Summary: Semi-AU. Waktu adalah hal yang magis. Waktu tidak dapat menyentuh mereka secara fisik, tetapi mereka dapat menyentuh mereka secara mental. Apakah Waktu akan membuatnya melupakan lelaki itu? Oh, tidak. Vietnam harap tidak. PD2. Two-shot. Dark!ThaiViet.

Disclaimer: Hetalia: Axis Powers © Himaruya Hidekaz

Warning: Viet's POV; time-line Perang Dunia 2, yang di chapter 2 akan jadi AU; Franco-Thai War. Dark!Thailand. Historical inaccuracies.


"Laos!"

"Cambodia!"

"France!"

Seorang prajurit berpakaian hijau tua bersemir merah darah berlari sambil terantuk-antuk mayat yang bergelimpangan di jalan raya yang kasar dan berasap. Rambut hitamnya yang biasa dikuncir tak lagi terlihat—diselipkan ke dalam topi berwarna sama dengan lambang bintang merah di depannya, walaupun beberapa surainya terbengkalai, penuh dengan minyak dan keringat, hasil tidak terguyur air selama hampir tiga hari. Memang; prajurit yang tak biasa, berwajah bulat dengan bulu mata yang lentik, dan bola mata yang kelewat besar untuk ukuran seorang lelaki. Seorang perempuan. Hanya gadis. Bukan gadis biasa pula.

"Laos… Jawab aku! Laos!"

Jari-jari tangannya dengan kuku polesan yang telah patah meraba-raba medan yang ada di depannya. Mencari untuk setidaknya tubuh seorang lelaki kecil dengan rambut keriting pendek dan kakaknya yang kurus. Pikirannya mencoba menghalau benak tentang kemungkinan bahwa mereka telah berada di bawah gunung tubuh bersama mayat-mayat yang tersebar di sana-sini.

Tidak mungkin! Jangan sampai itu terjadi—kalau tidak, mau bersama siapa lagi dirinya?

"Tolong… Cambodia… Cambodia! Kau bisa dengar aku, kan? Kan?"

Seorang kakak yang penuh dilema dan kekhawatiran juga panik, mencari kedua adiknya yang tidak ia lihat sejak kemarin, sampai-sampai ia tidak melihat sebatang senapan yang diarahkan padanya dari kejauhan, sebuah mata coklat kehitam-hitaman layaknya elang membidik dengan akurat, sedang senyum yang membeberkan barisan mutiara putih terpampang dengan bebas.

Suara pistol terkokang yang tersembunyi dalam guratan teriakan sang gadis yang baru saja berlari ke dalam api...

"France, France, dimana kau, France—AARGH!"

Suara teriakan seorang gadis menggema bersamaan pada saat tubuhnya berdebam dengan keras di atas tanah, memegangi pundak kanannya yang baru saja tertembak oleh siapapun—sniper kelas tinggi tampaknya—yang ada di sana. Dia menggeram menahan tangis, dan matanya bergerak-gerak panik begitu melihat sesosok tubuh yang secara dramatis tampak dipertunjukkan oleh lampu sorot orkestra alam, pelan-pelan dibiaskan oleh cahaya api yang berkobar, keluar dari tempat perlindungannya di balik semak-semak tempat dimana ia menembaknya tadi—hyena yang keluar dari liang persembunyiannya dengan senyum layaknya seringai menghiasi wajah yang tak pernah sekalipun tak terlihat ramah.

Tidak ada kesalahan dalam perkataan itu; dia selalu terlihat ramah.

Walaupun mungkin itu hanya kamuflase belaka.

"Ana, Vietnam~! Bukankah aku dulu sudah bilang, ana, kalau di medan pertempuran, kau harus waspada dengan sekelilingmu? Untung saja tembakanku meleset, ana. Kalau tidak kau sudah mungkin mati di tempat~!"

Gadis yang dipanggil Vietnam itu menggeram, lalu meludahkan sebercak darah ke arah orang yang sedang berjalan mendekat itu seakan-akan ludah bercampur darahnya adalah selongsong peluru yang akan menembus dadanya tepat pada saat itu juga. Tentu saja tidak; ludahnya jatuh jauh dari tempat orang itu berdiri—dimana cahaya api dan juga matahari yang hampir terbenam menyinari wajahnya yang tak lagi memakai kacamata. Gadis itu terburu-buru terbangun dari tempatnya (sebenarnya tidak; ia menemukan bahwa bahkan untuk berdiri pun sudah susah sekali, sehingga memilih untuk duduk di atas tanah saja), lalu menyipitkan matanya, dan meludah sekali lagi, "Kau tidak perlu memberitahuku hal itu, Thailand."

