"Suami Tipe Idealku."
Kim Jongdae/Chen EXO | Kim Minseok/Xiumin EXO | others
Romance | Drama | School!AU | lil bit Humor?
Lenght: 1/? | Rated: Aman
#Disclaimer: The idea I got from some comic and film ('Hai, Miiko!' and '13 Going on 30'. Storyline and plot belong to me under my penname Hwang0203. The cast not my own, they belong to God and themselves.
P.S: Baca A/N di bawah lebih dulu, penting demi klarifikasi fic ini.
"Banyak yang mempunyai ketentuan tipe ideal untuk seorang pacar. Pacar? Hei, mereka mudah putus sewaktu-waktu, tidak punya komitmen apapun. Daripada pacar, aku punya tipe ideal sendiri untuk ukuran suami."
.
Chapter 1: Kandidat Calon Suami Tipe Ideal
.
Minseok suka berangan-angan. Apalagi jika itu menyangkut tentang masa depannya.
Dia ingin setelah lulus SMU dia bisa melanjutkan ke SNU dengan nilai tinggi. Juga, setelah sarjana pun, dia bisa mengambil pekerjaan di Kementrian Perhubungan Internasional –yang seperti ia impikan. Atau kalaupun tak tercapai, minimal dia bisa jadi pelatih sebuah klub sepak bola –baik itu hanya klub anak sekolahan maupun nasional.
Lelaki berpipi bulat itu juga berangan-angan tentang seorang 'suami'. Dia ingin tinggal di daerah perumahan di pinggiran kota yang asri –masih sejuk oleh pepohnan rindang. Rumah dengan atap kayu yang nyaman dan damai. Halaman bermain yang cukup luas untuk anak-anaknya kelak bermain. Mempunyai dua anak –seorang putra yang pemberani serta puteri yang feminim.
Ah, tentu, Minseok juga punya bayangan tentang 'suami'nya.
Dia ingin punya suami yang mencintainya (jelas pasti!), yang bersedia jadi kepala keluarga yang baik untuknya dan anak-anak mereka. Suami yang mengerti kemauannya dan saling paham keinginan masing-masing. Seorang suami yang dapat diandalkan, yang setiap akhir pekan akan menghabiskan waktu bersama keluarga kecil mereka. Suami yang setiap pagi akan bangun di sisinya sembari mengecup keningnya mesra.
Aih, angan-angan yang indah.
Minseok mulai berpikir jauh tentang menantunya kelak, tetapi itu dirusakkan oleh Luhan yang melemparinya dengan bola sepak.
Tepat mengenai betisnya. Meksipun itu tidak sakit, tapi cukup membuat Minseok sakit hati karena harus berpisah dari angan-angannya.
"Hei!" seru Minseok protes akan bola sepak yang Luhan tendang.
"Maaf. Habisnya kau melamun terus, sih. Tidak sadar ya sebentar lagi klub sepak bola akan dimulai? Sana ganti seragam." suruh Luhan.
Yap, Xi Luhan. Sahabatnya semenjak bangku tahun kedua SMP. Dulunya di tahun pertama mereka sekelas, tetapi tidak begitu akrab. Barulah di tahun kedua memiliki kelas yang sama, mereka dekat hanya karena bangku mereka berdekatan. Meskipun harus berbeda kelas di tahun terakhir, itu bukan berarti membuat ikatan pertemanan mereka menjadi renggang.
Kembali ke Minseok.
Pemuda berpipi bulat itu hanya mendesah pelan, dalam hati membenarkan perkataan Luhan. Maka ia segera melesat ke ruang ganti klub sepak bola. Seragam yang ia idam-idamkan bersama Luhan semenjak SMP –karena mereka sama-sama gila sepak bola.
Minseok keluar ruang klub dengan bola diapitnya yang tak sengaja terlepas dan menggelinding.
"Eh!" Minseok yang sadar hilangnya bola itu, terus mengejar bola yang menggelinding, hingga matanya menangkap satu kaki yang menahan bola tersebut untuk menggelinding lebih jauh lagi.
O-oww, kakinya panjang.
Semoga dia! batinnya menjerit.
Begitu Minseok mendongak untuk melihat si pelaku, senyuman adalah yang pertama kali ia dapat.
Park Chanyeol, si penahan bola itu.
