Disclaimer, I don't have vocaloid, but I have the story


Blind – Uncolored Flower

Miku memandang keluar jendela apartemennya, memandang daun-daun yang berguguran di halaman apartemennya karena musim gugur sudah pada puncaknya. Tinggal di lantai yang tinggi mempermudahnya untuk melihat ke bawah, ditambah dengan jendela apartemen yang tinggi dan lebar. Pemandangan kota juga terlihat, tapi tampak kecil.

Miku menurunkan tangannya yang sebelumnya memegangi jendela. Senyuman melengkungkan bibirnya. Dia berbalik dan Miku duduk di kursinya sambil memfokuskan matanya pada kanvas yang berdiri pada sandaran bingkai kanvas. Sandaran tersebut berwarna coklat kehitaman senada dengan warna ganggang kuas yang dipegangnya. Tangan kirinya, lebih tepatnya jempolnya memasuki lubang palet untuk memegang palet warna dari kayu tipis berwarna coklat muda. Jari-jari kirinya yang lain menopang badan palet. Kuas yang dipegangnya menggores kanvas dengan warna coklat tipis, seperti membuat garis-garis sketsa pada kanvas kosongnya. Wajar saja, kanvas masih bersih dan warna-warna di paletnya masih padat belum tercampur warna apapun kecuali warna coklat dan putih.

Seseorang membuka pintu apartemennya dan membuat Miku mengalihkan pandangannya pada pintu apartemennya. Rambut ikat duanya bergoyang-goyang mengikuti gerak kepala Miku. "Luka?" ucap Miku. Senyum merekah di wajahnya.

Seorang gadis dengan rambut pink dan mata biru langit–Luka–memasuki aparment. Dia menundukkan badannya dan membuka sepatu selopnya. "Aku pulang." Luka berjalan masuk dan menaruh tas selendangnya di sofa sambil menjatuhkan dirinya di sofa.

Miku menaruh palet di meja kecil yang ada di sebelah kaki-kaki sandaran kanvas. Miku berdiri dari tempat duduknya kemudian merapihkan pakaiannya. "Bagaimana harimu?" tanyanya sambil mendekati Luka.

Luka menghela nafasnya. Dia menyandarkan punggung dan tengkuknya ke sandaran sofa. "Berat... tahun terakhir jurusan bisnis benar-benar berat..."

Miku tersenyum kemudian tertawa kecil. "Akan kubuatkan teh untukmu." Miku berjalan melewati belakang sofa Luka dan berjalan menuju dapur.

Luka melepaskan ikatan pada rambut pinknya dan menaruhnya di meja kopi di depannya. "Terima kasih." Luka mengambil remot televisi yang ada di sebelah ikatan rambutnya. Dia menyalakan televisi tersebut kemudian kembali bersandar. Tangannya mengibaskan rambutnya. Suara televisi mengisi kekosongan ruangan yang sepi.

Setelah beberapa menit, Miku berjalan menuju meja kopi kemudian dia merunduk dan menaruh dua cangkir putih teh hangat dan satu piring dengan enam potong kue panggang coklat. Miku juga menaruh dua pisin kosong, dua sendok kecil dan satu sendok kue besar. Miku kembali berdiri sambil memegang nampan yang menelungkup di bawah perutnya. "Aku tadi belajar membuat kue, jadi tidak terlalu manis... dan... aku lupa memasukkan vanilli..." Miku menundukkan kepalanya dan wajahnya memerah.

Luka tertawa kecil. "Aku yakin kuemu enak, meskipun tanpa vanilli, kuenya tetap harum. Aku suka bau coklatnya." Luka tersenyum kemudian mengambil pisin kosong dan menaruh satu potong kue di pisin kosongnya. Dia menyuapi kue itu dengan sendok kecil. "Hmm... kurang manis. Tapi aku suka kue yang kurang manis seperti ini." Luka tersenyum kepada Miku.

Seringai menghiasi wajah Miku yang bersih. Seringainya menggelitik jiwanya sendiri. "Syukurlah kalau Luka suka dengan kuenya." Miku diam sejenak dan memperhatikan Luka, kemudian dia teringat akan nampan yang masih ada di tangannya. "Ah em... aku kembali ke dapur dulu... aku akan menaruh nampan ini." Miku masuk ke dalam dapur dan menaruh nampan di meja dapur. Miku berlari-lari kecil kembali ke ruang tamu dan duduk di sebelah Luka.

Luka melirik ke sandaran kanvas yang terdapat kanvas baru. Luka menolehkan kepalanya kepada Miku dan menaruh sendoknya di pisin yang sedang dipegangnya. "Kamu sedang melukis?"

Miku mengangguk sambil menoleh. Bibirnya melengkungkan senyuman manis dengan tatapan yang lembut. "Iya, aku akan menggambar pemandangan musim gugur yang ada di depan apartemen kita."

Luka membulatkan matanya dan mengedipkannya beberapa kali. "Apa itu tugas dari dosen?"

Miku mengangguk kemudian mengambil cangkir teh miliknya. "Iya, harus selesai dalam tiga hari. Aku tidak menyangka kalau dosen tahun kedua lebih sadis. Bisa-bisa dosen tahun ketiga nanti lebih sadis lagi." Bibirnya kemudian menyeruput teh yang panas tersebut.

Luka terkekeh. "Tapi kamu menikmati pelajarannya selama tiga perempat tahun ini bukan?" tanyanya dan Miku menggerutu. Luka menoleh ke jendela sebelah sandaran kanvas dan mengamati langit yang berubah oranye. "Tapi sekarang–" Suara hujan yang tiba-tiba turun menutup mulut Luka. Hujan seketika membasahi jendela-jendela lebar dengan bulir-bulir airnya yang menempel di jendela.

Miku segera menaruh cangkirnya dan berdiri dari tempat duduknya. "Celaka, cucianku!" Miku berlari membelakangi sofa dan membuka pintu balkonnya. Miku mengambil dan menarik baju-bajunya tersebut yang mulai basah terkena siraman-siraman air hujan yang jatuh mendadak. Hujan sore ini seperti hujan yang ditumpahkan. Miku kembali masuk ke apartemen dan menutup pintu balkon. "Hah... basah... ramalan cuaca hari ini katanya cerah..."

Luka terkekeh. "Untunglah hari ini aku tidak mencuci." Luka kembali menyendoki kue coklat miliknya.

Suasana sore ini menjadi dingin karena hujan yang tiba-tiba jatuh di atas bumi. Luka memandangi hujan yang jatuh dan membasahi balkoni apartemen mereka. Pikirannya melayang pada helai rambut yang bermain-main di pikirannya. Rambut pink yang sama dengan rambutnya. Warna mata kuning kehijaunya memikat dan mengunci pandangan dan pikirannya. "Luka?" suara Miku membuyarkan pikirannya pada lelaki yang dengan kupluk itu. Luka menolehkan kepalanya kepada Miku yang keluar dari pintu kamarnya.

Miku berdiri di sebelah Luka. "Apa yang sedang kamu pikirkan? akhir-akhir ini kamu sering melamun." Miku menuruhkan alisnya, wajah ceria di wajahnya menghilang dan berubah menjadi khawatir.

Mata Luka membulat kemudian rona merah muncul di pipinya. Telinganya memanas menghangatkan wajahnya yang sebelumnya kedinginan. "Aku tidak melamun... aku hanya senang melihat hujan."

Miku membulatkan matanya. Dia terkekeh dan bahunya melompat-lompat kecil karena dorongan dari kekehan manisnya. "Sejak kapan kamu jadi senang melihat hujan? dari kecil Luka selalu kesal kalau hujan turun. Beberapa hari terakhir kamu juga pulang dengan basah kuyup." Miku berjalan mendekati jendela. Tangannya kemudian memegangi jendela yang menjadi dingin karena air-air hujan yang menyiraminya. Penghangat dalam ruangan mulai bekerja setelah sebelumnya dinyalakannya. Kakinya yang tak tertutupi rok mulai terasa hangat tapi tidak dengan kaca yang dipegangnya. Miku mendengar suara Luka yang gagap. Matanya melirik kepada bayangan kehitaman Luka yang tergambar pada jendela apartemennya.

Kepala Luka mengikuti Miku. Suara Luka semakin gagap. Matanya memutar-mutar kaku dan wajahnya merah padam. "Ta-tapi aku suka hujan di musim gugur... aku suka bau daun kering dan tanah yang terkena air."

