Disclaimer: All characters belong to Hajime Isayama. But this story purely mine. I don't take any material profit from this work. It's just because I love it.
Warning: drabble, headcanon, kinda rush, miss typo(s), and other stuffs.

Note: day 1—levi/hanji


i see you;


Levi mengingatnya di antara tawa-tawa sumbang dan teriak-teriak menyebalkan. Ia hampir menghafal bagaimana caranya berjalan dan derap langkahnya yang tidak bisa tidak dientak. Ia juga hafal, jenis ketukan yang kemudian datang di setiap daun pintu, miliknya, yang tak lebih dari enam ketuk, tapi selalu penuh dengan dorongan impulsif. Ia hafal ujar-ujarnya yang berantakan, "Levi, Levi, Levi", atau igauannya di antara pipi yang memerah, "Sawney ..., Bean ...," dan raut tegasnya ketika menatap komandan mereka, "Kita harus melakukan ini semua, Erwin."

"Lucu, ya, Levi ... ternyata takdir menyisakan kita sebagai dua orang terakhir."

Levi melihat senyumnya yang tak lagi sempurna. Mereka berbaring, berdampingan. Di antara lembah terjal dan raungan titan yang semakin dekat. Kaki mereka kebas. Tubuh mereka tumpul. Di sudut bibir Hanji, ada darah, darah, dan noda. Sebelah matanya yang tersisa menatap Levi redup, di balik sienna-nya yang perlahan menggelap. Mata itu selalu bersinar terang, ingat Levi. Meski bebeapa bulan terakhir, cacat membuat Hanji bergantung pada satu pandangan, tapi tatapnya yang terang tak pernah berubah. Hanji masih memiliki mata itu.

"Jangan banyak bicara—bodoh."

Levi hampir terkejut dengan suaranya sendiri, terlampau kecil, terdengar hampir berbisik. Ia terbatuk, merasakan lagi likuid anyir mengalir dari mulutnya. Ia bisa melihat wajahnya dari pantulan mata Hanji—dengan kondisi yang tak jauh berbeda dari wanita itu, bedanya, Levi tak melihat cahaya-cahaya seperti Hanji di kedua matanya.

"Tenanglah." Wanita itu mengujar. "Kita akan baik-baik saja."

Mereka tidak akan baik-baik saja.

Levi menatap Hanji lagi, wanita itu mulai kesulitan mengambil napas. Luka di dada kirinya terlampau kuat. Menyadari bahwa mereka pada akhirnya berbaring tanpa mampu melawan, membuatnya mendecih sakit.

"Levi ...," Hanji menahan matanya yang hampir menutup. "Maafkan aku kalau tak bisa melihatmu sampai akhir."

Angin berembus kencang, pasir dan batu menerjang mereka ketika dirasakan panas tubuh raksasa semakin mendekat. Hanji memejamkan mata, pada akhirnya, melepaskan segala pertahanan terakhirnya dalam keadaan menyedihkan.

Levi melihatnya. Levi melihatnya.

Levi melihatnya dengan begitu jelas bahkan di antara tremor di tubuhnya sendiri. Ia percaya di awal kehidupannya dulu, ia ada untuk mati. Tapi kemudian takdir membawanya ke dalam fase-fase yang tak ia prediksikan. Bertemu Farlan, bertemu Isabel, bertemu Erwin masuk ke dalam tim pengintai, memiliki tim baru dengan ia sebagai kapten, bertemu Hanji ... memimpikan akhir baru.

Tapi hidup memang ada untuk mati. Maka Levi tak ingin menyesalinya lebih jauh dari ini.

Sekali lagi, ia menatap Hanji. Sienna di mata itu sudah mati, sudah tak bisa Levi lihat. Tapi ruang memori di kepalanya masih memutar suara-suara dan sosok Hanji di sepanjang hidupnya.

Levi masih melihat Hanji, memutar kenangannya di dalam otak. Bahkan hingga pasokan oksigen di parunya sudah mulai menipis.

Dan masih. Levi masih melihat Hanji, bahkan ketika ia menutup mata, meninggalkan dunia pada kehidupan yang lebih ringan, yang membuatnya terbang tanpa noda-noda darah, tanpa ruam-ruam sakit.

"Welcome home, Levi."

Dan yang terakhir Levi lihat adalah senyum Hanji, sebelum semuanya memudar dalam cahaya terlampau pekat.

.

.

[]