"Nah, Sunbae," Chanyeol membungkuk untuk mengambil bola sepak itu dan menyerahkannya pada Minseok yang masih terbengong. "... lain kali hati-hati ya. Bisa saja orang tergelincir karena berpapasan dengan bolamu, hahaha." diiringi tawa di akhirnya.
Owh, Dewi Fortuna baik sekali mempertemukan Minseok dengan salah satu kandidat calon suami tipe idealnya.
Astaga! Apalagi Park Chanyeol tadi tersenyum ke arahnya. Memanggilnya sunbae pula! Astaga!
"I-iya. Terima kasih sudah menangkap bola bandel ini." Minseok berusaha tersenyum semanis mungkin.
"Ya, sama-sama. Saya duluan, Sunbae." dan tubuh jangkung Park Chanyeol melewati lorong kosong dengan dua telapak tangan yang tersimpan di saku celana.
Dia kelihatan keren sekali, puji Minseok.
Punggung tegap itu, astaga, membayangkan punggung itu yang pertama kali kulihat ketika bangun adalah sebuah anugrah.
Pikiran Minseok mulai berangan-angan lagi.
"KIM MINSEOK!" Luhan menyerukan namanya membuat pemuda ini kembali ke alam sadarnya.
"Ah, Luhan?"
"Ke lapangan, cepat, atau pelatih Ahn akan mengurangi poinmu bakal jadi calon kapten tim!"
Minseok membelakkan matanya kaget lantas buru-buru berlari mengejar Luhan. "A-aku kesana! Segera!"
"Luhan! Dia bahkan tahu kalau aku ini sunbae-nya! Berarti dia memperhatikanku kan?! Andaikan kalau dia tidak memperhatikanku mungkin aku dikiranya adik kelas. Ya ampun, Luhaeen~!" pekik girang Minseok di sela-sela waktu istirahat mereka.
Minseok dengan menggebu-gebu menceritakan kronologis kejadian sebelum waktu latihan mereka dimulai. Cerita mengenai sosok Park Chanyeol yang digadang-gadang jadi calon suami tipe ideal-nya Minseok. (yang tentu saja cuma diketahui Tuhan, Minseok, Luhan dan satu orang lagi.)
Sedangkan Luhan yang mendengar cerita Minseok hanya memutar kedua maniknya malas. Sedikit jengah sahabatnya ini terus mengulang cerita yang sama.
Park Chanyeol. Siswa tahun kedua yang merupakan satu tingkat di bawah Minseok dan Luhan. Anak band yang jabatannya sebagai guitarist, Anggota eksklusif klub Fotografi dan selalu masuk 20 besar peringkat untuk angkatannya.
Chanyeol juga dikenal dengan sifat yang ramah, supel, dan mudah untuk diajak bekerja sama. Apalagi dia tipe orang yang membawa tawa bagi orang-orang di sekitarnya.
"Bukankah itu wajar mengingat namamu pernah disebut untuk mewakili sekolah pada English Debate Nasional ya? Apalagi Kepala Sekolah meminta salah satu anggota Fotografi dan Jurnalistik untuk ikut ke Jeju meliput acaranya. Logikanya, Chanyeol yang anggota eksklusif Fotografi jelas tahu siapa dirimu!"
Luhan, kau mengacaukan hari bahagia Minseok.
"Idiot. Tidak bisakah kau biarkan aku bahagia sebentar?" keluh Minseok.
"Yap. Bahagia sebentar. Lalu kalau jatuh dan sakitnya luar biasa, tolong jangan cari aku."
"Kau jahat, Luhan. Benar-benar jahat." Minseok memakan ganas roti isinya.
Minseok mendesah malas untuk berada di perpustakaan dan matanya harus jeli mencari judul buku yang sesuai keinginan Pak Im –guru Sastra.
Minggu lalu Minseok terpaksa absen akibat flu yang sialnya juga harus melewatkan ulangan dadakan Sastra. Minseok itu tipe yang peduli nilai dan prestasinya (berbanding terbalik dengan Luhan), maka ia menemui Pak Im untuk meminta ujian susulan.
"Bagaimana kalau kamu mau menulis resensi buku-buku ini saja, Minseok-ah? Buku ini ada di perpustakaan. Pokoknya, paling lambat minggu depan kau berikan padaku."
Seenaknya saja ujian essai yang hanya lima soal harus digantikan menulis resensi 5 judul buku yang tebalnya minta ampun. Ia bukanlah tipe yang malas membaca, tapi kalau urusan kelima buku tebal ini hanya dalam kurun waktu seminggu, Minseok ingin sekali mengibarkan bendera putihnya.