Miku tersenyum hambar. Alisnya turun melengkung sendu. "Tapi... semua bau hujan itu seperti itu kan?"

Luka mengangkat satu bahunya sambil memiringkan kepalanya. Wajahnya berseri-seri. "Eh... benar juga ya..." Luka menegakkan kepalanya dan menyentakkan tangannya pada sofa. "Tapi... aku sekarang suka hujan." Luka menyandarkan tubuhnya

Mata Miku mendingin dan senyumannya menghilang. "Ah... perubahan memang terjadi pada setiap orang ya." Miku berlalik dan melengkungkan senyuman dari bibirnya menghilangkan semua pandangan dingin yang dilayangkannya pada bayangan kehitaman Luka di jendelanya. "Aku akan melanjutkan lukisanku, habiskan saja kuenya, aku tadi sudah makan dua potong sebelum kamu datang."

Luka kembali menonton televisi dengan wajahnya yang merah sambil menyendokkan kue ke dalam mulutnya.

Mata Miku kembali dingin dan matanya terfokuskan pada kanvas yang terdapat sketsa tipis pepohonan yang berjajar membentuk sebuah terowongan pohon. Tangannya dengan cantik menggoreskan warna-warna coklat, oranye dan merah pada kanvas dan menimpa sketsa-sketsa tipis dengan warna yang padat. Perlahan-lahan warna-warna padat yang ada pada palet tercampur dengan warna-warna yang lainnya. Warna-warna yang lebih muda menggores warna-warna tua pada kanvas, membentuknya menjadi warna yang baru sehingga memberikan kesan tekstur pada warna.

Langit yang keabuan–karena hujan–menghitam karena matahari telah terbenam. Penghangat ruangan telah bekerja penuh dan membuatnya tak kedinginan kecuali karena kulitnya yang kadang bersentuhan dengan jendela yang masih basah karena hujan yang tidak kunjung berhenti.

Luka bangkit dari kursinya. Makanan dan piring-piring di meja kopi telah dibersihkannya sewaktu kue dan tehnya telah habis. "Miku, aku ke kamar ya, ada tugas yang harus kukerjakan."

Miku menolehkan kepalanya sambik mengangguk dan memberikan senyumannya kepada Luka. "Iya. Aku akan menyelesaikan tugas ini, jadi aku akan tidur malam."

Luka tersenyum dan memegang pinggangnya dengan satu tangannya. "Aku tahu kamu itu sangat senang melukis. Tapi jangan tidur malam-malam ya, curah hujan tahun ini tinggi, meksipun ada penghangat tapi tetap saja bisa membuatmu sakit." Luka mematikan televisinya kemudian menaruh remot di mejanya.

"Baiklah," jawab Miku kemudian terkekeh. Dia kembali memfokuskan matanya kepada kanvas. Tapi, matanya masih melihat bayangan Luka yang samar-samar. Luka masuk ke dalam kamar mereka berdua dan menutup pintunya. Tangannya kembali menggoreskan warna-warna yang telah tercampur pada palet dengan kuasnya. Sesekali ia mengganti kuas dengan yang lebih kecil untuk menggambar hal yang lebih detail.

Setelah beberapa jam mengerjakan lukisannya, Miku berhenti karena kantuk yang mengganggunya dan lukisan juga telah selesai. Miku menaruh peralatan lukisnya di meja kecil di sebelah sandaran kanvas. Miku memiringkan kepalanya dan sedikit memanjangkan lehernya. Matanya membelajari jam dinding yang berada di atas televisi. Jarum jam menunjukkan waktu yang telah melewati jam dua belas. Jarum jam menunjukkan pukul dua malam. Hujan di luar belum kunjung berhenti tapi sedikit mereda menjadi rintik-rintik kecil.

Miku bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju kamarnya. Miku menguap sambil mengusap-usap matanya. Dia berhenti di depan pintu kamarnya kemudian menarik tangannya ke atas sambl berjinjit. Miku menjatuhkan tangan-tangannya kemudian satu tangannya meraih saklar lampu kemudian mematikan lampu ruang keluarga. Miku masuk ke dalam kamarnya.

Kamarnya gelap, tapi di dekat kasurnya dinyalakan lampu tidur remang-remang yang tergantung di tembok sebelah kasur mereka. Luka terlah tidur di pojok kasur dan satu bantal kosong telah disiapkan untuk Miku.

Miku tersenyum kepada Luka yang tertidur membelakangi tembok dengan memeluk guling. Miku berjalan mendekati Luka dan duduk di tepi kasur. Wajahnya menghangat ketika melihat Luka, telinganya terasa panas. Semakin lama aku tidak bisa menahan perasaan bahagiaku karena bisa tinggal bersama denganmu, Luka. Miku melepaskan ikatan di rambutnya dan menaruh pitanya di lemari kecil sebelah mejanya. Miku kemudian membaringkan tubuhnya menghadap kepada Luka sambil menyelipkan tangannya ke bawah bantal. Wajah Miku mendingin ketika melihat wajah Luka yang memerah. Ini pertama kalinya aku melihat wajahmu memerah, pasti ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Miku memikirkan kemungkinan-kemungkinan dan menduga-duga apa yang terjadi dengan Luka tapi kantuk memenangkan pikirannya sehingga menuntunnya tidur.

Paginya Miku bangun setelah Luka membangunkannya. Luka sudah rapih seperti biasanya saat pagi. Hari ini Luka tampak cantik dengan rambutnya yang terurai dan dihiasi dengan bando rambut hitam dengan garis melintang keemasan. "Luka, ada kuliah pagi?" Miku mengusap-usap matanya dan bangkit dari tidurnya. Miku menjatuhkan kakinya ke lantai dingin yang membuatnya sedikit sadar.

Luka menganggukkan kepalanya dan mengambil tas selendangnya yang digantungkan di sebelah lemari pakaiannya. "Iya, hari ini juga aku ada tugas kelompok, jadi aku akan pulang malam. Bagaimana denganmu, apa hari ini ada jadwal kuliah?"

Miku mengangguk kemudian berdiri. "Iya, aku ada kuliah siang nanti." Miku berbalik dan membereskan kasurnya sementara Luka pergi keluar kamarnya.

Setelah membereskan tempat tidur Miku keluar dari kamarnya. Saat Miku keluar dari kamar, Luka keluar dari ruang makan dan dapur. Miku menoleh kepada Luka. "Kamu sudah sarapan?"

Luka mengangguk sambil meringkuk mengambil sepatu dari rak sepatu. "Iya, aku sudah buatkan sarapan untukmu juga." Luka kemudian menggunakan sepatu selopnya. Luka kembali berdiri tegak. "Oh iya, nanti aku akan mengerjakan tugas kelompok di perpustakaan kota. Jadi, mungkin aku akan pulang malam."

Miku mengangguk dan memberikan senyuman kepada Luka. "Baiklah, terima kasih untuk sarapannya ya."

"Dadah." Luka tersenyum sambil melambaikan tangannya pada Miku. Luka berbalik dan keluar dari apartemen mereka berdua.

Miku memerhatikan punggung Luka dan juga pintu apartemen yang tertutup. Senyuman yang sebelumnya merekah di wajah Miku menghilang setelah pintu itu tertutup. Dia pasti menyembunyikan sesuatu, atau... Luka mungkin sedang jatuh cinta. Miku berbalik dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.

Setelah mandi dan merapihkan badannya Miku menyentuh jendela apartemennya yang dingin. Di jendela itu masih ada sedikit bulir-bulir air bekas hujan tadi malam dan juga bekas-bekas noda bulir air yang telah mengering. Siang ini aku ada jadwal kuliah... tapi aku harus menguntit Luka dan mencari tahu apa yang sebenarnya membuat Luka jadi menyukai hujan. Mata Miku memerhatikan taman pohon di depan apartemennya yang basah. Banyak genangan-genangan air yang memantulkan warna merah cantik dari dedaunan. Miku kemudian memerhatikan genangan-genangan air yang ada di balkonnya. Ah... balkon dan jendelanya kotor... aku jadi harus membersihkannya. Aku tidak ingin Luka menganggapku perempuan yang kotor.

Miku berjalan menuju dapur kemudian mengambil pel, lap pel, kanebo dan ember dari dalam lemari peralatan kebersihan di pojok ruang makan. Miku juga kemudian mengambil pembersih lantai. Miku membawa semua peralatan tersebut ke balkoni kemudian mulai mengelap genangan-genangan air dengan pelnya. Halaman jadi kotor karena hujan. Itulah yang membuat Luka membenci hujan. Bau tanah juga sering mengganggunya... tapi kenapa dia jadi menyukainya?

