FF ini terinspirasi dari lagunya Big Bang 'Monster'...

Warning: Yaoi, NaruSasu, OOC, Typo, dll

"Apa yang harus aku lakukan? Tolong..."

Pemuda itu kembali membuka retinanya yang menyebabkan air pada ujung matanya mengalir melewati dagu. Wajahnya pucat dan bibirnya membiru, bahkan ada bekas luka di ujungnya. Dia kembali meringis, antara kedinginan dan takut. Anehnya, dia harus terancam oleh orang yang menyayanginya.

"Jangan pernah berpikir untuk pergi. Aku benar-benar mencintaimu," setelah berkata demikian, pemuda itu mengecup kening sang tawanan dan meninggalkannya sendiri di ruangan itu.

Pemuda itu tak banyak bergerak. Lantai di ruangan itu dingin, terlalu dingin hingga seperti menusuk-nusuk tulangnya. Naruto benar-benar ingin menyiksanya. Rasa sayang bukan seperti ini, bukan menempatkannya pada ruangan gelap yang dingin dan penuh luka, serta sebuah rakitan bom.

Bibirnya tiba-tiba bergetar dan air matanya mengalir lebih banyak. Dia ketakutan. Saat Naruto berusaha menjaganya agar tidak pergi, dia mungkin akan mati dengan caranya yang seperti ini. Dia bahkan tidak tahu waktu. Apakah ini siang atau malam, atau mungkin pagi di hari sabtu. Dia ingin pulang. Dia merindukan keluarganya.

Naruto sendiri tengah berada di ruangannya yang lain. Rumahnya tidak terlalu besar. Meski nampak luar seperti gudang. Rumah itu memiliki perabotan layaknya rumah pada umumnya, malah cenderung menggambarkan rumah yang penuh kehangatan.

Dia bukan orang yang jahat. Seandainya orang-orang bisa melihat itu, dia memiliki rasa sensitif yang lebih besar, rasa kasih sayang yang begitu melimpah. Hanya saja terlalu banyak yang meninggalkannya dengan penuh luka. Naruto hanya tidak ingin kejadian masa lalu kembali harus menimpanya. Makadari itu dia menjaganya lebih ekstra, mengawasinya agar dia tidak pergi terlalu jauh, meski harus sedikit melukainya.

Naruto berdiri di depan cermin dengan wajah dingin dan tajam. Dia memakai baju ketat berwarna hitam dengan sebuah rakitan bom di tubuhnya. Bom itu aktif dan berbunyi seperti jam jika dia menekan tombolnya. Beberapa saat memperhatikan bom yang dia pasang, Naruto segera menutupnya dengan sebuah mantel tebal dengan warna serupa, kemudian meninggalkan ruangan itu.

Ada perasaan bersalah. Luka Naruto mungkin lebih dalam dengan apa yang di rasakan Sasuke. Sesekali dia ingin mengakhiri ini dan membiarkan dirinya mati. Tapi kadang pemikiran itu segera berubah, dan saat ini muncul lagi.

Mendekati sebuah pintu dimana Sasuke berada, Naruto mengulurkan tangannya, dan saat itu rasa sakit di hatinya menjadi tidak tertahankan. Kadang kala keputusannya salah, tapi dia yakin kali ini adalah keputusan yang paling benar.

"Apa kau beristirahat dengan baik?" tanya Naruto saat mendekati Sasuke yang berbaring di lantai.

Sasuke nampak ketakutan. Dia menggeleng lemah dan berusaha menghindar, meski usahanya sia-sia.

"Berapa lama kau tidak keluar rumah?" Naruto mengelus pipi Sasuke sayang. "Wajahmu terlihat tidak baik. Apa kau ingin jalan-jalan?"

Sasuke tak menjawab. Dia bahkan tidak ingin melihat wajah pemuda di depannya.

Naruto tersenyum kecil.

"Ayo. Di luar akan terang. Tempat ini terlalu gelap untukmu," Naruto berusaha mengangkat Sasuke agar berdiri, kemudian dia mengelus rakitan bom yang ada di perut Sasuke dengan pelan.

"Tidak ada yang boleh tahu ini," katanya, segera memakaikan mantel hitam yang hampir mirip dengannya ketubuh Sasuke. "Maaf karena membuatmu berantakan." Naruto lalu mulai merapihkan rambut wanita di depannya, membersihkan wajahnya dengan sapu tangan. "Tapi kau harus ingat: sekali kau berusaha kabur, aku akan langsung meledakkan bom yang ada di tubuh kita. Kau mengerti, kan?"

Sasuke mengangguk takut. Naruto kemudian memeluknya, mengusap punggungnya dengan penuh kasih sayang.

"Terima kasih, Sasuke," kata Naruto tulus. "Aku benar-benar sangat mencintaimu. Kau tahu, kan, aku tidak akan mungkin melukaimu jauh lebih dari ini. Tolong jangan pernah takut padaku."