Thailand –sang negara penuh senyum- tersenyum. Posturnya yang memakai seragam hijau muda layaknya jendral –yang memang benar- berjalan mendekat sembari menghunus bayonet yang tertempel dengan erat di bawah senapannya. Tetapi bayonetnya tidak ia acungkan ke dada ataupun kepala Vietnam untuk secepatnya membunuh gadis yang menggeram ke arahnya, tetapi ia menunduk, jongkok di depannya, dan tersenyum semanis-manisnya.

Padahal senyuman itu biasanya ditujukan kepadanya dalam konteks manis seperti kakao, manis-manis pahit seperti itu, tetapi sekarang apa yang dilihatnya hanyalah senyuman seekor hyena yang siap menerkam mangsanya yang terjebak dalam api.

Senyum yang merendahkan. Dan tidak perlu dibilang kalau itu membuatnya kesal. Sangat kesal.

Senyum sombong dengan kilat mata hitam yang bersinar senang seperti penyamun, berfungsi sebagai kerangkeng dari wajah riang sang personifikasi negara penuh senyum yang terpenjara entah di mana.

Vietnam membenci Thailand yang ini. Sangat membencinya. Thailand yang tidak dikenalnya. Thailand yang tidak mengenalnya. Dia dan Thailand yang tidak saling mencoba mengenal. Thailand yang adalah penghambat misi penaklukan mencari tanah yang dulu ia lakukan sebelum menjadi protektorat France. Yang menghalanginya. Selalu berniat membunuhnya. Tidak sungkan-sungkan menghunus pedang seperti halnya adalah bercumbu saja. Rasanya seakan-akan pada saat itu juga ia bisa segera mengangkat tangannya dan meremukkan leher bebercak merah jambu yang dulu pernah dikecupnya dengan kasih sayang. Hanya karena dendam pada masa lalu. Tapi ia tahu ia sudah tidak bisa.

Terlalu banyak 'waktu'...

"Ada di mana Cambodia dan Laos?" geram Vietnam sambil melepaskan genggamannya dari pundaknya yang masih mengucurkan darah, lalu tangannya jatuh ke bawah untuk mempersiapkan diri mengambil pisau lipat yang tersimpan dengan aman di dalam kantong celananya. Tentu saja Thailand menyadari hal ini, tetapi ia pura-pura tidak melihatnya, masih memberikan sepotong senyum pada Vietnam, yang melanjutkan, "-dan kemana kau bawa France?"

Thailand menghela napasnya dan menggeleng-gelengkan kepalanya, membuat rambutnya yang seperti nanas bergoyang-goyang lucu.

"Ana—kau tahu, Viet?" ujar Thailand yang, dalam sepersekian detik yang hampir kasat mata, telah menjepit Vietnam ke atas tanah, menekan luka tembakan yang ada di lengannya dengan keras sehingga membuat Vietnam berteriak sekencang-kencangnya. Padahal ia tahu hanya sebuah luka 'kecil' di lengan tidak akan membuatnya mati, tidak akan ada personifikasi negara yang mati hanya karena sebuah luka sekecil ini. Tapi ia hanya ingin berteriak, berharap agar rasa sakit itu segera menghilang dari tubuhnya yang lelah bertarung. Dia bahkan sudah hampir tak mendengar suara Thailand yang bagai bisikan lebah di telinganya, "-kau terlalu mengandalkan dirimu pada orang Eropa itu, Viet. Orang itu sudah kabur sedari kemarin. Meninggalkan kalian bertiga sendiri di sini. Sendirian. Tanpa perlindungan. Dia tidak peduli pada kalian lagi."

Vietnam menjawabnya dengan sebuah erangan yang semakin keras menyayat udara sendat berbau besi. Ini membuat senyuman Thailand kembali ke wajahnya yang –sama seperti gadis yang ditekannya ini- tercemar merah, dan kembali berbicara, "Aah! Dan untuk si kecil Laos dan Cambodia, ana? Tenang saja, Viet—mereka sudah ada bersamaku di Bangkok sana. Dan, yah, kau tahu, ana? Mereka pun juga sudah kubawa ke tempat yang, ana, spesial-,"

Perkataannya dihentikan secara mendadak ketika tiba-tiba sesuatu yang keras mengenai selangkangannya. Thailand segera berdiri dari sana dan berteriak kesakitan, dimana Vietnam memakai kesempatan ini untuk segera berdiri secepat mungkin untuk melakukan serangan balik—

—tiba-tiba saja topi militer hijau sang gadis telah terlempar ke udara, bersamaan dengan suara tamparan yang bergema di area yang hampa oleh manusia.