.

Miku keluar dari kelasnya dengan membawa tote bag yang berisi buku dan buku sketsanya. Miku memasang wajah imutnya di hadapan orang-orang dan tersenyum kepada semua orang yang dikenalnya. Miku berjalan santai keluar dari gedung universitasnya. Dia melihat jam tangan yang dikenakannya. Jarum jam menunjukkan pukul lima sore. Miku menatap langit berwarna jingga dan burung-burung gagak yang terbang. Langit lebih cerah dari kemarin dan juga bersih dengan awan berwarna putih.

"Miku, ayo kita pergi ke kafe. Aku menemukan kafe baru yang enak di dekat sekolah kita yang dulu." Suara ceria orang itu memecah konsentrasinya yang sedang memerhatikan langit. Orang itu menepuk bahu Miku.

Miku membulatkan matanya. Dia menolehkan kepalanya dan tersenyum kepada temannya itu. "Mizki?" Miku tersenyum kepada Mizki. Miku melengkungkan bibirnya ke bawah membuatnya cemberut. "Tapi..." Miku memiringkan kepalanya kemudian menatap Mizki. "Aku ada acara lain sore ini."

Mizki menggerutu kemudian memggembungkan pipinya. "Padahal hari ini adalah hari diskonnya... apa tidak bisa kamu menunda acaramu? Kita sudah lama tidak main."

Miku menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kikuk. Dia mengangkat satu alisnya. "Tidak bisa, acaranya sangat penting." Miku melengkungkan senyum di bibirnya. "Ngomong-ngomong kamu sudah menyelesaikan lukisan untuk besok?" tanya Miku.

Mata Mizki membulat dan rahangnya jatuh membuka mulutnya lebar-lebar. Mizki kemudian menutup mulutnya dan memegangi kepalanya. "Astaga, lukisanku belum selesai!" Mizki segera memegang bahu Miku dan menyentakkan alisnya. "Kalau begitu aku pulang dulu ya! tapi minggu depan kita harus kesana!" Mizki kemudian berbalik dan berlari. Dia menolehkan kepalanya kepada Miku sambil melambaikan tangannya berteriak, "dadah!"

Miku tersenyum dan membalas lambaikan Mizki dengan tangannya. Senyuman manis di wajah Miku sedikit mendingin. Untunglah dia pergi. Miku kembali merekahkan wajah manisnya dan berjalan keluar dari kompleks universitasnya.

Miku mengambil jalan menuju perpustakaan kota. Melewati kota yang ramai, perjalanan dari kampusnya menuju perpustakaan kota cukup memakan waktu. Meskipun mereka berada dalam satu universitas yang sama, tapi mereka jarang bertemu karena jarak gedung kampus dan juga waktu belajar yang berbeda.

Miku terus berjalan, tidak menggunakan kendaraan umum karena dia tidak terbiasa dengan jadwal bis. Miku mengamati langit-langit. Langit yang berwarna jingga sudah mulai berbaur dengan kegelapan sehingga menimbulkan warna keunguan yang cantik sebelum akhirnya malam benar-benar menyelimuti langit. Miku memerhatikan jam tangannya. Jarum jam menunjukkan waktu yang sudah lewat dari pukul enam sore. Miku sampai di depan perpustakaan kota. Perjalan yang cukup melelahkan untuk kakinya. Kalaupun dia ingin pulang, dia harus menggunakan taksi karena kakinya terlalu kelelahan.

Miku menoleh-noleh ke sekitarnya ketika dia masuk ke dalam perpustakaan kota. Setelah mengisi daftar buku pengunjung, dia melihat daftar barisan buku yang terpajang di tiang sebelah meja peminjaman dan pengembalian buku. Pikirannya sedikit kesal karena dia tidak dapat melihat nama Luka di halaman pengunjung yang diisinya. Resepsionis itu membuka halaman baru untuk Miku sehingga dia tidak bisa mencari jejak kapan Luka sampai di tempat ini. Bisnis, ekonomi, financial... lantai... dua blok C. Miku merekahkan senyumannya kepada petugas perpustakaan yang menanyakan buku apa yang dicarinya. Miku kemudian pergi ke bagian perpustakaan yang lebih dalam kemudian pergi ke lantai atas.

Dia menyusuri blok-blok buku di perpustakaan dan sampailah dia pada blok C di lantai dua yang menyimpan buku-buku tentang ekonomi, bisnis dan semua yang berhubungan dengan itu. Di depan tiang blok C terdapat papan kaca yang berisi daftar-daftar rak dan buku-buku yang disimpannya. Entah apa istilah yang dibacanya itu. Dia tidak mengerti masalah tentang bisnis ataupun ekonomi yang dipelajari Luka. Tapi kalaupun kedatangannya kesini hanya untuk mencari Luka, dia bisa mengambil satu buku secara asal lalu membacanya sambil menilik-nilik ruangan untuk mencari Luka.

Miku mengambil satu buku yang besar dan membawanya ke meja baca di dalam blok C. Miku membuka buku tersebut dan menundukkan kepalanya. Dia menegakkan buku tersebut agar menutupi wajahnya. Miku mengintip sekelilingnya kemudian menemukan seseorang dengan rambut pink yang duduk di ujung meja yang ada di barisan depannya. Luka duduk memunggunginya. Miku sangat yakin bahkan tanpa harus melihat wajah si pemilik rambut pink tersebut. Dia yakin karena bando yang dikenakannya persis dengan bando yang Luka gunakan hari ini, juga tas selendangnya.

Lama sekali Miku memerhatikan Luka dari belakang. Luka berkumpul dengan beberapa temannya, yang satu berambut biru tua, dan yang satunya berambut coklat. Yang berambut tua itu adalah laki-laki. Tapi dilihat dari gerak tubuh Luka, tidak ada sedikit kekakuan dari Luka, menandakan Luka hanya menganggap anak laki-laki itu sebatas temannya saja.

Setelah bel berbunyi menandakan perpustakaan tutup Luka dan kelompoknya bangkit, begitu juga dengan Miku. Miku segera mengembalikan bukunya ke raknya karena dia melihat Luka dan kelompoknya berjalan ke lorong rak yang berbeda dengannya.

Miku kembali membuntuti Luka setelah melihat bayangan si laki-laki berambut biru, Luka berdiri di pinggir, sementara si gadis berambut coklat berada di tengah-tengah mereka. Miku membuntuti mereka keluar dari perpustakaan kota.

Di jalan persimpangan, Luka memisahkan diri dari mereka. Kedua teman Luka itu seperti memaksa Luka ikut dengan mereka tapi Luka tetap memisahkan dirinya. Miku bersembunyi di balik bangunan tapi matanya masih mengintip Luka.

Luka berjalan menuju taman kota yang ada di dekat perpustakaan. Miku membuntutinya dengan hati-hati di belakangnya. Luka sama sekali tidak menyadari keberadaan Miku karena banyaknya orang yang berlalu lalang di trotoar. Tapi Luka berhenti dan berjalan menuju pohon yang ada di trotoar besar. Ada tempat duduk di sana. Dia tidak meneruskan langkahnya menuju taman kota yang kemungkinan telah tutup karena sudah malam. Luka berhenti melihat pertunjukan seorang pengamen jalanan yang bermain gitar. Di sebelah pengamen itu ada seorang gadis kecil yang duduk di kursi roda dan bernyanyi. Luka berdiri di sebelah lelaki yang bermain gitar dan bertepuk tangan sambil menyanyi bersama gadis kecil.

Mereka sedikit dikerumuni orang-orang. Orang-orang banyak yang melemparkan uang-uang mereka ke dalam kotak gitarnya. Lelaki itu memakai kupluk hitam dan memiliki warna rambut yang senada dengan Luka sementara gadis kecil itu berambut pirang kekuningan dan menggunakan bando pita besar. Miku mengepalkan tinjunya dan menyentakkan alisnya. Rasanya dia sangat tidak terima Luka bersenang-senang dengan orang lain selain dirinya. Tidak masalah jika Luka terlihat biasa-biasa saja. Tapi kali ini Luka terlihat sangat bahagia karena wajahnya yang berseri-seri. Dia bahkan terlihat lebih bahagia dengan mereka ketimbang dengan Miku. Luka selalu tertawa dan bercanda bersamanya, tapi tidak pernah terlihat keserian dan kebahagiaan yang memuncak dari dirinya. Luka seakan membatasi diri saat bersama dengan Miku.

