaku terasa sakit ketika nama itu terdengar seperti ada kaitannya dengan Tsurumaru-dono. Perasaan menyebalkan yang bernama cemburu menjadi wajar ketika seseorang sedang jatuh cinta. Rasa yang menyiksa itu adalah bumbu pedas untuk menambah kelezatan pada makanan. Akan tetapi, semua orang tidak akan bisa memakannya jika bumbu itu terlalu banyak. Kuharap aku bisa mengendalikan rasa itu untuknya.

Tsurumaru-dono beranjak dari pangkuanku dan segera menuju ruang pedang. Aku pun mengikutinya dan memendam pertanyaanku untuk mengetahui orang itu. Aku tidak ingin mengganggu konsentrasi Tsurumaru-dono di saat seperti ini.

.

.

.

Perang tidak berjalan dengan baik. Ralat. Kami tidak dapat melawan perang dengan baik. Di saat kondisi prima seperti ini, kami seharusnya bisa membantu tuan kami dengan sungguh-sungguh. Akan tetapi, kami berakhir dengan kondisi penuh luka, terutama pedang Uguisumaru-dono hampir patah sehingga kondisi rohnya juga mengalami luka serius. Mochinaga-dono mendapatkan luka tusuk yang hampir mengenai jantungnya. Beliau sedang tidak sadarkan diri di kamarnya. Para pelayan yang ada di sana khawatir dengan keadaan mereka. Kami mendengarnya dari bisikan mereka.

Salah satu dari kami sedang dalam kondisi mental yang buruk. Aku tidak tega untuk menyalahkannya. Akan tetapi, kondisi yang seperti itu dapat menghancurkan pertahanan tuannya. Ketika roh pedang tidak bersungguh-sungguh untuk tuannya, kondisi pedang tersebut menjadi tumpul. Bahkan pedang itu tidak dapat menebas ranting pohon yang rapuh.

Apakah ini alasan pedang indah untuk menahan diri ketika kami berdua berlatih bersama? Bukankah ini namanya mengkhianati tuannya sendiri?

Tidak mungkin Tsurumaru-dono melakukan hal seperti itu. Semua pedang tidak akan berkhianat kepada pemiliknya.

Suara isak dari Hirano membuatku sadar dari lamunanku. Kami berada di ruang pedang terkecuali Tsurumaru-dono yang menghilang secara tiba-tiba. Seperti Mochinaga-dono, pedang tertua itu belum bisa membuka kedua matanya. Hirano juga mengalami luka namun cukup ringan dibandingkan kami semua. Akan tetapi, ia tidak ingin melihat ketika rekannya terluka berat seperti ini.

Selama satu bulan tinggal di kediaman Mochinaga-dono, pedang kecil itu selalu menceritakan segala hal tentang Uguisumaru-dono kepada ku. Ia senang dengan kelembutannya tetapi menjadi sosok tak bisa dikalahkan ketika ia bertarung. Uguisumaru-dono juga sering menghiburnya ketika ia belum pernah bertemu dengan saudara-saudara nya. Kehangatan sosok ibu tidak perlu membutuhkan sosok ibu sebenarnya. Cukup berjiwa lembut sudah cukup bagiku. Setelah ia menceritakan hal itu, aku berulang kali mengucapkan terima kasih kepada nya sampai ia kesal mendengarnya.

"..ugh.." suara yang terdengar dari Uguisumaru-dono membuat Hirano menghentikan isaknya. Tanpa menunggu waktu, pedang kecil itu langsung memeluk sosok ibunya dan menangis sekencang-kencangnya.

"..tu..nggu Hirano. Aku belum saja mengambil posisi duduk yang benar." Ucap Uguisumaru-dono seraya mengelus surai cokelat Hirano pelan. Aku bisa melihat tangannya bergetar, tidak seperti biasa yang selalu kuat ketika memegang pedangnya.

Uguisumaru-dono mengambil posisi duduk walaupun memakan waktu yang cukup lama. Aku pun membantu nya ketika ia mengambil posisi tubuh yang ia inginkan. "Apakah Anda sudah baikkan, Uguisumaru-dono?" Tanyaku khawatir.

"Luka goresan masih terasa pedih. Setidaknya aku tidak benar-benar patah." Jelasnya santai. Tetapi tetap saja aku bisa melihat ekspresi darinya yang sedang menahan rasa sakit.