Pipinya panas...

Sesaat semuanya terasa hening. Tangan Thailand yang terhenti di udara, dan Vietnam yang menunduk ke bawah. Hanya suara sesenggukan penahan tangis yang ada di sana.

Viet… Viet… Jangan menangis, Viet… Ini hanya seperti dulu… Seperti dulu—dulu… Saat kau dan dia bertempur hampir setiap hari untuk memperebutkan Cambodia… Tidak ada bedanya dengan sekarang… Bedanya, hanya lebih banyak ledakan dan tubuh terbakar… Jangan menangis… Jangan menangis…

Tentu saja perbedaannya lebih dari itu. Lebih jauh dari itu. Yah, selain tentang perbedaan teknologi yang sudah berkembang, ada sesuatu yang jauh lebih tersembunyi tetapi pada saat bersamaan terpampang dengan amat sangat jelas di depan matanya. Hanya saja ditutup oleh kabut-kabut pikiran yang menolak untuk mengakuinya.

Perasaan yang telah berkembang.

Kabut yang bahkan tidak akan membuatnya melupakan tentang malam-malan bersama dengan dirinya. Entah sedang tertawa, atau sedang menangis. Penuh cinta atau teriakan. Suka dan juga duka.

Suka atau tidak, Vietnam tidak akan pernah melupakan Thailand yang 'itu'.

Agak sedikit bodoh berpikir seperti ini saat di medan perang, tapi apa mau dikata; pikirannya mengatakan dua kata itu secara blak-blakan:

Tak peduli bagaimanapun, aku mencintainya...

Kesunyian kembali dihancurkan begitu wajah Thailand yang terlihat seperti iblis mengamuk meliuk kembali menjadi sebuah senyum ramah, seakan-akan hal yang tadi tak pernah terjadi, walaupun bisa dilihat kedua kakinya masih bergetar seperti terjangkit tremor. Lelaki itu mendekat ke arahnya, ke wajahnya, dengan terhuyung-huyung, lalu dibisikkannya pelan-pelan kalimat itu.

"Ana, Viet? Kalau kau mau, aku akan memberimu tempat yang lebih spesial daripada tempat mereka, loh, ana?"

Ia membiarkan kata-katanya berhenti di udara, lalu dilanjutkannya lagi dengan sebuah seringai

—"Kau tahu aku mencintaimu."

Disemburkannya lagi ludah bercampur darahnya—yang sekarang dengan tepat mengenai pipi kiri dari lelaki yang bahkan tak bergeming oleh penghinaan itu. Ludah merahnya menetes seperti air, walau Thailand masih tak mengambil satu gerakan pun untuk menghapus noda itu dari wajahnya. Itu membuatnya bergidik ngeri dalam hati, walaupun wajahnya masih menampilkan keberanian yang bahkan tak tergoyahkan oleh keringat yang menghujani kedua wajah mereka—tapi siapalah dia kalau misalkan tidak tahu tentang sisi lain dari personifikasi tanah penuh senyum yang bisa dengan mudah menggencetnya ke tanah?

"Kau menjijikkan, Thailand."

Thailand mengedikkan kedua bahunya sambil tersenyum –tentu, kapan kau pernah melihat Thailand melepas senyumnya?- tak peduli. "Terimakasih, Viet. Ana, kau tahu, kan, aku mencintaimu karena kejujuranmu? Itu pujian yang bagus, ana. Ooh! Dan haruskah mata dibalas mata, Viet? Pujian untukmu, tentu! Kau selalu lebih manis kalau menampangkan wajah agresif seperti itu, ana. Seharusnya kau memperlihatkan wajah seperti itu lebih sering di tempat tidur~!"

Tetapi kesabaran punya batas. Bahkan kesabaran seorang kekasih pun punya. Dia tidak tahan. Vietnam tidak tahan. Dia akan memukulinya agar membuat orang sinting ini sadar dari halusinasi gilanya, bahkan sampai mati, bersama-sama, kalau perlu.