"Eh, Minseok?" sebuah suara menyaapa gendang telinganya.
O-owh mai gosh! Itu Wu Yifan!
Lelaki jangkung yang diketahui namanya Wu Yifan itu tersenyum tipis lalu beralih pada rak buku paling atas kedua. "Mencari referensi?" tanya Yifan.
Ini dia kandidat lainnya! Minseok menjerit dalam hatinya. Astaga, Dewi Fortuna benar-benar menyayanginya. Buktinya dia bisa mendapatkan momen bersama dua kandidat calon suami tipe idealnya dalam kurun waktu kurang dari seminggu!
Apalagi poin plusnya, Yifan yang terkenal tidak suka basa-basi dan sikap dinginnya itu mau menyapa Minseok!
Keberuntungan macam apa yang ditumpahkan Tuhan untuknya?
Menjawab pertanyaan Yifan tadi, Minseok hanya mengendikkan bahunya singkat. "Kau tahu Pak Im? Hebat sekali menyuruhku membuat refrensi lima buku ini." jawabnya sembari menunjukkan kelima buku yang bawanya beserta lembar kertas catatan yang ditulis Pak Im.
Yifan melirik sebentar lima uku yang dibawa Minseok sebelum berpindah ke manik pemuda bertubuh mungil ini. "Mau kubantu? Aku ada banyak waktu luang hari ini, sih."
.
Dear Luhan, bisakah kau saja yang jadi kapten tim sepak bola untuk bulan depan? Aku ingin terbang ke khayangan dulu bertemu Dewi Fortuna dan mengucapkan terima kasih banyak kepada wanita keberuntungan itu.
[Tertanda, Kim Minseok]
.
.
Wu Yifan. Nama bekennya sih, Kris Wu. Tapi mengingat pemuda ini juga memiliki darah campuran Canadian serta pernah tinggal beberapa tahun disana, dia juga punya nama Kevin Li. terserah kalian mau memanggilnya dengan nama apa. Yang penting ketiga-tiganya adalah nama pemuda berdarah campuran itu.
Tinggi jangkung, tampan luar biasa bak model. Sifat dingin dan sok misteriusnya itu jadi poin utama kenapa Yifan jadi idola nomor satu di sekolahnya –juga sekolah tetangga yang berdekatan dengan sekolah mereka.
Yifan itu memiliki jabatan Wakil Ketua OSIS, juga Kapten tim Basket. Kemampuan Rapp-nya yang memukau serta pernah menjadi model pakaian seragam Ivy Club itu yang menjadi kharisma terbesar seorang Wu Yifan.
Kenapa bisa Minseok menjadikan Yifan sebagai kandidat utama?
Well, ada alasannya, tentu saja!
Karena angan-angan Yifan tentang keluarga di masa depan (suami, koreksi. Mengingat Yifan juga menyimpang sepertinya) yang hampir sama seperti angannya Minseok.
Tunggu dulu… kenapa bisa Minseok tahu hal se-privasi itu?
Karena Minseok dan Yifan pernah sekelas di tahun pertama. Menjadi teman sekelompok tetap untuk mapel Ilmu Sosial. Suatu ketika materi yang dibahas untuk Ilmu Sosial adalah keluarga. Secara gamblang Yifan membeberkan angannya pada Minseok sehingga pemuda berpipi bulat ini tahu bahwa angan mereka hampir sama.
.
Minseok ingin pingsan saja. Di depannya adalah Wu Yifan yang tengah membaca buku sesekali menorehkan tulisan pada kertas putih kosong sebagai ringkasan materi.
Buku yang terbuka selayaknya tameng bagi Minseok jika (lagi-lagi) Yifan memergokinya yang tengah menatap pemuda berdarah campuran itu penuh takjub dan pujaan.
"Minseok-ah,"
"Ya?"
"Baca kembali bukumu. Kau kira aku tidak tahu kau menatapku terus?"
Minseok berdehem singkat lalu kembali ke bukunya. Tunggu … darimana Yifan tahu dirinya terus mencuri pandang ke arah pemuda itu? Sepenglihatannya sih, fokus Yifan tidak teralihkan dari buku.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan; tapi bahasnya nanti saja ya? Kita punya tanggungan dua buku lagi dan gerbang akan ditutup empat puluh menit lagi."