"Kau dan Tsurumaru juga retak, bukan? Apakah kalian baik-baik saja?"

"Tidak bagi Tsurumaru-dono. Sekarang saya tidak tahu ia sedang di mana." Jawabku lesu.

"Aku juga bertanya tentang dirimu." Uguisumaru-dono mengingatkanku tentang pertanyaan sebelumnya.

"Ah. Maaf atas kelancangan saya." Aku menyentuh sebelah kiri mataku yang masih ditutupi oleh perban. Sepertinya darah sudah mengering. "Jangan khawatir. Ini lebih baik ketimbang terbakar oleh amarah api."

Uguisumaru-dono tersenyum lega setelah mendengarnya. "Hirano, jangan cengeng. Kau tidak ingin terlihat lemah di depan kakakmu sesuai janjimu dulu, kan?"

"Ta.. tapi.. Uguisumaru-sama.."

"Sudahlah. Aku masih hidup, kok. Semoga kita bertiga ditempa kembali dan diasah sehingga kemampuan kita lebih tajam."

Tunggu? Kenapa bertiga?

"U..Uguisumaru-dono—"

Uguisumaru-dono mengarahkan salah satu jari telunjuknya ke depan bibirku. Wajahnya kembali serius sehingga aku harus menutup mulutku erat-erat. Sosok pedang di hadapanku memang sulit untuk ditebak. Perubahan ekspresi nya yang tidak memakan waktu mebuat kami semua segan untuk berlaku tidak sopan terhadapnya.

"Aku tahu pertanyaan yang ingin kau tanyakan. Akan kuceritakan kau sosok pedang bernama Tsurumaru Kuninaga." Uguisumaru-dono melirik ke arah pedang kecil yang masih memeluknya. "Kau sudah mendengarnya, Hirano. Jika kau bosan, kau boleh tidur." Namun Hirano hanya menggelengkan kepalanya.

Butuh kurang dari satu jam pedang bersurai hijau lumut itu menjelaskan tentang sejarah yang tidak aku ketahui. Cerita itu akan terasa terlalu cepat ketika kita ingin mengetahui lebih tentang sejarah tersebut. Akan ku ceritakan sejarah itu dengan singkat.

Tsurumaru Kuninaga adalah pedang yang ditempah oleh Gojou Kuninaga. Ia diberi harapan untuk membawa keberuntungan bagi pemiliknya, terutama kesehatannya. Maka dari itu, nama ia diambil dari seribu bangau yang dibuat dari origami hanya. Origami itu memiliki seribu doa demi keselamatan dan kesehatan. Biasanya masyarakat Jepang membuatnya untuk orang yang sedang sakit.

Pemilik pertama Tsurumaru-dono adalah Adachi Sadayasu. Ia sangat mencintai tuan pertama nya itu. Tapi cinta itu melebihi batas sehingga Tsurumaru-dono selalu berdoa agar Sadayasu tidak memiliki istri dan tetap mencintai nya. Ajaibnya, doa itu terkabulkan. Bersyukur bahwa Sadayasu tidak merasa keberatan untuk tidak menikah. Ia tetap mencintai pedang itu dan selalu dibawanya walaupun tidak di dalam medan perang.

Selang waktu berlalu, Sadayasu meninggal dunia karena ia dibunuh oleh musuhnya di medan perang. Rekan-rekannya terkejut dan langsung membaca riwayat dari Sadayasu yang sudah beliau buat sebelumnya. Isi dari salah satu riwayat itu ialah pedang Tsurumaru Kuninaga harus dikuburkan bersama mayatnya. Akhirnya, mereka menguburkan pedang itu bersama mayat Adachi Sadayasu.

Namun, ada hal yang lebih memukul batin Tsurumaru-dono. Beberapa minggu kemudian, salah satu rekannya mencuri pedang indah itu dan menjualnya dengan harga tinggi. Tsurumaru-dono mengutuk orang itu dan berdoa semoga ia mati lebih cepat. Doa itu pun terkabulkan setelah oraang itu berhasil menjualnya. Salah satu samurai menebas orang itu menggunakan pedang Tsurumaru Kuninaga dan membelinya tanpa mengeluarkan uang satu yen pun.

