Kau mulai belajar mencintai cinta yang baru.

Dan aku mulai belajar melupakan cinta yang lama


"Apa anda yakin? Tolong pikirkan lagi, anda sedang mengandung, Nyonya!"

"Apa anda tidak takut resiko keguguran? Kemungkinan bayi anda selamat hanya kisar 30% ah tidak bisa sampai 0%!"

Ritsu terdiam, ia memegangi perutnya. Ia sedang hamil, memang. Usia kandungan dua bulan. Dan itu adalah anak dari lelaki sialan yang setengah mati ia cintai. Takano Masamune. Suaminya. Juga lelaki yang Ritsu tinggalkan karena Ritsu berpikir ia harus mengamankan buah hatinya.

Takano itu monster, dia adalah pria biadab sepanjang sejarah hidupnya. Pria yang tidak mempedulikan Ritsu, memperkosanya bahkan sesekali menyiksa hanya karena perjodohan paksa yang harus melibatkan Takano harus menikahi seorang bocah kaya seperti Ritsu untuk menolong perusahaannya.

Dan Ritsu mencintainya, pun sedang mengandung anaknya. Tetapi bertahan bersama Takano bukanlah hal yang bagus. Ia pun memilih berlindung di rumah Nao, sahabat Ritsu. Lalu masalah barunya sekarang adalah keluarga Ritsu. Mereka mencari Ritsu yang kabur. Kehabisan akal Ritsu ingin lenyap, ia ingin identitas baru. Ia ingin berganti kelamin. Ia ingin menjadi laki-laki!


Hari itu Ritsu dan Takano telah resmi menikah, seperti layaknya suami-istri pada umumnya. Takano meniduri Ritsu di malam pertama mereka. Ritsu tahu Takano tidak mencintai dia, tetapi jika Takano bersedia melakukan ini, Ritsu yakin Takano sedikitnya tertarik secara seksual terhadapnya. Walau harapnya harus pupus di hari berikutnya kala suaminya itu membawa seorang perempuan lain ke ranjang mereka.

"Apa-apaan ini?! Saya tahu anda tidak menyukai saya. Tapi saya ini istri anda, Masamune!" itu adalah amarah yang Ritsu keluarkan setelah satu jam Ritsu bersabar menanti perempuan jalang itu pulang meninggalkan suami Ritsu. "Kau pikir kau siapa?"

"Aku istrimu!" Ritsu berteriak semakin keras, air mata bodoh menuruni pipinya. Apalagi ketika suami Ritsu itu menyeret Ritsu ke dalam kamar mereka.

Ritsu di lempar begitu saja ke ranjang, Takano lalu melonggar sabuk celananya, dengan cekatan tangan putih itu menjelajah isi laci kamar mereka. Ritsu membelalakan mata kala sepasang borgol suaminya itu keluarkan.

Tangan kiri Ritsu, tangan kanan Ritsu keduanya menyapu sisi kepala ranjang dengan ikatan borgol di sisinya. Sedang kaki Ritsu sibuk merapat. Ritsu tahu pasti suaminya akan melakukan apa,

Takano mengambil gunting. Ia telanjangi Ritsu begitu saja. Menampilkan lekuk tubuh sexy yang sesungguhnya memang menggoda imannya. Langsung saja, Takano mengarahkan kepalanya menuju kemaluan Ritsu. Menjilatnya dengan penuh nafsu. Membuat Ritsu mau tidak mau meracau galau di antara hatinya yang sakit dan tubuh yang mendamba rasa nikmat.


"Ritsu? Kau tahu, kau tidak perlu melakukan ini. Aku akan menyembunyikanmu. Aku juga mau membantumu membesarkan anakmu itu," Ritsu menggeleng. Ia harus melakukan operasi itu. Ia tidak boleh terus menjadi perempuan, keluarganya atau Takano mungkin bisa menemukan dirinya.

"Atau kau bisa melakukannya setelah melahirkan," kata Nao lagi, saat ini Nao sedang mengantar Ritsu ke rumah sakit. Tempat Ritsu bersikukuh ingin melakukan operasi kelamin.