"I-iya." cicit Minseok.
Minseok berjalan dengan riang sembari menenteng kotak kue yang baru saja ia beli. Oh juga dua cup kopi yang akan ia nikmati bersama tetangganya.
Rumahnya berada di daerah kompleks yang nyaman. Setiap kali ia membuka gerbang rumahnya, lolongan Big akan menyambutnya dan berlari ke arah Minseok sekedar mendapatkan baik itu elusan maupun pujian untuk anjing gold retriever itu.
"Big-eu!" riang Minseok mendapati anjing peliharaan keluarganya kini berlari ke arahnya dengan lolongan yang bisa diartikan, 'Selamat Datang~'
Setelah selesai dengan Big (well, memang badan anjing itu besar makanya ia menamainya Big), Minseok berharap menemukan pemuda yang menjadi tetangga depan rumahnya.
Tetangga yang akhir-akhir ini menjadi teman ngobrol-nya selama dua tahun belakangan.
Tetangga depan itu masih satu tingkat dibawah Minseok. Mereka pindah ke rumah di depan rumah Minseok sekitar dua tahun yang lalu. Sekolah mereka berbeda, omong-omong. Pemuda tetangga depan itu memilih sekolah yang memfokuskan pada bidang seni –seperti olah vokal atau teater, mungkin– sedangkan Minseok sendiri memilih sekolah regular.
Dan tepat!
Selama dua tahun, Minseok tidak pernah meleset. Tetangga yang diharap-harapkannya sudah pulang dengan sepeda seperti biasanya. Buru-buru Minseok masuk ke ruang tamu sekedar meletakkan tasnya lalu melesat ke arah rumah tetangga depannya itu yang kini tengah meletakkan sepeda ke garasi.
"Jongdae-yah~~" serunya.
Yang dipanggil lantas menoleh dan mendapati tetangga kesayangannya –uhukk– datang padanya dengan senyuman lebar. Aih, imutnya. Jongdae bahkan tidak sadar ia ikut tersenyum lebar menyambut kedatangan hyung kesayangannya.
"Hyung? Tumben sekali," kata Jongdae sambil menunjuk kotak kue serta dua cup kopi. Tanpa basa-basi, Minseok langsung menuju taman belakang dimana ada ayunan kursi kayu yang kuat untuk tiga orang. Jongdae mengikuti langkah Minseok itu akhirnya tahu maksud hyung kesayangannya.
Melalui pintu belakang Jongdae pamit untuk berganti pakaian lebih dulu –dia tidak mau resiko besok mengenakan seragam yang kotor dan bau keringat.
Apa kalian heran kenapa Minseok begitu lancangnya berada di sekitar rumah Jongdae? Oh, ayolah! Mereka bertetangga dan juga sangat dekat meskipun cuma butuh waktu dua tahun. Kedekatan bukan berarti kau mengenalnya berpuluh-puluh tahun bukan?
Jongdae masih ingat pertemuan pertama mereka. Waktu itu Jongdae membantu hyungnya dan orangtuanya mengangkat tumpukan kardus di dalam rumah. Ada satu kardus berisi kaset musik miliknya yang ternyata berat sekali. Jongdae tidak berani meminta tolong Jonghyun hyung karena dia juga sibuk dengan barangnya sendiri.
"Kubantu ya?" pemuda mungil nan imut itu tiba-tiba datang dari arah berlawanan memegang sisi kanan kardus dan tanpa persetujuan Jongdae, mereka mengangkatnya bersama menuju kamar Jongdae.
Barulah ketika kardus itu diturunkan, Jongdae baru bisa melihat rupa penolongnya.
Tubuh mungil, suara yang indah, dan wajah imut nan manis mempesona itu menyihir Jongdae sesaat.
"Halo?" si mungil imut itu melambaikan tangannya di depan wajah Jongdae hingga ia akhirnya tersadar.
"Kau melamun," si mungil ini mengulum bibirnya sebentar sebelum menyodorkan telapak tangannya sembari tersenyum lebar. "Aku Kim Minseok. Kamu?"
Tiba-tiba kicauan burung terdengar samar seiring angin datang.
Dengan perlahan, Jongdae menyambut uluran tangan itu.
Tangannya lembut dan hangat.
Dengan dua manik bersitatap. Dua manik yang saling memandang namun berbeda arti.
