remake dari sebuah doujinshi ZoSan berjudul sama by ROM-13 (Nari) dan edit ulang ff lama. beware of typos!

.

.

.

No, No

Bel masuk telah berbunyi sejak tadi dan rutinitas para siswa SMA Mourist dimulai seperti biasa. Kelas-kelas nampak tenang dengan para guru yang siap memulai pelajarannya dan para siswa yang memperhatikan dengan khidmat. Kecuali satu kelas. Kelas 3-3 masih terdengar ramai. Para siswanya nampak sedang asyik sendiri, berkeliaran di dalam kelas dan membuat keributan. Suara dengung pembicaraan dan gelak tawa terdengar memenuhi ruangan kelas itu. Kelihatannya sang guru terlambat lagi. Lima belas menit berlalu dan keramaian itu masih bertahan. Hingga tiba-tiba pintu kelas terbuka. Seorang pria bertubuh tinggi, bersurai hitam, tampan dan berkacamata muncul di ambang pintu.

"Hey, kembali ke kursi masing-masing. Bel telah berbunyi sejak tadi," ujar Park Chanyeol, sang guru yang akhirnya datang. Ia membawa beberapa buku matematika dan sebuah buku absen ditangannya.

Keramaian itu seketika terhenti dan para siswa segera kembali ke kursi masing-masing, sementara Chanyeol menutup pintu kelas. Dengan wajah setengah mengantuknya, Oh Sehun yang duduk di deretan meja paling depan mengangkat satu tangannya dan bertanya pada sang guru yang hampir setiap hari selalu datang terlambat itu.

"Maaf, Park sonsaengnim, anda terlambat lagi. Apakah anda tersesat di dalam sekolah lagi?" pertanyaan Sehun membuat sebagian siswa menahan tawa.

Sekolah SMA Mourist tidaklah terlalu besar atau terlalu luas. Tidak akan membuat orang-orang yang memasukinya tersesat hingga membutuhkan sebuah peta untuk menelusuri setiap bagian dari sekolah itu untuk mencari jalan keluarnya. Tetapi, mungkin tidak bagi Park Chanyeol. Hampir semua orang di sekolah itu, terutama para siswa di kelas 3-3, mengetahui bahwa guru muda favorit para siswa itu memiliki semacam penyakit—atau kebiasaan?—aneh, yaitu selalu mudah tersesat. Bahkan di sekolah sekalipun, meski dia telah mengajar selama tiga tahun.

"Diam, tukang tidur," ujar Chanyeol santai seraya berjalan menuju mejanya di depan kelas. Ia mengeluarkan pulpen dari saku kemejanya dan membuka buku absen. Sambil memainkan pulpennya dan menatap daftar nama-nama siswa di dalam buku absen, ia berkata, "Okay, aku akan mulai mengabsen. Beritahu aku nama orang yang tidak kau lihat."

"Sonsaengnim, itu bukan mengabsen namanya," celetuk Sehun sambil menguap.

"Sudah kubilang diam, tukang tidur," timpal Chanyeol tanpa mengalihkan pandangannya dari daftar absen.

"Um, sonsaengnim..." Kim Jongin yang duduk di deretan paling belakang mengangkat satu tangannya. Chanyeol mengangkat kepalanya dan menatapnya. Sedikit ragu, Jongin menunjuk meja di sampingnya yang masih kosong. "Sepertinya Byun Baekhyun...belum datang."

Chanyeol diam sesaat, lalu kembali menatap buku absen di tangannya. Tangannya bersiap menulis sesuatu di dalam buku itu. "Tch, bocah itu lagi?" gerutunya, sedikit kesal.

Tiba-tiba pintu kelas terbuka, bersamaan dengan suara seseorang yang berkata, "Sudah kubilang untuk jangan memanggilku seperti itu."

Sosok seorang remaja laki-laki muncul di ambang pintu dan melangkah masuk, lalu menutup pintunya kembali dengan pelan. Mata kelamnya menatap dengan tenang pada sang guru yang sedang menatapnya tidak senang. "Aku benar-benar minta maaf aku terlambat," ucapnya.

Kedatangannya menarik perhatian semua orang di kelas itu. Dan suara bisik-bisik para siswa yang terkejut mulai terdengar memenuhi kelas. Bukan seragamnya yang berantakan atau rambutnya yang dicat pirang yang menarik perhatian semua orang. Melainkan beberapa plester dan luka lebam yang menghiasi wajah manisnya pagi ini.

"Ada apa dengan wajahmu?" tanya Chanyeol, menatap si murid terlambat yang masih berdiri dan menatapnya dengan tenang di depan pintu.

Dengan kedua tangan di dalam saku celananya, Byun Baekhyun tersenyum santai. "Karena bel telah berbunyi, aku memutuskan untuk meluncur turun menuruni tangga agar lebih cepat. Tapi aku terjatuh," jawabnya.

Suara bisik-bisik itu semakin terdengar keras. Sehun hanya diam dan memperhatikan dengan cemas pada Baekhyun yang berdiri tepat di depan mejanya. Ia merasa sangat yakin bahwa Baekhyun berbohong. Dilihat dari plester dan lebam yang menghiasi wajah manis itu, jelas sekali bahwa Baekhyun tidak terluka karena jatuh seperti yang dikatakannya tadi, melainkan karena berkelahi. Itu membuatnya cemas dan sedikit penasaran, kali ini apa lagi yang terjadi pada Baekhyun?