"Keluarga suamiku dan keluargaku sedang mencariku, aku dan anakku dalam bahaya Nao. Mereka bisa menemukanku kapan saja. Jika operasi ini begitu beresiko bukankah resiko terburuk adalah kembali ke rumah bersama Masamune? Suamiku pasti akan membunuh bayi kami," Nao segera merengkuh Ritsu meski sahabatnya itu tidak menangis atau sekadar menampilkan wajah sedihnya. Namun Nao sangat tahu, Ritsu sangat menderita, Ritsu sangat kesakitan oleh Takano, suami yang sangat di cintainya.

"Kumohon lakukan Dokter, Tuhan akan melindungi anakku. Anda tidak perlu mengeluarkan organ reproduksiku secara keseluruhan. Aku tidak begitu peduli apa nantinya akan berjalan baik atau tidak ketika aku berwujud seorang pria, tetapi yang ku butuhkan saat ini adalah tampilan luarnya. Kumohon buat aku menjadi seorang pria," ucap Ritsu lantang, ia masih mengusap perutnya. Berdoa pada Tuhan supaya anaknya di beri kekuatan sekaligus keajaiban untuk bertahan hidup.

Dokter itu menghela napasnya dalam, ia akhirnya menyetujui operasi tersebut. Dan menjadwalkan dua bulan kedepan dimana usia bayi Ritsu menginjak bulan ke-empat. Dan mau tidak mau Ritsu menyetujui walau hatinya betul ketakutan, dua bulan adalah waktu lama. Selama menanti keluarganya pasti akan segera menemukan Ritsu dan memulangkan pada Takano.

Ritsu sangat ingin sebetulnya, kembali hidup bersama Takano, apa yang tidak lebih di inginkan selain hal itu? Sebagai ibu hamil pada umumnya, Ritsu sering kesulitan dalam masa morning sick pun juga perihal acara mengidamnya. Letak bingung dari masalah Ritsu ini adalah siapa. Siapa yang akan membantu Ritsu melakukan semua itu. Nao adalah sahabat Ritsu, tidak mungkin Ritsu membebankan Nao lebih jauh lagi.

"Ritsu kamu oke?" Nao bertanya, mereka baru saja pulang dari rumah sakit. Ritsu sangat pucat. Ia sangat stres dan lelah mengurusi pemeriksaan pasca operasi kelaminnya. Belum lagi akhir-akhir ini Ritsu merasa sangat gelisah, ia ingin bersama Takano. Ia ingin melalui masa-masa hamil bersama ayah janinnya. Tapi hal itu terdebgar mustahil mengingat betapa Takano membencinya. Ritsu sangat putus asa atas diri yang sungguh betapa bodohnya dia.

Ritsu mengangguk, namun ia menyerngit. "Katakan apa kamu mengidam sesuatu?" Nao bertanya pada Ritsu, "sekali ini saja. Kumohon.."

"Ya, apa itu. Katakan saja,"

Ritsu memerah, matanya berkaca menahan air mata yang terlihat ingin turun kapan saja. "Aku ingin melihat suamiku, dari jauh juga tidak apa-apa Nao. Kumohon,"

Nao tersenyum maklum, ia tangkup kedua sisi pipi Ritsu. "Kamu sangat merindukannya hm?" Dan pertanyaan itu Ritsu jawab dengan tegar, "bayiku. Aku tidak," Ritsu tersenyum. Mencoba membuat diri betul-betul baik tanpa Takano. Ritsu pasti bisa, karena Ritsu kuat. Lebih kuat dari siapapun.


Itu adalah malam hari, Takano terlihat menggandeng seorang wanita sexy berambut cokelat. Mata wanita itu berwarna hijau, hampir sama dengan milik Ritsu, hanya saja tidak begitu terang dan besar. Perempuan itu juga lebih tinggi dan berisi dari pada Ritsu.