"Kau—sialan!"

Dan tangannya bergerak ke bawah.

Waktu adalah hal yang unik, pikirnya sambil mencabut pisau lipat yang telah ia persiapkan dan menghunuskannya dengan presisi akurat ke arah mata hitam milik lelaki di depannya, tetapi ditahan dengan mudah dengan menggunakan sebuah tangan berotot yang mengunci lengannya. Tak kehabisan akal, Vietnam mengangkat kakinya naik dan menendang Thailand tepat di pergelangannya. Seketika setelah lepas dari cengkeramannya, Vietnam segera menghunuskan beberapa serangan lagi dengan pisau kecilnya, walau Thailand dapat menghalau semuanya dengan baik, dan tanpa pikir panjang lagi melancarkan serangan balik menggunakan bayonet yang, tanpa Vietnam sadari, telah ia lepas dari senapannya.

Dan, tidak seperti Thailand, Vietnam tidak bersiap akan serangan itu.

Semuanya bergerak secara perlahan; bagaimana bayonet itu dengan sukses menggores pipinya sehingga Vietnam bisa merasakan munculnya cairan lengket yang muncrat dari sana.

Seperti yang sudah dibilang, waktu adalah hal yang magis. Vietnam dan Thailand—semua personifikasi negara—adalah salah satu dari sedikit kaum yang hidup di dunia ini yang, pada keseluruhan tempat, tidak pernah terpegang oleh jari-jari Waktu yang terus berjalan maju. Kehidupan lebih dari seribu tahun, dengan perubahan fisik yang bisa dihitung hanya dengan satu tangan. Sedangkan, orang-orang di sekelilingnya, para penduduk—orang-orangnya—menghilang secepat abu. Bekas fakta yang segera hilang begitu makam-makam pertanda bahwa mereka pernah hidup digusur oleh pemerintah untuk kepentingan militer atau apalah itu.

Sedangkan mereka berbeda. Mereka hanya bisa hidup selamanya dengan memori. Memang, jika seorang personifikasi negara mati oleh karena suatu sebab, bisa dilaksanakan semacam upacara perpisahan yang akan berakhir dengan sebuah makam pertanda bahwa mereka ada. Tapi, tentu, yang tertulis di sana bukan namanya, melainkan sebuah nama yang mereka pilih sebelumnya agar bisa berbaur dengan para manusia-manusia. Dimana orang-orang akan berpikir, aah, hanya seorang manusia lain yang mati, yang tidak akan diingat oleh siapapun kecuali keluarganya.

Itu yang baik.

Mereka akan mati dengan pikiran bahwa ada orang-orang yang mencintainya. Setidaknya, hal itu tidak akan pernah berubah. Waktu yang begitu sempit bagi seorang manusia tidak akan memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengubah persepsi tentang orang lain, terutama yang sudah mati. Seratus tahun. Itu waktu yang begitu sedikit bagi kaum mereka. Tetapi bagi manusia, mereka menjalani hal itu dengan baik. Dan akhirnya dengan pikiran bahwa mereka akan bersama-sama dengan manusia yang telah pergi lebih dahulu dari mereka, orang-orang yang ditinggalkan akan mati juga akhirnya, dan menyisakan kenangan indah bagi mereka yang kembali ditinggalkan. Sebuah lingkaran yang takkan pernah putus-putus; terus berulang.

Hal itu tidak dapat terjadi baginya dan sisa kaum seperti dirinya.

Nah, itulah kenapa terkadang ia bilang waktu itu unik, magis. Waktu tidak dapat menyentuh mereka secara fisik, tetapi secara pikiran? Sangat bisa.

Dan sangat rentan.

Jalur berpikirnya buyar ketika tiba-tiba saja terdengar suara pistol ditembakkan bergeming di udara. Saat itu pulalah ia menyadari bahwa lelaki yang ada di depannya—Thailand—telah menjatuhkan pisaunya yang berkelontang di atas aspal dengan nada aneh, memilih untuk meringis kesakitan seraya memegang dadanya yang…

…darah.

Darah. Sudah bukan hijau muda warna pakaian jendralnya lagi, tapi merah.

Ada yang menembak…

"Vietnam!"