Kebencian dapat mematikan hatinya sehingga pedang itu tidak lagi membawa doa penempa nya. Ia di cap sebagai pedang pembawa sial. Namun, keindahannya mengalahkan berita negatif itu sehingga banyak samurai yang menginginkannya. Tokugawa Mochinaga-dono mendapatkan pedang Tsurumaru-dono dari hadiah penghargaan sebagai salah satu anggota terkuat di klannya.

Dadaku terasa lebih panas dari biasanya. Ada setitik rasa kebencian terhadap Adachi Sadayasu dan Uguisumaru-dono. Untuk Sadayasu yang meninggalkan pedang cantik itu sendiri dan Uguisumaru-dono yang terlalu tahu tentang sejarahnya. Selama satu bulan ini, aku masih belum bisa memikat hati pedang bangau itu. Semua senyuman indah kepadaku bukanlah senyuman yang istimewa jika ia menunjukkannya ke semua orang.

"Apakah ada hubungannya dengan jawaban yang saya inginkan?" suaraku tidak terdengar seperti biasanya. Hirano yang sudah mengenal kakaknya memasang ekspresi terkejut ketika aku terlihat seperti marah kepada pedang besar di hadapanku.

"Aku tahu. Aku berharap kau bisa mengobati luka pedang tak berdosa itu setelah kau mendengar sejarahnya." Jawabnya santai namun aku bisa melihat sorotan matanya lebih tajam dari biasanya.

"Jawaban yang kau inginkan ada di dirinya. Kau tahu maksudku kan, Ichigo?"

Aku langsung keluar dari kamar dan langsung melakukan yang dimaksud oleh Uguisumaru-dono. Aku harus mencari pedang malang itu. Aku tahu di kondisi seperti ini harus ada orang tertentu yang menemani nya.

Terlalu gampang untuk mencari nya. Aku sudah tahu tempat yang sering ia kunjungi. Di bawah pohon sakura adalah tempat andalannya untuk membuat kejutan. Walaupun mudah untuk ditebak, kami selalu terkejut dengan tindakannya itu. Terkecuali Uguisumaru-dono yang tetap memasang wajah santai seperti biasa.

Sebenarnya ada satu hal lagi alasannya untuk memilih pohon sakura milik Mochinaga-dono. Kemungkinan hanya aku saja yang mengetahui hal ini. Di hari hujan seperti ini pun, kedua mata emasnya selalu menatap pohon sakura. Seolah-olah pohon itu berhasil menarik atensi miliknya.

Sampai di tempat tujuan, aku dapat melihat sosok roh pedang yang diselimuti banyak perban. Pedang rusak itu membasahkan dirinya di tengah tangisan hari seraya menatap pohon yang ia cintai. Aku yang masih di wilayah teras belakang halaman hanya bisa membisu ketika melihatnya. Hari ini aku harus menahan kekesalanku berkali-kali karena melihat sesuatu yang tidak ingin aku lihat. Rasa itu ingin kutunjukkan kepada hujan yang menutupi kesedihannya atau Tsurumaru-dono yang terlihat tegar.

Setelah rasa kesal dikalahkan oleh rasa sayang terhadap pedang kesayangan Sadayasu itu, aku langsung menembus tangisan dunia dan menuju ke arahnya. Tidak lupa aku melepaskan mantel yang ada di seragamku untuk menutupi nya.

Tsurumaru-dono yang menyadari ada yang menutupi dirinya dari hujan langsung menoleh ke arah belakangnya. "Kenapa kau menutupi ku?" Tanyanya kepadaku.

"Luka-luka Anda tidak akan bisa kering kalau tidak saya tutupi." Jawabku singkat.

"Bukannya itu tidak apa-apa? Kita bisa mengingat masa lalu jika membiarkan luka terus membuka seperti ini." Jeda, ia membalikkan badannya ke arahku. "Dari ekspresimu saat ini, Uguisumaru pasti sudah menceritakannya kepadamu, bukan?"

Aku hanya bisa mengangguk dan menjawab, "Maaf jika Anda membenci hal itu."

"Untuk apa? Masa lalu ku indah bersama dengannya." Ia membutuhkan jeda untuk mengubah ekspresinya menjadi kelam. "Sampai seseorang mengkhianati janjiku dengan Sadayasu-sama, masa lalu ku masih indah."