Mereka melangkah memasuki bar, tentu saja Nao dan Ritsu mengekor di belakangnya. Ritsu mengenakan masker dan baju yang sangat tebal. Mengingat ini adalah pukul sepuluh malam dan lokasi ini sungguh memiliki aroma yang tidak baik untuk janinnya. Tetapi Ritsu merasa perlu tahu apa yang dilakukan oleh suaminya. Ritsu perlu tahu, sangat perlu tahu.

Disana Masamune terlihat berbincang dengan seorang bartender, sepertinya mengutarakan pesanan yang ingin di nikmatinya malam ini bersama si perempuan. Hal serupa dilakukan perempuannya, sesekali tangan mereka saling meraba meski mata mereka sibuk bercakap dengan sang bartender. Sampai akhirnya mata Ritsu menangkap dimana tangan putih yang sering meraba tubuhnya sedang keasyikan meraba paha dalam wanita di sampingnya.

"Hoekk," Ritsu tiba-tiba saja merasa mual. Mungkin aroma beralkohol yang pekat sudah mulai mengganggu indera penciumannya. "Ritsu ayo kita pulang,"

Ritsu menggeleng. Ia jauhkan Nao dengan tangannya, "kumohon Nao. Sebentar lagi saja. Aku ingin disini sebentar lagi.."

"Ritsu, ingat bayimu! Kamu tidak mau kehilangan dia hanya karena kamu berada disinikan?"

"Nao kumohon," ketika Ritsu memohon. Barulah saat itu Nao sadar, Ritsunya sedang menangis. Ritsu yang sangat kuat dan tegar, selama melarikan diri ke tempatnya Nao hampir tidak pernah melihat Ritsu menangis. Tetapi kali ini, hanya dengan melihat si brengsek Takano, Ritsu menangis. Nao sungguh tidak bisa memaafkan hal ini?! Ia mungkin harus menghajar Takano sampai mati. "Sepuluh menit lagi saja oke, lebih dari itu aku tidak setuju,"

Ritsu mengangguk pasrah, membiarkan Nao juga menyalipkan tangan di pinggang Ritsu. Bermaksud melindungi Ritsu dari hiruk pikuk orang-orang tidak baik di dalam sana. Tetapi niat itu tidak cukup untuk melindungi Ritsu karena selanjutnya mereka berdua harus di suguhi pemandangan dimana Takano mencium perempuan nakal tadi di dada.

"Nao!" Ritsu menangis, ia memeluk Nao. Satu tangannya mengepal di dada. Ritsu merasa sakit yang kesekian kalinya.

Ini memang bukan kali pertama pemandangan seperti ini Ritsu dapati, selama setahun masa pernikahannya. Takano seringlah membawa banyak perempuan. Bahkan berani meniduri mereka di hadapan Ritsu. Tetapi kali ini. Sedikitnya Ritsu berharap, dengan perginya Ritsu akan memberi pengaruh. Namun yang dilihatnya adalah hal yang tidak memiliki beda sama sekali. Takano terlihat tidak peduli sama selali dengan ketiadaan Ritsu di hadapannya.

Ketika Takano meremas bokong si wanita, Ritsu merasa dadanya penuh dengan kesesakan. Ia merasa cukup dan ingin pulang tapi yang terjadi adalah tidak terduga, Nao mendatangi Takano. Melayangkan tinju tak termaafkan seumur hidupnya.

Bugh.

Bugh.

"Ini karena kau adalah lelaki brengsek!

"Apa-apaan kau-"

Bugh.

"Ini karena kau biadab!"

Takano menendang Nao sampai Nao tersungkur. Takano terlihat lebih lihai daripada Nao, tetapi Nao tidak menyerah. Meski babak belur ia tetap berusaha melayangkan satu pukulan lagi, "inih hah-hah.. Inih karena kau bajingan sialan!"

Ritsu hampir berlari mendekat, tetapi security mulai berhamburan dan menggusur Nao keluar. Samar-samar Ritsu melirik Takano, ia khawatir. Wanita yang tadi bermesraan itu dengan cepat memeluk Takano, membuat Ritsu tersenyum getir, sepertinya Ritsu mengkhawatirkan orang yang salah.


"Ritsu sakit adududuh," Nao mengaduh manja, Ritsu tertawa Nao sudah seperti anak kevil saja. "Tahan bodoh!"

