"Kau tidak akan bisa lari."
"Ketika aku sudah mendapat buruanku, maka kau hanya akan berada dalam sangkar emasku."
"Tidak akan kubiarkan kau pergi, karena kau adalah tawananku."
.
.
Prolog
Kamis malam tanggal 17 Agustus, tepatnya di apartement mewah di Amerika Serikat. Seorang wanita muda tengah menjerit ketakutan di ranjangnya. Atau bukan ranjangnya.
Tubuhnya nyaris bugil. Kedua pergelangan tangannya terikat di atas kepala. Tenggorokannya terikat dengan pengikat lain. Ia tercekik oleh sabuk sang pria, yang erat disimpulkan oleh sang pria tampan tersebut.
Kaki jenjangnya telanjang, demikian juga kedua lengannya. Bahunya juga nyaris terbuka. Kesadarannya semakin berkurang. Ia mencoba berbicara. Tapi nafasnya tercekat oleh sabuk sang pria berkuasa.
"Ada yang ingin kau katakan?" Pria itu berujar dingin. Benar-benar dingin dan juga menakutkan. Tapi tampaknya sang gadis tidak belajar dari pengalaman. Dia hanya mengangguk dengan lemah.
Kemudian pria itu tertawa. Ajaibnya, pria itu melepas sabuk hitamnya yang mencekik leher sang gadis muda. Dengan wajah tersengal, gadis itu menemukan kembali udaranya.
"Kenapa kau lakukan ini padaku?" Gadis itu menatap memelas pada pria di hadapannya. Tubuhnya bergetar ketakutan. Dia seharusnya sudah tahu kalau pria ini kejam dan juga sadis. Dia seharusnya tidak tertipu dengan wajah malaikat pria ini.
Gadis itu menatap ngeri pisau lipat milik sang pria. Itu pisau yang biasanya digunakan untuk operasi bedah. Lalu gunting dan juga alat yang biasa digunakan untuk memarut. Entahlah. Gadis itu tidak bisa berfikir apapun. Dia takut hingga rasanya ingin menghilang dari bumi saat itu juga.
"Tidak. Ja—Jangan! Berhenti!"
Gadis itu menggelengkan kepalanya saat melihat pria itu mengambil pisau lipat di meja nangkas. Ia berteriak tapi percuma. Si pria brengsek ini bahkan menyewa lantai di seluruh apartement. Seluruhnya. Semua yang ada di lantai dua belas.
"Kau ingin aku berhenti?"
Gadis itu mengangguk. Masih tidak belajar dari pengalaman. Bahwa pria ini memanglah brengsek. Dia tidak akan berhenti meskipun bangunan ini roboh sekalipun. Pria ini monster!
"Aku tidak bisa. Nonna."
Gadis itu menjerit. Tangan pria itu mulai menyayat bagian paha telanjangnya. Pisau lipat itu menghasilkan warna merah darah yang mengucur di atas kulitnya. Ia menjerit. Menangis. Memohon. Mengemis. Dan segala yang bisa ia lakukan.
Gadis itu ingin pulang!
"Ku—Kumohon."
Gadis itu kembali menjerit ketika pria itu mengulanginya lagi. Bagian paha yang satunya kini sudah bersimbah darah dimana-mana. Pria itu menyayat dengan sadis. Tidak berhenti.
"Apakah sakit?"
Gadis itu tidak bisa berkata apapun. Tubuhnya lemas. Penglihatannya kabur dan dia merasa sakit di sekujur pahanya. Nyeri hingga rasanya seperti lumpuh.
"Bagaimana dengan ini?" Pria itu mengambil alat pemarut yang pasti terlihat tajam. Gadis itu tak mampu membayangkannya. Ia menangis. Tapi menangispun tidak akan mengubah apapun.
"Sebut namaku!"
Gadis itu menggeleng. Dia tidak akan sudi menyebut nama pria yang telah menyiksanya hingga mau mati seperti itu. Persetan! Keparat! Gadis itu meludah di wajah sang pria. Wajah tampan dan sempurnanya. Meski baru berusia empat belas tahun, pria ini sudah sangat tampan.
"Sebut namaku, jalang!"
Pria itu mengambil pisau bedah. Tak main-main. Dia menggores perut mulus sang gadis tanpa perasaan. Dia memang terlahir tanpa rasa sama sekali.
Gadis itu pun kembali mengeluarkan suara erangan. Jeritan dan juga tangisan. Satu goresan lagi, lebih dalam, lebih keras. Rasa sakit itu membuat si gadis hampir pingsan, tetapi ia segera menahannya dan mengeluarkan suara erangan lagi. Menyebut nama si brengsek ini seperti yang dia mau.