"Aku… namaku, Kim Jongdae. Salam kenal."
Kim Jongdae tahu dirinya telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Kedengaran konyol tappi itulah nyatanya.
Sekarang kembali ke waktu semula.
Jongdae sudah mengganti kemeja seragamnya menjadi kaos polo, sedangkan celana kain satin itu digantikan celana pendek kargo. Khas Jongdae sekali.
"Hyung? Kau kelihatan senang sekali." komentar Jongdae, tidak lupa meraup sepotong banana cake yang tersodor di sampingnya.
Kursi kayu itu bergerak pelan ketika Jongdae menjatuhkan tubuhnya di samping Minseok. Sedangkan Minseok masih saja tersenyum yang membuat Jongdae menahan degupan aneh dalam tubuhnya.
"Kau tahu Chanyeol dan Yifan yang sering kuceritakan itu? Aku bertemu mereka hari ini; sekaligus! Aku sangat beruntung kan? Apalagi Yifan; dia bahkan sampai membantuku mengerjakan tugas, Ya Tuhan!"
Kunyahan kue dalam mulut Jongdae mendadak terhenti tapi kembali dalam mode pelan.
Jongdae tahu tentang keinginan terbesar Kim Minseok. Apalagi suami tipe ideal pemuda itu. Ingin sekali Jongdae berharap ada satu hal dari dirinya yang diinginkan Minseok. Perasaan kuat yang Jongdae takut akan membuat Minseok takut padanya. Maka dari itu, dia tidak ingin mengatakan apapun pada Minseok. Biarlah dia diam-diam berubah seperti yang diinginkan Minseok agar pemuda itu melihatnya.
Tapi Kim Jongdae juga tidak bodoh. Menjadi seperti gambaran orang lain; itu kejam. Secara tidak langsung orang tersebut tidak menerima keadaan kita apa adanya.
Cinta itu buta. Jongdae bahkan rela melakukan apapun untuk Minseok.
Hei, remaja 16 tahun tahu apa artinya cinta buta?
Yang patut dia syukuri adalah Minseok ada di sampingnya, mendengar segala celotehannya dan melihat senyum pemuda itu.
"Kau mendengarkanku kan, Dae?" tanya Minseok. Jongdae hanya mengerjapkan matanya bingung.
"Huh?!"
"Kau tidak mendengarkanku!" protesnya marah.
"Hyung marah?"
"Aku hanya kesal padamu."
Jongdae hanya tertawa kecil lalu menyuapkan sepotong kecil Choco cream cake pada Minseok. "Maafkan aku, ya Hyung?"
Minseok yang tadinya cemberut, kini melahap potongan kue yang disodorkan Jongdae. Lalu tersenyum lebar. "Kumaafkan!"
"Jongdae, kau tidak penasaran ya tentang suami masa depanmu? Atau masa depanmu kelak?" Minseok tiba-tiba bertanya pertanyaan yang paling dihindari Jongdae.
Bagaimanapun, ia ingin Minseok adalah masa depannya kelak meskipun kelihatannya plot twist sekali. Dia takut sekali menghadapi masa depan. Bagaimana nanti kalau Minseok berpasangan dengan Yifan atau Chanyeol? Jongdae tidak rela senyum, cinta dan apapun itu dari Minseok hanya untuk orang lain yang jadi suaminya kelak.
"Aku tidak tahu. Terlalu sibuk memikirkan masa depan, kau tidak menikmati harimu sekarang, Hyung." Jongdae mencoba mengalihkan perhatian Minseok tapi kelihatannya nihil. Buktinya, Minseok masih mengoceh tentang masa depannya.
Dalam langit senja yang mulai muncul di ufuk barat, Jongdae berdoa suapaya Minseok lah yang jadi masa depannya.
Minseok menggerutu.
Kalau kemarin dia selalu beruntung tentang dua orang kandidat utama calon suami tipe idealnya, maka kali ini kesialan yang terus mendatanginya.
Siswa pindahan entah siapa namanya itu terlihat dekat sekali dengan Chanyeol. Mereka tertawa bahagia sekali, padahal kalau didengarkan sekali lagi, jokes mereka sama sekali tidak lucu.
Kedua, ada gosip yang beredar bahwa Yifan telah memiliki kekasih di luar sekolah. Minseok ingin mengkonfirmasi hal itu melalui Yifan sendiri, tampaknya pemuda berdarah campuran itu sedang tidak ingin membicarakan gosip itu –yang beranggapan Yifan diam berarti gosip itu benar.