Sinar matahari pagi itu agak menyilaukan bagi Sasuke yang mungkin hampir satu minggu lebih di sekap oleh Naruto. Bahkan untuk berjalan pun Naruto harus menuntunnya.

"Hari ini cerah. Aku senang bisa jalan-jalan denganmu lagi. Kau ingin pergi ke mana?" tanya Naruto saat berjalan di sekitar taman.

"Terserah kamu saja," jawab Sasuke pelan, takut apa yang di ucapkannya tidak di sukai Naruto. Naruto yang melihatnya hanya tersenyum lalu mengacak rambut Sasuke.

"Ayo kita beli es krim!" ajak Naruto, sedikit menarik lengat Sasuke.

Kedai penjual es krim cukup ramai dengan anak-anak. Sepertinya tengah ada yang berulang tahun di antara anak-anak itu dan mereka semua merayakannya. Sasuke memperhatikan mereka dengan sebuah senyuman. Naruto yang melihatnya merasa senang. Sudah sangat lama dia tidak melihat senyum itu. Naruto bahkan merindukan kehidupan normalnya, bukan hidup seperti psyco seperti ini.

"Onii-tan, apa aku boleh foto denganmu?" seorang gadis kecil menghampiri Naruto dengan malu-malu. Di tangannya terdapat sebuah handphone kamera berwarna biru dengan gambar boneka.

"Mattaku, bagaimana bisa anak sekecil kamu sudah membawa handphone?" seru Naruto tertawa, mengacak lembut rambut gadis kecil itu. "Memangnya kenapa mau foto dengan Onii-san?"

"Aku ingin menunjukkannya pada teman-temanku kalau aku sudah foto dengan laki-laki yang sangat tampan. Boleh, ya, Onii-tan?" bujuk anak kecil itu yang kira-kira usianya baru enam tahunan.

"Tentu saja. Sasuke, tolong fotokan kami," pinta Naruto pada Sasuke. Gadis kecil itu segera menyerahkan handphonenya pada Sasuke.

"Tolong, ya, Onii-tan," katanya ceria.

Sasuke menerimanya dengan gugup. Naruto sudah bertumpu pada lututnya agar sejajar dengan anak gadis itu, mereka berdua lalu membentuk hurup 'V' dengan tangan mereka.

Hampir sepuluh foto dengan gaya yang berbeda. Gadis itu mengatakan foto itu akan menjadi kenang-kenangan dan berkata jika sudah besar nanti ingin memiliki pacar seperti Naruto. Dalam pikiran Sasuke saat itu bahwa mungkin setelah besar nanti dan mengetahui siapa Naruto sebenarnya, gadis kecil itu pasti akan berubah pikiran.

"Onii-tan benar-benar baik. Terima kasih banyak," serunya, lalu kembali bergabung bersama teman-temannya.

Naruto masih memperhatikan gadis kecil itu sampai kemudian dia menoleh pada Sasuke.

"Ayo, kau sudah selesai, kan? Aku akan bayar sebentar," Naruto bangkit dan pergi menuju kasir.

Sasuke menunduk. Tanpa sengaja dia melihat mobil patroli polisi berada di seberang jalan kedai. Dia terkejut dan berpikir mungkin ini adalah kesempatannya untuk lari. Namun saat dia akan berdiri, suara Naruto kembali membuatnya menciut.

"Kau tidak ingin anak-anak itu ikut mati bersama kita, kan," desis Naruto sambil mencekal lengan Sasuke. Pemuda itu meringis kesakitan.

"Maafkan aku," bisik Sasuke.

"Jangan ulangi lagi."

"Ya, aku berjanji," Sasuke hampir menangis sampai Naruto menyeretnya dari kedai.

Saat berjalan, Sasuke tak berani melihat kedepan. Naruto mungkin sedang marah saat ini. Tapi dia bersyukur karena Naruto tidak tahu kalau dirinya telah memberi kabar pada keluarganya melalui handphone anak gadis tadi.

"Kau ingin kemana lagi?" tanya Naruto.

"Aku... aku lapar. Bisa tidak kita ke restoran yang biasa aku datangi di dekat sungai?" tanya Sasuke hati-hati.

Naruto menoleh pada Sasuke. Sasuke sendiri sedang katakutan, takut jika Naruto mengetahui rencananya.

"Baiklah," kata Naruto membuat Sasuke bernafas lega.

Ketika mereka berjalan, tiba-tiba Naruto berhenti dan mengambil sebuah selebaran yang tertempel di pohon.