Kebencian adalah kata terlarang untuk wilayah di luar medan perang. Namun, peraturan itu menggangguku ketika Tsurumaru-dono menyebut nama tuan pertama nya. Aku hanya bisa menghela napas untuk membuang rasa itu. Aku memegang tangannya dan membawa tubuh penuh luka itu ke teras.

"Genggamanmu mulai menyakiti lukaku, Ichigo." Rengek dari Tsurumaru-dono mulai mengganggu pendengaranku.

"Bukankah Anda menyukai masa lalu? Saya hanya membantu." Tanya ku ketus.

"..Ichigo? Kau marah?"

"TENTU SAJA!"

Baru kali ini aku membentak dirinya. Aku tidak bisa menahan kesabaranku jika seperti ini. Aku sedikit bersyukur jika pedang yang tangannya sedang aku genggam memasang ekspresi ketakutan. Jika ia tidak seperti itu, dia akan tetap melakukan kesalahannya.

"Apakah Anda tidak tahu bahwa Uguisumaru-dono dan adik saya berusaha selama bertahun-tahun hanya untuk mengubah diri Anda? Apakah ini balasan Anda kepada orang-orang yang menyayangi Anda?"

"A-aku tidak bermaksud—"

"Tidak bermaksud? Anda sudah membuat Uguisumaru-dono terbaring lemah hanya karena kelakuanmu di sana. Anda juga sudah membuat Hirano menangis karena takut kehilangan sosok ibu yang ia idamkan." Aku menatap tajam ke arahnya, hanya untuk menambah rasa salahnya. "Saya akan marah jika ada adik bahwa rekan saya terluka, Tsurumaru Kuninaga."

Sebulir air jatuh dari salah satu pelupuk mata milik pedang di hadapanku. Semakin lama, air itu semakin deras membasahi wajahnya bak porselen. Suara isak pun menyambut kehadiran rasa sedih yang dialaminya saat ini.

Dibalik rasa kasihan terhadapnya, ada rasa puas yang muncul di diriku. Akhirnya aku bisa melihat sisi lemah nya. Tidak ada satu pun yang bisa melihat pedang bernama Tsurumaru Kuninaga menangis layaknya anak kecil.

"Kenapa kau tidak mengerti aku?" Tanyanya yang masih terisak.

"Bukan saya yang tidak mengerti. Anda yang tidak mengerti dengan kami. Memang benar, Anda sudah mengkhianati Sadayasu. Akan tetapi, bukan berarti Anda yang melakukannya. Sadayasu pun akan tahu kalau Anda tidak melakukannya."

"Bagaimana dia bisa tahu? Dia sudah mati."

"Karena cinta." Jawabku singkat. Walau hanya dua kata, aku bisa memastikan bahwa Tsurumaru-dono dapat memaknai nya dengan ribuan kata lebih banyak dari ucapanku.

Isaknya pun berhenti. Kedua mata emasnya menatapku intens dan bertanya, "apakah kau sudah mengerti dengan kata itu?"

"Iya." Badanku mendekat ke arahnya secara perlahan. Salah satu tanganku melingkari pinggangnya agar tubuh ia melekat dengan diriku. Aku tidak peduli dengan tubuhnya yang basah. Yang aku pedulikan adalah caraku untuk menghangatkannya.

Tangan kananku memegang salah satu tangannya. Aku menghirup napas perlahan dan mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan beberapa kalimat untuk melanjutkan jawabanku terhadapnya.

"Aku mengetahuinya pada saat saya dipertemukan dengan pedang di hadapanku oleh ruang dan waktu. Dari situlah aku menyadari bahwa cinta melebihi kedua batas itu sehingga dapat mengatur waktu dan tempat untuk merencanakan hal ini.

"Jika ada cinta, pasti akan menciptakan ruang dan waktu. Maka dari itu,

Izinkan saya untuk membuat sejarah baru untuk kita berdua, Tsurumaru Kuninaga."

Ekspresi seriusku seketika hancur pada saat ada suara tawa dari Tsurumaru-dono. Suara itu semakin lama semakin keras. "Kau melamarku?"

"e..eh..a..an.."