Sedikit keberuntungan yaitu Minseok tidak perlu ikut berlatih sepak bola karena dia terhalangi tumpukan tugas Guru Yoon bersama Luhan dan kini mereka terjebak di perpustakaan berdua dengan tumpukan buku dan lembaran kertas berisi laporan.
"Buat apa kau marah? Mereka berdua kan cuma calon kandidat, bukan suami tipe idealmu." sindir Luhan melihat tingkah Minseok yang menjengkelkan. Bagaimana tidak menjengkelkan kalau Minseok selalu salah membuat laporan atau mengumpat pelan tentang pacar gosip Yifan maupun anak baru yang dekat dengan Chanyeol?
Luhan juga jengah mendengarkan umpatan Minseok, bung, asal kalian tahu.
"Hibur aku sedikit saja, Luhan. Kau jahat sekali dengan sahabatmu ini." desah Minseok.
"Kau tahu aku bagaimana, Seokkie~" Luhan bukanlah tipe sahabat yang menyediakan pundak saat kau butuh, membuatmu tertawa saat sedih. Luhan adalah tipe orang yang tertawa paling keras jika kau terjatuh, dia akan mengejekmu habis-habisan saat kau menangis karena masalah cinta.
Uh-huh.
Tidak ada yang bisa ia harapkan dari Xi Luhan.
.
.
Minseok pulang sendirian. Luhan masih mengomel harus mengerjakan laporan yang Minseok salah tulis. Sedangkan pemuda rusa itu mampir ke kedai bubble tea, Minseok hanya ingin pulang ke rumah –tiduran atau bermain sebentar dengan Big akan membuatnya lupa masalah yang ada di sekolah.
Maka itu ia mampir ke minimarket lebih dulu untuk membeli beberapa snack dan minuman ringan untuk mereka berdua. Dia harap Jongdae punya banyak waktu untuk Minseok, jadi, Minseok memutuskan untuk menelepon Jongdae terlebih dulu.
"Oh halo, Jongdae-yah?" sapanya begitu mendengar suara Jongdae di seberang sana.
\'Minseok hyung? Ada apa?'/
"Aku butuh teman bicara. Kau ada waktu sore ini? Aku sedang membeli snack untuk kita."
\'Umm… oke, aku datang secepatnya.'/
"Terima kasih, kau memang yang terbaik, Kim Jongdaebak!"
\'Aku segera pulang, kututup dulu, hyung.'/
"Oke." setelah memutuskan sambungan, Minseok segera membawa barang belanjaannya ke kasir. Lalu pulang, menunggu Jongdae sebentar dan dia bisa mencurahkan semua yang ia keluhkan hari ini.
Begitu keluar di pintu minimarket, pemuda berpipi tembam ini dikejutkan stan peramal persis di samping minimarket.
Sebelumnya, tidak pernah ada stan peramal di sekitaran sini. Jadi, wajar kan Minseok mencurigai si peramal ini –yang ternyata seorang wanita muda dengan paras cantik.
"Kau mencurigaiku? Apa kau takut peramal sepertiku akan menipumu?" tiba-tiba tudung wanita muda itu tersingkap. Minseok bisa melihat jelas wajah si peramal wanita muda.
"Apa?" responnya sangat pelan, Minseok akui itu.
"Dari yang kulihat, bocah, kau sedang sial sekali."
Betul, jawab Minseok dalam hati.
"Apalagi itu mengenai dua orang yang kau sebut calon suamimu. Aku betul?"
Mata Minseok membulat dan mulutnya menganga. "B-bagaimana kau tahu?" cicitnya.
Peramal wanita muda itu tersenyum miring. "Semuanya kelihatan jelas di raut wajahmu, Sayang~"
Minseok memegang kedua pipinya. Apa kelihatan jelas sekali? Apa ada kertas yang mengatakan kesialannya yang tertempel di tubuhnya? Sayangnya tidak.
"Panggil saja aku Tiffany," kata peramal wanita muda itu. "… dan aku membantumu untuk melihat masa depanmu. Mencoba mengintip masa depanmu. Kau ingin tahu?"
Minseok berjalan mendekati stan Tiffany –si peramal. Tanpa sadar, Minseok mengangguk mengiyakan.