Suara itu…

Dia segera mengarahkan pandangannya melewati pundak Thailand yang sekarang telah berlutut, hampir kehilangan napas. Tetapi hal itu tidak dipikirkannya lagi, karena mata hitamnya menemukan setitik warna emas yang mengisi langit malam yang berwarna hitam, seperti kerlap-kerlip kunang-kunang yang hangat.

Ada sebuah senapan yang telah terkokang di tangan sang laki-laki berambut pirang.

"Fr-ance…?" bisik Vietnam, lebih kepada dirinya sendiri.

"Vietnam!" teriak France lagi, sekarang sambil merentangkan tangannya di kejauhan sebagai pertanda untuk gadis yang dipanggilnya agar segera berlari ke sana, sambil memberikan sebuah penegasan dengan kembali berteriak lebih kencang, "Segera ke sini, Vietnam!"

Vietnam tidak perlu berpikir dua kali untuk hal itu. Matanya tidak lagi melihat ke bawah untuk berpandangan untuk yang terakhir kalinya dengan Thailand yang telah tergeletak tak berdaya di tanah, diselimuti oleh darahnya sendiri yang mengucur seperti sungai. Gadis itu melemparkan pisau siletnya ke sembarang tempat, seakan-akan dengan pikiran bahwa dengan berkurangnya beban, maka dia akan lebih cepat sampai ke sana—ke tangan yang telah dilebarkan untuknya…

Dia tidak peduli bahwa orang Eropa itu pernah menyakitinya dulu—mempekerjakannya sebagai budak—Vietnam segera memeluknya dengan satu-satunya tangannya yang tidak mati rasa.

Setidaknya dia telah menjadi figur ayah pengganti bagi dirinya yang tidak punya ayah selama beberapa abad ke belakang ini. Biarlah seorang ayah yang kejam, tetapi setidaknya dia adalah ayahnya.

"Sssh… Ma chér… Chér Vietnam… Tidak apa-apa… Tidak apa-apa…," kata lelaki berambut pirang itu sambil mengelus-ngelus punggungnya yang penuh keringat, dan saat itu pula dia sadar bahwa jalur air telah membasahi pipinya, dan yang paling bagus, membersihkan bercak-bercak darah dan abu yang ada di sana.

Tahu tentang hal ini, dia kembali membenamkan wajahnya pada dada France. Dia tidak malu menangis. Dia dilahirkan sebagai seorang wanita, dan wanita diwajibkan untuk menangis sekali dalam seumur hidupnya, atau lebih, yang sering terjadi kepada kebanyakan orang. Menangis adalah cara terbaik untuk melupakan tentang kejadian yang menyedihkan. Dan setidaknya dia berterimakasih untuk hal itu.

Tapi menangis ada waktunya, dan itu bukan sekarang. Dan begitulah pikirannya saat Vietnam melepaskan pelukannya dari France untuk beralih menghapus air matanya.

Setelah itu, Vietnam bertanya kepada France, "Kau sudah menemukan Laos dan Cambodia?"

France mengangguk. "Mmm. Aku menemukan mereka beberapa jam yang lalu di Bangkok. Sedikit berdarah, tetapi secara keseluruhan baik-baik saja."

Vietnam tahu, arti kata dari 'sedikit berdarah' itu pasti adalah kebohongan di bagian 'sedikit'-nya. Dia tahu siapa Thailand itu. Mereka rival seumur hidup. Dan juga sepasang kekasih. Tentu saja dia tahu sisi gelap dominatrix yang biasanya bersembunyi di balik senyum manisnya itu. Thailand tidak akan membiarkan seorang tawanan hidup dalam keadaan 'sedikit berdarah', kalau tidak sudah dalam keadaan benar-benar mati. Tentu saja Vietnam tidak bisa melupakan fakta bahwa Thailand adalah 'sahabat baik', mungkin lebih, dari Russia. Tapi dia tidak akan membicarakan, atau mempertanyakan, hal itu sekarang.

"Ayo, cepat naik ke mobil," perintah France sambil menunjuk sebuah mobil jeep tentara hijau yang berada beberapa meter di belakangnya. "Sebentar lagi tentara Thailand akan segera memeriksa area ini. Aku tahu kau mau segera pulang, tetapi kurasa Hanoi akan sangat berbahaya sekarang. Aku akan mengantarmu ke Nice sebelum aku berangkat ke Paris—dan seperti namanya, adalah tempat yang terbaik pada saat ini."

"Mau di Nice atau tidak, bukankah kondisi di Eropa jauh lebih berbahaya daripada di sini?"