"Ritsu sakit," dan pengaduhan rasa sakit itu di tanggapi tawa lepas oleh Ritsu. Nao mencekal tangan Ritsu kala itu. "Akhirnya kamu tertawa,"

Ritsu memerah, Nao sangat dekat. "Na-nao kamu terlalu dekat,"

Nao meraih satu tangan Ritsu lagi, "sebetulnya Ritsu. Kamu tidak perlu semenderita ini. Aku bisa membahagiakanmu lebih dari Takano, kamu tidak perlu mengganti kelamin untuk menyembunyikan diri. Aku bersedia menerimamu, mempertahankanmu dan melindungimu. Mari kita datangi orang tuamu, kita urus perihal perceraian lalu menikah, kamu akan bahagia. Aku berani berjanji padamu."

"Nao aku tidak,"

"Aku mengerti Ritsu, tapi kumohon pertimbangkan aku. Aku seribu kali lebih baik untukmu dari pada si Takano sialan itu," Ritsu mengangguk, meski ia tidak tahu. Dalam sepanjang rasa sepi hari-harinya, tak sedetikpun ada pikir untuk berpaling pada Nao, teman baik yang sudah bersamanya semenjak ia duduk di bangku Sekolah Menengah, "bodoh cepat kompres lagi. Ini sakit tahu!"

Dan suasana canggung itu cair sekali lagi, gelak tawa kembali memenuhi ruang. Nao mungkin memang pandai mengangkat mood Ritsu menjadi lebih baik.

Nao masih terlelap pagi harinya, itu wajar. Semalam mereka pulang sangat malam belum lagi Ritsu yang terus merengek gelisah, Nao menjadi terjaga sampai pukul tiga dini hari. Karena itu Ritsu sekarang berinisiatif berbelanja ke pasar untuk membelikannya sebuah bahan-bahan persediaan dan lalu memasakannya. Sekitar tiga puluh menit rasanya tidak akan menjadi masalah.

Ritsu pun pergi mengenakan jaket tebal dan sebuah topi untuk berjaga-jaga barang kali ada dari keluarganya atau keluarga Takano menemukannya. Dengan perasaan ringan Ritsu belanja, hari ini moodnya cukup bagus. Mualnya pagi ini sudah mulai membaik walau belum hilang sepenuhnya. Ritsu tidak sengaja lalu melihat ada toko perlengkapan bayi, dengan penuh inisiatif Ritsu masuk kesana.

Disana banyak sekali pasangan bahagia. Tapi Ritsu tidak berkecil hati, Ritsu juga bahagia walau janinnya tidak memiliki ayah. Terdengar pahit tetapi inilah kenyataan yang mau tidak mau harus Ritsu terima. Dan Ritsu harus kuat, apalagi ia sebentar lagi akan menjadi seorang pria. Ia akan menjadi ibu sekaligus ayah yang hebat nantinya. Ya Ritsu berikrar dalam hatinya.

"Ritsu.." Sayangnya keberuntungan sedang tidak memihak, itu adalah suara Takano, suaminya. Ritsu menoleh, disana Takano tidak sendiri. Takano bersama perempuan dan tidak perlu di jelaskan mengapa Takano dan perempuan itu ada disini. Kontras dengan gelembung besar di balik baju yang di kenakan perempuan itu. "Ritsu kau kemana saja?"

Ritsu ingin lari, ia tidak boleh terperangkap dalam situasi ini. Tetapi tidak bisa semudah ini, tenaganya hilang kala Takano memeluknya. "Ini istriku, namanya Ritsu. Dan seperti yang kau lihat. Istriku sedang hamil, jadi aku tidak mungkin yah kau tahu kan.."

"Tidak Masamune!"

"Ssh, aku hanya berjanji menemani belanja. Tapi sekarang istriku ingin kami pulang," Takano meraih tangan Ritsu, menuntunnya dan menghela memasuki mobil mewah berwarna hitam kesayangannya. Meninggalkan perempuan hamil yang kini berteriak memaki Takano.