"Terserah. Duduk di kursimu," perintah Chanyeol, nampak tidak terlalu peduli dengan alasan keterlambatan Baekhyun.

Namun sebelum Baekhyun sempat melangkahkan kakinya, tiba-tiba pintu kelas terbuka dengan keras. Semua orang menoleh ke arah pintu dan penasaran Sehun pun terjawab. Sosok Do Kyungsoo—salah satu guru senior di SMA Mourist yang paling ditakuti oleh para siswa karena kegalakannya—muncul di ambang pintu dengan mata melotot. Nampaknya dia benar-benar marah.

"Hey, pirang! Perkataanku belum selesai!" teriak pria bermata tajam itu. Ia berjalan masuk ke dalam kelas dan menghampiri Baekhyun yang menatapnya dengan tenang.

"Oh maaf, Do sonsaengnim. Bel telah berbunyi," Baekhyun berkata santai, nampak tidak menyesal ataupun takut.

"Hey! Aku bertanggung jawab pada peringkatmu! Aku lebih penting daripada bel!"

Kyungsoo menunjuk-nunjuk Baekhyun dan berteriak semakin marah, membuat Sehun berkesimpulan bahwa mungkin tadi guru pria berwajah imut namun galak itu menangkap basah Baekhyun yang sedang berkelahi dengan murid-murid lain, lalu pemuda manis itu meninggalkannya begitu saja ketika ceramah Kyungsoo belum selesai. Semua siswa tahu, Kyungsoo paling tidak suka diacuhkan ketika ia belum selesai bicara. Itu sangat tidak sopan baginya.

"Oh, benarkah itu?" lagi-lagi Baekhyun berkata dengan santai, seolah tidak ada yang salah. Dan itu memicu kemarahan Kyungsoo ke tingkah paling atas.

"Apa-apaan dengan sikap itu!" teriak Kyungsoo sangat marah. Tubuhnya bergetar karena emosinya.

Baekhyun hanya memandangnya dengan tenang. Chanyeol segera bertindak sebelum Kyungsoo mulai mengamuk di kelasnya. Ia berdiri di depan Baekhyun dan mengulurkan satu tangannya pada Kyungsoo ketika guru imut itu terlihat akan berbicara lagi.

"Oh, ya, ya. Aku minta maaf Do sonsaengnim. Aku akan bicara padanya tentang masalah ini," kata Chanyeol. Ia berusaha mendorong keluar tubuh Kyungsoo yang mulai berteriak-teriak marah.

Mengabaikan keributan yang sedang terjadi di depan kelas, Baekhyun memilih untuk duduk di kursinya. Membiarkan sang guru yang mengurus amukan Kyungsoo. Ia berjalan ke belakang, meletakkan tasnya di atas meja dan menarik kursinya yang bersebelahan dengan Jongin.

"Pagi, Jonginie," sapa Baekhyun tersenyum ramah pada teman sebangkunya itu seraya beranjak duduk.

Jongin tersenyum dan balas menyapa. Ia diam sejenak memandang Baekhyun, memperhatikan plester-plester yang belakangan ini selalu menghiasi wajah manis itu. "Apa kau baik-baik saja, Baekhyunie?" tanyanya kemudian.

"Hm? Apa?" Baekhyun balik bertanya, sedikit tidak mengerti.

Jongin mengalihkan pandangannya ke depan, pada Chanyeol yang masih berusaha menenangkan Kyungsoo dan mendorongnya keluar dari kelas. "Luka-lukamu itu...Baekhyunie, akhir-akhir ini kau terlihat seperti sengaja mendapatkan masalah," katanya.

Baekhyun diam sejenak memandang sahabatnya yang paling peka itu. Wajah tampan Jongin menyiratkan kecemasan. Baekhyun hanya tertawa kecil. Ia menopang dagunya dengan tangan kanannya yang bertumpu di atas permukaan meja dan mengalihkan pandangannya ke depan. Chanyeol akhirnya berhasil mengusir Kyungsoo keluar dari kelas dan menutup pintunya rapat-rapat.

"Tentu saja tidak," katanya, berbohong. "Aku hanya magnet pembawa masalah. Itu saja."

Mata kelamnya masih saja tidak teralihkan dari sang objek di depan, pada si guru muda yang menghela napas lega karena berhasil mendapatkan ketenangannya kembali. Diam-diam sudut bibirnya menarik sebuah garis kecil. Seulas senyum kecil. Dan di dalam kepalanya ia membenarkan perkataan Jongin barusan padanya.

Ya, disengaja. Ini memang disengaja. Karena, jika aku tidak melakukannya...

"Oi, bocah," Chanyeol mengangkat kepalanya dan berkata seraya menatap Baekhyun dengan tajam. "Datang ke ruang konseling seusai sekolah."

Baekhyun masih duduk dengan tenang di kursinya. Sedikit memiringkan kepalanya dan masih saja tidak mengalihkan pandangannya dari si guru muda. Lalu garis kecil di sudut bibirnya tertarik semakin lebar, membentuk seulas senyum yang terlihat lebih jelas dari sebelumnya. Kini seulas senyum mengejek.