"Park Chanyeol!"
"Bagus."
Si brengsek ini sudah membuang pisau bedahnya. Tapi tangannya kini menekan-nekan luka menganga si gadis yang sekarang melototkan matanya. Pria itu sangat senang. Reaksi gadis yang sedang tersiksa ini sesuai dengan harapannya. Tidak mengecewakan.
Gadis itu pingsan pada tekanan terakhir tangan si brengsek. Meski kecewa karena permainan berakhir lebih cepat, tapi dia cukup terhibur. Melihat darah mengalir dari tubuh gadis itu membuatnya senang.
"Kau bajingan," desis gadis itu pelan sebelum tubuhnya bergetar. Semuanya terasa memudar. Perlahan-lahan semuanya menjadi gelap secara menyakitkan. Sangat menyakitkan.
.
.
.
Baekhyun berdiri di depan pintu sambil merentangkan tangan untuk mencegah Victoria pergi. Dia tidak ingin sendirian. Setidaknya, untuk hari ini Victoria mau menemaninya bermain.
"Ada apa?" tanya perempuan itu. "Kau sudah besar. Hampir sembilan tahun. Kau tahu aku harus bekerja. Jangan manja begini, Baek." Dia mengambil tas di dekat sofa—menyentuh bahu Baekhyun yang mungil agar tidak menghalangi jalannya.
"Aku ikut," pinta Baekhyun sambil merenggut dan memegang ujung baju Victoria dalam genggamannya. Victoria mendesah. Dengan lembut, perempuan cantik itu melepas cengkraman Baekhyun dari bajunya. "Kau tidak bisa ikut. Bukannya aku tidak mau—sungguh, aku juga ingin membawamu keluar dari sini. Tapi, kau tahu, kan. Tuan Yunho—maksudku, ayahmu; dia tidak mau kau keluar."
"Aku mau keluar!" jerit Baekhyun. Ia menjerit kencang—nafasnya terengah-engah karena tangisannya. Ia mulai menangis. Tidak tahan. Dia begitu kesepian. Baekhyun hanya butuh teman bercerita tapi Victoria selalu pergi bekerja.
"Aku kesepian. Aku ingin keluar!"
Victoria terenyuh. Dia cepat-cepat merangkul tubuh mungil Baekhyun. Bocah cantik itu menangis dengan keras. Tubuhnya bergetar. Suaranya serak. Terdengar begitu memilukan.
"Jangan menangis. Aku mencintaimu lebih dari apapun di dunia ini. Aku hanya tidak bisa membawamu. Tuan Yunho akan marah. Dan kau bisa celaka nanti."
Tiba-tiba Baekhyun menyerang. Victoria masih memeluknya sambil menenangkan—tidak begitu sulit karena Baekhyun masih terlalu kecil. Dia selalu menang dalam perkelahian mereka.
"Bawakan aku mie dingin nanti," pinta Baekhyun sambil meringis karena pelukan dan juga ciuman bertubi-tubi dari Victoria. Victoria mengangguk senang.
"Tentu!" Victoria masih menangis.
Baekhyun membiarkannya pergi, tapi di saat yang sama ia juga marah. Ia ingin menangis. Rumah ini sunyi tanpa Victoria. Meskipun rumah ini sangat besar; banyak peralatan canggih dan juga kolam renang, tapi Baekhyun tetap saja merasa kesepian. Dia ingin mendengar omelan Victoria; bernyanyi, bercerita tentang orang yang belum pernah ditemui Baekhyun. Bahkan jika Victoria tidur—rumah tetap ramai karena dengkuran Victoria.
Sebenarnya, tidak ada masalah saat hari-hari yang lalu. Baekhyun selalu menunggu Victoria sambil bermain dan menonton televisi. Tapi dia merasa ada yang salah. Jika di televisi, dia melihat banyak kerumunan orang; bersama-sama. Bermain bersama-sama, itu tampak menyenangkan.
Baekhyun juga ingin seperti itu.
Baekhyun tak pernah melihat siapapun selain Victoria dan guru sekolah privatnya. Guru itu sangat kaku dan juga membosankan. Dia hanya mengajarkan materi sekolah tapi tidak menyukai Baekhyun.
Baekhyun mengeluh. Dia ingin keluar dari sini. Tapi, Victoria selalu melarang Baekhyun untuk keluar karena menurutnya itu berbahaya. Victoria juga mengunci pintu dan juga jendela.