Ritsu menurut karena tidak tahu harus berbuat apa. Benaknya berputar-putar, dari mana Takano tahu kalau Ritsu sedang hamil?

Sesampainya di rumah Takano tidak tanggung-tanggung, Ritsu di lempar begitu saja ke atas ranjang. Takano langsung melepas celananya sendiri dengan tatap yang arogan. "Tidak, anda mau apa? Takano-san, tidak!" Ritsu beringsut memundurkan dirinya. "Kau kemana saja? Tidur dimana? Dan kenapa kau bisa ada di tempat itu? Apa kau hamil oleh selingkuhanmu dan sedang berbahagia dengan anak kalian hah?!" Itu adalah tuduhan yang sangat menyakitkan.

"Tidak, Takano-san, anda.." Ritsu tidak cukup cepat. Mulutnya lebih dulu di sumpal oleh Takano, tangan dan kakinya masing-masing di ikat di setiap tepi ranjang.

Ritsu ingin berteriak kalau Takano tidak boleh melakukan ini, Ritsu sedang hamil anaknya. Tetapi semua itu hanya bisa terujar dengan tetes demi tetes kebisuan air mata.

Ritsu di perkosa-.


Langit sudah merubah warna menjadi gelap, dengan ketelanjangannya Ritsu meringkuk di dalam pelukan Takano. Badannya sakit, hatinya sakit, dan pikirannya pun sakit. Rasanya hampir gila. Ritsu tidak butuh menjelaskan bahwa dia memang betulan hamil dan itu anak Takano, kan? Pria jahat di hadapannya ini juga tidak perlu tahu, kan?

Tetapi sesuatu terasa meremas isi perutnya. Ritsu bergerak gelisah di dalam kungkungan peluk Takano, sampai kemudian suaminya itu terbangun karena Ritsu terdengar sedang terisak. "Ada apa?" Tanyanya datar.

"Takano-san, perut saya.."

Takano menyatukan alisnya, pahanya terasa basah. Ketika selimut ia singkap, ada darah disana. Ritsu berdarah. "Ritsu kau berdarah," ujarnya panik. Ritsu menggeleng, wajahnya memucat sekaligus menggigil. Matanya sayup-sayup mencoba bertahan menatap Takano. "Anda boleh membenci saya Takano-san, tapi kumohon sekali ini saja bantu saya. Bantu selamatkan bayi saya, bawa saya ke rumah sakit.."

Raut Takano berubah, Ritsu betul-betul hamil? Sekilas rasa posesif mengerumuni hatinya. Pertanyaan pahit mengenai siapa ayah dari bayinya membuat Takano murka. Tetapi sebelum Ritsu hilang kesadaran, Ritsu memberi tahunya. "Anak kita.."


Lantai di sepanjang lorong rumah sakit berdecit karena suara roda bed strecher yang di dorong dengan cepat oleh suster dan Takano. Di atasnya ada Ritsu yang terkapar lemas tak berdaya. Meski bukan dokter, Takano tahu bahwa istrinya itu sedang pendarahan. Dan itu karena dirinya. Dia memperkosanya dengan brutal, perut Ritsu yang datar menunjukan betapa masihlah muda bayinya itu. Sebulan dua bulan mungkin. Dan sekarang bayinya mungkin sudah mati di dalam sana pun serupa dengan Ritsu.

"Kumohon selamatkan dia, aku akan membayar berapapun. Kumohon.." Takano memohon ketika Dokter datang untuk mengambil Ritsu. "Kami pasti akan bekerja semaksimal mungkin pak, anda tenanglah dan berdoa."

Tenang? Di saat istrinya sedang sekarat. Berdoa? Takano ingat, saat sekolah dasar adalah kali terakhirnya ia berdoa. Apa mungkin ia melakukan hal ini untuk istri yang di bencinya? Takano duduk di lantai rumah sakit, kakinya lemas. Mengapa dia harus merasa begini di saat ia yakin tidak memiliki rasa apapun pada Ritsu. Sejak awal, bahkan sedari ia tahu Ritsu akan menjadi seseorang yang di jodohkan untuknya. Atau ini karena Ritsu hamil darah dagingnya?