Suara menggegelagar dari atas langit sedikit mengagetkan Miku dan pejalan kaki lainnya. Awan tidak terlihat karena langit sudah gelap, tapi bingang juga tak terlihat. Dengan kemunculan suara gemuruh dari petir, menandakan kalau hujan akan datang. Miku mengeluarkan payung dari dalam tasnya. Air hujan menbahasi pipinya. Rintik-rintik hujan kemudian jatuh menyusul setelah satu bulir hujan membasahi pipinya. Miku membuka payung tersebut dan hujan pun turun. Miku kembali memerhatikan Luka.

Luka berhenti bernyanyi dan sibuk melindungi tasnya dengan memeluk tasnya itu. Lelaki yang bermain gitar tersebut kemudian berhenti bermain gitar dan mengeluarkan payung dari dalam tasnya, kemudian memayungi Luka. Setelah lelaki itu memayungi Luka, dia memasukkan gitarnya ke dalam kotak gitarnya. Luka memayungi dirinya dan juga lelaki itu dalam satu payung yang cukup besar untuk mereja berdua. Si gadis kecil tidak membawa payung, sehingga Luka menitipkan tasnya dan memberikan payungnya kepada gadis tersebut.

Si pengamen mengeluarkan seruling dari dalam tasnya. Dia tampak meminta maaf kepada Luka karena membuat Luka basah kuyup. Tapi, Luka tertawa dan wajahnya semakin bahagia. Senyuman yang sangat manis yang belum pernah Miku lihat terpancar di wajah Luka, membuat hatinya berdebar-debar tapi juga iri. Semuanya sudah jelas, Luka sedang jatuh cinta kepada pengamen jalanan itu. Hatinya sakit melihat pemandangan di depan matanya. Miku memutuskan untuk kembali ke apartemennya dan melupakan semua yang dilihatnya.

Miku kembali ke apartemen dengan menggunakan taksi agar mempersingkat waktu, kakinya juga sudah lelah berjalan dari kampusnya ke perpustakaan kota. Hujan mulai mereda ketika Miku memasuki apartemennya. Miku menanggalkan pakaiannya yang sedikit basah kemudian menaruhnya di tumpukan cucian kotor miliknya dan membersihkan diri. Selesai itu, Miku berjalan menuju kamarnya dan mengenakan piyama yang baru diambil dari dalam lemari pakaiannya. Tubuhnya dingin karena pendingin mobil dan juga karena air hujan. Miku mengeringkan rambutnya dan menyalakan penghangat ruangan. Miku menyalakan televisi dan menonton acara televisi yang biasa Luka lihat. Meskipun matanya menonton layar televisi tapi pikirannya melayang kepada senyuman Luka yang membuatnya cemburu. Bahkan telinganya ditulikan dengan kecemburuan yang dirasakannya. Suara keras dari televisi tidak menjangkau indra pendengarannya.

Dia tidak memerhatikan sudah berapa lama dirinya duduk tak bergeming sambil memikirkan segala hal tentang Luka. Tapi suara pintu yang terbuka mampu menjangkau pikirannya. Miku menolehkan kepalanya pada pintu. Senyuman hangat merekah di wajah yang sebelumnya dingin. "Selamat datang, Luka." Miku membulatkan matanya dan menurunkan alisnya, membuat matanya tampak lemah. "Kamu basah kuyup... kamu tidak membawa payung?" tanya Miku.

Luka menaruh tasnya yang sedikit kebasahan di lantai kemudian melepaskan sepatu selopnya. "Aku pulang... aku lupa tidak membawa payung."

Miku bangkit dari tempat duduknya dan mendekati Luka. "Oh, kamu pasti sedang terkena sial." Miku terkekeh. "Bersihkanlah badanmu. Aku akan membuatkan tes panas untukmu."

Luka tersenyum. "Terima kasih, maaf aku selalu merepotkanmu, Miku."

Miku masuk ke dalam dapur. "Kamu sama sekali tidak merepotkanku." Suara langkah kaki Luka menjauh dan terdengar suara pintu kamar mandi yang terbuka dan terutup.

Miku menuangkan air ke dalam ketel air kemudian memasaknya. Sekalian menunggu air menjadi panas, Miku menyiapkan dua cangkir. Dia memasukkan sedikit gula ke dalam masing-masing cangkir. Dia juga memasukkan satu kantung teh celup ke dalam teko teh. Setelah beberapa menit menunggu, ketel air berbunyi dan Miku segera mematikan kompornya. Dia menuangkan air panas ke dalam teko kemudian menaruh teko beserta dua cangkir kosong di atas nampan. Miku membawa nampan tersebut ke ruang keluarga dan menaruhnya di atas meja. Dia mengeluarkan cangkir-cangkir dari nampan kemudian menuangkan teh panas ke dalamnya. Teko tersebut ditaruhnya kembali di atas nampan kemudian dia mengaduk teh sengan sendok teh.

Miku kembali menonton televisi dan kali ini pikirannya terhubung dengan telefisi tersebut. Luka keluar dari kamar mandi setelah memakan waktu lima belas menit. Dia keluar dengan menggunakan piyamanya. Luka duduk di sebelah Miku sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. "Terima kasih tehnya."

Luka dan Miku sedikit berbincang-bincang. Miku melupakan segala hal tentang kedua pengamen dan senyuman Luka yang manis waktu itu. Mata dan pikirannya hanya tertuju pada Luka yang duduk di sampingnya. Tawa-tawa kecil dan gurauan kecil mewarnai percakapan mereka, juga menghilangkan rasa curiga dalam diri Miku.

Tapi rasa curiga dan kegelisahan itu tidak berlangsung lama. Setelah telefisi mati dan Luka pergi tidur, pikirannya kembali terfokus kepada pengamen itu. Pengamen yang telah mencuri senyuman Luka darinya. Laki-laki itu... dia pasti punya niat buruk. Setelah lama-lama mengamati wajah Luka dan membuatnya tersenyum, Miku menutup matanya, membawa jiwanya pergi ke dunia mimpi.

.

Beberapa hari ini Miku lalui dengan belajar dan mengerjakan tugas. Jadwal minggu-minggu ini lebih padat dari pada minggu kemarin karena dosennya dikejar waktu untuk pergi ke luar negeri karena urusannya yang mendadak. Miku tidak bisa mengintai Luka atau mencari tahu tentang pengamen itu.

Tapi akhir-akhir ini ada yang aneh dari jadwal pulang Luka. Luka pulang larut malam setiap hari. Dia bahkan tidak menjelaskan alasannya apa, karena Miku selalu berpura-pura tidur ketika pulang karena Miku tidur pada pukul sebelas malam. Setiap pulang, Luka segera mengganti pakaiannya dengan piyama dan lekas tidur. Pagi-pagi sekali Luka sering tidak fokus dan Miku sangat tidak tega untuk menanyakan alasan Luka pulang telat. Bahkan hari minggu, Luka keluar dari rumah. Tapi, Miku tidak bisa mengikutinya karena tugas lukisan dan tugas laporan yang menumpuk untuk mengejar batas akhir keberangkatan dosennya.

Miku memerhatikan Luka dari jendela ruang keluarga. Dia melihat dari sebelah sandaran kanvasnya. Luka berjalan keluar dari gedung apartemen dan masuk ke dalam terowongan pohon di depan apartemen mereka. Miku memerhatikan bayangan Luka sampai benar-benar tidak terlihat kemudian dia duduk di depan kanvasnya dan menggoreskan warna-warna muda pada kanvas polosnya.

Malam tiba dan Miku belum selesai melukis. Melukis seseorang tanpa modelnya sedikit memperlambat kerjanya. Dia hanya mengandalkan ingatan dan imajinasinya untuk melukis Luka. Miku berhenti ketika warna biru muda menggores bagian mata untuk menambah kilauan-kilauan mata pada lukisan. "Matanya... tidak seindah yang aslinya," gumam Miku. Miku tersenyum tipis kepada lukisannya itu. "Bahkan tulisan sebagus apapun tidak akan ada yang menyamai kecantikannya."