Baekhyun duduk di sofa.
Tapi, dia bosan.
Baekhyun bangkit dan beranjak ke dapur. Disana selalu tersedia makanan-makanan enak. Ada sushi, pizza, macaroni, ayam panggang—apapun yang Baekhyun inginkan, semua ada di rumah besar itu.
Dan selalu ada sebotol susu dan berbotol-botol jus buah dan air mineral dingin. Baekhyun mengambil pizza, jus strawberry lalu pergi ke kamar Victoria. Disana dia bisa melihat televisi tapi juga bisa melihat banyak hal yang menarik. Beberapa foto—yang Baekhyun tidak pernah lihat orang-orangnya. Boneka, bunga mawar, parfum-parfum yang berjejer di depan kaca rias. Terkadang, Baekhyun akan mencoba beberapa peralatan make up Victoria ketika dia sedang bosan.
Baekhyun melihat ada foto baru disitu.
Ada empat orang. Sepertinya satu keluarga besar.
Tunggu—empat?
Baekhyun ingat. Victoria selalu memperingatkannya agar tidak keluar. Dia hanya boleh keluar kalau dia sudah dewasa kelak; kalau orang itu sudah berhenti mencarinya. Ketika Baekhyun bertanya siapa orang yang mencarinya Victoria hanya menjawab bahwa dia adalah istri tuan Yunho.
Malam itu Victoria pulang membawa mie dingin pesanan Baekhyun. Juga beberapa oleh-oleh yang berupa mainan yang selalu diiklankan di televisi. Baekhyun senang. Dia langsung memainkan robot barunya sambil tersenyum-senyum pada Victoria.
"Mama," kata Baekhyun tanpa berfikir. Dia menoleh ke arah Victoria yang sedang tiduran di sofa. "Ceritakan lagi tentang anak-anak di rumah besar. Mereka seperti apa?"
"Jangan panggil aku, Mama!" bentak Victoria.
"Maaf," kata Baekhyun. Dia tidak sengaja mengucapkannya. Victoria memang berulang kali mengatakan kalau dia bukan ibu kandung Baekhyun. Tapi, anak-anak di televisi selalu punya Mama dan Baekhyun selalu menganggap Victoria sebagai ibunya.
"Aku mencintaimu lebih dari diriku sendiri, Baek," kata Victoria dengan cepat. Dia mencium kening mulus Baekhyun. Menatapnya penuh kehangatan. "Tapi, kau hanya dititipkan padaku. Nanti, saat orang yang mencarimu itu meninggal dan tidak membahayakanmu lagi, barulah kau akan tahu siapa mamamu."
Baekhyun selalu kesulitan memahami perkataan Victoria. Tapi dia hanya mengangguk saja—dan Victoria pasti senang kalau dia tidak bertanya macam-macam lagi.
"Mereka itu orang kaya yang mengerikan," kata Victoria melanjutkan.
"Anak sulung mereka, Chanyeol. Yang kata orang-orang sangat jenius, dia sangat menyebalkan. Dia juga sangat angkuh. Dia sangat tampan; yah, tentu saja. Semua wanita terpikat pada ketampanannya. Rambutnya pirang; memenuhi seluruh kepalanya kecuali matanya yang besar yang selalu menatap remeh orang-orang."
Baekhyun tertawa.
"Seperti yang di foto itu?" Victoria mengerutkan kening, lalu teringat kalau dia dengan ceroboh telah memasang foto keluarga itu di dinding kamarnya. Victoria menepuk keningnya—dia ceroboh sekali.
"Dia sangat tampan. Bahkan aku tidak pernah melihat ada yang setampan dia di televisi. Dia terlihat baik kalau dari gambar," kata Baekhyun sambil berseri-seri. Victoria mendesah; malas.
"Awalnya, memang dia terlihat baik," Victoria mengingatkan. Menelaah lagi apa yang dia ketahui tentang pria itu. Informasi sekecil apapun, dia berusaha memberitahukannya pada Baekhyun.
"Dia akan kuliah tahun ini."
"Dia pasti pintar?" tanya Baekhyun senang mendengar kelebihan pria sulung itu. Entahlah. Kalau Victoria bercerita tentang mereka, hal yang paling membuatnya merasa semangat adalah cerita mengenai si anak sulung. Anak sulung yang angkuh; anak sulung yang seperti iblis. Bahkan sebutan Victoria untuknya, hewan yang berwujud manusia—terdengar lucu di telinga Baekhyun.