Butuh dua jam sampai Dokter keluar dari ruangan tersebut, Takano berdiri dengan cekatan. Memastikan bahwa istri sialannya itu baik-baik saja. Tetapi Dokter berkata sebaliknya. Ritsu kehilangan banyak darah, ia harus menemukan darah secepatnya. Jika tidak..

"Apa golongan darahnya?" tanya Takano, ia sedikit malu pada dirinya sendiri, bagaimana mungkin seorang suami tidak tahu hal sesepele itu. "AB+, dan stok darah dengan golongan darah AB+ sedang kosong disini, saya sedang mengupayakan agar kita mendapat darah tersebut dari rumah sakit pusat, semoga waktunya cukup."

"Ambil punyaku, setahuku milikku juga AB hanya aku tidak tahu detailnya, silakan periksa dan ambil sebanyak Ritsu membutuhkannya!"

Dokter tersebut tersenyum, ia tahu betapa Takano pastilah seorang suami yang sangat mencintai istrinya.

Tuhan membantu Takano, darah mereka cocok. Suster yang mengambil darahnya pun sampai berkata. Takano dan Ritsu seperti betul-betul sudah di takdirkan. Hal itu bukan hal yang ada dalam pikiran Takano selama hidupnya, tetapi membantu Ritsu lalu melihat darahnya mengalir di tubuh Ritsu membuatnya merasa hangat. Mungkin tidak ada salahnya ketika Ritsu sadar nanti ia meminta maaf. Ritsu pasti akan sangat sedih karena anak mereka telah tiada. Pun sebetulnya kesedihan itu juga di rasa oleh Takano.

Lima jam berlalu, Ritsu akhirnya sadar. Ia menjerit-jerit kala tahu bayinya sudah tidak ada. Dan ini semua salah Takano! Ini semua adalah dosanya manusia iblis berkedok sebagai suaminya?! "Ritsu tenangkan dirimu?!" Itu ibunya, tak lupa ayah Ritsu berikut kedua orang tua Takano juga ada disana.

"Kami juga sangat kaget ketika Masamune bilang kamu keguguran. Lagipula nak, kenapa kamu tidak memberi tahu kami kalau kamu hamil. Kami pasti ikut menjagamu."

"Diam! Ini semua karena kalian, aku sudah cukup menderita! Aku sudah sangat menderita! Kalian semua kenapa melakukan ini padaku? Kenapa kalian jahat padaku dan anakku?!" Ritsu menangis penuh amarah, "panggilkan Masamune. Ritsu sedang terpukul, dia butuh Masamune.."

"Tidak! Aku tidak ingin melihat iblis itu, tidak.."

Ibunya Takano keluar ruangan untuk memanggil Masamune, kisar lima belas menit suami Ritsu itupun masuk kedalam. Ia sedikit terlihat kikuk, ketika Masamune ingin membuka suara. Ritsu melemparkan pot hiasan meja nakas di tepi ranjangnya tepat mengenai kening Takano. "Pergi pembunuh! Pergi!"

"Ritsu aku.."

"Pergi, bajingan!"

Takano yang biasanya pasti akan memaksa untuk mendekat, tetapi yang terjadi saat ini Takano malah terdiam. Ia mengakui kesalahannya, setelah berdoa sepanjang terlelapnya Ritsu, Takano menyadarinya. Ia tidak tahu apa dia mencintai Ritsu apa tidak, hanya saja melihat tatapan kebencian Ritsu untuknya membuat Takano merasa err sakit.

"Pergi! Kalian semua pergi, aku benci kalian semua! Aku benci!" setelah lelah memaki, menangis dan mengamuk Ritsu akhirnya bisa terlelap karena bantuan obat penenang yang di beri oleh perawat. Katanya Ritsu akan terbangun esok hari. Meski di landa khawatir yang tinggi orang tua Ritsu maupun Takano, keduanya memilih pulang karena perihal pekerjaan, meninggalkan Takano sendirian menunggui Ritsu.