Astaga, mimpi apa ia semalam? Dia bisa melihat masa depan yang selalu ada dalam bayangannya saja! Bagian terpenting, dia bisa tahu siapa suami tipe idealnya kelak. Apakah itu Wu Yifan atau Park Chanyeol? Atau ada orang baru lagi?
Kim Minseok benar-benar tidak sabar!
"Ini," Tiffany menyodorkan bola seukuran kelereng. Warnanya hitam legam. Sangat kecil dan berkilauan. "Itu black pearl. Dia membantumu melihat masa depan."
Minseok memandang ragu black pearl yang kini digenggamannya. "Bagaimana aku menggunakan ini?"
"Kau hanya perlu keluar dari kamarmu besok pagi dengan menggenggam erat black pearl. Sebelum membuka pintu, tutup matamu dan katakan keinginanmu tentang masa depan. Lalu buka pintu dengan menggenggam black pearl ini. Voila! Masa depan sudah di depan matamu."
Minseok terlihat ragu. "Aku… tidak punya banyak uang. Pasti biayanya banyak ya?"
Tiffany tertawa kecil. "Aku masih punya banyak black pearl untuk orang-orang yang mengabaikan terpenting mereka detik ini. Untukmu, gratis."
"Tapi aku meminta syarat," senyum tipis Tiffany yang terlihat mengerikan itu membuat Minseok takut.
"A-apa?" cicitnya.
"Biarkan rahasia black pearl ini hanya Tuhan, kamu dan aku yang tahu."
Tapi, dia ingin sekali melirik masa depannya.
… bisakah ia ambil black pearl ini atau membiarkan masa depannya menjadi bayangan saja?
.
.
Minseok berhasil membawa pulang black pearl –yang kini ia pandangi saja.
Benarkah ini akan membawnaya ke masa depan besok pagi? Tapi Tiffany seperti menantangnya untuk mencoba black pearl ini.
"Menunggu lama, hyung?" Jongdae datang dari gerbang depan, membuat Minseok yang terbaring di rumput hijau dekat kursi ayunan pun terbangun.
Begitu mendengar suara cempreng Jongdae, pemuda berpipi tembam ini lantas buru-buru menyembunyikan black pearl yang digenggamnya ke belakang tubuhnya.
"Tidak terlalu lama kok, Dae."
Jongdae yang baru datang dengan seragam sekolah lantas masuk ke dalam rumah terlebih dulu, "Aku ganti pakaian dulu. Oh iya, hyung, apa ibuku sudah mengatakannya padamu?"
"Huh?"
"Makan malam disini. Katanya, beliau sedang mencoba resep baru, dia ingin kau mencicipinya juga."
"Uh, oke."
Lalu Jongdae masuk ke dalam rumah. Melihat pemuda yang setahun lebih muda darinya itu naik menuju kamarnya di lantai dua, Minseok kembali menatap black pearl itu lekat-lekat.
"Ummm… memangnya bisa?" gumamnya sendiri.
Pagi itu, Minseok bangun agak telat. Mengobrol banyak dengan Jongdae, makan malam yang luar biasa serta Jonghyun hyung yang mampir dari asramanya itu mengajak mereka berdua bertanding PS hingga larut begini.
"Huwaa!" Minseok bahkan berlari-lari di kamarnya, sedang Ibunya berteriak dari bawah untuk panggilan sarapan.
Baru saja Minseok menyambar ranselnya, black pearl diatas meja belajar itu mengganggu. Dia ambil lagi benda seukuran kelereng itu dan mengingat pesan Tiffany.
Haruskah ia coba hari ini.
"Kim Minseok; cepat turun sarapan!" suara lekingan ibunya itu membuat Minseok sadar dari lamunannya atas perintah Tiffany.
Minseok menggenggam erat black pearl itu. Menutup matanya dan mengucapkan harapannya pada masa depan.
.
Aku ingin menjalani hidup layak di masa depan…
Aku ingin bertemu suami tipe idealku…
Dan aku ingin seseorang yang mencintaiku dengan tulus, apa adanya…
.
Selesai mengucapkan harapannya itu, dengan black pearl di genggamannya, Minseok membuka kasar pintu kamarnya.
Kepala Minseok sakit, bahkan pandangannya berkunang-kunang. Semuanya tampak kabur dan Minseok merasa terlalu sakit memaksakan melihat apa yang di depannya. Lantas, ia hanya meringis memegangi kepalanya yang sakit luar biasa sekaligus memejamkan kedua matanya.