"Jenius. Kami menyebutnya jenius."
"Dia kakak yang mengagumkan," kata Baekhyun lirih. Tapi, Victoria masih bisa mendengarnya. Dia melotot. Baekhyun langsung minta maaf—lalu menunduk.
"Bagaimana dengan adiknya?" tanya Baekhyun masih betah bertanya. Victoria sudah mulai mengantuk. Dia menguap dan nampak kelelahan tapi tetap berusaha menjawab pertanyaan Baekhyun.
"Si Kyungsoo itu?" teriak Victoria. Dia melanjutkan, dengan muka kusut setiap kali mendengar nama anak itu—adik Chanyeol. Kakak Baekhyun juga. Entahlah. Hal itu jelas-jelas seperti itu tapi, Victoria selalu melarangnya memanggil mereka dengan sebutan kakak.
"Dia lebih parah. Ah—tidak, tidak. Keduanya sama saja. Kau tahu, kemarin, dia memberiku kotak kado di hari ulang tahunku. Aku tidak belajar dari kesalahan, aku membukanya. Dan, kau tahu, apa isinya?" Victoria merapikan duduknya sambil memaki-maki. Wajahnya tampak frustasi. Dia pasti kelelahan merawat mereka.
"Kecoa! Kau tahu, aku benci kecoa! Dan juga cicak lalu beberapa kadal. Aku benci dengan si Kyungsoo itu. Dia menjijikkan. Dia pernah mengolesi roti tawarku dengan selai basi yang dia campur dengan tanah liat. Dia monster segala monster. Anak kecil yang lain tidak mau bermain dengannya."
Baekhyun ingin tertawa tapi, dia tidak mau membuat Victoria semakin frustasi. Dia hanya mengangguk dan Victoria yang masih memaki-maki keluarga itu. Keluarga yang sebenarnya ingin ditemui Baekhyun. Tentu saja—karena itu adalah keluarganya.
"Maaf, Baek, aku sudah mengantuk. Aku tidur duluan, ya?"
Baekhyun mengerti. Dia masuk ke dapur. Membilas dan mencuci piring mereka. Victoria tersenyum ketika melihat meja tempat mereka makan tadi sudah bersih. "Kau anak yang baik," katanya.
Dia memeluk Baekhyun sepanjang jalan ke tempat tidur. Bagaimanapun lelahnya dia—dan sefrustasi apapun dia—dia tidak pernah meninggalkan kebiasaan yang satu ini.
.
.
.
Victoria berangkat di pagi hari dan Baekhyun menghabiskan waktu bermain dengan mainan-mainan pemberian Victoria kemarin. Dia cukup senang—meski masih merasa sangat bosan.
Baekhyun merasa dia bermimpi ketika mendengar ada suara di depan pintu. Apakah itu Victoria? Dia pulang lebih cepat? Baekhyun tentu saja sangat senang. Dia berlari ke bawah. Setelah ini, dia berencana akan memeluk Victoria dan menciumi pipinya.
"Baek."
Baekhyun terdiam. Tertegun. Itu bukan Victoria. Itu oranglain. Dan ini adalah kali pertama Baekhyun melihat oranglain selain Victoria dan juga gurunya. Tapi, siapa dia?
"Aku Yunho. Kau tahu, kan?" Pria itu. Pria yang hanya bisa didengar namanya oleh Baekhyun. Fotonya yang baru saja kemarin Victoria pasang di dinding kamar. Pria yang kata Victoria adalah ayahnya. Keluarganya. Ayah kandungnya.
"Aku datang untuk menjemputmu."
Baekhyun ingin memeluk pria ini. Bicara padanya, tapi, dia malah diam—ketakutan—mundur ke belakang, meringkuk dan lalu menangis. Dia hanya ingin Victoria. Orang ini—meskipun dia adalah ayahnya, dia tetaplah orang asing bagi Baekhyun. Dan ini adalah kali pertama Baekhyun bertemu banyak orang seperti ini.
"Bawa dia!"
Yunho menyuruh orang-orangnya untuk membawa Baekhyun. Bukan dengan cara Victoria yang selalu mencium keningnya untuk menenangkan—tapi dengan cara yang lain. Pria-pria itu membuka tas hitam dan mengeluarkan suntikan. Baekhyun mengerang, menjerit. Dia pernah melihat itu di televisi. Dia tidak sakit kenapa dia disuntik?
"Victoria."
Baekhyun mulai merasa pusing. Dia ingin bertemu Victoria tapi segalanya menjadi gelap.