France yang telah ada dalam mobil hanya bisa memberikan senyum lemah kepada Vietnam yang masih berpijak di atas tanah.

"Selama Germany tidak mengincarmu, tidak akan apa-apa. Dan terlebih kota itu dekat dengan laut. Asal Italy atau Bulgaria tidak melancarkan armadanya, tidak akan apa-apa."

Gadis itu mencoba memikirkan ketidak-logisan jawaban yang diberikan France. Germany—atau setidaknya, bosnya—tidak pandang bulu selama dia berpikir apa pun yang dia lihat di depannya adalah musuh (dan perlu diingat bahwa France termasuk di dalam pandangannya pula), dan apakah dia telah melupakan salah satu teknologi tercanggih yang pernah dibuat pada abad ini yang adalah pesawat terbang? Pesawat terbang penjatuh bom pula?

Itu sama sekali bukan lebih aman daripada Hanoi. Itu sama saja dengan cari mati—

—mati—

Lalu dia tersadar.

"Tunggu sebentar—bagaimana dengan Thailand?"

"Dia tidak akan apa-apa. Cepat duduk, Vietnam," perintahnya sambil menarik Vietnam untuk masuk ke dalam jeep. Tetapi dia menolak untuk menerima jawaban itu tanpa perlawanan, dan berteriak sambil menepis tangan sang personifikasi negara Prancis dengan satu tangannya yang tidak terkena tembakan.

"Kau gila, France! 'Tidak apa-apa'? Demi Tuhan, kau menembaknya di dada!"

"Dan dia menembakmu di lengan," jawab France sambil mengelus lembut lengannya yang tertembak. "Apa bedanya?"

"Berbeda! Dia bisa mati!" teriaknya sambil menepis tangan France sekali, lalu membalikkan badannya, berniat untuk segera berlari kembali ke tempat Thailand masih terdiam meringkuk. Ya, ia masih ada di sana; tak berdaya. Tetapi belum sempat kakinya melompat dari sisi mobil, sepasang tangan yang lebar, dan kuat, menariknya dari belakang, membuatnya tersungkur ke atas jok mobil sambil memekik kaget.

"Jalankan mobilnya!" teriak France kepada tentara yang memegang kemudi.

Kemudi setir dibanting, roda-roda mesin berputar dengan kecepatan yang serasa dipaksa, terdapat satu-dua hentakan, dan gadis itu sadar bahwa mobil telah berjalan.

Tidak...

Thái Lan—Thailand!

Gadis itu meronta-ronta dalam dekapan lengan protektornya, yang masih terus menolak untuk melepaskannya. Dia berteriak pada pikirannya sendiri, kenapa jadi seperti ini? Dia tidak seharusnya mengais-ngais lengan satu-satunya orang terdekat yang bisa dipanggilnya ayah hanya karena mengkhawatirkan musuhnya. Itu sama sekali tidak logis. Tidak logis karena, sampai peluru itu tidak mengenai jantung, sebenarnya tidak akan dapat membunuh seorang personifikasi negara seperti dirinya atau musuhnya itu.

Vietnam rasa mungkin karena dia hanya ingin meronta-ronta. Tantrum yang datang tiba-tiba. Rasa tidak nyaman atau marah dalam diri anak-anak yang akan berujung pada meledaknya emosi anak itu dan mulai mengamuk. Mungkin dia sama seperti mereka.

Rasa tidak nyaman karena dia telah meninggalkan Thailand sendirian di sana…

Dan rasa marah karena Thailand telah meninggalkannya sendirian di sini.

Semuanya terasa salah.

"Vietnam… Kau bisa jatuh dari mobil, Viet—astaga, Vietnam! Jangan menendangku… Berhenti—berhenti!"

Sekali lagi, sebuah telapak tangan menampar pipinya. Tidak sekeras bagaimana Thailand menamparnya tadi, tetapi setidaknya, sudah cukup keras untuk membuatnya terdiam.

Matanya tampak berkaca-kaca…

Di depan sana, sang tentara yang memegang kemudi tampak terus-terusan melepas dan memegang setirnya dengan tangannya yang sedikit berkeringat. Salah tingkah, yakin. Dan juga takut, mungkin karena kelakuan atasannya ini, bisa-bisa para prajurit musuh akan mendengarnya dan dia akan ditembaki peluru sampai mati, atau mobil ini meledak, yang mana pun yang duluan sama saja, karena semuanya akan berujung pada kematiannya juga.