"...yaaa," jawabnya.

Selama beberapa detik mata mereka bertemu. Beberapa detik yang membuat senyum mengejek itu terasa lebih lebar dari sebelumnya. Beberapa detik yang membuat si guru muda terdiam, menatap Baekhyun dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Sebelum kemudian Chanyeol memutuskan untuk mengalihkan pandangannya dan memulai pelajaran. Membiarkan mata kelam Baekhyun terus menatapnya dari belakang dengan senyum yang masih tidak menghilang dari bibir menggoda itu.

Karena, jika aku tidak melakukannya...dia akan melarikan diri dariku. Benar bukan, Chanyeolie? Kau seperti pengecut.

*ChanBaek*

Saat jam istirahat tiba ketenangan di SMA Mourist terusik sejenak, memberi waktu bagi para siswa untuk merenggangkan otot-otot yang pegal dan mengisi perut yang mulai kelaparan. Jongin dan Sehun ingin mengajak Baekhyun untuk makan siang bersama di kantin, tetapi pemuda manis itu telah menghilang tepat ketika bel jam istirahat berbunyi. Mereka menyusuri koridor-koridor sekolah, mencari Baekhyun di setiap bagian sekolah. Hingga akhirnya mereka menemukannya di salah satu sudut sekolah yang sepi, bersama sekelompok siswa yang bergeletakan di atas rerumputan dan nampak kesakitan. Sepertinya Baekhyun saja berkelahi lagi.

Dengan susah sekelompok siswa yang telah babak belur itu bangkit dan beranjak pergi sambil memaki-maki Baekhyun, sementara yang dimaki hanya mendengus tidak peduli. Sehun dan Jongin hanya memandang ketika para siswa yang babak belur itu berjalan melewati mereka, kemudian mereka segera mendekati Baekhyun yang sedang membersihkan seragamnya.

"Kami mencarimu sejak tadi, Baekhyunie. Kau tidak apa-apa?" tanya Jongin.

"Ya, aku tidak apa-apa," jawab Baekhyun dengan santai, kemudian menyadari bahwa kedua sahabatnya itu sedang memperhatikannya dengan cemas, pada luka-luka yang sedikit bertambah di wajah manisnya. Ia menyentuh wajahnya yang terluka dan masih dengan nada santai yang sama ia berujar, "Kelihatannya aku harus ke klinik kesehatan nanti. Aku kehabisan plester."

"Apa yang terjadi kali ini?" tanya Sehun.

"Hanya sekelompok orang yang menantangku berkelahi. Menurut mereka, aku adalah orang yang menyebalkan," Baekhyun menjawab dengan santai seraya merogoh ke balik blazer sekolahnya yang berwarna merah, mengeluarkan sebungkus rokok dan pemantik dari dalam saku kemejanya.

Ketika Baekhyun hendak menyulut batang putih laknat itu Sehun merebutnya. "Kau masih di sekolah, bodoh," katanya.

Baekhyun hanya tersenyum kecil dan merebut kembali batang rokoknya dari tangan Sehun. "Aku tahu. Tapi tidak ada siapa pun di sini selain kalian, jadi biarkan aku merokok satu batang saja sebelum kita kembali ke kelas nanti. Okay?" bujuknya.

Dan dua sahabatnya hanya bisa diam memperhatikan ketika dengan tenangnya Baekhyun menyulut batang putih laknat itu di mulutnya dan menghembuskan asap tipis kelabunya ke udara. Pada akhirnya mereka menghabiskan waktu istirahat di sudut sekolah yang sepi sambil mengobrol dan bercanda, juga menunggu Baekhyun menghabiskan rokoknya.

Ketika bel tanda waktu istirahat telah berakhir berbunyi nyaring ketiga sahabat itu beranjak pergi untuk kembali ke kelas. Baekhyun memadamkan batang rokoknya yang telah memendek dan membuangnya ke tempat sampah. Jongin terus memperhatikan Baekhyun lekat-lekat selama beberapa saat, sebelum kemudian pemuda tampan itu mengalihkan pandangannya ke depan dan menghela napas pelan.

"Berkelahi dan merokok...kau memang sengaja mencari masalah kan, Baekhyunie?" kata Jongin yang kini merasa sangat yakin. Di sampingnya, Sehun hanya diam melirik ke arah Baekhyun. Namun dari matanya terlihat jelas bahwa ia setuju dengan perkataan Jongin barusan.

Baekhyun memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya dan tertawa kecil. Di ujung koridor ia melihat Chanyeol yang berjalan ke arah mereka dengan membawa beberapa buku materi pelajaran dan buku absen di tangannya. Sepertinya guru muda itu siap untuk mengajar di kelas lain. Ketika jarak mereka semakin mendekat, sejenak mata mereka bertemu tatap. Chanyeol memandangnya lekat-lekat dan sedikit mengernyit, seolah sedang berusaha menebak masalah apa lagi yang kini dibuatnya.

"Sudah kubilang kan, aku adalah magnet pembawa masalah. Itu saja," ucap Baekhyun tanpa mengalihkan pandangannya dari Chanyeol yang kini berbelok ke koridor yang lain. Lalu sudut-sudut bibirnya tertarik sedikit, membentuk seulas senyum yang coba ia sembunyikan.