Perlahan, rasa sakit itu hilang. Minseok juga mulai membuka kedua kelopak matanya. Bias sinar matahari yang amat terang itu sungguh mengganggu. Tapi perlahan, bukan pemandangan ruang tengah rumahnya yang jadi objek pandangan Minseok.
Melainkan sofa hitam panjang yang melingkari televisi raksasa, serta beberapa perabotan yang memanjakan mata karena desainnya yang unik. Jangan lupakan jendela raksasa yang menampilkan view gedung pencakar langit di kota Seoul pada pagi hari.
'Selamat pagi, kita berjumpa lagi di pagi yang cerah! Dengan saya Kim Soonkyu sebagai pembawa acara hari ini tanggal 21 Januari 2017…' suara yang entah darimana, tapi Minseok duga adalah suara dari radio yang tepat berada di samping televisi.
Yang lebih mengejutkan lagi, tahun 2017…
Kim Minseok menganga bahkan berjalan mundur saking kagetnya. Dan ia baru sadar, di belakangnya adalah kamar mandi dan tubuhnya serasa segar seperti baru mandi.
Seriously, apakah kau merasa amat shock saat kau merasa beberapa menit yang lalu adalah tahun 2010 dan kini dalam beberapa menit kedepan kau terlempar ke tahun 2017?
Minseok tahu ini sebab black pearl pengintip masa depan.
Tahun 2010 umurnya 17 tahun, jadi 2017 umurnya menjadi… 24 tahun?
"Black Pearl…" gumam Minseok, dia baru sadar akan kehilangan benda itu –penyebab ia terlempar di masa depan.
"Minseokkie?" ada satu suara lagi, entah darimana itu memanggil namanya. Minseok jelas kaget.
Berarti dia tidak sendirian disini…
Suara itu kembali memanggil namanya berulang kali disertai bunyi derap langkah kaki yang mendekat. Minseok sudah pasrah jika seseorang itu yang baru dikenal Minseok masa depan, bukan Minseok di usia 17 tahun.
Tapi, begitu seseorang datang memunculkan tubuhnya di balik lemari pajangan samping televisi itu, Minseok tidak berhenti mengumpat dalam hati. Mulutnya menganga besar dan matanya membulat sempurna. Bahkan ia sampai jatuh terduduk.
Apa-apaan dengan masa depanku?
"Minseokkie? Kau baik-baik saja?"
Tidak… gelengnya kecil tanpa sadar.
Orang asing itu yang mengenakan apron biru dengan corak garis vertikal putih yang kini juga menggenggam spatula di tangan kiri.
"Minseokkie?!" suara orang itu kembali memanggil namanya.
Astaga, apa-apaan ini?
"Wu–… Wu Yifan?!"
.
.
|| bersambung ||
.
.
[BGM: EXO – Unfair ]
A/N: Halo~~ Saya bawa fic baru! Saya tahu ide ini pasaran sekali; yakan? Diatas saya udah tekankan kan ya baca Author's Note karena saya menjelaskan poin2 disini.
1.) Kalo ada yang ngerasa, "Ini kok mirip film lawas (yg gak tau apa judulnya), pokoknya si cewek ini kelempar ke umurnya yang 30thn terus jatuh cinta sama temen deketnya sendiri." ohoy, seratus buat kamu yang punya pikiran kek gitu! Ide awal memang dari film itu. Aku hanya mengambil garis besarnya saja. Selanjutnya, kalian bisa temukan beberapa hal yang berbeda dari fic ini dan film itu. Ikutin terus ya~?
2.) Ada yang pernah baca komik 'Hai, Miiko!'? Saya ambil bagian Minseok yang kelempar ke masa depannya pakai black pearl pas buka pintu itu dari komiknya Tante Onoo.
Masih ada yang bilang ada kemiripan sama fic lainnya? PM aku aja yah. Karena ide itu manusiawi, tolong maklumi kalau ada beberapa kesamaan saja. Aku tegaskan sekali lagi, ini fic dari beberapa film/komik yang aku kembangkan sendiri atas ideku. So, aku boleh dong bilang ini fic asli punyaku?
Apalagi ini fic ChenMin pertamaku (OTP kesayangan setelah KrisHo~). Mari lestarikan fic ChenMin yaoi yang mulai langka di pasaran, pemirsah~