Tentu saja France dan Vietnam tidak peduli akan hal itu.

"Sudah lebih tenang sekarang?"

Vietnam mengangguk, dengan napas yang sedikit tersendat-sendat.

France menghela napasnya lega dan beralih untuk menepuk-nepuk kepala Vietnam sambil tersenyum, walau lemah dan miris, untuk menenangkannya. Laki-laki itu menurunkan Vietnam dari pangkuannya tempat tadi sang gadis mengamuk, menyuruhnya dalam sebuah perintah bisu untuk duduk di sebelahnya. Vietnam tidak perlu diberi tahu tentang hal itu; tanpa kata-kata, dia segera duduk di atas jok mobil yang kasar.

Terasa jok mobil itu pun juga berbau amis darah.

Waktu adalah hal yang magis. Waktu adalah hal yang unik. Waktu tidak dapat menyentuh mereka secara fisik, tetapi mereka dapat menyentuh mereka secara mental. Dengan mudah pula. Tubuh mereka menolak fakta bahwa Waktu itu ada, hanya karena mereka tahu bahwa pikiran mereka rentan terhadap Waktu. Takut. Takut. Takut. Dengan sebuah pertanyaan yang terus terngiang-ngiang di dalam pikiran:

apakah aku akan melupakannya?

Waktu yang memutarbalikkan memori dan perasaan… Melupakan sebuah diri yang tersembunyi dalam kerangkeng seringai selebar wajah. Ya, itu dapat terjadi. Hanya oleh karena Waktu. Dan mereka punya hal itu, tak terbatas pula!

Jika tidak dijaga dengan baik, suatu saat, benang merah yang mengikat mereka berdua akhirnya akan putus juga. Lalu mereka akan kembali tidak mengenal satu sama lain. Saling membunuh seperti binatang liar tak berakal.

Vietnam membalikkan badannya di ujung mobil, hanya dapat memandang putus asa tubuh yang sekarang hanya terlihat sebagai titik di kejauhan sana, sebelum menghilang dari lanskap merah yang tengah diarungi mobil yang dikendarainya.

~to be continued


Historical notes!

Franco-Thai War: Perang antara tahun 1940-1941 yang diikuti oleh, seperti namanya, Vichy Prancis dan Thailand. Saat ini Prancis mengalami kekalahan besar-besaran karena invasi beruntun Nazi Jerman, sehingga pemerintah Thailand berpikir bahwa Thailand akan menggunakan kesempatan ini untuk merebut wilayah jajahan Prancis (wilayah Indo-Cina; Laos, Kamboja, dan Vietnam). Perang ini berakhir dengan Thailand meraih kemenangan atas Prancis, dan membuat para tentaranya kembali ke Eropa.

Cambodia: Sebenarnya, sedari dulu, sebelum Vietnam menjadi koloni/protektorat dari Prancis, Vietnam dan Thailand (waktu itu Siam) selalu berperang untuk mendapatkan kendali atas Cambodia. Status kepemilikan Cambodia terus-terusan berganti dari Vietnam ke Thailand seiring perang-perang terus berlangsung. Jadi, saia punya head-canon bahwa Viet dan Thailand itu semacam 'rival' :P

Nice: Kota besar di bagian selatan Prancis. Tempat wisata terbaik setelah Paris sekarang, tapi pada waktu PD2, kota ini dipakai sebagai tempat perlindungan imigran Yahudi dari tentara Jerman. Tentu saja, begitu wilayah selatan Prancis menjadi Vichy Prancis (yang menganut paham anti-semitik), para imigran Yahudi (sekitar 600 orang) dikirim ke kamp konsentrasi dan...yah, anda tahu sisanya. Jadi bisa dibilang tempat ini tidak tidak seberbahaya keliatannya.

Referensi diambil dari Wikipedia dan novel Pardon My French.

A/N: Baiklah. Ini chapter yang pertama. Di chapter yang depannya lagi, cerita ini akan berubah menjadi AU/Alternate Universe, dikarenakan oleh karena keinginan author ini yang pengen ngeliat black!Japan dan black!Thailand –plak-. Tentu saja, fokus utamanya tetap ThaiViet, dan bakal lebih dark daripada chapter ini. Jadi, stay on! Saia akan updet secepat yang saia bisa! Stay strong in our mood of Christmas Bloodfest!