*ChanBaek*

Sesusai perintah, sepulang sekolah Baekhyun menemui Chanyeol di ruang konseling. Di ruangan yang tenang itu Chanyeol telah duduk menunggunya dengan wajah yang lelah dan bosan. Pria tampan berkacamata itu memperhatikan Baekhyun yang beranjak duduk dengan santai di seberang mejanya, dengan kedua tangan tetap di dalam saku celana. Ia memperhatikan bagaimana mata kelam itu terlihat begitu menantangnya. Dan ia juga memperhatikan bagaimana bibir menggoda itu masih terus mengulas senyum mengejek untuknya.

"Demi Tuhan," Chanyeol mulai bicara. Nada lelah dan tidak suka terdengar jelas dalam suaranya. "Apa yang sebenarnya kau pikirkan? Hari kelulusan hampir tiba, jangan membuat masalah yang akan membuatmu masuk dalam daftar blacklist yang dapat mempengaruhi peringkatmu."

Baekhyun tersenyum mendengus. "Hah, tapi aku hanya berkelahi dengan mereka yang menantangku. Aku tidak pernah memprovokasi mereka."

Chanyeol memejamkan matanya sesaat dan menghela napas pelan. "Tetap saja. Seharusnya itu dilakukan dalam batas-batas tertentu agar tidak ketahuan."

Baekhyun menegakkan kepalanya dan diam sejenak menatap si guru muda dihadapannya. "Oh, kau tahu banyak," cibirnya.

"Tentu saja, bodoh. Dan..." Chanyeol berdiri dari kursinya dan mengulurkan satu tangannya pada Baekhyun.

Baekhyun sedikit terkejut ketika tangan Chanyeol masuk ke balik blazer merah sekolahnya dan merogoh saku kemejanya, mengeluarkan sebungkus rokok miliknya. Lalu Chanyeol kembali duduk dan meletakkan bungkus rokok itu di atas meja. Sambil memainkan bungkus rokok itu, si guru muda menatap Baekhyun dan melanjutkan,

"...ini juga. Setidaknya singkirkan bau rokok dari mulutmu. Aku tidak dapat membantumu jika seseorang selain aku mengetahuinya. Kenapa kau melakukan ini?"

Baekhyun hanya diam menatap si guru muda. Raut wajahnya sedikit berubah sejenak. Kemudian ia tersenyum mendengus. "Melakukan apa?" katanya pura-pura tidak mengerti.

Mata Chanyeol semakin tajam menatap Baekhyun, tidak terpengaruh pada sikap polos yang coba diperlihatkan oleh si pemuda manis itu. "Kau melakukan ini dengan sengaja," katanya. "Kau memamerkan padaku bahwa kau berkelahi dan merokok. Kau tahu persis apa yang kau lakukan. Aku bertanya, apa yang sebenarnya kau coba untuk dapatkan dengan melakukan semua ini?"

Baekhyun sedikit menundukkan kepalanya dan sudut bibirnya kembali tertarik membentuk seulas senyum yang terlihat jelas. Tetapi kali ini bukan senyum mengejek, melainkan sebuah senyuman yang terasa menyakitkan.

"Untuk mendapatkan perhatianmu. Untuk membuatmu benar-benar melihatku seperti ini."

"Huh?"

"Bukan sebagai seorang "siswa", tapi benar-benar melihat "aku". Kau samar-samar menyadarinya, bukan?itu sebabnya biasanya kau melarikan diri dariku, kan?"

Chanyeol terdiam mendengarnya dan hanya menatap Baekhyun. Ketika kemudian Baekhyun mengangkat kepala dan menatapnya, ia menyadari ada kelembutan dalam mata kelam itu. Kelembutan yang hampir membuat tembok tinggi yang telah susah payah ia buat selama ini nyaris runtuh. Ia mencoba mengalihkan pandangnya pada hal lain. Apa saja, selain mata kelam itu. Namun ia terkejut ketika tiba-tiba Baekhyun mengulurkan satu tangan dan menyentuh tangannya yang sedang memegang bungkus rokok milik si pemuda manis yang ia ambil tadi.

"Karena kau sudah menyadarinya dan sebagai seorang guru, kau menjaga jarak. Benar bukan, Chanyeol?"

Chanyeol masih terdiam, menatap tangan Baekhyun yang berada di atas tangannya. Menyentuhnya dengan lembut dan hangat. Sentuhan ini dan nama panggilan itu membawa sebuah sensasi lama yang dirindukannya. Menyeretnya kembali pada sebuah kenangan lama. Dulu, ketika dia hanyalah seorang siswa SMA yang harus merawat seorang anak kecil tetangganya yang berusia tujuh tahun. Anak kecil yang selalu mengikutinya kemana pun. Anak kecil yang kini telah tumbuh menjadi seorang remaja yang selalu membuat masalah.

Dulu. Itu sudah lama sekali.

*ChanBaek*

"Chanyeol."

Panggilan nama itu membuat Chanyeol menghentikan kakinya. Ia menoleh menatap dengan heran anak kecil berusian tujuh tahun di sampingnya, yang sedang menggandeng tangannya dan menatapnya dengan mata kelamnya. Pagi itu mereka telah rapi dengan seragam masing-masing. Chanyeol dengan seragam SMA-nya dan anak kecil itu dengan seragam SD-nya. Dan seperti biasanya Chanyeol harus mengantar anak kecil itu dulu sebelum ia pergi ke sekolahnya.