Miku memerhatikan lukisannya sendiri. Lukisan dengan Luka sebagai modelnya. Luka berdiri di tengah-tengah taman bunga crocus dengan memegang satu buket bunga garnedia. Dalam lukisan itu Luka menggunakan gaun sore putih tanpa lengan, rambut terurai. Baju dan rambutnya tertiup angin dari sebelah barat. Mahkota-mahkota bunga juga ikut berterbangan. Mata Luka dalam lukisan itu memancarkan kebahagiaan dan bibirnya melengkungkan senyuman manis dengan rona merah di pipinya. "Kamu pasti tidak tahu maksud dari lukisanku, Luka." Miku menyampingkan kuasnya dan telunjuknya hendak menyentuh bunga garnedia. "Gardenia memiliki arti: kamu cantik, dan cinta yang rahasia." Telunjuknya kemudian bergerak meraih bunga crocus. "Sementara crocus artinya: kamu yang cantik." Miku terkekeh sendiri kemudian meletakan kuas dan palet di meja sebelah sandaran kanvasnya. "Ini adalah ungkapan perasaanku. Kamu itu cantik Luka, dan aku mencintaimu." Matanya melembut. "Tapi aku merahasiakan semuanya darimu." Bayangan pengamen dan Luka muncul di benaknya membuat giginya menggertak marah dan alisnya menyentak. "Tapi kalau aku tidak jujur... laki-laki itu bisa merebut Luka."

Luka masuk ke dalam rumah. Miku memperhatikannya. Wajahnya tampak kelelahan, tapi wajah Luka akhir-akhir ini memang selalu kelelahan.

Miku berdiri dari tempat duduknya. "Kenapa kamu pulang malam-malam sekali?" tanyanya. Dia menempatkan tangannya di depan dadanya. "Kamu kelihatan lelah sekali akhir-akhir ini. Apa terjadi sesuatu di sekolah?"

Luka duduk di sofa dan bersandar. Kepalaya mengikuti Miku yang berjalan memutari sofa dan berjalan ke menuju dapur, kemudian berdiri di depan pintunya. Luka menyeringai sambil menyeka keringat di dahinya. "Sebenarnya mulai beberapa hari yang lalu aku mulai bekerja." Luka sedikit tersentak. Pupil mata Miku mengecil. Bulir keringat mengalir di keningnya. Kaki dan punggungnya mendingin, tatapan Miku terlalu menakutkan baginya. Ada kalanya sesekali meskipun jarang sekali, Miku mengeluarkan tatapan mata menyolok yang sangat membuatnya takut. Dan, Luka tahu, arti tatapan itu adalah emosi Miku yang marah.

Luka menundukkan kepalanya dan mengalihkan pandangannya dari Miku. Dia kemudian mengangkat kepalanya lagi dan menatap Miku. "Apa kamu marah?" Meskipun dia menunduk, dia masih bisa melihat tatapan Miku karena Miku lebih pendek darinya.

Miku melembutkan tatapan matanya. Dia melengkungkan senyuman tipis di bibirnya kemudan memutar badannya sambil berjalan mendekati Luka. "Tidak, aku hanya kaget." Miku memperhatikan tatapan Luka yang sedikit menghindarinya. "Apa kamu sedang membutuhkan uang?"

Luka mengangkuk. Dia mengusap-usap lengan bagian atasnya sambil menatap Miku. "Iya..."

"Ayahmu membuat masalah lagi? atau untuk biaya sekolah?" tanya Miku tanpa ekspresi.

Luka kembali mengusap-usap lengan bagian atasnya. "Sekolah... sudah satu bulan ini aku tidak menghubungi ayahku. Dia juga sudah tidak mengirimkan aku uang selama dua bulan ini... tapi untung aku masih punya tabungan. Tapi sekarang tabunganku menipis. Untunglah aku tinggal denganmu di sini... aku sangat terbantu."

Miku membulatkan matanya dan alisnya naik. Mulutnya menganga. Miku kembali melengkungkan senyuman tipis di bibirnya. "Kenapa kamu tidak bilang kepadaku?" Miku diam sebentar. "Aku akan telefon ibu untuk membayar biaya sekolahmu."

Luka segera mendekati Miku kemudian memegang tangan Miku. "Tidak!" Luka menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku sudah banyak merepotkan keluargamu..."

Miku melepaskan genggaman tangan Luka. Miku menggeleng-geleng pelan dan merekahkan senyuman manis kepada Luka. "Kamu tidak merepotkan. Bukankah memang sudah seharusnya kalau kita harus menolong keluarga kita sendiri?"

Luka menatap Miku dengan tatapan yang sendu. "Tapi... aku benar-benar telah berhutang banyak kepadamu dan juga kepada keluargamu... setelah ibu meninggal, orang tuamu selalu membiayaiku, dan saat aku kuliah kamu bela-bela membeli apartemen ini untuk tempat tinggal kita berdua."

Miku memegang kedua tangan Luka dan kembali memberikan senyuman manis kepadanya. "Kamu tidak perlu khawatir soal itu. Aku tidak pernah menganggapnya sebagai hutang, kita kan keluarga. Lagipula aku ingin tinggal bersama Luka juga karena aku tidak ingin terus merasa kesepian."

Luka mengalihkan pandangannya dan melemaskan bahunya. Setelah diam dan merenung sesaat, Luka kembali menatap Miku. "Tapi... tetap saja... bibi terlalu banyak memberiku bantuan setelah kematian ibu, apalagi setelah perusahaan ayah bangkrut... aku tetap harus membayar hutangku pada kalian..."

"Kalau kamu memang bersikeras ingin membayar hutangmu, keluar dari pekerjaanmu sekarang juga," ucap Miku dengan tatapan datarnya.

Mata Luka membulat. "Apa?" Luka mempelajari tatapan datar Miku. Bulir keringat mengalir di keningnya. Mulutnya menganga. "Lalu, bagaimana bisa aku membayar hutangku kalau aku tidak bekerja?"

Miku melembutkan matanya. "Kamu bisa membayar hutangmu nanti, setelah lulus dan mendapatkan pekerjaan yang benar. Dan... kamu cukup membayar hutangmu untuk biaya kuliah saja, toh ibu dan ayah tidak pernah mempermasalahkan uang untuk kita."

Luka membungkam mulutnya. "Tapi... tetap saja." Luka kehabisan kata-kata. Dia sangat senang sedikit diringankan dari hutang-hutang yang selalu membebani pikirannya. Tapi, dia merasa kehilangan mukanya karena menumpang hidup di keluarga Miku.

"Kalau kamu masih merasa keberatan. Cukup temani aku setiap hari..." Miku mendekat kemudian memeluk Luka erat-erat. "Kamu tahu... tanpa kehadiranmu akhir-akhir ini aku merasa kesepian... sangat... sangat kesepian..."

Luka tak bergeming ketika tangan-tangan langsing Miku memeluknya. Tapi tatapan dan pancaran mata Miku yang hangat tidak sebanding dengan pelukan yang dirasakan Luka. Tangan-tangan Miku yang dingin membuat bulu di belakang lehernya berdiri dan merinding.

Miku berbisik, "teruslah berada di sampingku..."

Luka membalas pelukan Miku sambil mengusap-usap rambut Miku. Miku tersenyum bahagia dan menitikan air mata, dia menguatkan pelukannya pada Luka. Rasanya begitu hangat memeluk orang yang dicintainya.

Malam itu, senyuman terus melengkung di bibirnya bahkan sampai Miku terlelap tidur. Kesenangannya membuat mimpinya mempermainkan perasaannya menjadi bahagia.

Tapi, mimpi yang indah itu seketika membuatnya ngeri dan marah ketika pengamen berambut pink itu hadir dalam tidurnya.

Miku membuka matanya. Dia melihat punggung Luka dan rambutnya yang terurai di bantal. Miku menghela nafasnya dan kembali merekahkan senyuman di bibirnya dan kembali menutup matanya. Aku... tidak akan membiarkan pengamen itu merebut Luka dariku.

.

Dua minggu berlalu. Luka tidak pernah pulang telat. Dia menepati janjinya agar pulang cepat dan menemani Miku. Tapi, meskipun berada dalam satu rumah, Miku tetap khawatir Luka akan pergi meninggalkan dirinya. Miku terus mengawasi Luka dengan mata tajamnya. Bahkan dia tidak bisa makan dengan tenang ketika dia melihat Luka berdandan cantik, kecurigaan selalu mengganggu dirinya dan mendorong dirinya untuk menyuruh Luka agar tetap berada di rumah dengan berbagai alasan.