Sebelum aku membela diriku, sesuatu yang lembut mendarat ke permukaan bibirku. Aku bisa merasakan adanya rasa manis seperti madu yang selalu dimakan oleh Mochinaga-dono. Jika pemiliknya memakan sesuatu, para pedang juga akan merasakannya walaupun tidak ikut makan bersamanya. Satu-satunya makanan kesukaanku adalah rasa manis itu. Akan tetapi, aku hanya makan satu kali karena Mochinaga-dono tidak terlalu menyukai rasa manis.

Entah ekstasi apa yang membuatku ketagihan untuk merasakan bibir lembut itu, aku memperdalam ciuman kami secara tidak sengaja. Aku pun mengelilingi rongga mulutnya dengan lidahku. Menyenangkan rasanya, terutama ketika lidahku menyentuh langit-langit mulutnya. Di situ aku bisa mendengar jeritan indah darinya.

Aku tahu kalau kami bukanlah makhluk hidup yang memiliki napas terbatas. Akan tetapi, aku tidak tega ketika menyadari bahwa Tsurumaru-dono tidak tahan dengan sensasi yang aku berikan kepadanya.

Benang saliva masih menyatu di antar mulut kami. Aku pun berinisiatif untuk menghapus jejakku di mulutnya. Aku bisa melihat kedua manik emasnya kembali menjadi bersinar seperti sebelumnya.

"Terima kasih atas ciuman pertama dan terakhir kita, Ichigo."

Aku terkejut dengan ucapannya. "Apa yang Anda maksud dengan terakhir?"

Dia tersenyum. Bukan senyum yang dipaksa, tapi yang aku lihat adalah senyum tulus terukir di wajahnya. "Esok, aku akan dipindahkan ke kuil dan berpisah dengan kalian." Tsurumaru memberikan pelukan lembut kepada ku.

"Cinta melebihi batas ruang dan waktu, bukan? Suatu saat, kita akan bertemu lagi." Kedua tangannya menangkup wajahku. "Karena ku telah jatuh cinta padamu, Ichigo Hitofuri."

Lucu sekali. Perkataan yang berbau perpisahan darinya tidak memecahkan hatiku yang sudah retak karena kehilangan Ieyasu-dono dan kedua adikku. Malahan, ucapannya menyembuhkan luka lama yang telah aku alami.

"Kalau begitu, kata terakhir harus dihapus dari ucapan Anda barusan." Ucapku mengoreksi.

Namun ia menggeleng dan berkata, "terakhir untuk sejarahku, pertama untuk sejarah kita."

.

.

.

.

Author's P.O.V

Tahun 2210, salah satu kediaman di Hokkaido

"Aruji~ hasil tempaannya belum jadi?" Tanya salah satu orang yang berada di ruang tempaan pedang. Yang merasa dipanggil hanya menatap tajam kepada orang itu. Pemuda yang dipanggil Aruji atau tuan itu adalah tuan rumahnya. Walaupun tampilannya yang seperti pemuda lainnya: bertubuh pendek, bersurai abu-abu pendek, dan kedua mata emas gelap seperti orang biasa; semua orang yang ada di sana mempunyai rasa hormat tinggi kepadanya.

Di tahun modern ini, pemuda yang juga memiliki julukan Saniwa memiliki alat canggih yang hanya dimiliki oleh dua orang di dunia. Alat itu adalah alat penempa dan dapat menampilkan roh pedang yang ditempa nya. Salah satu hasilnya adalah orang yang bertanya kepadanya.

"Tsurumaru-san jika Anda bertanya sekali lagi, saya laporkan Anda ke Mikazuki-san." Ancaman itu berhasil membungkam mulut pedang itu.

"Hei, Tsurumaru! Yang seharusnya tidak sabar adalah Yagen sebagai adiknya!" Pedang besar bersurai hitam panjang dan tampan bernama Izuminokami Kanesasa mencoba mengingatkan Tsurumaru. Yang diingatkan hanya memasang wajah cemberut dan menatap tajam ke arah kapten divisi nya.

Seseorang yang merasa namanya tercantum di ucapan Izuminokami juga ingin menimbrung percakapan mereka. "Kenapa kau tidak sabar menunggu Ichi-nii, Tsurumaru?"