"Hah? Tunggu, hey, apa itu barusan? Kau memanggilku apa?" kata Chanyeol terkejut.

Anak kecil itu menatap Chanyeol dengan polos. "Chanyeol," katanya mengulangi kembali perkataannya tadi, membuat Chanyeol merasa semakin heran.

"Kenapa kau tidak menggunakan panggilan formal? Baru kemarin kau memanggilku "hyung". Apa yang terjadi?"

"Aku tidak mau lagi."

"Ini bukan masalah kau mau atau tidak. Aku sepuluh tahun lebih tua darimu."

"Tapi aku tidak mau."

Chanyeol mengerjap melihat anak kecil yang keras kepala itu. Dan pada akhirnya ia hanya mendesah dan melanjutkan kembali langkah kaki mereka. "Terserah..." katanya, yang membuat anak kecil itu tersenyum senang.

*ChanBaek*

Ya, anak kecil yang keras kepala itu adalah Baekhyun. Dia tinggal di sebelah rumah Chanyeol bersama dengan kakeknya. Chanyeol tidak pernah melihat kedua orangtua Baekhyun. Entah mereka masih hidup dan sedang berada di suatu tempat, atau mereka sudah lama mati. Chanyeol tidak terlalu peduli, ia tidak mau mencampuri urusan orang lain. Kakek Baekhyun adalah pemilik sebuah restoran besar dan sangat sibuk. Karena itu dia meminta Chanyeol yang rumahnya bersebelahan dengan rumah mereka untuk menjaga dan merawat cucu kesayangannya. Tentu saja Chanyeol dibayar. Meski Chanyeol tidak keberatan, namun ketika melihat Baekhyun kecil yang selalu menatapnya dengan mata kelamnya yang cemerlang, ia selalu berpikir, mengapa ia harus merawatnya? Ia tidak tahu bagaimana caranya mengurus anak kecil.

Chanyeol merawat Baekhyun kecil selama beberapa lama. Dan untuk beberapa alasan, ini membuat Baekhyun kecil menjadi lebih terikat kepadanya. Hingga akhirnya Chanyeol lulus dari SMA dan meninggalkan rumah untuk memulai kehidupan kuliahnya. Sejak hari itu ia tidak pernah melihat Baekhyun lagi. Pertama kali ia melihat Baekhyun lagi adalah ketika kakek Baekhyun menghubunginya dan memintanya untuk mengajari cucunya yang akan menghadapi ujian. Saat itu baekhyun telah berusia empat belas tahun. Sejujurnya, ketika ia datang ke rumah keluarga Byun dan untuk pertama kalinya melihat Baekhyun kembali, ia merasa sangat terkejut dan terpesona. Anak kecil itu telah tumbuh menjadi seorang remaja manis yang mampu memikat siapa pun yang melihatnya. Dan Chanyeol harus mengatakan kepada dirinya sendiri yang nyaris lupa, bahwa sosok manis yang berdiri di depannya saat itu adalah anak kecil yang dulu selalu naik ke bahunya.

Lalu, sedikit demi sedikit. Ketika melihat bagaimana cara Baekhyun memandang dan tersenyum kepadanya, Chanyeol mulai menyadari bahwa ia berada dalam masalah. Itu bukanlah ekspresi yang kau tunjukan kepada "kakak tetangga sebelah yang kau puja". Dan yang membuat ia merasa semakin yakin adalah ketika Baekhyun memilih SMA Mourist, sekolah tempatnya mengajar.

Ya, itu benar. Chanyeol tahu bagaimana perasaan Baekhyun, dan juga perasaannya sendiri. Ia juga memiliki perasaan yang sama dengan Baekhyun. Tapi ia tidak bisa merespon perasaan itu. Tidak selama Baekhyun adalah seorang murid.

*ChanBaek*

Chanyeol menarik tangannya dari Baekhyun. Seraya mengalihkan pandangannya, ia menyimpan bungkus rokok milik Baekhyun yang ia sita ke dalam saku kemejanya. Baekhyun hanya diam menatapnya, sedikit terluka dengan penolakan yang Chanyeol berikan.

"Jangan panggil namaku. Panggil aku Park sonsaengnim seperti yang seharusnya," kata Chanyeol.

"Aku tidak mau," tolak Baekhyun dengan suara pelan.

Chanyeol menatap Baekhyun dari balik kacamatanya. Sedikit kesal dengan sikap keras kepala Baekhyun yang masih tidak berubah dari dulu. Baekhyun beranjak berdiri dari kursinya dan berjalan memutari meja mendekati Chanyeol.

"Aku bicara padamu, Chanyeol," Baekhyun memberi tekanan pada kalimatnya. "Jangan membawa omong kosong seperti posisi. Hal seperti murid dan guru, aku tidak peduli tentang itu. Itu bukan masalah."

Sejenak mata mereka kembali bertemu dalam keheningan. Sorot mata lelah bertemu dengan sorot mata menantang. Ketika si guru muda terlihat seperti tidak ingin mengatakan apapun, Baekhyun kembali bicara seraya mengulurkan satu tangannya ke depan. Merogoh saku kemeja Chanyeol untuk mengambil sebatang rokok dari bungkus rokoknya yang telah disita.