Hari ini Miku mulai melukis lagi. Kini dia sedang melukis dirinya yang sedang memegang buket bunga primrose. Tapi buket itu masih berupa sketsa. Miku sedang melukis rambutnya sendiri di atas kanvas. Meskipun sedang melukis, Miku tetap memerhatikan Luka dengan seksama yang sedang menonton acara masak. Hari ini hari libur dan di luar langitnya gelap, mendung, berawan. Waktu menunjukkan pukul tiga sore.

"Miku," panggil Luka. Miku menolehkan kepalanya kepada Luka. Luka bangkit dari tempat duduknya dan berbalik menatap Miku. "Aku baru ingat. Persediaan makan kita habis. Dari kemarin aku langsung pulang ke rumah dan tidak sempat belanja." Luka berjalan menuju pintu kamar mereka. "Aku akan pergi ke supermarket."

Miku bangkit dari tempat duduknya. "Aku ikut." Miku menaruh palet dan kuas catnya di meja sebelahnhya.

Luka menunjuk ke jendela. Dia menunjuk ke langit yang keabuan karena mendung. "Tidak, bagaimana kalau hujan? bukankah kamu bilang kalau kamu tidak enak badan? tadi malam juga badanmu panas kan."

Miku menggerutu dan menundukkan kepalanya. Dia menggembungkan pipinya. "Tapi aku ingin ikut..."

Luka melambaikan tangannya. "Tidak. Bagaimana kalau nanti hujan turun? meskipun membawa payung, tapi payung hanya akan melindungi kepalamu. Angin hujan bisa membuat panasmu naik lagi." Luka masuk ke dalam kamarnya, kemudian setelah beberapa saat Luka keluar dengan membawa tas selendangnya dan payung.

Miku melirik kepada Luka. "Aku... tidak boleh ikut?" tanya Miku kemudian mengangkat kepalanya. Dia sedikit melengkungkan bibirnya ke bawah, matanya menjadi sendu.

Luka melengkungkan senyumannya. "Tidak." Luka melembutkan tatapan matanya. "Aku tidak ingin kamu sakit." Luka berjalan menuju pintu kemudian mengenakan sendalnya. "Aku akan pulang cepat." Luka membuka pintunya kemudian keluar dan menutup lagi pintunya.

Suara pintu yang tertutup seketika merubah air muka Miku yang terlihat lucu dengan kepolosan dan kelucuannya menjadi datar dan dingin. Matanya menatap dingin pintu yang baru saja ditutup Luka.

Miku kembali duduk dan kembali mengambil kuas dan palet yang ditaruhnya. Dia mengaplikasikan warna biru muda kehijauan di rambutnya. Gerakan tangannya lebih lambat dari gerakan tangannya ketika masih ada Luka di rumah itu.

Tidak lama kemudian, hujan turun dengan deras disertai petir yang menyambar-nyambar bumi. Miku menyentak menutup matanya karena terkejut dengan sambaran petir yang menggelegar.

Miku menoleh ke jendela luar memerhatikan dedaunan merah yang berguguran karena angin kencang dan guyuran hujan yang tiba-tiba. "Hujan angin," gumam Miku. Miku menoleh kepada kanvasnya lagi dan kembali melukis. "Dia memang berencana untuk pergi tanpaku."

Waktu terus berlalu dan hari semakin gelap. Hujan belum berhenti dan angin masih kencang. Televisi masih terus menyala. Tangan Miku sedikit terasa kaku dan dia merasakan suhu tubuhnya kembali memanas. "Aku harus minum obat." Miku menaruh palet dan kuatnya kembali di meja sebelahnya. Miku memperhatikan lukisan di kanvasnya yang belum rampung. Hanya tinggal bagian mata dan buket primrosenya yang belum diwarnainya. Hujan mulai mereda.

Miku berdiri dari tempat duduknya dan memperhatikan keluar jendela. "Sudah malam... aku lapar... tapi tidak ada makanan." Miku melirik ke jam dinding.

Jam menunjumkan waktu sudah lewat jam delapan malam. "Luka belum pulang, tapi dia pergi sudah lama sekali."

Terlintas bayangan si pengamen dalam benak Miku. Pupil mata Miku mengecil dan dia memperhatikan jendela di sebelahnya. Lampu-lampu menerangi jalan dan cahaya-cahaya dari apartemen jatuh ikut menerangi halaman lantai dasar. Miku melihat payung pink yang terbuka bergerak cepat memasukki gedung apartemen. "Itu pasti Luka, dia pasti baru saja bertemu dengan pengamen itu!"

Miku berjalan menjauhi jendela dan mendekati pintu masuk kamar apartemennya. Miku berdiri berjarak beberapa langkah dari pintu. Setelah menunggu beberapa saat seseorang membuka pintu. Luka membuka pintu apartemennya. Miku memasang tatapan tajamnya kepada Luka yang membawa payung dan kantung plastik yang sama-sama basah.

Luka masuk ke dalam sambil menutup pintu apartemennya. Dia menaruh payung di pojok pintu. Luka tersenyum kepada Miku. "Miku? kamu menungguku dari tadi ya? maaf... tadi hujan deras dan aku menunggu hujan, tapi ternyata hujan tidak kunjung reda."

Miku memperhatikan Luka yang basah kuyup, meskipun menggunakan payung, tapi kalau hujan angin yang seperti badai tadi, percuma saja menggunakan payung. "Kamu bohong!" Pupil mata Miku mengecil.

Luka sedikit tersentak. Kedua alisnya terangkat dan Luka mengambil langkah mundur. "Apa maksudmu berbohong?" jantung Luka sedikit berdebar karena melihat tatapan Miku yang tajam.

Miku mendekati Luka. Tatapan matanya semakin tajam dan menusuk Luka. "Kamu pasti mendatangi pengamen itu bukan?"

Luka mengangkat satu alisnya. "Pengamen mana maksdumu?"

Miku sedikit menyipitkan matanya, memberi tatapan dingin yang menusuk jantung Luka. "Pengamen dengan gitar yang bersama anak kecil yang duduk di kursi roda."

Luka menyeluarkan senyum hambar yang terlihat canggung karena alisnya yang melengkung ke bawah. "Oh... dia temanku..."

Miku bergumam bisu kemudian menundukkan kepalanya. "Tidak mungkin dia itu cuman temanmu... aku belum pernah melibat senyuman manismu seperti itu..." gumam Miku.

Miku menderap kemudian mendorong Luka ke pintu dan memeluknya. Dia menyandarkan kepalanya pada dada Luka. Kantung plastik yang dipegang Luka jatuh dan menimbulkan suara pecahan telur. "Mi-Miku? kenapa tiba-tiba memelukku? tas belanjaannya jadi jatuh..." Luka menghela nafasnya. "Ah... telurnya jadi pecah..." Luka membelai rambut Miku yang terurai. "Maaf... kamu pasti kesepian ya..."

Miku mengangguk, dia tersenyum manja sambil mengubur pipinya. "Luka... jangan pergi dengan laki-laki itu... jangan cintai dia..."

Luka berhenti membelai rambut Miku. "Apa maksudmu?" Luka menundukkan kepalanya menatap Miku.

Miku menengadahkan kepalanya, menatap wajah Luka. Telinga Miku sedikit memanas dan debaran jantungnya semakin kencang dan keras. Rasanya seperti meledak. Baru kali ini dia seagresif ini kepada Luka. "Jangan pergi dengan laki-laki lain... aku mencintaimu..." bisik Miku. Kini baju Miku ikut basah. Kulit dinginnya bersentuhan dengan baju Luka yang basah, tapi dia bisa merasakan kehangatan kulit Luka meskipun dibungkus pakaian yang basah.

Pupil mata Luka mengecil. Dia mendorong Miku menjauh darinya. "Apa yang kamu katakan tadi Miku?" tanya Luka sambil memegang bahu Miku.

Wajah Miku semakin merah, dan telinganya memanas. "Aku mencintaimu Luka... bukan cinta seorang saudara... tapi perasaan cinta sepasang kekasih. Kamu mengerti?" tanya Miku kemudian membuka tangannya lebar-lebar dan berusaha memeluk Luka. Miku menyentakkan alisnya ketika merasakan kekuatan Luka yang menahan dirinya mendekati Luka.

Luka menahan Miku yang akan memeluknya. Alis Luka melompat kaget kemudian melengkung ke bawah. "Aku mengerti... aku menyadari perasaanmu... tapi aku selalu menyangkal semua yang aku ketahui." Luka membuang mukanya dari Miku. "Miku... aku tidak bisa bersamamu. Meskipun aku akan tetap ada di sampingmu, aku tidak bisa bersamamu."