"Lihat! Keluargamu ternyata masih mencarimu," Naruto menyodorkan selebaran itu kedepan wajah Sasuke. "Mereka mencarimu." Dia tertawa pelan. "Sasuke, kau tahu tidak... Mungkin seharusnya bukan kita yang mati, tapi aku. Hanya saja aku ingin pergi bersamamu." Naruto kemudian memasangkan kupluk sampai menutupi kepala Sasuke. "Jika mereka menemukanmu, jika kau pergi... saat itu aku hanya ingin kau tidak takut padaku. Tolong jangan pernah takut padaku."

.

.

Restoran saat itu terasa aneh bagi Naruto. Pengunjungnya tidak terlalu banyak dan semuanya laki-laki. Mereka nampak sedang tidak ingin makan. Dia kemudian melirik Sasuke yang sedari tadi meremas mantel yang di kenakannya.

"Sasuke," Naruto meraih tangan Sasuke dan menggandengnya, dia memberikan senyuman menenangkan untuk Sasuke. "Kau baik-baik saja, kan?"

Sasuke mengangguk pelan. Naruto kemudian melirik pada salah satu pengunjung dekat dengan meja mereka. Dia sudah tahu. Naruto tahu Sasuke menghubungi keluarganya menggunakan handphone gadis kecil tadi. Dia tahu bahwa semua pengunjung yang ada di sini adalah polisi, dia bahkan melihat salah satu mobil polisi berada di gang.

Mereka mulai duduk. Naruto tidak berhenti memandang Sasuke yang nampak gelisah.

"Sasuke," dia berusaha menyentuh lengan Sasuke yang ada di atas meja namun pemuda raven itu segera menghindar. Sasuke terkejut atas reaksinya sendiri dan segera merunduk.

"Maafkan aku," kata Sasuke cepat.

"Aku akan pesan makanan. Tunggulah sebentar," baru saja Naruto hendak berdiri. Para polisi itu sudah menyergap dan menodongkan sejantanya. Sasuke mundur perlahan. Saat pada jarak aman, dia segera lari dan segera di amankan oleh polisi.

Naruto tak bergeming. Tangannya yang berada di dalam saku matelnya menekan remot kontrol hingga menyebabkan bom yang berada di tubuhnya aktif, begitu juga dalam tubuh Sasuke. Tiga belas menit waktu yang terpasang di bom itu. Terlihat Sasuke benar-benar sangat panik.

Naruto di giring keluar restoran. Namun belum ada yang berani mendekatinya. Dia dapat melihat Sasuke tengah ditangani oleh polisi yang mungkin ahli dalam masalah bom, juga ada keluarganya dan juga Neji, tunangannya.

Hati Naruto segera saja berdenyut nyeri, matanya mulai memanas dan dia mulai menangis. Kejadian buruk yang dia lalui dulu kembali berputar-putar seperti kaset rusak.

"Kau bukan anakku! Kau hanyalah anak hasil perkosaan istriku. Kau pikir aku sudi menjadi Ayahmu?!"

"Seandainya Ibuku tidak melarangku untuk membunuhmu dulu, kau pasti sudah tidak ada di dunia ini!"

"Nenek!"

"Dia meninggal gara-gara kau!"

"Sebaiknya kita putus."

"Apa maksudmu?"

"Aku sudah bosan denganmu."

"Halo, saya Sasuke. Kita bisa menjadi teman yang baik, kan!"

"Aku menyukaimu."

"Maaf, Naruto, aku sudah bertunangan."

"Sasuke..."

"Ini bukan bom. Ini hanya sebuah rakitan biasa," petugas yang sejak tadi mencoba mematikkan bom yang melekat di tubuh Sasuke berseru lantang.

"Apa maksudmu?" Sasuke berujar bingung, dia memperhatikan waktu yang tinggal tujuh detik. Enam, lima, empat, tiga, dua...

"Sasuke, aishiteimasu..."

Suara ledakkan itu mengagetkan Sasuke dan semua orang yang ada di seitar restoran. Bagian depan restoran telah hancur dan para polisi yang sedari tadi memperhatikan Naruto merunduk mencoba berlindung.

Sasuke bangkit dengan gerak cepat. Dia dapat merasakan Neji sedikit menahan lengannya.

"Naruto..."

Tubuh Naruto tak tersisa. Perlahan air mata Sasuke mengalir dengan lepas.

"... Mungkin seharusnya bukan kita yang mati, tapi aku..."

Tangisan Sasuke mulai menjadi. Para polisi dan wartawan yang berkumpul mulai mengerubungi tempat kejadian.

Di sebuah rumah mewah. Seorang gadis kecil nampak melihat-lihat fotonya bersama seorang laki-laki tampan di kedai es krim tadi. Bibirnya terus saja mengulas senyum. Di depannya, sebuah televisi menyala dengan berita mengenai ledakkan bom di sebuah restoran dekat sungai.

"... Pelaku yang bernama lengkap Naimkaze Naruto sudah di pastikan tewas dalam bom bunuh diri ini."

END

Pernah aku publish sebelumnya dengan karakter berbeda

coment, please..

Salam hangat,

Shymi...