"Diammu memberitahuku, bahwa aku benar. Kau memang mengethaui tentang perasaanku," ucap Baekhyun lagi.

Baekhyun meletakkan batang rokok di bibirnya. Namun ketika ia sedang berusaha menyalakan pemantik api untuk menyulut rokoknya, tiba-tiba tangan Chanyeol menghentikannya. Chanyeol menghela napas dan beranjak berdiri dari kursinya, lalu mengambil pemantik api dari tangan Baekhyun.

"Aku kehabisan kata-kata," katanya seraya memandang pemantik api milik Baekhyun di tangannya. Sejenak ia memainkannya, melemparkannya ke atas lalu menangkapnya kembali. Kemudian menggenggam benda kecil itu dengan erat seraya menatap Baekhyun dengan tajam. "Lalu? Katakan misalnya, bahwa aku memang telah mengetahui tentang perasaanmu. Lalu apa? Apa yang kau sarankan aku lakukan? Guru dan murid bukan masalah?"

Baekhyun terdiam menatap sang guru muda yang nampak marah. Ia mengambil batang rokok yang berada di mulutnya dan berusaha mencari kata-kata yang tepat. Namun terkejut ketika tiba-tiba Chanyeol melempar pemantik api miliknya ke sudut ruangan dengan keras.

"ITU MASALAH BESAR, BODOH!" teriak Chanyeol marah. "Aku punya posisi yang harus kupertimbangkan. Aku bukan anak kecil sepertimu."

Chanyeol sedikit menunduk menatap lantai, berusaha menghindari mata kelam Baekhyun yang sedang menatapnya dengan tatapan yang membuatnya terasa nyeri. Ingin sekali ia meminta pada Baekhyun untuk mengerti, bahwa ia tidak merespon perasaannya saat ini.

Baekhyun mengatupkan bibirnya dengan kuat, menahan perasaan nyeri dan marah yang seketika melesak di dalam dadanya. "Aku bukan anak kecil..." gumamnya tidak terima.

Chanyeol nampak tidak peduli dan beranjak pergu, berjalan melewati Baekhyun yang kembali terdiam. Kemudian pemuda manis itu menoleh ke belakang, memandang si guru muda yang hampir mencapai pintu dan berteriak dengan marah,

"Aku bukan anak kecil, sialan!"

Chanyeol menghentikan kakinya. Tanpa menoleh, ia berkata dengan nada yang dingin, "Kau benar-benar kekanak-kanakkan," ia sedikit menggerakkan kepalanya, melirik Baekhyun. "Ingatlah ini. Melakukan hal seperti itu tidak akan membuatku menerimamu."

Baekhyun terdiam menatap punggung Chanyeol yang perlahan menjauh. Punggung yang menyimpan rahasianya sendiri. Baekhyun menggigit bibirnya dengan kesal, merasa tidak terima. Kemudian ia mengejar sang guru muda dan mencengkram lengannya, membuat Chanyeol berhenti melangkah dan merasa sangat terkejut. Tanpa menoleh, Chanyeol dapat merasakan bahwa Baekhyun berdiri di belakangnya. Bahkan ia dapat merasakan tatapan mata kelam itu dipunggungnya, yang seolah memaksanya untuk membagi rahasia itu.

"Jangan berbohong padaku!" kata Baekhyun dengan marah, membuat si guru muda merasa semakin terkejut. "Jangan mengguruiku. Seperti kau tahu perasaanku, aku tahu jawabanmu. Jika tidak, kau tidak akan bertingkah seperti ini."

Chanyeol masih diam. Tidak menoleh ke belakang ataupun bergeming. Namun Baekhyun yang terus mendesaknya seperti ini mulai membuatnya merasa cemas. Cemas pada tembok tinggi yang telah ia bangun dengan susah payah di dalam dirinya kini mulai bergoyang, mulai tidak seimbang. Ia memejamkan mata dan berusaha menulikan pendengarannya. Berusaha mengabaikan Baekhyun yang terus berbicara dengan nada yang semakin tinggi. Berusaha mengabaikan amarah Baekhyun yang nyaris meledak seperti gunung merapi.

"Kenapa? Kenapa kau menyimpannya sendiri? Kenapa kau tidak memberitahukan aku jawaban yang sebenarnya? Aku hanya ingin mendengar perasaanmu yang sesungguhnya. Aku ingin mendengarnya dengan kata-katamu sendiri!"

Chanyeol masih saja diam, dan itu membuat Baekhyun merasa semakin kesal. Kemudian Baekhyun menarik tubuh si guru muda agar berbalik menghadapnya dan mencengkram pundaknya. Namun Chanyeol masih saja mengalihkan pandangannya, tidak mau menatap Baekhyun.

"Cukup! Guru, murid, apakah hal itu benar-benar perlu untuk dikhawatirkan?"

Masih tanpa menatap Baekhyun, Chanyeol menepis cengkraman tangan si pemuda manis di pundaknya seraya berkata dengan acuh, "Lepaskan."

"Chanyeol!"

"Pembicaraan ini selesai."