Mata Miku kembali mendingin dan dari kedua ujung matanya menitik air mata yang kemudian mengalir di pipinya dan jatuh ke lantai bersamaan dengan jatuhnya rintik air dari baju Luka yang basah. "Kenapa? kenapa kamu tidak bisa bersamaku? Apa karena kita sepupu dekat?" Miku menjatuhkan tangannya yang sebelumnya terbuka berusaha memeluk Luka.

"Bukan." Luka menoleh kepada Miku. "Karena kita perempuan. Kamu tidak akan pernah bisa bersamaku, karena kita perempuan. Tidak akan pernah ada kesempatan untuk kita bersama dan menjadi sepasang kekasih." Luka membuang mukanya lagi dan menatap lantai yang basah karena air hujan dari bajunya.

Miku melengkungkan senyuman tapi tatapan matanya masih datar dan dingin. Pipinya masih basah karena bulir air mata yang baru saja mengalir. "Jadi, kalau salah satu diantara kita adalah laki-laki, maka kamu akan menerima cintaku?"

Luka tidak menjawab ataupun bereaksi dengan gestur. Dia tetap diam tak bergerak.

Miku salah mengartikan diamnya Luka sehingga senyuman merekah di wajahnya. "Kalau begitu, aku akan meminta uang yang banyak kepada mama dan aku akan menggunakan uang itu untuk melakukan operasi menjadi laki-laki. Dengan begitu kita bisa bersama. Benarkan? itu kan maumu?"

Luka tidak menoleh. "Aku tidak akan bersamamu."

Senyuman memudar, bibir yang sebelumnya melengkung berubah datar. "Kenapa?" tanya Miku dengan suara datar dan dinginnya. Tapi, air mata mengalir dari matanya.

Luka melepaskan bahu Miku dan menjatuhkan tangan-tangannya. Luka menoleh kepada Miku. "Karena aku tidak mecintaimu. Aku menyayangimu tapi aku tidak mencintaimu."

"Kamu menyayangiku, tapi kenapa tidak mencintaiku?" Miku menatap Luka dengan dingin kemudian bibirnya berseringai. "Aku tahu, ini semua pasti karena pengamen itu bukan?"

Mata Luka membulat dan alisnya naik. Dia kenal tatapan itu, entah kenapa setiap Miku berseringai dengan mata dinginnya, dia selalu merasa takut. "Bukan!" ucap Luka dengan nada suara yang meninggi. "Aku memang tidak bisa mencintaimu."

Miku memeluk Luka sambil menatapnya dengan fokus. "Tapi kamu bilang kamu sudah menyayangimu kan, kamu tinggal mencoba untuk mencintaiku saja." Miku mengeratkan pelukannya. "Anggap saja ini untuk membayar hutangmu... kamu tahu... membayar hutang dengan menyerahkan tubuh dan hatimu kepadaku..."

Luka mendorong Miku tapi kali ini pelukan Miku sangat erat. "Miku!" teriak Luka. "Kamu sudah gila ya... aku tidak bisa melakukan itu..." tapi suaranya melemah menjadi lirihan.

"Iya, aku sudah gila!" teriak Miku sambil mengangkat kepalanya. Miku melengkungkan senyumannya. "Aku gila karenamu. Aku selalu memikirkanmu Luka... setiap hari... setiap waktu... aku selalu memikirkanmu..." Miku cekikikan dan berseringai, "kamu harus bertanggung jawab karena telah membuatku seperti ini, Luka."

"Lepaskan aku Miku..." Luka mendorong Miku tapi Miku mengeratkan pelukannya dan membuat Luka sesak.

Miku terkekeh. "Aku tidak akan melepaskanmu Luka... kamu harus bersamaku... kamu punya hutang bukan... kamu harus membayarnya dengan bersamaku..." Air mata yang sebelumnya mengalir kini telah berhenti tapi masih meninggalkan bekas basah. Miku terkekeh lagi. "Kamu juga harus bertanggung jawab karena telah membuatku seperti ini..."

Luka mendorong Miku dengan sekuat tenaganya. "Lepaskan aku, Miku!" Luka menggeleng-gelengkan kepalanya dan melangkah mundur. "Ini salah... perasaanmu itu salah..." Luka memegang engsel pintu apatemennya.

"Luka..." gumam Miku. Miku menatap Luka dengan tajam dengan matanya yang membulat. Miku mendekati Luka. "Kamu mau pergi?" Miku tersenyum kemudian terkekeh. "Kamu tidak akan bisa kabur..."

Jantung Luka berdebar, bukan karena perasaan terpana atau malu, tapi takut. Luka takut melihat seringai Miku. Dia membuka pintu kemudian berlari keluar apartemen.

"Luka!" Pupil mata Miku mengecil ketika dia melihat Luka berlari keluar apartemen. Miku berlari mengejar Luka. "Luka kamu mau kemana?" teriak Miku. Dia terus mengikuti Luka yang terus berlari. "Luka! kamu tidak bisa pergi dariku!" teriakan dan derapannya diacuhkan oleh Luka yang terus berlari menghindarinya.

Luka masuk ke dalam lift yang kosong. Pintu lift mulai menutup dan Luka terus menekan tombol pintu lift berulang kali.

Miku terus berlari meskipun kakinya terasa lelah dan mulai kehabisan nafas. Miku bukan orang yang atletis, lebih tepatnya dia hanyalah gadis rumahan yang tidak suka berolahraga. "Kamu... tidak akan... bisa lari... dariku, Luka." Miku terkekeh, air mata mulai membasahi matanya dan mengalir membanjiri pipinya.

Tapi sayang, pintu lift tertutup padahal Miku belum sempat mendekati lift. Luka adalah pelari yang cepat, dia pasti menang dalam soal ketangkasan fisik jika lawannya adalah Miku.

Kaki Miku terasa lemas. Dia berhenti dan memberhatikan lift. Air matanya semakin deras membanjiri mata dan pipinya. "Luka..." Miku menjatuhkan dirinya dan duduk lesehan di karpet apartemen yang mengarah ke lift. "Kenapa kamu jahat sekali padaku..." Isak tangis kini menyesakkan nafasnya. Jantungnya berdebar takut dan jantungnya bagai ditusuk belati. "Apa karena kita sama-sama perempuan?" Miku menundukkan kepalanya. "Kenapa kamu tidak bisa mencintaiku... bukankah aku sudah banyak membantumu? kamu tidak tahu malu, Luka..."

Pintu lift kembaki terbuka. Harapan yang telah hilang kembali berkumpul. Miku mengangkat kepalanya dan merekahkan senyuman. Tapi senyuman dan harapan itu sirna ketika dia tahu orang yang keluar dari lift itu bukanlah Luka. Tapi dia pasti kembali... di luar masih hujan dan kalaupun dia pergi, dia tidak punya apa-apa, dia pasti kembali untuk mengambil barang-barangnya, dan saat dia kembali... aku tidak akan membiarkan Luka pergi. Miku terkekeh kemudian bangun ketika orang yang keluar dari lift itu membantunya berdiri. Tanpa mengatakan terima kasih Miku berjalan kembali ke apartemennya, senyum merekah di bibirnya. Miku terkekeh. "Kalau aku pergi mengerjarmu... akan semakin besar peluangmu untuk kembali dan mengambil barang-barangmu," gumam Miku.

Miku kembali ke apartemennya. Dia mengabaikan belanjaan Luka yang ada di depan pintu. Miku menutup pintu tanpa menguncinya. Panas badannya ia abaikan meskipun itu membuat tubuhnya semakin lemas.

Miku duduk di sofa sambil menonton televisi dan memeluk bantal sofa. Sesekali dia melirik ke arah jam sambil berharap Luka akan cepat-cepat kembaku sehingga dia bisa mengurung Luka hanya untuk dirinya sendiri.

Miku menonton acara televisi kesukaan Luka. "Kalau dia pulang, apa yang harus aku lakukan pada Luka?" Miku tersenyum sambil terkekeh. "Apa aku kurung dia di kamar? atau aku ikat dan aku bekap mulutnya?" Mata Miku menghitam meskipun seringai menghiasi mulutnya.