Yang ditanya tidak sengaja memasang wajah memerahnya. Semua orang yang ada di situ tidak bisa berkata apa-apa dan melongo melihat ekspresi nya. Baru kali ini, sosok pedang bernama Tsurumaru Kuninaga bertingkah lucu seperti gadis-gadis SMA yang ingin berremu dengan pacarnya.

"Aku tahu kok! Aku pernah merasakannya ketika pedang Kane-san baru saja selesai ditempa." Ucap pedang bersurai hitam pendek bernama Horikawa Kunihiro seraya melingkarkan kedua tangannya ke tangan Izuminokami.

"Shh. Kunihiro!" Wajah Izuminokami berubah menjadi merah ketika Horikawa mengucapkkan hal itu.

"Ehe. Maafkan aku, Kane"

"Sudah selesai!" Saniwa bersorak ketika hasil tempaannya sudah jadi sesuai duganya. Tidak sia-sia ia mengirimkan Divisi Dua untuk mengunjungi Istana Osaka pada tahun 1615 untuk mengambil serpihan pedang bernama Ichigo Hitofuri. Sebenarnya ia sudah mengirimkan Divisi Satu untuk mencari tiga pedang milik keluarga Tokugawa, namun hasilnya mereka mendapatkan dua pedang bernama Namazuo Toushirou dan Honebami Toushirou. Mereka semua mengalami amnesia berat karena kejadian mengenaskan itu. Walaupun begitu, kedua pedang tersebut cukup kuat untuk menempuh medan perang yang berat.

Saniwa pun menaruh jimat di atas pedang besar itu. Setelah beberapa detik berlalu, cahaya terang menyinari pedang itu. Di saat itu juga, pintu geser di ruangan tersebut hampir terlepas karena ada angin yang menghembus kuat ke segala arah. Semua penghuni di kamar itu sedikit terkejut karena efek seperti itu hanya untuk pedang kuat seperti Tenka Goken.

Hembusan angin dan cahaya itu seketika hilang ketika ada sosok roh berdiri di hadapan mereka. Sosok pemuda mempunyai ciri-ciri bersurai biru muda pedel, tinggi, kedua mata berwarna emas, dan berpakaian seperti kekaisaran atau bisa disebut seragam tentara seperti pedang Toushirou lainnya namun dengan pangkat yang banyak. Pemuda itu menaruh tangan kanannya ke dadanya. Salah satu orang yang ada di sana sudah tahu yang akan dilakukan pemuda tersebut.

"Nama saya Ichigo Hitofuri. Saya adalah pedang buatan Awataguchi Yoshimitsu –"

BRAK!

Belum menyelesaikan perkenalannya, seseorang sudah menimpa pemuda itu dengan semangat. Bukan hanya menimpa dirinya, orang itu memeluk sosok pemuda itu dengan kencang.

"..Tsu-Tsurumaru-dono?" Pedang bernama Ichigo baru saja menyadari orang yang menimpa dirinya. Ichigo pun tertawa lembut dan mengangkat tubuh Tsurumaru perlahan. "Akhirnya kita bisa bertemu kembali, Tsurumaru Kuninaga."

Mereka tidak menyadari bahwa sang tuan dan lainnya sudah menyiapkan seribu bahasa untuk memarahi pedang bangau yang sudah membuat ruangan menjadi berantakan.

To be continued

Author's note : Halooo semua! Aku baru kali ini menuangkan cerita di wattpad! (Tapi aku share ff di sini juga). Awalnya aku tidak tertarik dengan wattpad sampai suatu saat beberapa teman saya berkutat dan membuat cerita hebat mereka di sini. So, i want to share some fanfiction in there karena tampilan di wattpad ini seperti buku atau light novel dalam bentuk online. Siapa tahu tampilan ini membuat readers tertarik untuk bacanya.

Oh iya, maafkan bila ada sejarah yang tidak sesuai dengan cerita aslinya. Karena sejarah pedang masih belum kupelajari dengan baik. Tapi aku sudah memikirkannya dengan matang agar ceritanya berjalan lancar bagaikan air sungai yang mengalir tenang.

Karena baru pertama kali untuk membuat ffn yang panjang sekali~ kumohon tinggalkan pendapat kalian di kolom review yak. Jangan lupa juga tekan fav. dan follow :D

Makasih telah menghabiskan waktu berharga kalian untuk membaca catatanku.

-littlescratch