Namun ketika Chanyeol berbalik dan hendak pergi, lagi-lagi Baekhyun menahannya. Pemuda manis itu mencengkram tangannya dengan erat sambil berteriak memaki, berusaha memprovokasi si guru muda.

"Jangan melarikan diri! Berhenti bermain-main. Kau melakukan semua yang dapat kau lakukan untuk lari dariku lagi. Berapa lama lagi kau akan melarikan diri?! Kau pengecut. Kau bahkan tidak bisa menghadapiku! Kau begitu ketakutan, menyedihkan. You're good for nothing, stingking asshole! Idiot! Bodoh! Tidak berguna! Katakan sesuatu brengsek!"

Pada akhirnya Chanyeol pun merasa tidak tahan. Tembok tinggi itu pun runtuh seketika. "kau bocah sialan!" gumamnya pelan. Kemudian berbalik dengan tiba-tiba dan menarik kerah seragam Baekhyun. Dengan tiba-tiba pula ia mencium bibir yang selalu mengulas senyum mengejek padanya itu.

Ciuman itu membuat Baekhyun terkejut dan mengerjap tidak percaya. Tanpa menghentikan ciumannya, Chanyeol menarik tubuh Baekhyun dan mendorongnya ke dinding. Merapatkan tubuh mereka dan memaksa bibir menggoda itu untuk terbuka dan memberi izin pada lidahnya untuk masuk, bermain di dalamnya.

Ciuman itu begitu kasar dan panas. Dan Chanyeol sudah tidak dapat menahan dirinya lagi. Tembok tinggi itu sudah benar-benar runtuh sekarang. Bahkan Chanyeol tidak peduli ketika kacamatanya mulai terusik dari tempatnya bertengger hingga akhirnya terjatuh ke lantai.

"Nnn...! tunggu! Mngh..." Baekhyun mencoba menghentikan ciuman panas itu dan mendorong wajah tampan Chanyeol dari wajahnya. Ia nyaris kehabisan napas karena ciuman itu.

Namun seolah telah lupa diri, Chanyeol tidak mau berhenti. Ia hanya memberi jeda beberapa detik bagi Baekhyun untuk mengisi kembali persediaan oksigennya, sebelum kemudian ia kembali menciumnya dengan penuh gairah. Gairah yang selama ini selalu berusaha ia tahan. Pada akhirnya Baekhyun pun memilih untuk menyerah dan memejamkan matanya, menikmati sensasi aneh yang menjalari seluruh tubuhnya. Sensasi yang membuat kaki dan tubuhnya terasa lemas.

Ciuman itu terasa semakin panas dan penuh gairah. Perlahan tubuh Baekhyun merosot jatuh. Namun sebelum Baekhyun benar-benar terjatuh ke lantai, tanpa menghentikan ciuman mereka, Chanyeol menempatkan kakinya di antara kaki Baekhyun. Mereka pun terjatuh ke lantai bersama, dengan Baekhyun yang duduk di atas pangkuan Chanyeol.

Ketika ciuman panas itu berakhir, mereka saling berpandangan. Chanyeol pun terdiam sejenak, tersadar dengan apa yang baru saja ia lakukan. Suara deru napas yang tidak teratur dan lelah terdengar memenuhi ruangan yang tenang itu.

"Aish, sial," kata Chanyeol seolah tidak percaya, memejamkan matanya dan mendesah. Kemudian ia membuka matanya, menyandarkan tangannya pada dinding untuk menjaga keseimbangannya dan kembali berkata, "Kenapa kau harus melemparkan dirimu padaku dengan depresi seperti itu?"

Baekhyun yang merangkulkan kedua tangannya di leher Chanyeol terkejut mendengarnya. Ia terdiam mendengar suara Chanyeol yang berkata di telinganya, "Jika aku tidak melarikan diri darimu, aku akan berada dalam masalah besar."

Perkataan itu seolah membuka pintu rahasia yang selama ini terkunci rapat. Seperti sebuah kata-kata ajaib yang penuh makna bagi Baekhyun. Ia sedikit mendorong tubuh Chanyeol menjauh untuk melihat wajah tampannya, menatap dengan tatapan terkejut dan tidak percaya. Tapi wajah tampan Chanyeol terlihat begitu serius dan jujur.

"Itu artinya..." ucap Baekhyun.

Chanyeol kembali merapatkan tubuhnya pada Baekhyun dan berkata di telinganya, "Aku tidak akan mengatakannya lagi. Kau dapat menebaknya, kan? Jika kau bukan anak kecil seperti yang kau katakan."

Sejenak tidak ada yang bersuara. Baekhyun yang bingung harus mengatakan apa. Dan Chanyeol yang menunggu kata-kata selanjutnya dari Baekhyun. Setelah beberapa menit berlalu Baekhyun hanya mengerjap dan berkata,

"Ah, kurasa aku adalah anak kecil karena aku tidak tahu. Maaf."

Chanyeol mendengus kesal mendengarnya. Ia berpikir sejenak. Sambil memejamkan mata dan menggaruk rambutnya yang tidak gatal, ia berkata, "Aish, sial! Aku akan memberitahu. Tapi tunggulah hingga hari kelulusan!"

Kemudian ia membuka matanya dan menatap Baekhyun lekat-lekat. "Maaf, tapi aku tidak akan lagi bertindak ceroboh tanpa memperhatikan usia. Selama kau seorang murid, aku tidak bisa merespon perasaanmu," katanya dengan serius.