Waktu terus berlalu sambil Miku membayangkan apa yang bisa dia lakukan kepada Luka. Tapi meskipun menunggu dan terus menunggu, Luka tak kunjung datang. Jam dinding menunjukkan waktu sudah pada pukul sebelas malam lebih empat puluh menit.

Kini Miku duduk meringkuk sambil memeluk sofa dan menggigit kuku jarinya. "Dia tidak kunjung datang..." Mata Miku sudah mulai mengantuk. Berulang kali matanya menutup, tapi Miku selalu berusaha menahan kantuknya. "Kalau aku tidur... bisa-bisa Luka kembali kemudian pergi dengan mudahnya..." Panas di tubuhnya semakin melemaskan Miku. "Sial... karena sakit panas... aku jadi cepat mengantuk..."

Miku terus membuka matanya, berusaha melawan kantuk. Tapi sekuat apapun Miku mengabaikan panas tubuhnya dan melawan kantuknya, tanpa sadar dia jatuh dalam tidurnya. Tidur singkat, mungkin itu yang dia butuhkan.

.

Malam itu Miku tidak bermimpi. Mungkin karena dia terlalu lelap dalam tidurnya. Dan tidurnya juga terasa singkat saat dia membuka matanya. Orang bilang, tidur lelap itu terasa singkat dan tanpa mimpi yang mengganggu.

Miku membuka matanya, dia tidak berada di ruang depan, melainkan di kamarnya. Cahaya matahari juga sudah masuk ke dalam kamarnya, bahkan menghangatkan wajah dan tangannya yang tidak tertutupi selimut. Tidak ada suara burung berkicau.

Miku bangun dari tidurnya, handuk yang sedikit basah jatuh dari dahinya. Dia memperhatikan handuk tersebut dan pakaian yang digunakannya. Piyama. Tapi Miku tidak ingat kalau dia mengganti pakaiannya dengan piyama. "Mungkinkan semua itu mimpi?" Miku menoleh-noleh ke sekitar kamarnya, tidak ada yang berubah, sebagian besar barang-barang kecil Luka masih ada di kamarnya. Senyum melengkung di bibirnya. "Syukurlah itu semua cuman mimpi..."

Miku bangkit dari kasurnya dan berdiri. Tubuhnya tidak terasa selemas tadi malam. Miku berjalan menuju ruang keluarga. Televisi dalam keadaan mati. Sudah pasti Luka yang mematikannya. Miku melirik ke arah jam dinding. Jam sembilan pagi, Luka pasti sudah berangkat ke kampus.

Miku duduk di sofa dan matanya tertuju pada obat dan surat yang ada di meja kopi. Miku mengambil obat tersebut. Obat itu adalah obat penurun panas. Miku kemudian menaruh obat tersebut dan mengambil surat yang ada di sebelah obat. Surat itu terlipat sedikit tidak rapih. Miku membuka lipatannya. Mata Miku membulat dan pupil matanta mengecil ketika mendapati tulisan tangan Luka yang ada di salam kertas surat tersebut. Miku membaca isi surat tersebut:

Miku, maafkan aku.

Aku pergi dari apartemenmu.

Terima kasih atas semua kebaikan dan bantuan yang kamu berikan kepadaku. Maafkan aku karena aku tidak bisa mengembalikan perasaanmu. Aku menyayangimu, sebagai saudara. Aku tidak bisa mencintaimu seperti yang kamu inginkan. Maafkan karena aku telah membuatmu sedih dan aku telah banyak merepotkanmu.

Maafkan aku juga yang tidak tahu malu karena pergi tanpa berpamintan denganmu. Aku janji aku akan membayar hutang-hutangku padamu. Tapi aku mohon... jangan cari aku... aku akan mengirimkan hutang-hutangku ke rekeningmu.

Terima kasih untuk semuanya, dan... aku minta maaf yang sebesar-besarnya

Luka

Miku mengepalkan tinju sehingga membuat kertas itu menjadi kusut. "Dia pergi..." Miku menggertakkan giginya dan menyentakkan alisnya. "Dasar perempuan tidak tahu malu!"

Miku membuang bola kertas itu ke sofanya kemudian berlari kamarnya. Dia membuka lemari pakaiannya dan Luka. Sebagian besar lemari besar itu kini tinggal hanya setengah dari isinya. Baju-baju Luka tidak ada. Koper Luka yang disimpan di dalam lemari juga tidak ada. Miku memeriksa kamarnya lagi. Laptop dan ponsel Luka, semua barang elektronik kecil milik Luka tidak ada, tapi barang-barang kecil milik Luka seperti kosmetiknya masih ada di meja rias

Miku berlari ke dapur. Dia memeriksa piring dan gelas yang ada di dalam lemari piring. Piring dan gelas yang sering kali dipakai Luka masih ada. Di meja makan terdapat telur omelet yang suda dingin. Miku berlari lagi ke kamar mandi. Handuk dan sikat gigi Luka tidak ada di dalamnya. Miku berlari ke jalan depan pintu. Dia memperhatikan rak sepatu. Tidak ada satupun sepatu atau sandal Luka yang tersisa. Dia benar-benar pergi.

"Dia pergi..." Air mata kembali membanjiri mata Miku. Kejadian tadi malam benar-benar nyata, bukan mimpi. "Luka..."

Miku berlari ke ruang tengah dan mengambil palet dan kuas yang ada di meja sebelah sandaran kanvas. Miku berteriak sambil melemparkan palet dan semua isi cat air ke lukisan yang ada di bawah lantai, yang disandarkan ke jendela. Lukisan itu lukisan dengan Luka sebagai modelnya. Lukisan dimana Luka memegang buket bunga gardenia. "Aku membencimu!" Lukisan itu kini tergores cat air yang tumpah, meskipun palet telah mengering, cat air yang masih sedikit basah menggores lukisan itu. Lukisan itu kini telah cacat.

Miku berlari kemudian mengambil lukisan tersebut. "Aku membencimu, Luka!" teriak Miku dengan isak tangisnya sambil melemparkan kanvas tersebut ke punggung sofa miliknya.

Miku jatuh duduk kemudian bersandar di jendela sambil menahan isak tangisnya. Dia berusaha menahan air mata yang membanjiri mata dan pipinya. "Sial... aku membencimu, Luka..." Miku menatap langit-langit rumahnya kemudian menoleh ke lukisan dirinya yang belum ia selesaikan. Hanya tinggal mewarnai matanya dan juga mewarnai bunga primrose yang dipegangnya.

"Buket primrose..." Miku menggigit bagian bawah bibirnya. "Aku... tidak akan menyelesaikan lukisan itu..." Karena ia membuka mulutnya, ada beberapa derasan air mata yang masuk ke dalam mulutnya. Rasanya asin.

Miku memiringkan kepalanya. Pandangannya kabur, dia melamun meskipun matanya terbuka tapi benar-benar tidak ada yang difokuskan matanya. Salah satu arti dari primrose adalah aku tidak bisa hidup tanpamu, dan juga cinta yang baru mulai. Tapi... kalau aku tidak mewarnai bunga itu... bunga itu tidak akan menjadi bunga primrose, sehingga bunga itu tidak akan memiliki arti. Tapi hatiku terlalu sakit untuk mewarnai bunga itu... karena arti dari lukisan itu... sangat berharga untukku. Aku mencintaimu... tapi... aku membencimu.


A.N

Halo, kaze disini. yeay, ini bad end pertamaku hahaha bagaimana?

Oh iya, kalian tau arti-arti bunga? aku ga begitu paham sama arti bunga gardenia sih, jadi kalau ada arti yang salah, tolong beritahu aku lewat PM atau review.

Kalau bicara soal bunga, bunga yang aku sukai adalah mawar karena setiap warna memiliki arti yang berbeda, apalagi mawar punya duri jadi gimana-gimana gitu hahaha.

Kalian tau bunga primrose? aku belum pernah liat bunga primrose secara langsung hahaha, tapi aku tau bunga primrose dari ending Gundam 00 s2. Menurutku bunga-bunga yang ada di bawah gundam sama setsuna kecil itu bunga primrose soalnya kan banyan warna tapi tengah-tengahnya ada warna kuning. Dan aku suka artinya hahaha apalagi setsuna marina jadi canon dan setsuna selalu ngebayangin marina. Itu menururku, bagaimana dengan kalian? Ah maaf ini kan beda fandom ya hehhehe maaf kebawa suasana saking sukanya 00 apalagi setsuna marina XD

Sampai ketemu di oneshote lainnya (o'w')9

Feel free to review