Diluar dugaan, Ritsu ternyata bangun di tengah malam, ia melirik handphonenya yang tergeletak di meja samping ranjangnya. Rasanya beruntung menemukan ponselnya semudah itu, langsung saja Ritsu mengetik sebuah pesan untuk Nao.

'Nao aku ada di Rumah sakit xxx, lantai 5 ruang nomor B73. Aku keguguran, tolong bawa aku kabur dari sini. Aku bersama Takano.'

Selang beberapa menit, Nao membalasnya. Untunglah pria itu masih terjaga. Atau mungkin sengaja terjaga karena mencarinya?

'Astaga apa iblis itu menyakitimu? Tunggulah Ritsu, aku akan cepat,'

Pukul 3.10 Nao sampai disana, Takanopun sudah terbangun dari lelap tidurnya. Membuat keadaan menjadi sulit. "Kamu baik-baik saja?" Itu adalah pertanyaan bodoh yang keluar dari mulut Takano, Ritsu tidak menjawab. Ia terus gelisah menanti Nao datang. Tetapi Ritsu menangkap Nao di luar kamarnya dengan aba-aba supaya Ritsu tetap tenang, iapun memutar otaknya. Bagaimana cara Takano pergi agar Ritsu bisa kabur?

"Takano-san,"

"Ya Ritsu?"

"Bi-bisakah saya memakan sesuatu?" tanya Ritsu hati-hati, ia tahu rencananya ini bodoh. Takano tidak mungkin menurutinya. Tetapi barang kali suaminya itu masih punya setitik nurani terhadap seorang istri yang sedang sakit dan baru saja kehilangan bayinya. "Kamu mau makan apa hm? Aku akan membelikannya?"

"Apapun?"

Takano mengangguk, ia meraih satu tangan Ritsu yang lemas. Mengepal lalu mengecupnya. "Apapun,"

"Ingat pedagang sewaktu kita kuliah dulu? Kurasa aku ingin Takoyaki di sana, saya sangat menyukainya.."

"Ritsu itu sangat jauh, kalaupun aku pergi sekarang. Kamu akan mendapatkannya siang hari. Tidak apa-apakah?"

Ritsu mengangguk, "saya bisa menunggu,"

Takano meraih jaketnya, mengecup kening Ritsu. Saat wajah mereka berdekatan ia berujar, "aku tahu ini sangat terlambat. Tetapi aku minta maaf padamu Ritsu. Bisakah.. Bisakah kita memulai lagi semuanya?"

Mata Ritsu membulat, itu adalah hal yang paling di dambanya selama hidup. Membina Rumah tangga bahagia bersama orang yang di cinta. Tetapi itu dulu, dulu sebelum Takano melebur perasaannya hingga hancur seperti ini.

"Aku tidak ingin menjawab,"

Takano mengacak rambutnya, "tidak apa, tunggu ya.." Ritsu mengangguk patuh, ia tidak ingin terbuai lagi. Ia tidak mau tertipu lagi.

Ritsu di bawa oleh Nao. Mereka meninggalkan rumah sakit begitu saja. Meninggalkan segala dalam artian sebenarnya.

Nama Takano dalam nama Ritsu, status perkawinannya pun perasaan yang selalu Ritsu jaga dalam hati kecilnya. Segalanya..


"Ritsu apa kau siap?"

Ritsu terkekeh, "jangan memanjakanku. Saat kita bertemu lagi. Aku ini seorang pria, kau tahu?"

Ini adalah dua bulan yang di janjikan. Jika sebelumnya dua bulan itu menunggu bayi Ritsu berumur bulan ke-4 tetapi sekarang berubah menjadi masa pulih Ritsu setelah pasca keguguran. Sebetulnya tidak cukup, tetapi Ritsu merasa dirinya sudah kuat.

Apa yang akan lebih sakit dari kehilangan anak dan cintanya? Operasi, Ritsu merasa tidak khawatir tentang itu. Ritsu tidak takut.

Ia bersumpah akan memulai hidup baru. Meninggalkan Ritsu yang dulu dan menghilang dari ingatan semua orang.

Ritsu tidak takut..