Baekhyun mengerjap tidak percaya mendengarnya. "...kalau begitu, setelah aku lulus?"

Chanyeol diam sejenak menatap Baekhyun. Lalu ia mendekatkan wajahnya dan menyentuh wajah manis di depannya itu dengan lembut sambil berkata, "Aku akan benar-benar memberitahumu. Apa yang ingin kau dengar, tentang perasaanku. Karena itu, tunggulah. Apa kau mengerti, bocah bermasalah?"

Baekhyun terdiam sejenak, menatap Chanyeol tanpa berkedip. Sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk seulas senyum senang. Ia menghela napas lega dan memeluk kepala si guru muda sambil berkata, "Adults are so hopeless."

"Salah siapa menurutmu itu?" timpal Chanyeol sedikit kesal. Dan Baekhyun hanya tertawa kecil di atas kepala si guru muda.

*ChanBaek*

Hari mulai semakin sore. Chanyeol dan Baekhyun merapikan diri mereka, bersiap untuk pulang. Chanyeol mengambil kacamatanya yang tadi terjatuh ke lantai ketika berciuman dengan Baekhyun. Ia membersihkan lensa kacamatanya sebelum kemudian memakainya kembali. Sementara Baekhyun memungut pemantik miliknya yang tadi dilempar dengan keras oleh Chanyeol ke sudut ruangan. Sejenak ia terdiam memandang benda kecil itu.

"Aku ingin buru-buru dan lulus," katanya kemudian.

Chanyeol melirik pada Baekhyun, lalu menghampirinya. Sambil mengacak-acak lembut rambut yang dicat pirang itu ia berkata, "Bodoh. Jangan terburu-buru. Lagipula, ada waktu yang lama setelah lulus. Buatlah kenangan yang berharga selama kau menjadi murid SMA."

Baekhyun terdiam dan menoleh pada Chanyeol, menatapnya. "Kenapa kau tampak begitu terkejut?" tanya Chanyeol heran.

"Menakjubkan. Sekarang kau benar-benar tampak seperti seorang guru," ujar Baekhyun, tertawa kecil.

"Kau benar-benar tahu bagaimana caranya membuatku kesal," timpal Chanyeol seraya membuka pintu dan berjalan keluar ruangan, bersama Baekhyun yang mengikuti dibelakangnya.

Ketika Chanyeol sedang menutup pintu ruangan konseling dan menguncinya, Baekhyun memangginya. "Huh? Apalagi sekarang?" kata Chanyeol sedikit kesal, mengira pemuda manis itu ingin menggodanya lagi untuk membuatnya marah.

Namun saat ia mengangkat kepalanya, ia menemukan sesuatu yang lembut menyenuth bibirnya. Baekhyun menciumnya. Dan sejenak lidah Baekhyun menggoda di dalam mulutnya, sebelum kemudian benda lunak itu menjilat permukaan bibirnya dengan menggoda. Mata mereka kembali bertemu dalam keheningan yang mendebarkan. Chanyeol begitu terkejut dengan ciuman tiba-tiba itu dan sangat terpesona pada mata kelam Baekhyun yang cemerlang hingga memberikan reaksi yang terlambat.

Tersadar bahwa mereka masih berada di sekolah, berdiri di depan ruangan konseling, Chanyeol tersentak dan segera menjitak kepala Baekhyun dengan kesal. "Kau pikir sedang dimana kita sekarang?!" bisiknya panik.

Baekhyun mengelus kepalanya dan meringis kesakitan. "Urrgghh...aku mengerti. Aku mengerti!" katanya. Ia menatap Chanyeol dan merasa sedikit heran sekaligus lucu, karena pria tampan itu nampak begitu panik. "Jangan khawatir. Tidak akan ada lagi serangan mendadak."

Chanyeol hanya diam dan menatap pemuda manis itu dengan kesal. Hampir saja pertahanannya kembali runtuh. Seraya berusaha menenangkan jantungnya yang berdentum kencang tidak teratur di dalam dadanya, ia berpikir bahwa sepertinya ia tidak bisa bersantai dan menurunkan kewaspadaannya sebentar jika berada di depan Baekhyun.

Baekhyun tersenyum dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. "Aku akan pastikan untuk menunggu, sampai lulus nanti," katanya, lalu beranjak pergi.

Chanyeol terdiam, menatap punggung Baekhyun yang perlahan menjauh. Sedikit terkejut dan sekaligus merasa lega melihat Baekhyun yang kini mau mengerti untuk menunggunya hingga hari kelulusan nanti. Segera ia menyusul Baekhyun dan berjalan di sampingnya, lalu menghela napas dengan keras saat berpikir bahwa ia akan berada di tangan si pemuda manis setelah hari kelulusan nanti.

"Kenapa kau menghela napas?" tanya Baekhyun, menatap si guru muda dengan sedikit kesal.

Chanyeol meirik sesaat pada Baekhyun, tidak menjawab. Namun kemudian ia tersenyum dan menyentuh lembut kepala pirang Baekhyun, membuat pemuda manis itu merasa sangat senang.

Ya, Baekhyun pasti akan menunggu hingga hari itu tiba.

~Fin~